Modul Neuro-Otologi Edisi III 2022 PDF

Document Details

SuccessfulMiami

Uploaded by SuccessfulMiami

null

2022

Tim Penyusun

Tags

neuro-otology hearing disorders medical education otolaryngology

Summary

This module, Neuro-Otologi, is a comprehensive guide for medical professionals covering various hearing-related disorders. It details the anatomy, physiology, and diagnosis of different types of hearing loss, emphasizing the treatment and management of these conditions. It's designed for education of specialists.

Full Transcript

MODUL NEURO-OTOLOGI EDISI III KOLEGIUM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER 2022 Tim Penyusun 1. Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 2. Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin, S...

MODUL NEURO-OTOLOGI EDISI III KOLEGIUM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER 2022 Tim Penyusun 1. Prof. Dr. dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 2. Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 3. Prof. Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 4. Dr. dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 5. Dr. dr. Muyassaroh, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K)., MSi.Med 6. Dr. dr. Nyilo Purnami, Sp.T.H.T.B.K.L.,Subsp.K.(K), FICS, FISCM 7. Dr. dr. Ora Et Labora Imannuel Palandeng, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 8. Dr. dr. Siti Faisa Abiratno, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K), M.Sc. AudVestib Med 9. Dr. dr. Wijana, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 10. dr. Respati W Ranakusuma, Sp.T.H.T.B.K.L, PhD 11. dr. Adlin Adnan, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 12. dr. Ashadi Prasetyo, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 13. dr. Brastho Bramantyo, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 14. dr. Dyah Indrasworo, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 15. dr. Haris Mayagung Ekorini, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 16. dr. I Made Wiranadha, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 17. dr. Novi Primadewi, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K), M.Kes 18. dr. Rossy Rosalinda, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K)., FICS 19. dr. Rully Ferdiansyah, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 20. dr. Trining Dyah, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K), M.Kes 21. dr. Widayat Alviandi, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K) 22. dr. Eka Dian Safitri, Sp.T.H.T.B.K.L 23. dr. M. Arief Purnanta, Sp.T.H.T.B.K.L., M.Sc 24. dr. Yupitri Pitoyo, Sp.T.H.T.B.K.L KATA PENGANTAR Assalammu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulillahirobbil ‘alamin, saya panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt yang senantiasa melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusun Buku Modul Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (IK THTBKL) edisi ketiga ini. Modul ini disusun untuk memenuhi kebutuhan peserta pendidikan dokter spesialis THTBKL yang merupakan penyempurnaan edisi kedua, pemenambahan beberapa materi sesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta ketrampilan baru guna meningkatlan mutu proses pendidikan dokter spesialis THTBKL di Indonesia Selaras dengan dimulainya program fellowship serta persiapan pembukaan program pendidikan Subspesialisasi THTBKL, modul Pendidikan dokter spesialis THTBKL ini disusun agar pendidikan spesialis THTBKL terjaga menjadi satu kesatuan yang mendalam antara ketiga program pendidikan tersebut. Selain itu Buku Modul ini dapat menjadi pedoman untuk melaksanakan pendidikan secara terstruktur dan berkualitas, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga proses evaluasi secara berkesinambungan. Hal tersebut bertujuan agar lulusan peserta program studi IK THTBKL mempunyai kompetensi akademik dan kompetensi profesional unggul seiring berkembangnya jaman. Pada era baru ini para lulusan Dokter Spesialis THTBKL diharapkan memiliki kemampuan akademik professional bertaraf internasional, inovatif dan tangguh yang mampu berkiprah secara global sesuai Visi dan Misi Pendidikan Spesialis THTBKL. Semoga dengan terbitnya Buku Modul ketiga ini program pendidikan dokter spesialis THTBKL semakin maju dan menghasilkan pencapaian lulusan yang unggul, kompeten dan berkualitas. Apresiasi kami yang setinggi-tingginya kepada seluruh teman sejawat, Profesor Dokter, atas komitmen, dedikasi, serta pemikiran dan waktu yang telah diberikan terutama dalam suasana pandemi Covid-19. Keterbatasan jarak dan keadaan Pandemi telah membuka peluang pengembangan komunikasi, diskusi dan ujicoba modul ketiga, secara digital (TIK), sehingga kita dapat berkoordinasi, produktif menyelesaikan buku modul Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher edisi ketiga ini. Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya para peserta didik dan semua yang kita lakukan selalu mendapat ridha Allah SWT. Wassalammu’alaikum Wr.Wb. Ketua Umum Kolegium IK THTBKL Indonesia Dr. dr. Trimartani, Sp T.H.T.B.K.L., F.P.R(K)., MARS VI. NEURO-OTOLOGI VI.1 GANGGUAN PENDENGARAN VI.2 GANGGUAN KESEIMBANGAN PERIFER VI.3 GANGGUAN NERVUS FASIALIS PERIFER MODUL UTAMA NEUROTOLOGI MODUL VI.1 GANGGUAN PENDENGARAN EDISI III KOLEGIUM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER 2022 DAFTAR ISI A. WAKTU...................................................................................................................... 1 B. PERSIAPAN SESI....................................................................................................... 1 C. REFERENSI................................................................................................................ 2 D. KOMPETENSI............................................................................................................ 2 E. GAMBARAN UMUM................................................................................................. 5 F. CONTOH KASUS....................................................................................................... 6 G. TUJUAN PEMBELAJARAN..................................................................................... 6 H. METODE PEMBELAJARAN.................................................................................... 7 I. EVALUASI................................................................................................................... 7 J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF......................................... 8 K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR............................... 11 L. DAFTAR TILIK........................................................................................................ 20 M. MATERI PRESENTASI........................................................................................... 29 N. MATERI BAKU........................................................................................................ 31 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran MODUL NO. VI.1 NEUROTOLOGI : GANGGUAN PENDENGARAN A. WAKTU Mengembangkan Kompetensi Alokasi Waktu: Sesi di dalam kelas 35 x 60 menit (classroom session) Sesi praktikum 20 x 60 menit (coaching session) Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 79 x 60 menit (facillitation and assessment) B. PERSIAPAN SESI 1. Materi presentasi : a. Topik Gangguan Dengar (embriologi, anatomi, fisiologi, patofisiologi, etiologi, diagnosis dan tatalaksana) b. Topik Pemeriksaan Subyektif, Obyektif dan Elektrofisiologi pada Gangguan Pendengaran c. Topik Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit/ Kelainan pada Telinga Tengah (Otosklerosis, Timpanosklerosis, Otitis Media Efusi, Gangguan Fungsi Tuba, Dislokasi Tulang Pendengaran, Tumor Glomus, Barotrauma, Kelainan Kongenital) d. Topik Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit/ Kelainan pada Telinga Dalam (Tuli Mendadak, Acute Low Tone Hearing Loss, Meniere Disease, Autoimmune Disease, Noise-Induced Hearing Loss, Presbikusis, Ototoksik, Tuli Kongenital, Labirinitis, Infeksi Spesifik pada Koklea) e. Topik Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit/ Kelainan pada Retrokoklea (Auditory Neuropathy, Vestibular Schwannoma) f. Topik Gangguan Pendengaran Sentral (Tuli Korteks, Central Auditory Processing Disorder, Vestibular Aquaduct Syndrome, Tinnitus dan Hiperakusis) g. Topik Habilitasi dan Rehabilitasi Pendengaran (Konseling, Alat Bantu Dengar, Implan Koklea) Slide 1 : Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Slide 2 : Jenis dan Derajat Gangguan Pendengaran Slide 3 : Etiologi dan Patofisiologi Gangguan Pendengaran Slide 4 : Pemeriksaan Subyektif dan Obyektif Pendengaran 1 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Slide 5 : Pemeriksaan Elektrofisiologi Pendengaran Slide 6 : Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit/ Kelainan pada Telinga Tengah Slide 7 : Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit/ Kelainan pada Telinga Dalam Slide 8 : Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit/ Kelaian pada Retrokoklea Slide 9 : Gangguan Pendengaran Sentral Slide 10 : Habilitasi dan Rehabilitasi Pendengaran 2. Kasus : Tuli Mendadak 3. Sarana dan Alat Bantu Latih : Model anatomi Penala, Audiometer Nada Murni, Audiometri Tutur, Impedance, BERA, OAE Penuntun belajar (learning guide) terlampir Tempat belajar (training setting): poliklinik THT, Ruang pemeriksaan audiologis Komputer / Laptop C. REFERENSI 1. Byron J Bailey : head and Neck Surgery Otolaryngology, J P Lippincot, Philadelphia, 2014 2. Katz J, Chasin M, English K, Hood LJ, Tillery KL. Handbook of Clinical Audiology. Edisi 7. Wolter Kluwer: Philadelphia; 2015. 3. Jackler RK, Brackmann DE. Neurotology. Edisi 2.Elsevier Mosby. United States of America; 2005 4. Lee K.J : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 11th ed, Mac Graw Hill, 2016 5. Efiaty Soepardy, Nurbaiti Iskandar : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Ed 7, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012. 6. Wackym PA, Snow JB. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 18th ed. People’s Medical Publishing USA, 2016. 7. Adam GL, Boies Lr and Higler Peter A. : Fundamentals of Otolaryngology, (Buku Ajar Penyakit THT), Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997. D. KOMPETENSI Mampu memeriksa dan menginterpretasi hasil pemeriksaan pendengaran, serta mendiagnosis dan menatalaksana gangguan pendengaran secara komperhensif. 