Koordinasi Kebijakan (Past Paper) PDF
Document Details
Uploaded by MeticulousRadium5370
BI Institute
Tags
Summary
This document includes a lecture or presentation for a course on economic policy. Key topics include coordination between fiscal and monetary policies, the concept of conflicts and synergy, and various other economic concepts. The document also addresses scenarios and cases of the effects and coordination of monetary and fiscal policies related (especially) to Indonesia and global contexts based on the discussions and analyses.
Full Transcript
Logo Universitas Koordinasi Kebijakan Pertemuan ke-10 1. Mahasiswa memahami keterkaitan antar kebijakan dalam Bank Sentral dan kebijakan antara Bank Sentral dengan kebijakan Pemerintah. 2. Mahasiswa mampu memahami peran Bank Sentral dalam mendukung kinerja sektor riil...
Logo Universitas Koordinasi Kebijakan Pertemuan ke-10 1. Mahasiswa memahami keterkaitan antar kebijakan dalam Bank Sentral dan kebijakan antara Bank Sentral dengan kebijakan Pemerintah. 2. Mahasiswa mampu memahami peran Bank Sentral dalam mendukung kinerja sektor riil Tujuan melalui bauran kebijakan nasional, antara lain melalui koordinasi kebijakan dalam Pembelajaran pengendalian inflasi. 3. Mahasiswa mampu memahami peran Bank Sentral dalam protokol manajemen krisis. 4. Mahasiswa mampu memahami peran bank sentral dalam kerja sama global dalam menjaga daya tahan ekonomi nasional. OUTLINE PEMBELAJARAN 01 02 03 Pendahuluan Konflik Kebijakan Fiskal Tinjauan Konseptual dan Moneter: Kurva dan Teoretikal Phillips Koordinasi Kebijakan 04 05 Implementasi Koordinasi Kebijakan di Kebijakan di Sejumlah Indonesia dan Koordinasi Negara Kebijakan Internasional 1 PENDAHULUAN Koordinasi kebijakan bank sentral dengan kebijakan fiskal dan reformasi struktural untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi dan inklusif, sembari menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Kebijakan Bank Sentral Reformasi Struktural Kebijakan Fiskal Menjaga stabilitas harga Mencapai pertumbuhan Menjaga stabilitas dan mendukung tinggi melalui makroekonomi melalui stabilitas sistem peningkatan defisit fiskal dan utang keuangan produktivitas modal, publik yang kredibel. Bauran suku bunga, nilai tenaga kerja, dan Kebijakan perpajakan tukar, pengelolaan arus teknologi. dan alokasi pengeluaran modal, dan kebijakan Reformasi di bidang produktif untuk stimulus makroprudensial infrastruktur, iklim pertumbuhan yang tinggi investasi, perdagangan dan inklusif. dan sektor tenaga kerja. Sumber: Juhro (2020) Tantangan dari Domestik dan Eksternal Terkait Implementasi ITF Fleksibel (Juhro dan Goeltom, 2015): Ekonomi Indonesia bergantung pada komoditas sehingga menghadapi gejolak inflasi dari volatilitas harga pangan dan ketidakseimbangan neraca pembayaran koordinasi kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal dan reformasi struktural. Sistem keuangan masih didominasi perbankan dengan pasar keuangan yang belum maju sehingga terdapat akselerasi siklus keuangan mitigasi prosiklisitas dan risiko sistemik melalui kebijakan makroprudensial [Pertemuan ke-9] Ekonomi Indonesia relatif kecil dengan sistem neraca modal yang sangat terbuka kebijakan MAM diperlukan untuk menghindari ketidakseimbangan ekonomi [Pertemuan ke-9] Pendahuluan Adanya peningkatan independensi bank sentral terhadap berbagai aktivitas fiskal di era modern (Laurenz & De La Piedra, 1998). – Sebelumnya, bank sentral sering dijumpai mendanai defisit fiskal. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia adalah anggota Dewan Moneter yang dipimpin oleh Menteri Keuangan. – Timbul masalah lemahnya sistem pengendalian internal dan otoritas moneter seringkali membiayai defisit anggaran pemerintah. Pendahuluan Kebijakan fiskal dan moneter memiliki tujuan serta instrumen kebijakan yang berbeda sehingga rawan konflik. – Fiskal mendorong output. – Moneter stabilitas harga. Interaksi kebijakan fiskal dan moneter yang tepat dapat digunakan sebagai stabilisator perekonomian. KONFLIK KEBIJAKAN FISKAL 2 DAN MONETER: KURVA PHILLIPS Konflik Kebijakan Fiskal dan Moneter: Kurva Phillips Dua target dari kebijakan ekonomi adalah laju inflasi dan tingkat pengangguran yang rendah, akan tetapi seringkali muncul konflik (Mankiw, 2016). Secara matematis, 𝝅 = 𝑬𝝅 − 𝜷 𝒖 − 𝒖𝒏 + 𝒗 𝜋 : Inflasi 𝐸𝜋 : Ekspektasi inflasi 𝛽 : Parameter inflasi terhadap pengangguran siklis (𝑢 − 𝑢𝑛 ) : Pengangguran siklis 𝑣 : Supply shocks Konflik Kebijakan Fiskal dan Moneter: Kurva Phillips Kurva Phillips menunjukkan hubungan terbalik antara laju inflasi dan tingkat pengangguran. Otoritas fiskal ingin menekan angka pengangguran sedangkan otoritas moneter ingin menekan laju inflasi. Sumber: Blanchard (2017) Model IS-LM Otoritas fiskal menggunakan instrumen pajak dan belanja pemerintah untuk menggerakkan kurva IS. Otoritas moneter menggunakan instrumen tingkat suku bunga untuk menggerakkan kurva LM. Sumber: Blanchard (2017) Model IS-LM Kombinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter Pergerakan Pergerakan LM Pergerakan Pergerakan Suku IS Output Bunga Penambahan Pajak Kiri - Turun Turun Pengurangan Pajak Kanan - Naik Naik Penambahan Belanja Kanan - Naik Naik Pengurangan Belanja Kiri - Turun Turun Penambahan JUB - Bawah Naik Turun Pengurangan JUB - Naik Turun Naik Sumber: Blanchard (2017) TINJAUAN KONSEPTUAL DAN 3 TEORETIKAL KOORDINASI KEBIJAKAN Jenis Koordinasi Kebijakan Blinder (1982) menyebutkan ada sejumlah alternatif koordinasi kebijakan fiskal dan moneter: 1. Single, Unified Policy Maker: adanya institusi tunggal yang mengatur kebijakan fiskal dan moneter. 2. Two Uncoordinated Policy Makers: otoritas fiskal dan moneter mengambil kebijakan secara independen. 3. Leader-follower Arrangements: adanya institusi (follower) yang menetapkan kebijakan berdasarkan kebijakan institusi (leader) yang mendahuluinya. 4. One-Party Follows a Non-Reactive Rule: institusi (leader) tidak bersikap reaktif terhadap kebijakan dari institusi lain (follower). Tahapan Koordinasi Kebijakan Bentuk koordinasi kebijakan bergantung pada karakteristik ekonomi seperti kedalaman pasar keuangan dan rezim kurs mata uang (Laurenz dan De La Piedra, 1998). 1. Tidak ada pasar lokal untuk utang pemerintah: bank sentral cenderung mendanai defisit fiskal sehingga perlu adanya aturan formal untuk mengurangi pendanaan defisit dari bank sentral. 2. Tidak ada pasar sekunder untuk sekuritas: suku bunga dapat dikontrol oleh bank sentral sehingga biaya dari hutang pemerintah dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral. Tahapan Koordinasi Kebijakan 3. Pasar keuangan domestik mulai berkembang: determinasi suku bunga mulai fleksibel dan bank sentral mulai mengatur likuiditas secara menyeluruh. Dalam perkembangan ini, monitoring pasar keuangan penting untuk menjadi patokan bank sentral dalam intervensi kebijakan. 4. Pasar keuangan domestik maju: determinasi suku bunga sangat fleksibel dan pasar keuangan sangat sensitif terhadap kebijakan moneter. Sehingga, diperlukan adanya independensi bank sentral dan perlu adanya aturan terkait koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter. Kebijakan Moneter dan Manajemen Utang Pemerintah Interaksi fiskal dan moneter sangat erat kaitannya dengan defisit anggaran dan manajemen kebijakan moneter (Laurenz dan De La Piedra, 1998). Jika dimodelkan, 𝑫 𝒕 = 𝑩 𝒕 − 𝑩 𝒕 − 𝟏 + [𝑴 𝒕 − 𝑴 𝒕 − 𝟏 ] 𝐷 𝑡 : defisit anggaran pemerintah 𝐵 𝑡 − 𝐵 𝑡 − 1 : selisih penempatan obligasi (luar negeri dan domestik) 𝑀 𝑡 − 𝑀 𝑡 − 1 : perubahan uang inti (monetary base) akibat penyaluran kredit dari bank sentral ke pemerintah Kebijakan Moneter dan Manajemen Utang Pemerintah Dampak kebijakan moneter terhadap manajemen utang pemerintah: 1. Stance Kebijakan Moneter menyebabkan perubahan suku bunga mempengaruhi biaya finansial (pembayaran return) obligasi pemerintah. 