Dinamika Pengelolaan Hutan Pasca UU 32 Tahun 2024 PDF

Summary

Dokumen ini membahas dinamika pengelolaan hutan di Indonesia pasca terbitnya UU 32 Tahun 2024. Diuraikan klasifikasi hutan, prinsip 3P, dan perubahan pada UU No. 5 Tahun 1990 seputar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Termasuk pembahasan mengenai pengelolaan kawasan hutan Gunung Tambora.

Full Transcript

Dinamika Pengelolaan pasca terbitnya UU 32 Tahun 2024 Deny Rahadi, S.Hut., M.Si November 2024 KLASIFIKASI HUTAN OUTLINE METAMORFOSA PENGELOLAAN TN TAMBORA DINAMIKA KSDAE PASCA TERBITNYA UU NO 32 TAHUN 2024 KLASIFIKASI HUTAN BERDASARKAN FUNGSINYA...

Dinamika Pengelolaan pasca terbitnya UU 32 Tahun 2024 Deny Rahadi, S.Hut., M.Si November 2024 KLASIFIKASI HUTAN OUTLINE METAMORFOSA PENGELOLAAN TN TAMBORA DINAMIKA KSDAE PASCA TERBITNYA UU NO 32 TAHUN 2024 KLASIFIKASI HUTAN BERDASARKAN FUNGSINYA (UU No 41 Tahun 1999) HUTAN Hutan Produksi Hutan Lindung Hutan Konservasi KAWASAN SUAKA KAWASAN PELESTARIAN Taman Buru ALAM ALAM 1. Cagar Alam 1. Taman Nasional 2. Suaka Marga Satwa 2. Taman Hutan Raya 3. Taman Wisata Alam Prinsip 3P dan Istilah UU NO 5 KSA serta KPA 1990 SK.117KSDAE/SETKSDAE/KSA.0/6/2024 4 20 Units UU NO 32 2024 UU NO 41 1999 212 Units 86 Units 57 Units 134 Units 49 Units 10 Units Status dan Fungsi Hutan Perencanaan Kehutanan UU NO 41 Pengurusan Hutan Pengelolaan Hutan Penelitian&Pengembangan, Diklat, 1999 Penyuluhan Pengawasan Inventarisasi Hutan UU NO 5 Pengukuhan Kawasan Hutan 1990 Perencanaan Kehutanan Penatagunaan Kawasan Hutan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Penyusunan Rencana Kehutanan UU NO 32 2024 Tata Hutan dan penyusunan RPH Pengelolaan Hutan Pemanfaatan Hutan & Penggunaan Kawasan Hutan Rehabilitasi&Reklamasi Hutan Perlindungan hutan & Konservasi Alam Tata Hutan Pembagian kawasan hutan dalam blok- blok berdasarkan ekosistem, tipe, UU NO 41 fungsi dan rencana pemanfaatan hutan 1999 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Peraturan Pemerintah No 6 RPH serta Pemanfaatan Hutan Tahun 2007 UU NO 5 1990 Kegiatan Tata Hutan : Penyusunan RPH : ▪ Tata Batas Rencana Pengelolaan Jangka UU NO 32 ▪ Inventarisasi Hutan Panjang 2024 ▪ Pembagian Ke Dalam Blok atau Rencana Pengelolaan Jangka Zona Pendek ▪ Pembagian Petak dan Anak Petak ▪ Pemetaan Tata Hutan Pembagian kawasan hutan dalam blok- blok berdasarkan ekosistem, tipe, UU NO 41 fungsi dan rencana pemanfaatan hutan 1999 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2021 UU NO 5 1990 Kegiatan Tata Hutan : Penyusunan RPH : ▪ Inventarisasi Hutan Rencana Pengelolaan Jangka UU NO 32 ▪ Perancangan Tata Hutan Panjang (10 Th) 2024 ▪ Penataan Batas Rencana Pengelolaan Jangka ▪ Pemetaan Pendek (1 Th) DOKUMEN RENCANA PENGELOLAAN KEGIATAN di 2024 Inventarisasi & Monitoring KEHATI Patroli 365 Metamorfosa Pengelolaan Kawasan 1937 KAWASAN HUTAN GUNUNG TAMBORA (RTK 53) Berdasarkan Keputusan ZB Nomor 8 Tanggal 12 Februari 1937 dan RB Nomor 45/XII/ZBZ tanggal 5 Juni 1937 1999 KAWASAN CAGAR ALAM, SUAKA MARGASATWA, TAMAN BURU Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.418/Kpts-II/1999 tanggal 5 Juni 1999 2013 USULAN PERUBAHAN FUNGSI POKOK KAWASAN (KSA ⮕ KPA) Berdasarkan Surat Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 520/294/Ekon Metamorfosa Pengelolaan Kawasan (2) 2015 TAMAN NASIONALTAMBORA Berdasarkan Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.111/MenLHK- II/2015 tanggal 7 April 2015 tentang Penunjukan Kawasan Konservasi PENGELOLAAN