2 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Kompetensi Kompetensi Kompetensi Kompetensi No Kemampuan klinis Teori Teori Tindakan tindakan PENDENGARAN 1 2 3 4 1 2 3 4 1 Anatomi dan Fisiologi 4 Pendengaran 2 Diagnosis Gangguan 4 Pendengaran 3 Pemeriksaan Subyektif 4 Pendengaran 4 Pemeriksaan Obyektif 4 Pendengaran 5 Pemeriksaan elektrofisiologi 3 Pendengaran Masalah di Telinga Tengah 6 Otosklerosis 4 7 Timpanosklerosis 4 8 Otitis Media Efusi 4 9 Gangguan Fungsi Tuba 4 4 10 Dislokasi tulang 4 pendengaran 11 Tumor Glomus 4 12 Barotrauma 4 4 13 Kelainan kongenital 4 (atresia, mikrotia) Masalah di Telinga Dalam (Koklea) 14 Tuli mendadak 4 4 15 Acute Low Tone Hearing 4 4 Loss 16 Meniere disease 4 4 17 Autoimmune disease 3 18 Noise Induced Hearing 4 4 Loss 19 Presbikusis 4 4 20 Ototoksik 4 4 21 Tuli kongenital 4 22 Barotrauma 4 4 23 Labirinitis 4 4 24 Infeksi spesifik pada 4 koklea (sifilis, HIV, TB) Masalah di Retrokoklea 25 Auditory Neuropathy 4 26 Vestibular Schwannoma/ 4 Neuroma akustik Gangguan Pendengaran Sentral 27 Tuli korteks 4 28 Central Auditory 4 Processing Disorder 29 Vestibular aquaduc 4 syndrom 30 Tinnitus dan hiperakusis 4 Re/Habilitasi Pendengaran 31 Konseling 4 4 3 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Alat Bantu Dengar 32 4 Konvensional Alat Bantu Dengar pada 33 Gangguan konduktif 4 (termasuk BAHA) 34 Implan Koklea 4 NO KETERAMPILAN KLINIS KOMPETENSI MANDIRI 1 2 3 4 1 Tes Suara /Tes Berbisik 5 2 Tes Garputala 5 3 Audiometri nada murni (+ masking) 15 4 Tes SAL (Sensorineural Aquity Level) 5 Audiometri tutur (+ masking) 5 6 Pemeriksaan penentual lokasi lesi (site of lesion): ABLB, SISI, Tone decay 7 Behavioural Observation Audiometry (BOA) 8 Visual Reinvorcement Audiometry (VRA) 9 Play Audiometri 10 Tes Fungsi Persepsi pada anak 11 Timpanometry 5 12 Refleks Akustik 5 13 Refleks Akustik Decay 14 Tes Fungsi Tuba pada MT non perforasi 5 15 Tes Fungsi Tuba pada MT perforasi 16 Pemeriksaan BERA 17 Pemeriksaan ASSR 18 OAE 5 19 Audiometri tutur dalam bising 20 Tes Psikoakustik pada tinnitus Habilitasi dan Rehabilitasi fungsi 21 pendengaran 22 CERA 23 eABR Keterampilan: Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil dalam : 1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi pendengaran 2. Menjelaskan jenis-jenis dan derajat gangguan pendengaran 3. Menjelaskan penyebab berbagai jenis gangguan pendengaran dan patofisiologinya 4. Menjelaskan gejala dan tanda gangguan pendengaran 5. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan penunjang lain yang berhubungan dengan gangguan pendengaran 6. Membuat diagnosis klinis penyebab gangguan pendengaran, jenis dan derajat gangguan pendengaran dan diagnosis bandingnya 7. Menentukan terapi gangguan pendengaran; konservatif, operatif, habilitatif dan rehabilitatif. 8. Menjelaskan dampak sosial gangguan pendengaran 4 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran E. GAMBARAN UMUM Pendengaran merupakan suatu peristiwa psikoakustik yaitu persepsi terhadap rangsang bunyi, sedangkan ketulian adalah menurunnya intensitas pendengaran seseorang dibanding orang normal. Dalam bidang audiologi suatu jenis ketulian masih harus dibedakan antara keulian konduktif, sensorineural, atau campuran. Komunikasi dengan orang sekitar atau masyarakat melalui percakapan adalah sangat vital bagi kehidupan seseorang. Bagaimanapun, akibat dari hilangnya pendengaran akan memperberat masalah dalam hal pengertian percakapan. Gangguan pendengaran pada orang dewasa berhubungan dengan depresi, kebingungan, perhatian yang kurang, ketegangan meningkat, dan negativisme. Ini juga akan mengakibatkan memburuknya kesehatan, berkurangnya mobilitas (berkurangnya aktifitas dan jarang keluar rumah), dan komunikasi interpersonal yang juga menurun. Akibat dari hilangnya pendengaran pada anak lebih buruk. Ditambah akibat dari keterlambatan bicara dan perkembangan bahasa, dan kesulitan belajar akan memperburuk situasi. Gangguan pendengaran pada anak secara signifikan memperlambat perkembangan bicara dan bahasa, tergantung pada beberapa faktor antara lain onset umur, beratnya ketulian, dan usia dari identifikasi dan pengobatan. Audiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk fungsi pendengaran yang erat hubungannya dengan habilitasi dan rehabilitasinya. Rehabilitasi adalah usaha untuk mengembalikan fungsi pendengaran yang pernah dimiliki, sedangkan habilitasi ialah usaha untuk memberikan fungsi yang seharusnya dimiliki. Dewasa ini audiologi telah berkembang dengan pesat karena ditunjang oleh alat-alat canggih, sehingga pemeriksaan lebih tepat, lebih baik dan lebih banyak hal-hal yang dapat diperiksa. Gangguan pendengaran ialah berkurangnya kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Gangguan pendengaran merupakan masalah yang harus kita tangani karena dapat mengakibatkan hambatan dalam berkomunikasi yang menyebabkan seseorang dapat mengalami masalah sosial seperti penurunan prestasi belajar, produktivitas menurun dan berdampak psikologis seperti menarik diri dari pengaulan. Kemampuan untuk mendengar dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari cara yang sederhana hingga pengukuran tepat berstandar tinggi yang memerlukan peralatan khusus. Dengan semakin sering atau menjadi rutinnya pemeriksaan pendengaran di bagian THT-KL, maka semakin besar keahlian yang harus dikembangkan untuk pemeriksaan pendengaran guna aplikasi praktis dan penerapannya. 5 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran F. CONTOH KASUS Seorang laki-laki usia 30 tahun datang dengan pendengaran menurun tiba – tiba dan berbunyi terus menerus pada telinga kanan sejak 2 hari yang lalu. Tidak ada riwayat infeksi, trauma, makan obat ototoksik dan terpajan bising. a. Apa diagnosis saudara ? b. Pemeriksaan yang diperlukan ? c. Bagaimana penatalaksanaannya ? G. TUJUAN PEMBELAJARAN Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mendiagnosis dan menatalaksana gangguan pendengaran yang meliputi : 1. Mengetahui dan memahami anatomi, fisiologi pendengaran (konduksi, transduksi, transmisi, prosesing/sentral). 2. Memahami patofisiologi dan mampu melakukan diagnosis dan tatalaksana gangguan pendengaran akibat kelainan telinga luar, tengah,dalam dan sentral, seperti : a. Atresia liang telinga, mikrotia b. Gangguan fungsi tuba, patolous tuba, otitis media efusi c. Infeksi (OMSK, labirinitis) d. Timpanosklerosis, Otosklerosis e. Proses sentral (Central Auditory Processing Disorder/ CAPD dan tuli korteks) f. Vaskuler (sudden deafness) g. Gangguan pendengaran akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/ NIHL) h. Trauma (diskontinuitas tulang pendengaran, barotrauma, trauma akustik) i. Degenerasi (presbikusis) j. Imunologi (penyakit autoimun telinga dalam) k. Gangguan pendengaran kongenital dan auditory neuropathy l. Tinitus dan hiperakusis m. Tumor (neuroma akustik/ vestibular schwannoma, tumor glomus/ paraganglioma) n. Gangguan pendengaran akibat obat ototoksik (gol aminoglikosida, cisplatin, furosemid) o. Habilitasi dan Rehabilitasi (alat bantu dengar dan implan koklea) 3. Mampu melakukan pemeriksaan dan menginterpretasi hasil pemeriksaan pendengaran dasar seperti otoskopi, tes penala, tes bisik, audiometri nada murni dan audiometri tutur 4. Mampu melakukan dan menginterpretasi hasil pemeriksaan pendengaran khusus seperti akustik imitans dan OAE 5. Mampu menginterpretasi pemeriksaan elektrofisiologi pendengaran seperti BERA dan ASSR. 6. Mampu menentukan indikasi penggunaan alat bantu dengar dan implan koklea sebagai bagian tatalaksana habilitasi/ rehabilitasi pendengaran 7. Mampu menginterpretasi secara terintegrasi seluruh hasil pemeriksaan neurotologi (pendengaran, keseimbangan perifer dan saraf fasialis perifer) serta menganalisanya sehingga dapat mengelola pasien dengan optimal. 6 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran 8. Mampu melakukan konseling kepada pasien dan keluarganya sebagai bagian dari tatalaksana gangguan pendengaran H. METODE PEMBELAJARAN 1. Interactive lecture 2. Small group discussion 3. Peer assisted learning 4. Bedside teaching 5. Task based medical education 6. Case simulation and investigating exercise 7. Equipment characteristic and operating instruction 8. Literature reading 9. Referat 10. Skills lab 11. Praktek lapangan 12. Journal reading 13. Mini lecture 14. Minicex I. EVALUASI 1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk essay dan oral sesuai dengan tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal, yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas : Anatomi, gambaran klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis 2. Small group discussion bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang ada, hal-hal yang berkenaan dengan penuntun belajar dan proses penilaian. 3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini mahasiswa diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk role play dengan teman-teman (peer assisted learning) atau kepada standardized patient. Pada saat tersebut yang bersangkutan tidak diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar dipegang oleh teman-temannya untuk melakukan evaluasi (peer assieted evaluation). Setelah dianggap memadai melalui metode bed side teaching dibawah pengawasan fasilitator, peserta didik mengaplikasikan penuntun belajar dari model anatomi dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien sesunggguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation) dan mengisi formulir penilaian berikut : Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak dilaksanakan Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya pemeriksaan terlalu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien Baik : pelaksanaan benar dan baik (efisien) 4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali untuk mendapatkan penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien, dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan. 5. Self assesment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar 6. Pendidik / fasilitator : 7 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Pengamatan langsung dengan memakai evaluation check list form (terlampir) Penjelasan lisan dari peserta didik / diskusi Kriteria penilaian keseluruhan : cakap / tidak cakap / lalai 7. Pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education) 8. Pencapaian pembelajaran : Ujian akhir setelah penyelesaian modul meliputi (K, P, A ) Ujian Tulis Kolegium THT-KL Ujian Lisan OSCE Kolegium THT-KL J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF Kuesioner meliputi : 1. Sebelum pembelajaran Soal : a. Jelaskan dengan lengkap syarat dan metoda step masking pada audiometri nada murni. b. Jelaskan mengenai refleks akustik dan buat skemanya Jawaban : ` a. Metoda step masking hantaran udara Syarat: Bila terdapat perbedaan intensitas antara hantaran udara telinga yang diperiksa (AC Test Ear = TE) dengan hantaran tulang telinga yang tidak diperiksa (BC Non Test Ear = NTE) minimal sebesar interaural attenuation (IA) sesuai dengan frekuensi dan transduser yang dipakai Cara melakukan masking untuk hantaran udara Kriteria kapan dibutuhkan masking berdasarkan Min IA (35-50 dB tergantung pada frekuensi) Bila selisih ambang dengar hantaran udara pada telinga yang diperiksa dengan ambang hantaran tulang telinga yang tidak diperiksa lebih atau sama dengan Min IA, maka kita perlu untuk memberikan masking Masking awal diberikan sebesar 30 dB di atas ambang dengar telinga yang tidak diperiksa Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa, maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan tidak diperlukan masking lagi Namun, bila terjadi perubahan sebesar 20 dB atau lebih pada ambang dengar telinga yang diperiksa setelah diberikan masking awal (30 dB), maka perlu masking tambahan Masking tambahan adalah sebesar 20 dB di atas level masking sebelumnya Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa, maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan masking tidak diperlukan lagi Namun bila terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa sebesar 15 dB atau lebih setelah diberikan masking tambahan, maka perlu diberikan masking tambahan lagi (yang kedua) sebesar 20 dB Bila tidak didapatkan lagi peningkatan ambang dengar sebesar 15 dB atau lebih, atau tidak ada respons lagi setelah batas kemampuan audiometer, maka kita sudah mendapatkan informasi yang sesuai 8 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Metoda step masking hantaran tulang Syarat: Bila terdapat A-B gap (selisih 10 dB atau lebih antara hantaran udara dan hantaran tulang pada 2 frekuensi berurutan) pada telinga yang diperiksa Pertimbangan dilakukan MASKING Jika selisih ambang dengar hantaran udara pada pada telinga yang diuji dengan ambang dengar hantaran tulang yang tidak diuji lebih atau sama dengan min IA Curiga bahwa pasien kemungkinan mendengar pada telinga yang tidak diperiksa (Non Test Ear = NTE) Ada keraguan tentang kemungkinan terjadi cross-hearing Tergantung adanya A-B gap (selisih antara hantaran udara dan hantaran tulang min. 10 dB pada 2 frekuensi yang berurutan ) pada telinga yang sedang diperiksa (pada hantaran tulang) b. Refleks akustik (atau otot stapedius refleks) adalah kontraksi otot tak sadar yang terjadi di telinga tengah mamalia dalam menanggapi suara tinggi intensitas rangsangan. Ketika disajikan dengan intensitas tinggi rangsangan suara, yang otot stapedius tensor timpani dan otot-otot dari kontrak ossicles. Para otot stapedius menarik stapes (sanggurdi) dari telinga tengah jauh dari jendela oval koklea dan menarik otot tensor timpani maleus (palu) dari gendang telinga. Refleks mengurangi transmisi energi getaran ke koklea, di mana diubah menjadi impuls listrik untuk diproses oleh otak. Refleks akustik biasanya terjadi hanya pada intensitas yang relatif tinggi; aktivasi suara tenang dapat menunjukkan disfungsi telinga dan tidak adanya refleks akustik dapat menunjukkan saraf pendengaran Suatu rangsangan sebesar > 70 db diatas ambang dengar akan menimbulkan kontraksi m.stapedius secara reflektoris. Refleks terjadi secara bilateral walaupun rangsangan diberikan pada satu telinga (ipsi dan kontralateral) Refleks normal terjadi pada rangsangan 70 sampai 100 db, tapi dapat terjadi pada intensitas 80% kata dalam satu list, maka pasien dinyatakan lulus o Bila pasien tidak dapat mengulangi 80% kata dalam satu list, maka pasien dinyatakan tidak lulus dan harus menjalani pemeriksaan pendengaran lanjutan Dilakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada telinga sebelahnya 2. PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR PEMERIKSAAN GARPU TALA Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.: 1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan) 2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal 4 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan) 11 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran NAMA PESERTA:...................................... TANGGAL:......................... KEGIATAN KASUS I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN GARPU TALA Informed Choice & Informed Consent Ruang kedap suara 40 dB (A) Garpu tala frekuensi 512 Hz Pasien diminta untuk melepas kaca mata (bila memakai), pasien ditanyakan apakah menggunakan gigi palsu atau implan logam di gigi II. TAHAP PEMERIKSAAN GARPU TALA Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan Pasien diminta duduk menghadap pemeriksa Tanyakan kepada pasien keadaan berat ringannya keluhan diantara kedua telinga, yang lebih ringan lebih dulu diperiksa Tanyakan ada tidaknya bunyi di telinga (tinnitus) A. Tes Weber Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis median kepala (verteks, dahi, pangkal hidung, ditengah – tengah gigi seri atau di dagu) Kemudian ditanyakan dimanakah bunyi terdengar, apakah ada sisi yang lebih keras atau kedua sisi mendengar sama keras. Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut, bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi Hasil tes: Tidak ada lateralisasi: fungsi pendengaran normal atau gangguan pendengaran simetris bilateral Lateralisasi ke telinga yang sakit: gangguan pendengaran konduktif Lateralisasi ke telinga yang sehat: gangguan pendengaran sensorineural B. Tes Rinne Penala digetarkan, tangkainya diletakkan pada salah satu prosesus mastoid, lalu penala dipindah ke depan daun telinga kira – kira dengan jarak 2,5 cm. Selanjutnya penala digetarkan kembali, diletakkan di depan liang telinga lalu dipindah ke prosesus mastoid. Ditanyakan lebih keras terdengar di mana? Apakah lebih jelas terdengar di depan liang telinga (tidak menempel/AC) atau di mastoid (menempel/BC). Hasil tes: Rinne positif (+): bila AC lebih keras daripada BC. Fungsi pendengaran normal atau gangguan pendengaran sensorineural. 12 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran KEGIATAN KASUS Rinne negatif (-): bila BC lebih keras daripada AC. Gangguan pendengaran konduktif. NB: pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne dapat positif C. Tes Bing Garpu tala digetarkan dan diletakkan di mastoid Kanalis aurikularis eksternus ditutup dengan jari dengan tekanan ringan lalu dibuka tutup secara berulang Dinilai apakah ada perbedaan kekerasan suara ketika kanalis aurikularis eksternus ditutup atau dibuka Hasil Tes : Bing positif : Suara terdengar lebih keras ketika telinga ditutup Bing negatif : Tidak ada perbedaan kekerasan suara ketika telinga ditutup D. Masking pada pemeriksaan Garpu Tala Sumber suara untuk masking menggunakan plastik kresek atau kertas Masking diberikan pada telinga yang tidak diperiksa 3. PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR PENGUKURAN PENDENGARAN AUDIOMETRI NADA MURNI Lakukan penilaian kinerja pada setiap langkah/ tugas dengan menggunakan skala penilaian di bawah ini : 1. Perlu perbaikan Langkah atau tugas tidak dikerjakan secara benar atau dalam urutan yang salah(bila diperlukan) atau diabaikan 2. Mampu Langkah atau tugas dikerjakan secara benar, dalam urutan yang benar (bila diperlukan), tetapi belum dikerjakan secara lancar 3. Mahir Langkah atau tugas dikerjakan secara efisien dan dikerjakan dalam urutan yang benar (bila diperlukan) NAMA PESERTA:...................................... TANGGAL:.................... KEGIATAN KASUS I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN AUDIOMETRI NADA MURNI Ruang kedap suara dengan ukuran minimal 1x1 meter yang telah memenuhi syarat Siapkan seperangkat audiometri terdiri dari: Audiometer Sepasang headphone (untuk air conduction) Vibrator (untuk bone conduction) Tombol respon Formulir audiogram Spidol/ ballpoint merah dan biru II. TAHAP PEMERIKSAAN AUDIOMETRI NADA MURNI Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan Tanyakan kepada pasien telinga mana yang pendengarannya lebih baik , yang lebih baik lebih dulu diperiksa. Tanyakan ada tidaknya tinitus. Atur posisi duduk pasien sehingga tidak melihat ke arah pemeriksa 13 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran KEGIATAN KASUS Putar switch power untuk menghidupkan audiometer Atur tombol-tombol pengoperasian alat Berikan perintah sederhana dan jelas pada pasien, untuk memencet tombol respon apabila mendengar nada/bunyi sekecil apapun Pasang headphone tepat di depan liang telinga Lakukan pemeriksaan dari telinga yang pendengarannya lebih baik Dilakukan pemeriksaan hantaran udara (AC) dimulai dari frekuensi 1000 Hz dengan memberi sinyal pada intensitas 40 dB, bila tidak mendengar, naik bertahap 20 dB sampai pasien mendengar. Kemudian diturunkan 10 dB sampai tidak mendengar. Lalu dinaikkan 5 dB hingga pasien mendengar bunyi. Proses ini diulangi sampai didapatkan 2 kali ambang dengar yang sama. Berikan stimulus secara ireguler pada setiap pemberian nada Selanjutnya frek. 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz, kembali ke 1000 Hz kemudian periksa frek. 500 Hz dan 250 Hz (untuk hantaran udara). Bila ada indikasi, periksa frek 3000 Hz dan 6000 Hz Bila ada perbedaan 20 dB atau lebih antara 2 frekuensi, cek pada frek. ½ oktaf. Hal yang sama dilakukan untuk telinga lainnya Catat hasil tes pada formulir audiogram, dengan simbol(0) mengunakan spidol merah untuk telinga kanan dan simbol (X) menggunakan spidol biru untuk telinga kiri. Hubungkan dengan garis tegas hingga membentuk grafik. Lakukan pemeriksaan hantaran tulang atau BC bila ambang dengar hantaran udara meningkat dengan cara : 1. Ganti headphone dengan bonevibrator 2. Pasang bonevibrator pada os mastoid dengan sedikit penekanan 3. Lakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada hantaran udara hanya frekuensi dan intensitas terbatas yaitu : 250 Hz, 500Hz, 1000Hz, 2000Hz, 4000Hz dan intensitasnya hanya sampai 65-75 dB tergantung audiometer yang digunakan. 4. Catat respon pasien pada formulir audiogram dengan menggunakan simbol (>) untuk telinga kiri dan () untuk telinga kiri dan (25 – 40dB : derajat ringan >40 – 55dB : derajat sedang >55 – 70dB : derajat sedang berat >70 – 90dB : derajat berat >90dB : Sangat berat Jenis Gangguan Pendengaran Dan Ketulian 1. Konduktif yang disebabkan oleh gangguan mekanisme hantaran di telinga luar atau telinga tengah 42 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran 2. Sensorineural disebabkan oleh kelainan di kohlea, retrokoklea : N.VIII dan pusat pendengaran di cortex cerebri 3. Campuran (mixed) yang disebabkan kelainan konduktif dan sensorineural Diagnosis Gangguan Pendengaran Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan garpu tala, Pemeriksaan penunjang/tes fungsi pendengaran Anamnesis Anamnesis merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dengan baik sehingga kita dapat mengetahui awal terjadinya gangguan dengar, progresifitas dan derajat perkembangan penyakit yang terjadi pada kedua telinga, mendadak/tidak, derajat gangguan dalam pergaulan sosial dan pekerjaan.kelainan sistemik. Juga perlu ditanyakan adanya keluhan lain seperti tinitus, vertigo, dan perasaan lebih baik bila mendengar dalam lingkungan yang bising. Adanya riwayat keluarga gangguan dengar. Adanya penyakit infeksi telinga, riwayat trauma akustik, pemakaian obat-obat ototoksik harus ditanyakan untuk dapat membuat diagnosis banding. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan liang telinga normal/ada kelainan, membran timpani yang intak/perforasi. Pemeriksaan kepala dan leher secara lengkap dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya kelainan di bidang telinga, hidung, tenggorok. Dengan spekulum pneumatik Siegle dapat dilihat gerakan membran timpani dengan cara memberikan tekanan negatif dan positif. Pemeriksaan pendengaran 1. Tes bisik Tes bisik harus dilakukan di ruang yang sepi. Ruang bebas dari kebisingan. Menggunakan kata – kata yang biasa didengar sehari – hari, terdiri dari 2 suku kata (bisyllabic). 