2. Instrumen Kebijakan Moneter: otoritas moneter dapat mengurangi biaya utang pemerintah melalui kebijakan operasi pasar terbuka dan aturan giro wajib minimum. Kebijakan Moneter dan Manajemen Utang Pemerintah Dampak manajemen utang pemerintah terhadap kebijakan moneter: 1. Keberlanjutan fiskal yang buruk dapat meningkatkan tingkat suku bunga, 2. Kepemilikan surat berharga pemerintah meningkatkan permintaan uang dan surat berharga pemerintah yang liquid bisa menjadi substitusi uang. Namun, keberlanjutan fiskal yang buruk meningkatkan ekpektasi inflasi dan menurunkan permintaan uang. 3. Perkembangan pasar keuangan domestik melalui surat berharga pemerintah. Fiscal Theory of Price Level Dikembangkan oleh Leeper (1991), Sims (1994), Woodford (1994, 1995). Kendala anggaran otoritas fiskal pada periode 𝑡: Kendala anggaran otoritas moneter pada periode 𝑡: dimana 𝑅𝐶𝐵𝑡 surplus yang diperoleh oleh bank sentral dan ditransfer ke otoritas fiskal dalam periode 𝑡. Fiscal Theory of Price Level Kendala anggaran konsolidasi: Jika 𝐵𝑡𝑇 − 𝐵𝑡𝑀 adalah utang pemerintah yang dipegang oleh swasta, maka kendala anggaran tersebut bisa ditulis sebagai berikut: Kebijakan dikatakan aktif jika semua instrumenbisa dipilih secara bebas, tanpa mempedulikan kendala anggaran. Fiscal Theory of Price Level Present-value consolidated government budget constraint (GBC): Intuisi: Present-value consolidated GBC menunjukkan bahwa penyesuaian fiskal dan kebijakan penciptaan uang dapat digunakan untuk membayar utang pemerintah. Tetapi penciptaan uang biasanya memicu inflasi—penambahan jumlah uang beredar menyebabkan nilai setiap unit uang turun. Fiscal Theory of Price Level Dalam mempertimbangkan interaksi dinamis (mis., selama beberapa periode) antara kebijakan fiskal dan moneter, kasus yang paling relevan biasanya ketika otoritas fiskal aktif (atau menjadi “leader"). Definisi: – Ricardian fiscal policy: otoritas fiskal menetapkan kebijakan pajak dan pengeluaran yang direncanakan untuk memastikan bahwa present-value consolidated GBC seimbang. – Non-Ricardian fiscal policy: otoritas fiskal menetapkan urutan kebijakan pajak dan pengeluaran yang direncanakan tanpa memperhatikan apakah present-value consolidated GBC seimbang. Fiscal Theory of Price Level Fiscal Theory of Price Level (FTPL) dideskripsikan sebagai aturan kebijakan fiskal dan moneter di mana tingkat harga dipengaruhi oleh utang pemerintah dan kebijakan fiskal sedangkan kebijakan moneter berpengaruh secara tidak langsung (Bassetto, 2008). Dalam model FTPL, bank sentral memang mampu mempengaruhi rata-rata laju inflasi, tetapi tidak mampu mengontrol variansi dari inflasi karena tidak mampu menghilangkan shocks dari kebijakan fiskal (Christiano dan Fitzgerald, 2000). Fiscal Theory of Price Level Fiscal Theory of Inflation (FTI): saat otoritas fiskal berperilaku non- Ricardian dan otoritas moneter mencetak uang (seignorage revenue) dan bereaksi pasif terhadap present-value dari fungsi Government Budget Constraint (GBC) maka yang terjadi adalah inflasi dalam jangka panjang. Fiscal Theory of Price Level (FTPL): saat otoritas fiskal berperilaku non- Ricardian dan jika otoritas moneter tidak berupaya mencetak uang, maka perubahan harga hanya terjadi di periode 𝑡, atau kenaikan harga hanya sementara. Fiscal Theory of Price Level Apakah pemerintah berupaya untuk memastikan keseimbangan anggaran jangka panjang? Jika tidak, maka konsep FTI dan FTPL sangat penting. – FTI: efek dari inflationary finance panjang dan berkelanjutan. – FTPL: efek dari inflationary finance singkat tetapi kenaikannya tajam. Secara empiris, FTPL jarang ditemui di negara maju melainkan di negara berkembang. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 4 DI SEJUMLAH NEGARA Implementasi Kebijakan Di Sejumlah Negara European Central Bank (ECB): koordinasi kebijakan antara fiskal dan moneter harus didasarkan atas independensi institusi sebagaimana mandat Maastricht treaty (Jazbec dan Banerjee, 2017). Tantangan di era pasca krisis: menurunnya efektivitas kebijakan moneter dan ruang fiskal yang sempit. Kerangka Teoritis AD-AS (Demid, 2018) Asumsikan bahwa kebijakan fiskal merespon pada output gap, 𝑔 = 𝛿 𝑦 − 𝑦 dan kebijakan moneter mengikuti Taylor rule, Kurva IS dan LM dapat digambarkan dengan persamaan berikut: IS : 𝑦 − 𝑦 = −𝜃 𝑟 − 𝑟 𝑛 + 𝛿 𝑦 − 𝑦 + 𝑢𝑑 , dimana −1 < 𝛿 < 1 LM : 𝑟 − 𝑟 𝑛 = 𝛽 𝜋 − 𝜋 + 𝛼(𝑦 − 𝑦) dimana 𝑟 𝑛 adalah natural rate of interest, 𝑦 − 𝑦 adalah output gap, 𝑔 adalah pengeluaran pemerintah, 𝑢𝑑 adalah demand shock, dan 𝑟 adalah suku bunga riil. Matriks Implikasi Pro/counter Cyclicality (Demid, 2018) 32 Siklikalitas Kebijakan Fiskal dan Moneter (Demid, 2018) Negara maju cenderung memiliki tingkat koordinasi yang baik. Sedangkan negara berkembang cenderung memiliki konflik kebijakan. Siklikalitas Kebijakan Fiskal dan Moneter (Demid, 2018) Pre-inflation targeting Post-inflation targeting Model dengan Strategic Interactions (Demid, 2018) Otoritas moneter dan fiskal memiliki preferensi kebijakan berdasarkan loss function yang berbeda. Bank sentral meminimalkan loss function-nya, 𝐿𝑀 = 𝜋 2 + 𝜆𝑦 2 + 𝜇 𝑀 (𝑔 − 𝑔𝑀 )2 dimana 𝑔𝑀 adalah belanja pemerintah optimal, 𝜋 adalah inflasi, dan 𝑦 adalah output. Sedangkan otoritas fiskal meminimalkan loss function-nya, 𝐿𝐹 = (𝑦 − 𝑦 𝐹 )2 + 𝜇 𝐹 (𝑔 − 𝑔𝐹 )2 Ada 3 perbedaan mendasar kedua fungsi: 1) otoritas fiskal tidak peduli dengan inflasi; 2) otoritas fiskal ingin output di atas output equilibrium; 3) otoritas fiskal ingin belanja pemerintah yang tinggi. Model dengan Strategic Interactions (Demid, 2018) Dengan loss function kedua otoritas, jika keduanya tidak bekerjasama, maka hasil dari Nash equilibrium adalah nilai tingkat suku bunga yang tinggi dan defisit fiskal yang tinggi. Hasil Kajian Koordinasi Kebijakan oleh Demid (2018) 1. Negara maju, dan negara-negara berkembang dengan lingkungan kelembagaan yang lebih kuat, cenderung memiliki kebijakan fiskal dan moneter countercyclical yang lebih kuat. 2. Sebagian besar negara-negara berpenghasilan rendah memiliki independensi bank sentral yang lemah, dan mereka cenderung berperilaku kebijakan moneter dan fiskal prosiklikal. 3. Negara dengan IT framework meningkatkan koordinasi kebijakan, sementara sebagian besar negara dengan monetary targeting mengalami konflik kebijakan. 4. Negara-negara yang telah menargetkan inflasi secara signifikan meningkatkan struktur kelembagaan mereka dan meningkat untuk mencapai kredibilitas, yang merupakan pusat dalam rezim penargetan inflasi. Studi Kasus COVID-19: Koordinasi Kebijakan Moneter-Fiskal Negara-negara di dunia mengeluarkan banyak paket stimulus yang terkoordinasi untuk menghadapi dampak negatif wabah COVID-19 terhadap perekonomian mereka. Sumber: https://blogs.imf.org/2020/04/15/fiscal-policies-to-contain-the-damage-from- Studi Kasus COVID-19: Koordinasi Kebijakan Moneter-Fiskal Barwell dkk. (2020) mengatakan bahwa ada 3 isu yang dihadapi oleh otoritas moneter: 1. apa yang bisa dilakukan dalam konteks kebijakan moneter konvensional, 2. apa yang dapat dilakukan dalam ruang koordinasi moneter-fiskal, dan 3. apa yang harus dilakukan setelah krisis berakhir. Kebijakan moneter konvensional saja kemungkinan tidak cukup untuk menstimulus perekonomian (Baldwin dan di Mauro, 2020). Dalam suatu krisis, koordinasi yang lebih besar antara otoritas moneter dan fiskal dapat dibenarkan dengan Bank mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menciptakan ruang fiskal yang lebih besar (Barwell dkk., 2020). Studi Kasus COVID-19: Koordinasi Kebijakan Moneter-Fiskal Bank sentral bisa melakukan monetary financing: “By committing to purchase government bonds in the magnitude issued, under strict conditions and only for a limited period, a central bank can support proper market functioning and prevent an unwarranted tightening in financial