BERALIH 2016 KE BALAI TAMAN NASIONAL TAMBORA 2020 REVISI ZONASI TAMAN NASIONAL TAMBORA Metamorfosa Pengelolaan Kawasan (3) 2024 TAMAN NASIONALTAMBORA PASCA TERBITNYA UU 32 Tahun 2024 ?? ? Apa implikasinya terhadap pengelolaan TN? PERUBAHAN ATAS UU NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN 41 UU NO 32 EKOSISTEMNYA 2024 POIN-POIN PEMBAHARUAN : Penguatan Peran dan Tanggung Jawab Penyelenggaraan KSDAHE UU NO 5 Penegasan Lokus Kegiatan Konservasi : KSA dan KPA, kawasan konservasi di perairan, 1990 wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil (KKPWP3K), dan Areal Preservasi. Penguatan Aspek Pengawetan dan Pemanfaatan Bagi Sumber Daya Genetik Penguatan Peran Serta Masyarakat, termasuk Masyarakat Adat Penguatan Aspek Pendanaan untuk Biodiversity Penguatan Aspek Penegakan Hukum Penguatan Kewenangan PPNS Penguatan Larangan, Sanksi, & Pidana Detail Perubahan UU 5 / 1990 Pasal Semula berjumlah 16 butir angka menjadi 27 butir angka 1 Definisi yang ditambahkan yaitu: Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan. Pengawetan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pemanfaatan secara lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sumber Daya Genetik dan Keanekaragaman Genetik. Areal Preservasi. Penambahan subyek hukum seperti Setiap Orang, Korporasi, PPNS, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah. Definisi yang ditambahkan yaitu: Areal di luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Kawasan Konservasi di Perairan, Wilayah Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil yang dipertahankan kondisi ekologisnya untuk mendukung fungsi penyangga kehidupan ataupun kelangsungan hidup Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Detail Perubahan UU 5 / 1990 (2) Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Pasal Ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah Pusat dan 4 Pemerintah Daerah serta masyarakat. *Penambahan Frase “Pemerintah Daerah”, hal ini sejalan dengan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah Kegiatan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilaksanakan pada: Pasal Kawasan Suaka Alam dan Kawasan 5a Pelestarian Alam; Kawasan Konservasi di Perairan, Wilayah Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil; dan Areal Preservasi. Detail Perubahan UU 5 / 1990 (3) Pasal 5a Penetapan dan Pengelolaan Kawasan Penetapan dan Pengelolaan KSA Konservasi di Perairan, Wilayah Pesisir, KPA menjadi kewenangan Menteri dan Pulau-Pulau Kecil menjadi kewenangan dibidang Kehutanan Menteri dibidang Perikanan dan Kelautan Kewenangan KKP Kewenangan KLHK Kegiatan Konservasi TSL tertentu di Kegiatan Konservasi TSL yang berada di habitat perairan laut di KSA dan KPA Kawasan Konservasi di perairan, wilayah dilaksanakan sesuai ketentuan pesisir, dan pulau-pulau kecil dilaksanakan perundang-undangan dibidang sesuai ketentuan perundang-undangan kelautan & perikanan. dibidang KSDAHE Pasal 8 Detail Perubahan UU 5 / 1990 (4) Areal preservasi, dapat berupa: Areal Preservasi dapat ▪ Daerah penyangga KSA, KPA, dan kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir dan berasal dari kawasan HL, pulau-pulau kecil; HP, dan APL ▪ Koridor ekologis atau ekosistem penghubung; ▪ Areal dengan nilai konservasi tinggi; Dituangkan dalam Peta ▪ Areal konservasi kelola masyarakat; dan/atau Arahan Areal Preservasi ▪ Daerah perlindungan kearifan lokal. Detail Perubahan UU 5 / 1990 (5) Terdapat perubahan berupa penambahan Pasal “pengawetan keanekaragaman genetik” 11 sebagai bagian dari kegiatan pengawetan. Mengalami perubahan, yang menerangkan bahwa: Kegiatan pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan di dalam dan di luar habitat alaminya. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di KSA dilakukan dengan menjaga agar populasi semua jenis tumbuhan Pasal dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya. 13 Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar KSA dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan. Pengawetan keanekaragaman genetik tumbuhan dan satwa dilakukan dengan menjaga kemurnian genetiknya. Detail Perubahan UU 5 / 1990 (6) Pasal 18 Dalam rangka kerja sama konservasi internasional, KSA dan/atau Kawasan Tertentu lainnya dapat diusulkan sebagai Cagar Biosfer dan status internasional lainnya 20 Detail Perubahan UU 5 / 1990 (7) Pasal 26 Mengatur bentuk-bentuk pemanfaatan secara lestari Sumber Daya Alam Hayati dan Kondisi lingkungan yg Ekosistemnya. dapat dimanfaatkan : Pasal ini memberikan kepastian terhadap jenis- Wisata alam jenis pemanfaatan yang berada di KPA. Air dan energi air Panas matahari Bentuk kegiatan pemanfaatan: Angin Pemanfataan Kondisi Lingkungan KPA Panas bumi, dan/atau Pemanfaatan Jenis TSL Karbon Pemanfaatan Sumber Daya Genetik TSL Mengatur bahwa pengelolaan TN dan TWA Detail Perubahan UU 5 / 1990 (8) Pasal dilaksanakan oleh Pemerintah, sedangkan 34 pengelolaan Tahura dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah *Mengatur Kewenangan Pemerintah Daerah Pemanfaatan jasa lingkungan tersebut dilakukan melalui izin oleh pemerintah Berdasarkan rencana pengelolaannya, di dalam atau pemerintah daerah, dan dikecualikan bagi perorangan yang zona/blok pemanfaatan TN, TWA dan Tahura dapat memanfaatkan air dan energi air untuk dilaksanaan pemanfaatan jasa lingungan berupa : pemenuhan kebutuhan pokok sehari- Wisata alam hari dan bukan dalam bentuk usaha. Air dan energi air Pemanfaatan air dan energi air bagi Panas matahari perorangan ini dapat dilakukan pada Angin semua zona/blok kecuali zona rimba, Panas bumi, dan/atau zona inti, dan blok perlindungan di TN, Karbon TWA, dan Tahura. Detail Perubahan UU 5 / 1990 (9) Pasal 36A Pemerintah dapat menghimpun dana konservasi yang berasal dari sumber lain Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang sah, dan digunakan untuk sesuai dengan kewenangannya membiayai kegiatan KSDAHE. bertanggung jawab menyediakan Dana yang dihimpun tersebut pendanaan yang memadai dan berkelanjutan untuk kegiatan KSDAHE dikelola dalam bentuk dana Pendanaan melalui: perwalian. ▪ anggaran pendapatan dan belanja Pemerintah memberikan pembagian negara; ▪ anggaran pendapatan dan belanja hasil yang berkeadilan atas Pemanfaatan secara Lestari Sumber daerah; dan/atau ▪ sumber lain yang sah sesuai Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta memberikan insentif untuk dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya KSDAHE. Detail Perubahan UU 5 / 1990 (10) Pasal 37 Terhadap Pasal 37 dilakukan perubahan yang sifatnya penguatan peran serta masyarakat dalam upaya KSDAHE, termasuk pelibatan Masyarakat Hukum Adat. Peran Serta Peran serta masyarakat dalam KSDAHE diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui Masyarakat berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam mengembangkan peran serta masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan dan meningkatkan sadar KSDAHE di kalangan masyarakat melalui pendidikan dan penyuluhan. BAB XIII & BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP Detail Perubahan UU 5 / 1990 (11) Pada Bab XIII terkait Ketentuan Peralihan, perubahan Pasal 41 menyebutkan KSA dan KPA yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan, dinyatakan tetap sah dan berlaku. PASAL 43A 1.Saat UU No. 32/2024 ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 5/1990 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU No. 32/2024. 