2. Tes Garputala Tes garputala terdiri dari lima garpu tala dari nada c dengan frekuensi 2048 Hz, 1024 Hz, 512 Hz, 256 Hz. Macam tes garpu tala terdiri dari : Tes Weber : Prinsipnya adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Tes Rinne : Prinsip adalah membandingkan durasi terdengarnya garpu tala antara hantaran tulang dan hantaran udara. Tes Schwabach : Membandingkan durasi pendengaran hantaran tulang antara pasien dan dokter. Pemeriksaan penunjang 1. Audiometri : adalah pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan bunyi yang dihasilkan alat elektroakustik yaitu audiometer sebagai bahan tes. Audiometri terdiri dari audiometri nada murni, masking, audiometri tutur, akustik immitance (timpanometri, reflek akustik, ETF), dan audiometri supra threshold (SISI, tone decay). 43 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran 2. OAE (Otoacoustic Emissions) : Pemeriksaan untuk mengetahui kerusakan pada sel-sel rambut luar, OAE tidak dapat untuk memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau respon otak terhadap suara. Jika dijumpai ada masalah pendengaran setelah tes OAE dilakukan, maka harus dilakukan tes tambahan. 3. ABR (Auditory Brainstem Response) : ABR digunakan untuk mengetahui adanya kelainan pada N.VIII dan batang otak dengan merekam dan memperbesar potensial listrik yang dilontarkan oleh koklea akibat ransangan bunyi di telinga dan mengikuti perjalanan impuls auditori melalui nervus auditorius dan vestibularis ke inti-inti tertentu di batang otak. 4. ASSR (Auditory Steady-state Response) : Pemeriksaan pendengaran obyektif yang dapat menentukan ambang dengar pada frekuensi tertentu secara spesifik Daftar Pustaka 1. Seikel JA, King DW : Anatomy& Physiology for speech, Language, and hearing. 4ed, Delmar Cengage learning, USA, 2010 2. P.Ashley Wackym, James B Snow: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, PMPH, USA, 2016 3. Byron J Bailey : head and Neck Surgery Otolaryngology, J P Lippincot, Philadelphia, 2014 PEMERIKSAAN FUNGSI PENDENGARAN SUBYEKTIF DAN OBYEKTIF Tes pendengaran bermacam-macam dari yang paling sederhana seperti tes bisik dan tes garpu tala, yang tergolong non elektronik sampai yang elektronik seperti audiometri dalam berbagai bentuk. Tes Bisik Syarat : ruang yang sepi serta terdapat jarak 0,6 m dalam ruang tersebut. Jangan terjadi echo dalam ruang dengan menata perabot Setiap telinga di tes tersendiri, kanan atau kiri, telinga yang tidak di tes yang ditekan dengan jari selama dilakukan tes. Bahan tes adalah daftar kata bisilabik. Pemeriksa di belakang pasien dan mengucapkan satu list kata bisilabik yang terdiri dari 10 kata. Caranya bisikan dengan udara cadangan pada jarak 0,6 m. Pasien mengulangi dengan jelas kata yang dibisikkan pemeriksa. Bila pasien dapat mengulang >80% dari kata dalam satu list, maka pasien dinyatakan lulus. Bila pasien tidak bisa mengulang 80% dari kata dalam satu list, maka pasien dinyatakan tidak lulus dan harus menjalani pemeriksaan pendengaran lanjutan. Tes Garpu tala Garpu tala yang dipakai berfrekuensi 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz Kegunaan : untuk membedakan jenis gangguan pendengaran antara tuli sensorineural, tuli konduktif dan tuli campur. Tes Weber 44 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Menggunakan garpu tala 512 (nada C'). Ditekankan pada dahi atau gigi insisivus (di garis median).Penala digetarkan dan tangkai diletakkan di garis median kepala ( verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu ) Prinsipnya : membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Bila sama kuat, tergolong pendengaran normal. Bila terdengar hanya pada 1 telinga maka disebut : Lateralisasi. Tuli konduktif lateralisasi kearah telinga yang sakit, sedang tuli sensorineural lateralisasi kearah yang sehat. Tes Rinne Prinsip : membandingkan durasi terdengarnya garpu tala antara hantaran tulang dan hantaran udara. Rinne positif : Hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang, terjadi pada telinga normal atau tuli sensorineural. Rinne negative : Hantaran tulang lebih panjang dari hantaran udara, terdapat pada tuli konduktif. Tes Schwabach Membandingkan durasi pendengaran hantaran tulang antara pasien dan dokter. Scwabach memendek : hantaran tulang pasien lebih pendek dari hantaran tulang dokter = gangguan pendengaran sensorineural. Dalam laporan, terjadi Schwabach memendek. Scwabach memanjang : Hantaran tulang pasien lebih panjang daripada hantaran tulang dokter = gangguan pendengaran konduktif. Dalam laporan, Schhwabach memanjang. Normal : Hantaran tulang pasien sama panjang dengan hantaran tulang dokter, dengan catatan pendengaran dokternya normal. Hasil di laporan= Schwabach sesuai dengan pemeriksa. Tes Bing Efek oklusi meatus akustikus eksternus terhadap kualitas hantaran tulang, yaitu bila oklusi diberikan dengan menekan tragus, kemudian dilepas bergantian maka, telinga normal atau gangguan pendengaran sensorineural, akan mendengar, hantaran tulang menguat-melemah bergantian disebut Bing positif. Bila pasien tidak mengenali perubahan mengeras dan melemah bergantian = Bing negative; terjadi pada gangguan pendengaran konduktif. Misal : Otitis media nonpurulenta atau otosklerosis. Catatan : pada tes Bing garpu tala ditekankan pada processus mastoid sisi telinga yang di tes. Tes Gelle Serupa Bing, tetapi garpu tala ditekankan di garis median dahi seperti tes Weber dan untuk oklusi meatus digunakan balon Politzer. Masking pada pemeriksaan garpu tala Sumber suara untuk masking menggunakan plastik kresek atau kertas dan masking diberikan pada telinga yang tidak diperiksa. 45 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Audiometri Audiometri adalah pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan bunyi yang dihasilkan alat elektroakustik yaitu audiometric sebagai bahan tes. Audiometri Nada Murni Pure Tone Audiometry = PTA Tujuan : menentukan ambang pendengaran satu telinga, baik hantaran udara maupun hantaran tulang. Oleh karena itu PTA disebut Threshold audiometry. Didepan sudah diuraikan bahwa garis 0 dBHL terletak diatas, sedang garis kurva ambang pendengaran pasien, umumnya terletak di bawah, terutama pada kasus ketulian. Temuan dari hasil pemeriksaan audiometric yang perlu diperhatikan adalah : Hantaran udara normal : terentang antara -10 s/d 25 dB Hantaran tulang berimpit atau hampir berimpit dengan hantaran udara, pada telinga normal atau gangguan pendengaran sensorineural Hantaran tulang terpisah dari hantaran udara yang lebih rendah disebut 'air-bone gap' terjadi pada gangguan pendengaran konduktif. Air-bone gap adalah selisih antara hantaran udara dan hantaran tulang minimal 10 dB pada minimal dua frekuensi yang berurutan (1 oktaf). Secara keseluruhan kemiringan hantaran udara dapat 'ascending' atau menanjak= gangguan pendengaran konduktif; 'descending atau menurun = gangguan pendengaran sensorineural. Kemampuan alat audiometer dalam memproduksi suara untuk bahan tes adalah terbatas. Untuk hantaran udara maksimal adalah 110 dB, hantaran tulang antara 50 – 60 dB (maksimal output sesuai kemampuan alat). Dampaknya, bila ada pemisahan hantaran tulang dan hantaran udara pada gangguan pendengaran berat atau total, ini bukan air bone gap. Misal ada ketulian berat 95 dB, dari tes garpu tala diketahui SNHL, seharusnya hantaran tulang juga 95 dB, akan tetapi karena maksimum yang dapat dihasilkan hantaran tulang hanya 60 dB, maka pada audiogram hantaran tulang ditandai dengan panah arah ke bawah, artinya hantaran tulang lebih besar dari 60 dB. Untuk pemeriksaan PTA, perlu diperhatikan beberapa syarat antara lain: 1. Alat audiometer yang telah distandardisasi oleh American National Standards Institute (ANSI). 2. Suasana yang tenang. Bila perlu ruangan kedap suara (40 dBA SPL) 3. Pemeriksa yang sabar dan teliti. 4. Pasien kooperatif, reliable (dapat dipercaya), dan mengerti instruksi Pada pengukuran audiologi, fungsi pendengaran terdapat signal nada maupun ucapan diukur terpisah untuk masing-masing telinga dengan menggunakan earphone (hantaran udara). Saat ini yang sering digunakan adalah insert-earphone yang langsung dimasukkan dalam MAE karena memiliki beberapa kelebihan dibanding earphone supraaural antara lain kontak dengan tulang temporal yang minimal sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya cross hearing, lebih nyaman dan lebih diterima bagi pasien anak-anak. PTA juga dapat dilakukan dengan menggunakan osilator atau 46 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran vibrator yang diletakkan pada tulang mastoid untuk mengukur hantaran tulang, yaitu diperiksa hanya antara 250-4000 Hz. Pada frekuensi 125 Hz hanya akan memberi rasa getar bukan mendengar. Dan frekuensi diatas 4000 Hz secara teknis tidak mungkin dihasilkan oleh vibrator. Cara pemeriksaan Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik maka prosedur yang perlu diperhatikan antara lain : A. Penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat gerakan tangan pemeriksa, karena hal ini akan mempengaruhi penderita bahwa nada tes sedang disajikan. B. Untuk mengurangi interferensi dari suara-suara latar belakang yang berasal dari sekitarnya maka tempat yang terbaik adalah ruangan kedap suara (40 dBA SPL) akan tetapi bila tidak ada maka tes dilakukan di ruangan sunyi yang terpisah C. Instruksi kepada penderita harus jelas misalnya “anda akan diperiksa dan akan mendengar bunyi yang kadang-kadang keras dan kadang-kadang lemah melalui earphone. Bila mendengar bunyi itu, tekan tombol atau acungkan tangan. Kalau mendengar di sebelah kanan acungkan tangan kanan dan kalau didengar pada telinga kiri maka acungkan tangan kiri”. D. Earphone harus diletakkan secara tepat diatas liang telinga luar,warna merah di sebelah kanan dan warna biru di sebelah kiri. E. Telinga yang diperiksa terlebih dahulu harus yang berfungsi lebih baik. Bila oleh penderita mengatakan kedua telinga sama tulinya, maka yang diperiksakan terlebih dahulu adalah telinga kanan. F. Penyajian nada tes tidak boleh dengan irama yang konstan dan lamanya interval antara dua bunyi harus selalu diubah-ubah. Tidak boleh memutar tombol (dial) pengatur selama penyaji masih ditekan. G. Pemeriksaan pertama dimulai pada frekuensi 1000 Hz karena nada ini dapat memberi hasil akurat yang konsisten. Kemudian periksa nada-nada lebih tinggi 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz, kembali ke 1000 Hz kemudian periksa frek. 500 Hz dan 250 Hz (untuk hantaran udara). Bila ada indikasi, periksa frek 3000 Hz dan 6000 Hz. Bila ada perbedaan 20 dB atau lebih antara 2 frekuensi, cek pada frek. ½ oktaf. § Penentuan ambang pendengaran. Untuk menentukan nilai ambang tiap-tiap frekuensi dilakukan sebagai berikut : A. Putar tombol (dial) dimulai pada kedudukan 40 dB dan sajikan bunyi selama 1-2 detik. Bila tidak ada respon, intensitas dinaikkan 5 dB, demikian seterusnya sampai ada respon.. Jika sudah ada respon, turunkan intensitasnya 10 dB sebagai cross check dan bila tidak mendengar maka inilah nilai ambang frekuensi tersebut. Untuk telinga kanan diberikan kode O dan telinga kiri diberi kode X pada audiogram. B. Cara yang sama dilakukan untuk frekuensi-frekuensi yang lain. Kekurangan/Kelemahan Audiometri Nada Murni Dalam beberapa hal, ternyata audiometri nada murni mempunyai kekurangan antara lain: 47 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran A. Seringkali audiogram nada murni dari seorang yang sama dibuat oleh dua orang yang berpengelaman sekalipun, menunjukkan perbedaan yang kadang cukup besar, misalnya 15 dB. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini antara lain: 1. Faktor teknis, misalnya, audiometri, ruang kedap suara, kualitas headphone yang berlainan. 2. Faktor psikis, baik dari pihak penderita maupun pemeriksa. Faktor ini dapat dimengerti karena sifatnya yang tidak menetap. Lebih-lebih dalam menentukan titik peralihan antara intensitas yang cukup kuat dan cukup lemah untuk dapat didengar, dan mengingat bahwa nada murni merupakan suara yang tidak punya arti sosial. Ketidakmantapan psikis ini dapat diperlihatkan dengan mudah yaitu dengan memberikan kepada penderita satu nada tunggal yang kontinyu pada intensitas sekitar ambang pendengarannya. Penderita di minta untuk menekan tombol isyarat bila mendengar suara dan melepaskannya bila tak mendengar. Ternyata hampir seluruh penderita yang dites berkali-kali menekan dan melepaskan tombol isyarat walaupun suara diberikan secara terus-menerus. B. Audiometri nada murni ini ternyata tidak dapat dipakai untuk menentukan dengan tepat validitas sosial penderita oleh karena kemampuan penderita untuk menangkap kata-kata tidak sama dengan informasi yang didapat dari audiogram nada murni. Cross Hearing And Masking Bila suatu nada disajikan pada telinga yang mengalami gangguan, kadang-kadang dapat pula didengar oleh telinga yang tidak sedang diperiksa (pendengaran yang lebih baik). Jika stimulus nada yang diberikan lebih besar dari 40 dB dan menggunakan supra-aural earphone dimana bantalannya berada di luar telinga, maka energi akustik dapat menjalar ke telinga pada sisi yang berlawanan yang disebut sebagai fenomena cross hearing. Mekanisme perjalanan ini disebabkan oleh vibrasi dari bantalan earphone terhadap cranium pada tingkat intensitas stimulus yang tinggi. Jumlah intensitas suara yang dibutuhkan untuk terjadinya cross hearing disebut atenuasi interaural. Atuenasi interaural untuk frekuensi yang rendah biasanya 50 dB dan 60 dB untuk frekuensi tinggi, sedangkan untuk insert-earphone memiliki atenuasi yang lebih tinggi. Sementara atenuasi interaural untuk tes hantaran tulang berkisar antara 10 sampai 0 dB, sehingga dapat diasumsikan bahwa dengan stimulasi suara yang sangat halus sudah dapat menyebabkan penjalaran vibrasi ke dua telinga melalui cranium. Presepsi dari sinyal hantaran tulang ini juga bergantung dari fungsi sensitivitas sensori neural dari masing-masing telinga pasien. Oleh karena itu, salah satu unsur penting pada PTA adalah masking, sebagai salah satu syarat utama, masking harus dilakukan apabila terjadi kemungkinan untuk terjadinya penjalaran stimulus dari telinga yang sedang diperiksa melalui tulang kepala ke tulang telinga yang berlawanan. Dengan kata lain, masking harus dilakukan apabila stimulasi hantaran udara maupun tulang melewati batas atenuasi interaural. Masking harus dilakukan dengan memberikan suara tambahan pada telinga yang diperiksa bersamaan dengan diberikannya stimulus pada telinga yang sedang diperiksa. Jika suara tambahan yang diberikan adekuat, maka suara stimulus yang menjalar ke sisi yang berlawanan dapat tertutupi (masked) oleh suara tersebut. Yang sering digunakan untuk masking adalah suara dengan gelombang sempit yang terdengar seperti suara gemuruh. Teknik masking yang efektif tidak menghalangi terjadinya cross hearing 48 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran tetapi prinsipnya lebih ke arah untuk menghalangi respon dari telinga yang tidak diperiksa. Masking adalah mengaburkan suatu bunyi dengan menggunakan bunyi lainnya atau peninggian ambang pendengaran suatu sinyal yang diakibatkan terdengarnya sinyal kedua. Walaupun penyamaran yang paling efisien untuk suatu nada murni adalah nada lain yang berfrekuensi sama, namun terdapat kesulitan yang nyata dalam membedakan nada yang disamarkan dan nada yang menyamarkan. Bising frekuensi sempit yang merupakan penyamar yang paling efisien untuk nada-nada murni. Bising ini merupakan energi dalam rentang frekuensi terbatas dengan pusat yang sama dengan frekuensi nada murni yang diuji. Cukup stabil untuk mendapatkan tingkat penyamaran yang tepat. Penyamaran yang terlalu kecil berakibat masih terjadinya pendengaran pada telinga yang tidak diuji. Namun jika terlalu besar akan menghasilkan ambang pendengaran yang salah. Hood (1962) menjelaskan metode dasar penyamaran (masking): 1. Buatlah audiogram hantaran udara dari kedua telinga dengan cara penyamaran normal, jika perlu, pada telinga yang tak diuji, yaitu bila perbedaan hilangnya pendengaran antara kedua telinga melampaui 50 dB. 2. Tentukan ambang hantaran tulang dengan menempelkan konduktor tulang pada mastoid telinga yang diuji tanpa melakukan penyamaran pada telinga yang tak diuji. 3. Lakukan penyamaran dengan rentang frekuensi yang sama pada telinga yang tidak diuji memakai penerima yang dapat diselipkan dalam telinga dan tentukan ambang hantaran tulang. 4. Demikian lakukan prosedur “bayangan” : Tingkatkan bunyi penyamaran sebesar 10 dB di atas ambang dan ulangi penentuan ambang hantaran tulang. Bila ambang hantaran tulang meningkat 10 dB, tambahkan lagi intensitas bunyi penyamar sebesar 10 dB dan ulangi. Lanjutkan prosedur ini hingga mencapai titik di mana hantaran tulang tetap konstan meskipun peningkatan bunyi penyamar masih berlanjut. Titik ini adalah titik “perubahan” yang memberikan ambang hantaran tulang sejati dari telinga yang diuji. Karena sinyal-sinyal penyamar juga mengikuti aturan peredaman antar telinga seperti juga ransangan udara yang dihadirkan lewat tipe tranduser yang sama, maka penyamaran berlebihan dapat terjadi jika tingkat penyamar melampaui ambang hantaran tulang sebesar 45 dB atau lebih. Hubungan linear yang dijelaskan sebelumnya akan kembali terbukti bila terjadi penyamaran berlebihan. Sinyal-sinyal bicara juga mengikuti “aturan” peredaman antar telinga dan pendengaran silang yang sama seperti sinyal-sinyal nada murni. Maka kriteria yang sama dalam menentukan saat melakukan penyamaran pada bunyi nada murni, dapat diterapkan pada audiometri bicara; yaitu bila tingkat sinyal melampaui ambang pendengaran hantaran tulang dari telinga yang tidak diuji sebesar 45 dB, penyamaran sebaiknya digunakan. Pemeriksa harus memberi perhatian khusus terhadap hubungan saat ini saat melakukan uji diskriminasi bicara, karena kata-kata dalam uji tersebut diberikan pada tingkat di atas ambang. Kendati lebih disukai bising dalam rentang waktu yang sempit untuk menyamarkan nada-nada murni, frekuensi ini amat terbatas untuk menyamarkan spektrum bicara yang luas. Untuk itu penyamar yang dipilih dapat berupa bising putih atau bising 49 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran bicara yaitu keadaan bising putih yang mengalami penyaringan sehingga spektrum frekuensinya menyerupai frekuensi bicara. Tanpa memandang bising apa yang digunakan, perlu dipastikan tingkat penyamaran efektif dari audiometer yang dipakai. Hal ini dapat dilakukan dengan mengambil rata- rata tingkat efektif pada frekuensi 500, 1000, dan 2000 Hz atau melalui pengukuran sekelompok individu dengan pendengaran normal. Bising dan pembicaraan dapat dipadukan pada satu earphone, dan ambang pendengaran bicara ditentukan menggunakan beberapa tingkat kebisingan. Cara ini memberitahu pemeriksa petunjuk yang diperlukan untuk mendapat pergeseran ambang pendengaran pada telinga yang disamarkan. Audiometri Supra Threshold Yaitu audiometri yang bahan tesnya terdiri dari bunyi beberapa decibel di atas ambang pendengaran Loudness Balance Test (Fowler’s Test) Pada ketulian unilateral disajikan bunyi 20 dB di atas ambang. Pasien disuruh merasakan perubahan2 kanan dan kiri bila intensitas secara bertahap dinaikkan 20 dB. Bila rasa kekerasan (phons) selalu sama antara telinga yang tuli dengan normal sampai intensitas = 80 dB maka ketuliannya = Retrokoklear Bila telinga yang tuli merasakan intensitas sama dengan telinga normal padahal peningkatannya kurang dari 20 dB pada intensitas 80 dB dst maka ketuliannya = Koklear, gejala diatas disebabkan fenomena rekrutmen Tes Fowler : tes subjektif, Alat : audiometer N murni Namun sekarang sudah jarang atau tidak lagi dipakai. Catatan telinga normal peka terhadap perbedaan intensitas = 5 dB Beda intensitas 1 – 2 dB tidak dirasakan SISI Test (Short Increment Sensitivity Index) Tes ini juga untuk menentukan adanya rekrutmen secara subjektif Pada telinga yang mengalami gangguan pendengaran disajikan nada murni pada frekuensi tertentu 20 dB diatas ambang secara kontinyu. Tanpa kita beritahukan kepada pasien intensitas ditingkatkan 1 dB untuk 0,2 detik dengan interval 5 detik. Selama 20 siklus pasien diminta mencatat berapa kali merasakan kenaikan intensitas. Pasien normal tidak dapat mendeteksi perubahan (score rendah). Pasien rekrutmen akan melaporkan score 60 – 100 % BEKESY Audiometry Disajikan ke telinga yang berketulian : bunyi dengan frekuensi rendah sampai frekuensi tinggi secara beruntun dan menyatu ± 20 menit. Pasien secara aktif menekan tombol bila mulai mendengar bunyi dan menekan lagi begitu bunyi menghilang. Hasilnya dibuat kurva audiogram Bekesy untuk dievaluasi : 5 kategori ketulian Cara ini sudah tidak dipakai lagi. 50 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Audiometri Tutur = Speech Audiometry Alat yang dipakai audiometri nada murni, namun dihubungkan dengan tape recorder atau CD. Sebagai bahan tes = nada komplex berupa daftar kata-kata yang sudah ditera sesuai presentase phonem2 dalam suatu bahasa percakapan hari2 (Phonetically Balanced Words) Di Indonesia dipakai daftar kata PB dari Univ. GajahMada = GajahMada PB words. Ada 2 macam daftar kata, yaitu kata2 bi-silabik dan mono silabik Cara penyajian secara HU yang intensitasnya diatur oleh dokter pemeriksa dan diberikan secara serial à 20 kata untuk satu intensitas dB. Tugas pasien menyimak suara Tape dan menirukan dengan jelas apa yang didengarnya. Tugas dokter menentukan dB intensitas level kata2 dan menghitung jumlah kata yang diucapkan secara benar Contoh Intensitas % benar 10 dB 5% 20 dB 10 % 30 dB 30 % 40 dB 60 % 50 dB 90 % 60 dB 100 % 80 dB 100 dB Audiogram tutur (susunannya berbeda dengan PTA). Kurva berbentuk sigma. Hasil harus dicatat pada audiometri tutur adalah 1. NPT (Nilai persepsi tutur)/ Speech Reception Threshold (SRT) ® bisa pakai yang bisilabik tapi bisa juga monosilabik Pada kurve normal diatas kita mulai tunjuk koordinat 50 % tarik garis putus2 ke kiri sampai memotong sigma. Dari titik potong ini tarik garis vertical sampai memotong ordinat dB. Dalam kasus diatas 32 dB. Inilah NPT tsb NPT kira2 25 dB diatas ambang pendengaran rata2 frekuensi percakapan Jadi pada kasus diatas derajat pendengaran / ketulian = 32 – 25 = 7 dB ® normal 2. NDT (Nilai diskriminasi tutur)/ Speech Discrimination Score (SDS)/ Word Discrimination Score (WDS) Bahan tes sebaiknya menggunakan GajahMada PB list mono-silabik. NDT 100 % terdapat pada telinga normal dan ketulian konduktif. Bedanya pada ketulian konduktif angka 100 % dicapai pada dB yang lebih tinggi (pada kurve lebih ke kanan) NDT : kurang dari 100 terdapat pada ketulian SN atau tuli campuran Pada ketulian SN koklear NDT tidak mencapai 100 % dan bila intensitas dinaikkan NDT tidak naik dan tidak turun. Kurve mendatar. Pada ketulian SN retrokoklear NDT tidak mencapai 100% dan bila intensitas dinaikkan lagi NDT menurun. 