conditions.” (Barwell dkk., 2020) Kebijakan ini bukan helicopter drop (yang sifatnya permanen). QE di pasar primer memungkinkan pemerintah untuk menghindari pembiayaan ekspansi fiskal dengan utang jangka pendek dalam jumlah besar dan dengan bunga yang tinggi (Miles, 2020). Exit strategy dari kebijakan tidak konvensional yang diambil selama krisis: bank sentral harus kembali fokus ke stabilitas moneter dan keuangan. KOORDINASI KEBIJAKAN DI 5 INDONESIA DAN KOORDINASI KEBIJAKAN INTERNASIONAL Koordinasi Kebijakan di Indonesia dan Koordinasi Kebijakan Internasional Indonesia telah menerapkan beberapa koordinasi kebijakan antara bank sentral dan lembaga-lembaga lain, baik di dalam maupun di luar negeri: 1. Koordinasi pengendalian inflasi 2. Koordinasi pengembangan sektor riil 3. Koordinasi stabilitas sistem keuangan 4. Koordinasi Makro-Mikroprudensial 5. Koordinasi pendorongan reformasi struktural 6. Koordinasi kebijakan moneter internasional 1. Koordinasi Pengendalian Inflasi Secara teknis, koordinasi Bank Indonesia dan pemerintah untuk mengendalikan inflasi diwujudkan oleh Tim Pengendali Inflasi (TPI) yang dibentuk pada 2005. Untuk menjangkau daerah, dibentuklah Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) pada 2008 yang beranggotakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia serta beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). 1. Koordinasi Pengendalian Inflasi Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri RI No.027/1696/SJ Tentang Menjaga Keterjangkauan Barang dan Jasa di Daerah, susunan kepengurusan TPI adalah sebagai berikut: 1. Pengarah: Kepala Daerah 2. Ketua: Sekretaris Daerah 3. Wakil Ketua: Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia 4. Sekretaris: Asisten Sekretariat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang membidangi ekonomi 5. Anggota: Kepala SKPD yang membidangi urusan pertanian; Kepala SKPD yang membidangi urusan perhubungan; Kepala SKPD yang membidangi urusan perdagangan dan perindustrian; Unsur pemangku kepentingan lainnya Sinergi Kebijakan untuk Mengendalikan Inflasi Inflasi impor Bank Indonesia dan Pemerintah Nilai tukar rupiah Bank Indonesia Permintaan Output gap Inflasi inti Pemerintah dan Penawaran PEMDA BI, Pemerintah, dan Ekspektasi inflasi PEMDA Pemerintah, PEMDA, Inflasi administered dan Dept. Teknis price Bank Indonesia dan Inflasi volatile food Inflasi IHK Pemerintah Sumber: Bank Indonesia (2014) Secara umum, inflasi daerah cukup terkendali. Lampung merupakan daerah dengan inflasi tertinggi dengan 3,8 persen (y-o-y) sedangkan Kalimantan Utara merupakan yang terendah dengan 0,2 persen (y-o-y) pada Februari 2020. 47 2. Koordinasi Pengembangan Sektor Riil Tujuan: kestabilan harga melalui beberapa pendekatan seperti perbaikan sisi penawaran ekonomi ataupun peningkatan daya saing UMKM (Juhro, 2019). Sektor riil, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menyumbang lebih dari 99 persen total pelaku usaha dan lebih dari 60 persen PDB nasional. – 60%-70% pelaku UMKM tidak mampu mengakses pendanaan perbankan. 3. Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan UU No. 9 Tahun 2016 mengatur Pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan: (1) Menteri Keuangan (koordinator), (2) Gubernur Bank Indonesia, (3) Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan (4) Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan. Tugas KSSK: 1. koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan; 2. penanganan krisis sistem keuangan; dan 3. melakukan penanganan permasalahan Bank Sistemik. 3. Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan UU No. 9 Tahun 2016 melahirkan Protokol Manajemen Krisis (PMK) PMK mencakup upaya pencegahan krisis dan penanganan krisis. PMK sendiri terdiri dari 9 sub-protokol. Kementerian Otoritas Jasa Lembaga Penjamin Bank Indonesia Keuangan Keuangan Simpanan 1. Fiskal 3. Moneter nilai tukar 6. Perbankan 9. Penjamin Simpanan 2. Pasar SBN 4. makroprudensial 7. Pasar saham 5. Sistem pembayaran 8. IKNB 3. Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan Secara tradisional Financial System Safety Net (SFN) terdiri dari bank sentral, supervisor bank, kementerian keuangan, serta penjamin simpanan seperti kasus di Indonesia. GFC 2008 menyebabkan perlu adanya peranan dari lembaga non-SFN seperti badan legislatif, komisioner sekuritas, agen perumahan, ataupun asuransi (Singh dan LaBrosse, 2012). – Lembaga non-SFN juga memiliki peranan dalam stabilitas sistem keuangan. Perlunya ada peranan dari lembaga non-SFN seperti badan legislatif, komisioner sekuritas, agen perumahan, ataupun asuransi (Singh dan LaBrosse, 2012) Studi Kasus Kerangka Manajemen Krisis Keuangan di Sejumlah Negara dalam GFC 2008 (Singh dan Labrosse, 2012) Kebijakan Berbasis Rules vs Discretion Menurut Handa (2009), bank sentral seringkali menghadapi dilemma untuk menerapkan kebijakan berbasis aturan (rules) atau diskresi (discretion). – Kebijakan berbasis aturan merupakan upaya bank sentral agar menjaga kredibilitas serta independensi bank sentral dan menghindari time- inconsistency problem. Diskresi merupakan kebijakan yang dilakukan dengan memperhitungkan penyesuaian secara bertahap sesuai dengan konteks ekonomi. – Seringnya, bank sentral menerapkan kebijakan berdasarkan rules. – Apakah mengambil kebijakan diskresi seperti quantitative easing dapat dibenarkan? Kebijakan Berbasis Rules vs Discretion Menurut Handa (2009), bank sentral berusaha memaksimalkan utilitas kebijakan dengan konstrain yang ada. Secara matematis, 𝑼 = 𝑼 𝒙𝟏 , 𝒙𝟐 , 𝝅𝟏 , 𝝅𝟐 subject to 𝒙𝟐 = 𝒙𝟐 𝒙𝟏 , 𝝅𝟏 , 𝝅𝟐 dan 𝒙𝟏 = 𝒙𝟏 dimana: 𝑈: fungsi preferensi bank sentral dalam mengambil kebijakan 𝑥𝑡 : respon agen ekonomi pada periode 𝑡 𝜋𝑡 : variabel kebijakan pada periode 𝑡 𝑥1 adalah given sedangkan nilai 𝑥 dan 𝜋 pada 𝑡 = 2 tidak diketahui atau mengalami perubahan konteks ekonomi (myopic one-period)—maka membenarkan berlakunya kebijakan diskresi agar output pada 𝑡 = 2 dapat dioptimalkan. Studi Kasus GFC: Model New Keynesian dan QE Monetary policy rule yang paling banyak digunakan oleh bank sentral di seluruh dunia adalah Taylor rule. Rule ini lazim digunakan di model-model New Keynesian dan cukup baik menjelaskan perilaku data (Williamson, 2018). Berdasarkan Rudebusch (2009), Williamson mengestimasi Taylor rule menggunakan data period 1988-2007 dan mendapatkan hasil sebagai berikut 𝑅 = 2.0 + 1.2𝑖 − 1.5 𝑔𝑎𝑝, dimana 𝑅 adalah Fed Funds rate (FFR) aktual, 𝑖 adalah tingkat inflasi, dan 𝑔𝑎𝑝 adalah output gap. Persamaan tersebut kemudian digunakan untuk mendapatkan predicted FFR untuk periode 2008 sampai 2016Q1. Studi Kasus GFC: Model New Keynesian dan QE “The FFR should have been negative from first quarter 2009 to first quarter 2011. But the federal funds rate cannot be negative, so if the Fed could somehow ease policy in another way, that would be appropriate, according to this argument.” (Williamson, 2018) Studi Kasus GFC: Private Capital Flow to Asia (Cho dan Rhee, 2013) The Fed melakukan QE sebanyak 3 kali. Dampak dari adanya QE adalah capital flow ke emerging markets sehingga meningkatkan indeks saham dan pertumbuhan ekonomi negara tersebut. G2 = Hong Kong, China and Singapore; hubs = PRC and Japan. Note: Ratios are weighted averages of the GDP ratios for individual countries. 4. Koordinasi Makro dan Mikroprudensial UU No. 21 Tahun 2011: pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengambil alih fungsi pengawasan sektor perbankan dari Bank Indonesia. Koordinasi dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dari resiko sistemik. Koordinasi Makroprudensial (BI) dan Mikroprudensial (OJK) diwujudkan dalam Forum Koordinasi Makroprudensial-Mikroprudensial (FKMM). 