2. Pasal 33 dan Pasal 69 huruf c UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air, yang melarang pendayagunaan air di KSA dan KPA, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. UU 32 TAHUN 2024 TERIMA KASIH DESAIN KAWASAN  KONSERVASI Tien Lastini Kawasan Konservasi  ❑ Tiga kriteria bagi perlindungan jenis dan komunitas: – Kekhasan – Keterancaman (Sensitif Area) – Kegunaan ▪ UU No. 32 tahun 2024 Tentang : PERUBAHAN ATAS UNDANG.UNDANG NOMOR 5 TAHUN I99O TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA, masih mencantukan 3P, yakni: – Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan – Pengawetan Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya – Pemanfaatan secara Lestari SDH dan Ekosistemnya   Beberapa pendekatan yang digunakan : – Pendekatan jenis / spesies – Pendekatan komunitas dan ekosistem – Pendekatan kawasan dan manusia  Pendekatan spesies Pendekatan spesies  “Kunci untuk menyelamatkan spesies adalah dengan melindungi populasi yg ada”.  Minimum Viable Population (MVP), (Shafer, 1981)  Minimum Dynamic Area (MDA) Ex: - Harimau Sumatra daya jelajah + 100 km - Orang utan daya jelajah + 2-10 km - Vertebrata 7000 sp dapat bertahan 40 tahun,sedangkan avertebrata & tumbuhan semusim 10.000 sp (Reed dkk, 2003)  Contoh Suaka Marga Satwa No Nama Kawasan Lokasi Luas (Ha) 1 BALAI RAJA Bengkaslis , Riau 18.000,00 2 BARUMUN Tapanuli Tengah, Sumut 40.330,00 3 BENTAYAN Banyuasin, Sumsel 19.300,00 4 Muara ANGKE; Jakut, DKI 25,02 5 Gunung SAWAL Ciamis, Jabar 5.400,00 6 LAMANDAU Kotawaringi Barat, Kalteng 76.110,00  Masalah Populasi Berukuran Kecil 1. Hilangnya keragaman genetik ex: inbreeding depression dan genetic drift 2. Perubahan demografi ex: laju kelahiran & kematian 3. Perubahan lingkungan Ex:kebakaran, kebanjiran, kompetisi, penyakit dll  Pendekatan komunitas dan ekosistem UKURAN DAN KARAKTERISTIK  KAWASAN KONSERVASI Terdapat 2 rancangan: 1. Satu kawasan (tunggal) yang berukuran besar, atau 2. Beberapa kawasan dengan ukuran kecil dan lokasi terpisah, namun memiliki luasan yg sama dgn No 1. Terjadi perdebatan Single Large or Several Smal (SLOSS) Desain kawasan    Fragmentasi ▪ Fragmentasi Habitat http://wolvesonceroamed.files.wordpress.com/2012/02/fragmentation.jpg Dampak Fragmentasi  ▪ Dalam fragmentasi habitat ada enam proses terpisah yang dapat dipertimbangkan yaitu: 1) Berkurangnya luas total dari habitat 2) Meningkatnya jumlah wilayah tepi (edge) 3) Berkurangnya luasan habitat interior 4) Terisolasinya suatu fragment (potongan) habitat dari wilayah habitat lainnya 5) Terpecahnya satu patch (kantong) habitat menjadi beberapa patch (kantong) habitat yang lebih kecil 6) Berkurangnya ukuran rata-rata setiap patch (kantong) habitat Forest  Fragmentation at Balairaja, Indonesia (Source: Prasetyo 2007)  KORIDOR HABITAT ▪ Menghubungkan kawasan yang dilindungi yang terisolasi agar dapat terbentuk suatu sistem kawasan yang lebih besar. ▪ Di Indonesia : Jawa Barat: Gn Salak-Gn Halimun-Gn Gede-Pangrango. Jawa Timur : TN Baluran, TN Alas Purwo  Definisi ▪ Corridors are