51 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Kegunaan Audiometri Tutur : 1. Membedakan ketulian SN disebabkan kelainan koklear atau retrokoklear 2. Mengecek kebenaran ambang pendengaran pada PTA ® ambil NPT kemudian kurangi 25 atau 20 dB 3. Menilai keberhasilan pemakaian ABD Imitansi Akustik (acoustic immitance) Prinsip : di dalam ruangan tertutup energi 1. bunyi dapat dijejalkan dalam jumlah terbatas, tergantung dari volume ruangan dan tekanan udara dalam ruang tsb 2. liang telinga dan M. timpani dijadikan satu ruang dengan memasang sumbat dari luar melalui sebuah lubang pada sumbat tersebut dijejalkan (emitted) bunyi 226 Hz 3. melalui lubang ke2 pada sumbat udara dalam ruang tertutup meatus - m.timpani tadi di pompa udara masuk s/d tek + 200 daPa (deca Pascal) atau disedot sampai – 400 daPa. a. Tympanometry : Sementara mengubah2 tekanan udara dalam ruang tertutup tadi penjejalan (immitansi) bunyi 226 Hz (® Probe tone) akan naik dan turun Imitansi bunyi turun bila tekanan udara padat atau vakum. Imitansi naik bila tekanan udara mendekati tekanan udara di luar (1 atmosfer). Pada saat itu, normalnya, membrana tympani paling optimal ketegangannya, sehingga getaran suara memberi amplitudo paling besar. Naik-turunnya energi bunyi yang masuk (emitted) bila tekanan udara diubah2 ini disebut kepatuhan (compliance) Compliance maximum terjadi bila di m. tympani pada posisi paling mudah bergetar, yaitu bila tekanan udara yang diberikan sama besar dengan tekanan udara intra tympanik. Tympanometri : yaitu mengukur besarnya tekanan intra tympanik, tanpa mencoblos m.tympani (non invasive) Caranya : cari puncak kurve tympanogram, proyeksikan ke tekanan udara : Jika > - 100 ® tipe C: gangguan fungsi tuba (tapi belum ada cairan) Datar tidak ada puncak ® tipe B : kavum tympani tertutup cairan (OM serosa) Kemungkinannya adalah 1. Type A : tekanan sekitar 0 daPa atau diatas - 100 daPa = normal 2. Type C : tekanan intratympanik lebih rendah dari – 100 daPa = vakum 3. Type B : kurve datar tidak berpuncak. Kavum tympani penuh dengan cairan sekret Compliance : satuan volume ml Normal : 1 – 2 ml Sangat tinggi : 3 – 4 ml - m.tympani atrophy - vesiculer chain putus Rendah : tekanan intratympanik turun Tidak muncul / mendatar : pada type B : OM efusi / serosa 52 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran b. Refleks Akustik Ini adalah untuk mendeteksi refleks m.stapedius dengan merangsang telinga dengan suara keras, yaitu + 70 dB diatas ambang Melalui lubang ke-3 pada sumbat telinga disajikan bunyi dari berbagai frekuensi yaitu 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Bila intensitas bunyi mencapai 70 dB diatas ambang pendengaran telinga yang ditest maka geraknya akan terekam akibat berubahnya ketegangan M.tympani. Refleks akustik negatif pada OM serosa atau ankylosis stapes pada otosclerosis. Mis ambang pendengaran ± 15 dB diberi rx 70 dB + 15 dB (85dB) ® disebut ambang refleks akustik Kegunaan refleks akustik : 1. Audiometri Impedans : pemeriksaan objektif Sajikan bunyi frekuensi misal 1000 Hz pada ruang tertutup tadi. Naikkan intensitasnya sampai muncul refleks akustik,katakan muncul pada intensitas 90 dB. Maka ambang pendengaran telinga tsb untuk frek 1000 Hz adalah 90 – 70 = 20 dB Bila refleks akustik muncul pada 110 dB berarti ambangnya 110 – 70 = 40 dB, atau berketulian ringan Bila ambang refleks akustik untuk frekuensi 500 – 4000 dB berikut ini maka audiogram impedancenya adalah 500 1000 2000 4000 Hz Ambang refl akustik 115 110 90 80 dB maka PTA ekivalen 45 40 20 10 dB Audiometer impedans berguna untuk pembanding hasil pemeriksaan PTA< BERA, tuli pura2 (malingering) dst 2. Untuk deteksi ankylosis stapes pada otosclerosis yaitu - tympanogram type A (normal) - refleks akustik negatif 3. Refleks decay (pelapukan refleks akustik) Refleks akustik dibangkitkan dan ditahan terus sampai 12 detik Bila kekuatan kompliance bertahan dengan tinggi yang sama sampai 12 detik berarti decay reflex negatif Bila refleks akustik yang dipertahankan 12 detik makin melemah, berarti decay positif. Refleks akustik decay positif terjadi pada ketulian retrokoklear. Ambang Refleks Akustik Suatu bunyi yang cukup keras dapat menimbulkan refleks, maka kontraksi muskulus stapedius secara tiba-tiba akan meningkatkan ketegangan sistem, sehingga menyebabkan perubahan yang menimbulkan refleks. Intensitas bunyi terendah yang mampu membangkitkan refleks akustik disebut ambang refleks akustik. 53 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Penilaian Diagnostik : 1. Ketulian konduktif : Tidak ada refleks yang tercatat jika telinga tengah mengalami gangguan, meskipun sangat ringan. Sebaliknya jika terdapat suatu refleks berarti bagian tengah tersebut adalah normal. 2. Ketulian Sensorineural : a) Patologi Kohlea Jika refleks akustik timbul pada perangsangan 60 dB atau kurang di atas ambang nada murni, maka ada indikasi yang kuat terhadap adanya kelainan kohlea. Gejala ini dikaitkan dengan fenomena recruitment. Patologi Retrokohlear Pada ketulian ringan dimana refleks akustik masih dapat dibangkitkan, maka bila penyajian stimulus diperpanjang sampai 12 detik dan terjadi perlemahan refleks akustik, sering diistilahkan “Refleks Decay“ positif Otoacoustic Emission (OAE) Prinsip teknik ini adalah mengukur emisi yang dikeluarkan oleh telinga saat suara menstimulasi koklea. Teknik ini sensitif untuk mengetahui kerusakan pada sel-sel rambut luar, dapat pula digunakan untuk memeriksa telinga tengah dan telinga dalam. Jika bayi dapat melewati tes OAE, berarti bayi tersebut tidak mengalami gangguan pendengaran. Namun, tes OAE tidak dapat memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau respon otak terhadap suara. Jika dijumpai ada masalah pendengaran setelah tes OAE dilakukan, maka harus dilakukan tes tambahan. Cara kerja alat ini dengan menghasilkan bunyi halus yang tidak dapat didengar oleh telinga normal, tapi dapat dideteksi oleh mikrofon yang sangat sensitif yang ditempatkan di dalam liang telinga. Selama tes dilakukan, sebuah sumbat fleksibel yang sangat kecil dimasukkan ke dalam liang telinga dan selanjutnya suara akan diproyeksikan ke dalam liang telinga melalui sumbat tersebut. Sebuah mikrofon yang berada dalam sumbat tersebut merekam emisi otokaustik yang dihasilkan pada telinga normal sebagai respon terhadap datangnya suara. Tes ini tidak menimbulkan rasa sakit, dilakukan sekitar 5 menit dan dapat dilakukan pada saat bayi tertidur. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang lebih maksimal, kedua metode tersebut diatas biasanya dilakukan secara bersama. Dimana metode OAE memastikan suara mencapai telinga dalam, sementara metode ABR akan mengidentifikasi suara yang melalui jalur auditori ke otak. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) Merupakan suatu alat elektroakustik yang bersifat obyektif, tidak dipengaruhi sedasi ataupun anastesi umum. Penggunaan utama alat ini untuk mengetahui adanya kelainan pada N.VIII dan batang otak dengan merekam dan memperbesar potensial listrik yang dilontarkan oleh kohlea akibat ransangan bunyi di telinga dan mengikuti perjalanan impuls auditori melalui nervus auditorius dan vestibularis ke inti-inti tertentu di batang otak. Dikatakan pula bahwa BERA hanya dapat mengukur ada tidaknya respon elektris terhadap ransangan bunyi di batang otak. 54 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Penyadapan impuls listrik dilakukan melalui elektroda-elektroda yang dipasang pada kulit kepala dan mastoid, sehingga menciptakan suatu gelombang EEG dan dengan merata-ratakan gelombang tersebut, terbentuklah suatu pola gelombang yang dikemukakan oleh Jewet (1971) dan diberi label I sampai dengan VII. Hasil dari penelitian Jewet ini kemudian dipetakan untuk melihat waktu relative dari gelombang I sampai V yang kemudian dikenal sebagai masa laten dari masing-masing gelombang. Berdasarkan penyelidikan dengan menggunakan elektroda pada binatang percobaan dengan lesi-lesi buatan di batang otak manusia, maka dapat disimpulkan 5 gelombang pertama yang masing-masing dibangkitkan oleh inti-inti dalam batang otak yakni gelombang I : Organ Corti, gelombang II : nucleus kohlear, gelombang III : Oliva superior, gelombang IV : inti lemniskus lateralis dan gelombang V : kolikulus inferior. Sedangkan pembangkit gelombang VI dan VII masih belum jelas. Interpretasi BERA Penilaian BERA didasarkan atas masa laten yaitu masa dari mulainya ransangan diberikan (stimulus “click”) sampai tercatatnya suatu respons dalam bilangan milidetik. Umumnya setiap gelombang memiliki masa laten yang telah ditentukan berdasarkan hasil penelitian standarisasi. Penting diketahui bahwa BERA tidak memberikan informasi mengenai kemampuan dengar seseorang. Bisa saja hasil BERA normal, namun terdapat gangguan pada pusat pendengaran yang membuat anak tidak “mendengar”. Dengan demikian pemeriksaan ini harus dipadukan dengan pemeriksaan lainnya untuk mendapat diagnosis yang tepat. Masa laten gelombang absolute dan masa laten antar gelombang dapat memberikan ciri berbagai perbedaan disfungsi system auditori. Ketulian konduktif biasanya memperlihatkan bentuk gelombang yang bagus dan masa laten antar gelombang yang normal, namun dapat juga memberikan gambaran terlambatnya latensi gelombang I. Ketulian kohlear memiliki bentuk gelombang I maupun gelombang III dan V yang kurang baik, lemah atau kecil bahkan mendatar, atau dapat juga membeikan gambaran pemendekan masa laten gelombang V. Pada ketulian tipe sensorineural tampak gelombang I dan III yang normal, namun masa laten gelombang V memanjang. Berbagai kesulitan yang dapat terjadi pada saat pemeriksaan BERA : Waktu pemeriksaan yang lama Untuk menunggu hingga pasien tertidur, maupun mempersiapkan kulit kepala yang akan dipasang elektroda dan tehnik pemasangan elektroda yang benar, memerlukan waktu yang cukup lama. Belum lagi harus dilakukan pencatatan ulang pada berbagai intensitas rangsang “click“ untuk memperoleh hasil yang dapat dipercaya. Setelah itu pasien masih harus diawasi secara ketat sampai sadar benar. Dengan demikian waktu pemeriksaan dapat saja memakan waktu sampai 1 jam. Banyak artefak Pada saat pemeriksaan BERA, sangat sering terjadi pencatatan gelombang yang berasal dari sumber lain yang bukan berasal dari respon auditori terhadap rangsang bunyi “click“ yang kita sajikan yang disebut sebagai artefak. Artefak ini terjadi apabila banyak imbas listrik yang berasal dari lingkungan sekitar tempat 55 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran pemeriksaan, baik itu akibat tumpang tindihnya elektroda dengan headphone, aktivitas otot bila pasien bergerak atau adanya ketegangan ritmis pada otot misalnya penderita yang tiba-tiba kejang atau pada penderita cerebral palsy. Bila pada pemeriksaan ditemukan banyak artefak, maka artefak ini harus dibuang, karena akan menghambat dan memperlambat pemeriksaan. Subyektifitas Walaupun BERA merupakan pemeriksaan yang bersifat obyektif namun penilaian puncak gelombang harus ditentukan dengan mempertimbangkan berbagai hasil pemeriksaan yang lain, seperti audiometri, timpanometri dan es observasi lainnya. Kesalahan Interpretasi Dapat terjadi pada anak dengan kecacatan ganda seperti anak hiperaktif, mental retardasi, cerebral palsy dan lain-lain. Penyebabnya kemungkinan gangguan pencacatan, oleh karena adanya gangguan mielinisasi saraf di otak. Oleh karena itu perlu observasi yang seksama dan harus selalu dikombinasikan dengan pemeriksaan lainnya. 