5. Koordinasi Pendorongan Reformasi Struktural Tujuan: meningkatkan produktivitas melalui penekanan beberapa aspek seperti kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur yang dibersamai oleh stabilitas makroekonomi. – Reformasi struktural cenderung berdimensi sisi penawaran yang sifatnya jangka panjang (Juhro, 2019). Prioritas sektor terkait reformasi struktural (IMF, 2015): 1) pasar tenaga kerja; 2) investasi publik dan infrastruktur; 3) reformasi struktural fiskal; 4) manajemen SDA dan reformasi subsidi energi; 5) liberalisasi perdagangan. 6. Koordinasi Kebijakan Moneter Internasional Urgensi adanya koordinasi kebijakan moneter internasional (Italian dkk., 2018): – Tantangan jangka pendek: likuiditas yang terlampau melimpah dan suku bunga sudah terlalu rendah; kebijakan moneter ekspansif sangat dipengaruhi developed world. – Tantangan jangka panjang: melemahnya relasi kebijakan moneter dan inflasi; kebijakan yang tidak konvesional yang mengancam kredibilitas bank sentral; relevansi independensi bank sentral kian dipertanyakan; transmisi yang kian rumit pada stabilitas moneter dan finansial. Kebijakan moneter negara besar, seperti Amerika Serikat, dinilai memiliki spillovers effect ke negara kecil sehingga perlu dilakukan koordinasi (Engel, 2016). 6. Koordinasi Kebijakan Moneter Internasional Tanpa adanya koordinasi, sejumlah negara berpotensi melakukan currency war dengan melakukan devaluasi mata uang untuk meningkatkan ekspor (Taylor, 2013a). Italian dkk. (2018) mengusulkan adanya forum multilateral permanen untuk bank sentral melalui Bank International Settlement (BIS) inisiasi Global Monetary Policy Coordination Meetings (GMPCM). 6. Koordinasi Kebijakan Moneter Internasional Apakah secara empiris kebijakan non-kooperatif lebih mendatangkan banyak spillovers dibandingkan kebijakan kooperatif? (Engel, 2016). – Di satu sisi, kebijakan kooperatif dinilai mampu menyebarkan dampak dari adanya idiosyncratic shocks. – Di sisi lain, dampak spillovers dari kebijakan kooperatif dan non- kooperatif dinilai hampir sama. Studi Kasus Koordinasi Kebijakan Menghadapi GFC dan Covid-19 Koordinasi antara bank sentral sebelumnya pernah terjadi seperti upaya G-7 memperlambat laju apresiasi mata uang Yen pada Maret 2011 dan upaya sejumlah bank sentral untuk menurunkan tingkat suku bunga pada GFC 2008. Sejumlah bank sentral seperti the Federal Reserve, Bank of Canada, ataupun Bank of England sepakat untuk berkoordinasi meningkatkan penyediaan likuditas melalui standing U.S. dollar liquidity swap line arrangements. – Sepakat menurunkan harga standing U.S. dollar liquidity swap line arrangements sebesar 25 basis poin. – Untuk meningkatkan efektivitas, mereka juga menawarkan US Dollar mingguan dengan masa jatuh tempo 84 hari—sebelumnya masa jatuh tempo hanya 1 minggu. Studi Kasus Koordinasi Kebijakan Menghadapi GFC dan Covid-19 Press release dari Bank Indonesia pada 9 April 2020 menyebutkan, 1. Ada tendensi Rupiah akan menguat di akhir tahun karena saat ini nilainya undervalued. 2. Adanya peningkatan cadangan devisa sebagai dampak penerbitan global bonds oleh pemerintah untuk menghadapi pandemi. 3. Skema kerjasama dengan The Fed terkait Repurchase Agreemenet Line senilai 60 milyar USD siap diaktifkan untuk meningkatkan likuiditas US Dollar—jika situasi mendesak. 4. Inflasi (y-o-y) pada April 2020 diperkirakan sebesar 2,8 persen atau masih dalam kendali. Bank Indonesia, Kemenko Perekonomian, dan Kemendagri. (2014). Buku Petunjuk Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Bank Indonesia. (2020, April 9). Perkembangan Terkini Perekonomian dan Langkah BI dalam Hadapi COVID-19. Retrieved from https://www.bi.go.id/en/ruang- media/info-terbaru/Pages/Perkembangan-Terkini-Perekonomian-dan- Langkah-BI-dalam-Hadapi-COVID-19-09042020.aspx Baldwin, R and B Weder di Mauro (2020), Mitigating the COVID economic crisis: Act fast and do whatever it takes, a VoxEU.org eBook, CEPR Press. DAFTAR Barwell, R, J S Chadha and M Grady (2020), "Monetary policy in troubled times: New governor, new agenda", NIESR Occasional Paper No. 59. PUSTAKA Bassetto, M. (2008). Fiscal theory of the price level. The New Palgrave Dictionary of Economics. Blanchard, O., Amighini, A., & Giavazzi, F. (2017). Macroeconomics. Pearson Higher Ed. Blinder, A. S. (1982). Issues in the coordination of monetary and fiscal policy. Bloomberg. (2020, February 28). A Brief History of Central Bank Coordination as Debate Heats Up. Retrieved from https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-02-28/a-brief-history-of- central-bank-coordination-as-debate-heats-up Cho, D., & Rhee, C. (2013). Effects of quantitative easing on asia: capital flows and financial markets. Asian Development Bank Economics Working Paper Series, (350). Christiano, L. J., & Fitzgerald, T. J. (2000). Understanding the fiscal theory of the price level (No. w7668). National bureau of economic research. Chugh, S. K. (2015). Modern macroeconomics. MIT Press. Devereux, M. B., & Mansoorian, A. (1992). International fiscal policy coordination and economic growth. International Economic Review, 249-268. DAFTAR Demid, E. (2018). Fiscal and Monetary Policy: Coordination or Conflict?. International Economic Journal, 32(4), 547-571. PUSTAKA Engel, C. (2016). International coordination of central bank policy. Journal of International Money and Finance, 67, 13-24. Handa, J. (2003). Monetary economics. Routledge. IMF. (2015). Structural Reforms and Macroeconomic Performance: Initial Considerations for the Fund. IMF Staff Report. Retrieved from http://www.imf.org/external/pp/ppindex.aspx Italian, F. B., Serrate, J. S., & Villafranca, A. (2018). An International Financial Architecture For Stability and Development. Retrieved from https://www.g20-insights.org/wp-content/uploads/2018/07/TF-9-T20- Global-Monetary-Coordination-Meetings-3.pdf Jazbec, B., & Banerjee, B. (2017). Rethinking Monetary-Fiscal Policy Coordination. Juhro, Solikin M. (2020), forthcoming. Laurens, B., & De La Piedra, E. (1998). Coordination of monetary and fiscal policies. IMF Working Paper Leeper, E. (1991). Equilibria under ‘active’ and ‘passive’ monetary policies. Journal of Monetary Economics, 27(1), 129-147. Mankiw, N. G. (2016). Macroeconomics. Ninth Edition. Miles, D. (2020). QE is not helicopter money—and yet it is useful, Retrieved from DAFTAR https://voxeu.org/article/qe-not-helicopter-money-and-yet-it-useful Minford, P., & Fan, J. (2010, February 19). A fiscal theory of the price level. PUSTAKA Retrieved from https://voxeu.org/article/fiscal-theory-price-level Taylor, J. B. (2013a). International monetary coordination and the great deviation, Paper prepared for the Session on International Policy Coordination. In American Economic Association Annual Meetings, San Diego, California, January. Taylor, J. B. (2013b). International monetary policy coordination: past, present and future. The Federal Reserve. (2020, March 15). Coordinated Central Bank Action to Enhance the Provision of U.S. Dollar Liquidity. Retrieved from https://www.federalreserve.gov/newsevents/pressreleases/monetary20200 315c.htm Sims, C. A. (1994). A simple model for study of the determination of the price level and the interaction of monetary and fiscal policy. Economic Theory, 4(3), 381-399. Singh, D., & LaBrosse, J. R. (2011). Developing a framework for effective financial crisis management. Financial Market Trends, 2011(2). DAFTAR Williamson, S. D. (2018). Macroeconomics. Pearson Education Limited. Woodford, M. (1994). Monetary policy and price level determinacy in a cash-in- PUSTAKA advance economy. Economic Theory 4(3), 345-380. Woodford, M. (1995). Price level determinacy without control of a monetary aggregate. Carnegie-Rochester Conference Series on Public Policy, 43, 1-6. UU No 21. Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). UU No 9. Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis SIstem Keuangan