2. MASKING KLINIK (Terjemahan dari buku Katz) Tidak diragukan lagi, masking merupakan prosedur klinik yang paling menantang yang harus dikuasai oleh siswa audiologi. Banyak di antara kita yang lulus dari pendidikan tanpa menguasai dengan baik tentang konsep dan perasat masking. Namun ditangan seorang yang berpengalaman, konsep ini menjadi semakin jelas. Saat ini, kita sebagai seorang profesional, mengembangkan teknik masking sendiri dan sudah terbiasa melakukannya. Namun, Martin, dkk (1994) menyatakan bahwa prosedur- prosedur masking yang telah kita gunakan, validitasnya diragukan. Untuk itu perlu kita mengulas dan menilai kembali topik ini sesuai dengan konsep yang terbaru. a. Prinsip umum & masking untuk tes ambang dengar hantaran udara Mengapa perlu masking ? Jika kita menguji seseorang yang diketahui tidak mampu mendengar di telinga kanannya, maka kita akan menaikkan intensitas suara di earphone telinga kanan, yang jika terus menerus akan menyebabkan vibrasi tengkorak dan isinya. Jika vibrasi dari telinga kanan ini cukup kuat maka bunyi akan menyeberang melalui tengkorak dan mengguncang cairan di dalam koklea telinga kiri, yang disebut sebagai cross-over. Jika vibrasi ini cukup besar maka bunyi akan terdengar oleh telinga kiri, dan disebut dengan cross-hearing. Ketika kita menguji telinga kanan pasien namun malah didengar oleh telinga kiri karena cross-hearing, maka ini akan menjadi masalah. Pasien yang tidak mampu mendengar pada salah satu telinga sedangkan pendengaran telinga lainnya normal, akan memperlihatkan gangguan pendengaran moderat karena terjadi konduksi udara di telinga yang sakit karena adanya cross-hearing. Kesalahan ini dapat menyebabkan kesalahan diagnosis, terapi yang tidak tepat, kemungkinan kesalahan tindakan operasi, memberikan harapan yang salah pada pasien, dan atau menjadi tuntutan hukum. 56 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Untuk menguji pendengaran dengan benar pada keadaan kemungkinan terjadinya cross-hearing, maka harus digunakan masking. Masking merupakan suatu prosedur klinis berupa pemberian suara bising pada telinga yang lebih baik untuk mencegah terdengarnya suara dari telinga yang sedang diuji. Berikut suatu ilustrasi yang menjelaskan manfaat masking pada kasus Joan. Di frekuensi 1000 Hz, pendengarannya telinga kiri normal (5 dB), telinga kanan menderita tuli sensorineural sangat berat (95 dB). Gambar 9.1 menunjukkan situasi ini. Pada masing-masing telinga, angka yang terdapat dalam kotak menunjukkan sensitivitas (dalam dB) dari komponen sistem konduksi pendengaran (telinga tengah dan telinga luar), dan angka yang terdapat dalam lingkaran menunjukan sensitivitas (dalam dB) dari sistem sensorineural (koklea dan n.VIII). Telinga kiri Joan menunjukkan sistem konduksi yang normal (0 dB) demikian pula ambang sensorineuralnya juga normal (5 dB). Jika kita menguji pendengaran telinga kiri dengan hantaran udara, maka kita akan mendapatkan ambang dengar 5 dB HL (0+5 dB HL). Untuk hantaran tulang telinga kiri (bone conduction = BC) , didapatkan ambang dengar 5 db. Pengukuran BC dilakukan melalui sistem mekanik yang menstimulasi koklea kiri oleh vibrator BC (dan didapatkan ambang dengar 5 dB). Pemeriksaan ini menggambarkan sensitivitas pendengaran telingan kiri Joan pada 1000 Hz secara akurat. Pengujian fungsi pendengaran telinga kanan lebih sulit, karena perbedaan ambang dengar kedua telinga sangat besar, maka sebelum kita mencapai ambang dengar 95 dB, tulang tengkorak sudah tervibrasi cukup kuat sehingga telinga kiri terangsang. Kita dapatkan, Joan telah berespon ketika ambang dengar baru mencapai 70 dB di telinga kanan. Karena kita sebelumnya telah mengetahui ambang dengar sebenarnya dari telinga kanan adalah 95 dB, maka respon yang terjadi pada 70 dB merupakan respon cross-hearing (seperti ketika dia mampu mendengar suara di telinga kiri dengan BC). Untuk membuktikan bahwa ini bukan ambang dengar yang sesungguhnya dan untuk mengetahui ambang dengar yang sesungguhnya, kita butuh sesuatu yang menyebabkan telinga kiri tidak ikut terlibat ketika melakukan pemeriksaan telinga kanan. Untuk itu diberikan suara bising masking ke telinga yang lebih baik (telinga kiri) sehingga ambang dengar telinga kiri akan naik sehingga suara yang cross-over tidak terdengar. Dengan ini maka kita yakin bahwa yang kita uji adalah telinga kanan. Sebaliknya tanpa masking, akan didapatkan adanya kurva bayangan telinga yang baik. Kurva bayangan pada telinga yang lebih buruk merupakan gambaran dari konfigurasi telinga yang lebih baik (khususnya kurva hantaran tulang). Masking bukan prosedur bebas Jika masking dilakukan secara bebas maka setiap pasien akan dimasking, dan ini tidak bijaksana. Maka terdapat 3 prinsip dalam masking: Masking dilakukan bila dicurigai bahwa pasien kemungkinan mendengar pada telinga yang tidak diuji (nontest ear = NTE) Masking dilakukan bila ada keraguan tentang kemungkinan cross-hearing. Jangan dilakukan masking jika didapatkan alasan yang kuat untuk tidak melakukannya seperti pada pasien yang bingung. Pada keadaan ini ambang dengar tanpa masking, hasilnya harus dipertanyakan dan dibutuhkan teknik lain untuk mendapatkan hasil yang valid. 57 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Selanjutnya kita akan membahas mengapa masking tidak bisa dilakukan secara bebas. Prosedur masking memakan waktu, dibutuhkan beberapa tahap tambahan pemeriksaan : o Kita harus memberikan instruksi ulang ke pasien yang menjelaskan akan adanya suara bising di telinga yang tidak diperiksa dan diminta untuk tidak menghiraukan suara tersebut. o Untuk tes konduksi tulang, perlu masuk ke ruang tes dan pasien menggunakan headphone. o Untuk tes ambang dengar, seseorang harus mencek ulang ambang dengar setiap kali level masking diubah. Dari sudut pandang pasien, suara bising kadang-kadang tidak nyaman dan mengganggu, dan beberapa orang menjadi cepat lelah selama masking. Dan perlu diperhatikan adanya kemungkinan perpindahan ambang dengar sementara pada telinga yang tidak diperiksa setelah periode masking. Akibatnya, jika dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut pada telinga tersebut, maka kemungkinan terdapat respon yang bervariasi. Masking dapat menjadi kontra-indikasi pada beberapa kasus. Contohnya pada anak- anak, yang menjadi bingung dengan adanya masking, atau pada pasien dengan kerusakan otak atau yang mempunyai masalah di proses pendengaran sentral akan menghasilkan ambang pendengaran yang lebih buruk karena mempertinggi efek sentral. Masking sentral adalah peralihan ambang dengar yang tidak diharapkan dari telinga yang diuji, sebagai akibat dari masking di telinga yang tidak diuji. Karena pertimbangan waktu pemeriksaan, efek pada pasien dan kemungkinan terjadinya penyimpangan pengukuran ambang dengar sendiri, maka harus dihindari penggunaan masking yang tidak perlu. Mengapa dapat terjadi Pendengaran Menyilang (Cross Hearing) ? Kita ingat kembali pada contoh kasus Joan, yang mampu mendengar suara pada telinga yang lebih baik (cross-hearing) sebelum ambang dengar yang sesungguhnya dicapai pada telinga yang diuji. Bila kita bandingkan intesitas di telinga yang diuji dengan telinga yang tidak diuji, dibutuhkan level yang lebih tinggi pada telinga yang diuji (meskipun ini tidak terdengar ditelinga tersebut). Alasan mengapa dibutuhkan desibel yang lebih banyak untuk dapat didengar oleh telinga yang tidak diuji adalah karena dibutuhkan energi yang cukup untuk menggetarkan tengkorak dan selanjutnya dibutuhkan lebih banyak lagi energi untuk merangsang koklea telinga yang tidak diperiksa. Perbedaan nilai ambang ini atau energi yang hilang, dari telinga yang diperiksa untuk mencapai koklea telinga yang tidak diperiksa disebut atenuasi interaural (interaural attenuation=IA) Karena cross-hearing terutama terjadi akibat peristiwa vibrasi melewati tulang tengkorak, maka ambang dengar hantaran tulang (BC) pada telinga yang tidak diuji menentukan apakah suara yang menyeberang dari telinga yang diperiksa ini dapat didengar atau tidak.Karena alasan ini maka pertimbangan utama untuk cross-hearing berdasarkan pada ambang dengar hantaran tulang di telinga yang tidak diuji dan bukan ambang dengar hantaran udara. 58 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Bagaimana IA diterapkan, kembali ke gambar 9.1. Di sini kita lihat ketika intensitas mencapai 70 dB di telinga yang diperiksa, Joan telah berespon karena dia mendengar suara di telinga yang tidak diperiksa. Ini menunjukkan bahwa dibutuhkan 65 dB dari telinga kanan, melewati tulang tengkorak untuk mencapai koklea telinga kiri. Perbandingan ambang dengar hantaran udara telinga kanan (70 dB) dengan ambang dengar hantaran tulang telinga kiri (5 db) adalah 65 dB IA. Sehingga IA Joan adalah 65 dB pada 1000 Hz. IA yang khas untuk individu yang menggunakan supra-aural receivers dan cushions adalah sekitar 60 dB. Maka tidaklah mengejutkan nilai IA Joan. Dua faktor yang menentukan berapa besar intensitas suara yang diberikan ke telinga yang diuji sebelum terdengar di telinga yang tidak diuji adalah : (a) nilai IA Joan dan (b) ambang dengar hantaran tulang di telinga yang tidak diuji. IA umumnya berkisar antara 40-80 dB pada 1000 HZ. Jika Joan mempunyai IA 40 dB, bukan 65 dB, maka dia akan berespon di 45 dB HL (40 IA + 5 dB BCNTE), bukan di 70 dBHL. Sementara itu bila IAnya 80 dB, maka suara menyilang akan terjadi pada 85 dB (80+5= 85 dB). Dengan 85 dB HL di telinga yang diuji, intensitas suara belum mencapai ambang dengar Joan yang sesungguhnya, 95dB, sehingga masih terjadi suara menyilang. Variabel lain yang membantu menentukan tanda adanya penyeberangan suara adalah ambang dengar hantaran tulang. Jika dia mempunyai tuli sensorineural dengan ambang dengar 20 dB pada telinga yang tidak diperiksa dan IA 65 dB, maka pada level berapa dia akan berespon? Dalam hal ini dibutuhkan 85 dB HL pada telinga yang diuji sehingga terjadi penyeberangan suara di telinga yang tidak diuji (65 IA + 20 dBNTE = 85 dB). Enam puluh lima dB dibutuhkan untuk menyeberang dan sampai di koklea kiri pada 0 dB HL dan kemudian dibutuhkan tambahan 20 dB untk mencapai ambang dengar hantaran tulangnya. Bila ambang dengar hantaran tulang adalah –5 dB, maka hanya dibutuhkan 60 dB HL untuk terjadinya suara menyilang 65IA – 5 dB BCNTE = 60). Atenuasi Interaural Minimum (Minimum Interaural Attenuation=MinIA) Mudah dimengeti bahwa rata-rata IA pada pengguna aural receiver adalah sekitar 60 dB. Ini dapat diduga dari table 9.1 dari Goldstein dan Newman (1994), berdasarkan pada range IA pada kelompok subjek di 3 penelitian menggunakan supra-aural headphones. Dengan mengunakan nilai terendah IA pada penelitian ini, mereka merekomendasikan IA minumum sebesar 35 sampai 50 dB dari beberapa frekuensi (table 9.2). Tabel 9.1. Range of Interaural Attenuation Values for Air-Conducted Signals Under Supraural Earphones Frekuensi (Hz) Penelitian 125 250 500 1000 2000 4000 8000 Coles & Priede 50- 45- 40- 45- 50- (1968) 40- 80 80 80 75 85 45- Liden, dkk 75 45- 50- 45- 45- 45- 80 (1959b) 32- 75 70 70 75 75 51- Chaiklin 45 44- 54- 57- 55- 61- 69 (1967) 58 65 66 72 85 59 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran Tabel 9.2. Recommended Values for Interaural Attenuation for Air-Conducted Signals Frekuensi 125 250 500 1000 2000 4000 8000 Perbedaan dB antara kedua 35 40 40 40 45 50 50 telinga IA minimal (Min IA) merupakan nilai yang penting untuk menentukan apakah masking diperlukan, sementara nilai rata-rata IA membantu memahami bahwa pada hampir sebagian besar kasus tidak terjadi cross hearing pada Min IA. Karena kita tidak tahu pasien mana yang mempunyai min IA, maka setiap pasien harus dianggap dahulu mempunyai IA yang kecil. Pada table 9.1. dan 9.2. menunjukan bahwa IA makin besar dengan meningkatnya frekuensi. Selain itu, lebarnya jangkauan nilai IA di penelitian tersebut menunjukan bahwa beberapa orang mempunyai tengkorak yang tebal dan beberapa orang lainnya tipis.. Walaupun hanya sedikit individu yang mempunyai Min IA, kita harus menggunakan kriteria Min IA untuk masking tanpa didahului tes terlebih dahulu, karena kita tidak tahu bagaimana memperkirakan IA seseorang tanpa dites terlebih dahulu. Bertahun-tahun kita menggunakan perbedaan 40 dB antara level respon telinga yang diperiksa dengan ambang dengar BC di telinga yang tidak diperiksa sebagai kriteria masking. Ini tidak efisien, dapat menyebabkan beberapa kesalahan, dan increased the wear and tear pada pasien kami karena pada frekuensi yang lebih dari 2000 Hz, Min IA adalah 45 atau 50 dB (dan pada 125 Hz, Min IA adalah 35 dB). Dengan menggunakan Min IA yang sesuai dengan frekuensi, pemeriksaan masking yang tidak perlu bisa dihindari. Dengan kriteria ini maka pemeriksaan pun menjadi sederhana dan menghemat waktu. Apakah Masking itu ? Kita semua pernah mengalami masking, disadari atau tidak disadari. Di Subway kota New York, masking kadang-kadang keras dan menyakitkan. Bising begitu kerasnya sehingga kita harus menaikkan level bicara kita bahkan berteriak dan masih mungkin belum dapat pula melebihi level tekanan suara (SPL) yang masuk ke (flooding) telinga pendengar. Kita mungkin tidak sadar dengan bising di sekitar kita. Jika bising berupa suara dengungan dari sistem ventilasi atau kulkas, mungkin kita tidak sadar sampai benar- benar memperhatikan bunyi tersebut. Jika kita ukur SPL ruangan maka akan didapatkan bising dengan level yang tinggi pada frekuensi rendah. Jika pendengaran kita normal dan dites tanpa headphones (dari pengeras suara atau oscillator BC), maka akan didapatkan respon pendengaran yang lebih buruk (ambang dengar meningkat) pada frekuensi nada rendah dibanding nada tinggi. Peningkatan ambang dengar ini mengingatkan kita pada energi di frekuensi band of the masker yang menunjukan seberapa buruk ambang dengar yang mungkin terjadi. Pada masking klinik, agar 60 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran efisien, cakupan frekuensi yang sempit, di sekitar nada yang diperiksa, digunakan untuk mencegah terjadinya crosshearing (akan lebih dijelaskan di bagian selanjutnya). Gambar 9.3a. menggambarkan pendengaran tiga orang (dengan ambang dengar masing-masing -10 dB, 10 dB dan 25 dB). Seorang penghibur jalanan di subway berbicara pada mereka, namun energi suaranya di bawah dari kebisingan subway, sehingga mereka tidak dapat mendengarnya. Gambar 9.3B menunjukkan ketika penghibur tersebut menaikkan suaranya, baru terdengar oleh mereka dengan baik dan sama. Meskipun ambang dengar mereka agak berbeda, namun ambang dengar masking agak sama di antara mereka, berbeda hanya sekitar 5 dB (lihat A, yang mewakili ambang ketiga pendengar tersebut). Konsep ini lebih masuk akal bila kita ingat bagaimana suara redup dapat membentuk amplitudo yang kecil di membran basilar sedangan suara yang keras menghasilkan amplitudo yang besar di koklea. Jika bising subway kota New York menghasilkan amplitudo yang besar pada membran basilar, maka agar dapat terdengar, diperlukan suara yang yang besar yang melebihi bising ini. Spektrum kritis (Critical Bands) Kita ketahui dari penelitian psikoakustik bahwa energi pada spektrum kritis menentukan berapa besar suara yang harus dimasking. Energi terpusat pada frekuensi 1000 Hz, dengan jangkauan ferekuensi yang relatif kecil, menentukan ambang dengar mana yang harus dinaikkan pada frekuensi tertentu. SPL diluar dari spektrum kritis tidak akan mengubah ambang dengar, hanya akan menambah kekerasan bising. Apakah ini nada murni atau bicara, spektrum kritis untuk bising yang berhubungan akan mempengaruhi efek masking. Pada kasus tiga orang di atas, perbedaan ambang rangsang secara individu tidak menggambarkan respon masking mereka. Malah pendengaran mereka meningkat sekitar level yang sama, tergantung pada energi di spektrum kritis. Besarnya amplitudo yang terjadi di membran basilar dengan intensitas suara 10 dB atau bising, lebih dari intensitas suara 40 dB atau 75 dB. Makin besar amplitudo yang dihasilkan, maka semakin besar energi pada spektrum kritis yang dibutuhkan agar suara tidak terdengar. Masking Lautan seperti Lautan Air Pengalaman pembaca di lautan, danau atau kolam renang akan membantu memahami pentingnya konsep masking. Sebagai contoh, terdapat 3 sukarelawan, masing-masing dengan tinggi 4 kaki, 5 kaki dan 6 kaki. Disiapkan kolam renang yang airnya telah dikosongkan, dan ketiga sukarelawan tersebut masuk kedalamnya. Mereka berdiri di dasar kolam renang, dan tinggi mereka ditandai pada dinding kolam renang. Dipompakan air ke dalam kolam renang setinggi 1 kaki, tinggi mereka diukur kembali. Tidak didapatkan perubahan tinggi badan ketiganya. Kemudian ditambahkan air kolam menjadi 2 kaki, lalu 3 kaki dan masih tidak ada perubahan tinggi badan. Namun ketika air kolam mencapai 4 kaki, bagian kepala sukarelawan yang tingginya 4 kaki, tidak lagi setinggi 4 kaki dari dasar kolam renang, menjadi lebih tinggi (karena dia harus bertahan hidup). Sedangkan 2 orang lainnya belum ada perubahan. Namun 61 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran perubahan juga terjadi di saat air telah mencapai 5 dan 6 kaki. Maka setelah 6 kaki air masuk ke kolam,maka tinggi ketiga sukarelawan tersebut lebih dari 6 kaki. Level Masking yang Efektif (Effective Masking Level=EML) EML menunjukan potensi masking. Ini akan menjawab pertanyaan : berapa besar intensitas bising yang harus diberikan agar terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang sama ? Contohnya EML 50 dB akan mengubah ambang dengar menjadi 50 dB HL ( untuk individu dengan ambang dengar 50 dB atau kurang). EML menjelaskan level ambang dengar seseorang yang seharusnya terjadi (kesalahan audiometri sekitar 5 dB) akibat masking. EML sangat penting dalam audiologi karena jika terdapat cross-hearing pada telinga yang tidak diuji, maka ambang dengar telinga tersebut harus dinaikkan sehingga cross- hearing dapat dihindari. Jika setelah pemberian masking, ternyata seseorang berespon pada level ambang dengar yang sama dengan sebelum masking pada telinga yang diuji maka ini bukanlah cross-hearing, melainkan ini ambang dengar asli telinga yang diuji. Namun jika terdapat cross-hearing maka masking yang adekuat akan merubah respon seseorang bahwa suara didengar pada telinga yang diuji ? EML menunjukkan kepada audiologis mengenai metoda yang mengontrol sensitivitas pendengaran seseorang di telinga yang tidak diuji. Kita ketahui dengan 35 dB EML, meskipun ambang dengar tanpa masking 10, 20 atau 30 dB, intensitas bising sebesar 35 db EML menunjukkan akan terjadinya amplituido yang cukup di membrana basilaris, bahkan untuk ambang dengar 30 dB, sehingga respon akan terjadi pada masking sebesar 35 dB Kesimpulan Pengalaman Masking-Air Jika kita perhatikan antara eksperimen dengan air dan masking, ditemui ada kemiripan. Tiga orang sukarelawan mempunyai ambang dengar masing masing A (10 dB), B (20 dB), C (30 dB). Jika kita tes ulang ambang dengar mereka setelah diberikan suara sebesar 5 dB EML, tidak mempengaruhi ambang dengar mereka. Ini mirip dengan percobaan di air, di mana bila air yang ditambahkan sedikit maka tidak membuat perubahan apapun. Jika EML lebih rendah dari ambang dengar seseorang (atau di bawah dagu pada percobaan air), maka tidak berefek apapun. Bahkan bila kita berikan masking sebesar 10 dB, juga belum merubah ambang dengar. Namun bila diberikan 15 atau 20 dB EML akan merubah respon A, tapi belum cukup merubah level B dan C. Dengan EML 25 dB akan merubah respon A dan B, dan dengan 35 dB akan merubah ambang dengar ketiga-tiganya. Maka dapat kita lihat sesuai dengan percobaan di kolam renang, tidak penting mulainya dari mana, suatu masking yang efektif akan menaikkan ambang dengar siapapun yang memiliki ambang dengar kurang atau sama dengan EML. Bagaimana halnya jika ambang dengar seseorang lebih besar dari EML? Tidak terjadi apapun. Bila ambang dengar seseorang 60 dB, kemudian diberikan masking sebesar 35 dB, maka masking ini tidak akan terdengar olehnya. Masking Minimun (Min Mask) Masking minimun merupakan nilai minimal yang perlu ditambahkan dari ambang dengar (5 dB) pada telinga yang tidak diuji sehingga masking bermakna. Untuk 62 Modul VI.1−Gangguan Pendengaran menghilangkan cross-hearing secara bermakna dibutuhkan minimal 5 dB untuk menaikkan ambang dengar di telinga yang tidak diuji. Di bawah nilai ini maka tidak akan merubah ambang dengar telinga yang tidak diuji, sehingga cross-hearing tetap terjadi. Min Mask untuk seseorang dengan ambang dengar 10 dB adalah 15 dB EML. Jika ambang dengar seseorang adalah 40 dB di telinga yang tidak diuji maka berapa besar EML yang dibutuhkan untuk min Mask? Adalah sebesar 45 dB, atau 5 dB lebih besar dari ambang dengarnya. Penelitian Masking Versus Penerapan Masking Klinik Masking klinik langsung ditujukan pada telinga yang tidak d

Use Quizgecko on...
Browser
Browser