continuous, narrow patches of vegetation that facilitate movement among habitat patches, thereby preventing isolation of populations (Merriam 1984). ▪ Corridors are habitats that permit the movement of organisms between ecological isolates (Newmark 1993). ▪ Stepping stones are a series of small patches connecting otherwise isolated patches (Baum et al. 2004) TN Gn Halimun Salak  Gunung Halimun  (Photo: Clark 2007) Koridor Halimun Salak  By: Juhana Nieminen University of Helsinki Koridor di Gn. Halimun- Gn. Salak  Google Earth,2021  GN GEULIS SEBAGAI CEKUNGAN BANDUNG  PETA MODEL HUTAN PENDIDIKAN  Zona Agroforestri luar kawasan Zona Restorasi Htn Hjn Peg Rendah Zona Agroforestri dlm Zona Restorasi kawasan Htn Hjn Dataran Rendah Zona Pemanfaatan Produksi HHNK Zonasi Cagar Biosfer Cibodas   ZONASI DI KAW KONSERVASI From forests to cultivated landscapes   KRITERIA UMUM PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI Kriteria dalam memilih calon lokasi konservasi: 1. Kriteria Ekologi, 2. Kriteria Sosial, 3. Kriteria Ekonomi, 4. Kriteria Regional, 5. Kriteria Pragmatik. Kriteria Ekologi  1. Keanekaragaman, varietas atau kekayaan (richness) ekosistem, habitat, komunitas dan spesies. 2. Alamiah, yaitu ketidakadaan gangguan atau perusakan. 3. Ketergantungan, yaitu tingkatan yang mana suatu spesies tergantung pada daerah yang ditempati, atau tingkatan yang mana suatu ekosistem tergantung pada proses ekologis yang terjadi di daerah tersebut. 4. Perwakilan (Representativeness), tingkatan yang mana suatu daerah mewakili suatu tipe habitat, proses ekologis, komunitas biologis, kondisi fisiografis atau karakteristik alam lainnya. 5. Keunikan, sebagai contoh adalah habitat dari spesies langka yang terdapat hanya di satu daerah. Kriteria Ekologi (Lanjutan..) 6. lntegritas, yaitu tingkatan yang mana suatu daerah merupakan suatu unit yang berfungsi atau efektif, mampu melestarikan ekologis sendiri. 7. Produktivitas, yaitu tingkatan yang mana proses produksi di dalam area menyumbangkan keuntungan-keuntungan kepada spesies atau manusia. 8. Kerentanan (Vulnerability), yaitu kerentanan daerah terhadap kerusakan oleh peristiwa alam atau aktivitas manusia. Tegakan Ramin di HTI Kriteria Sosial  1. Penerimaan masyarakat, yaitu tingkat dukungan masyarakat lokal. 2. Kesehatan masyarakat, yaitu tingkat kebersihan kawasan konservasi laut dari pencemaran atau penyakit pada manusia. 3. Rekreasi, yaitu tingkatan yang mana area bisa digunakan untuk rekreasi oleh masyarakat sekitar. 4. Budaya, yaitu nilai-nilai agama, sejarah, artistik atau nilai- nilai lainnya di lokasi. 5. Estetika, yaitu panorama laut, daratan, atau lainnya. 6. Konflik kepentingan, daerah lindung akan memengaruhi kegiatan masyarakat lokal. Kriteria Sosial (Lanjutan..) 7. Penyelamatan, yaitu terkait pada tingkat kebahayaan terhadap manusia dari arus deras, ombak, rintangan/halangan dari dasar laut, gelombang dan bahaya- bahaya lain. 8. Kemudahan, kemudahan yang dimaksud di sini adalah kemudahan lokasi untuk dijangkau baik melalui darat maupun laut oleh para pengunjung, mahasiswa, peneliti dan nelayan. 9. Penelitian dan pendidikan, terkait dengan kualitas pemanfaatan, yaitu area yang mempunyai berbagai sifat ekologis dan dapat dimanfaatkan untuk penelitian dan praktek kerja lapangan. Kriteria Sosial (Lanjutan..)  8. Kesadaran masyarakat, yaitu tingkatan yang terkait pada pemantauan, penelitian, pendidikan atau pelatihan di dalam area, yang dapat memberikan pengetahuan dan apresiasi nilai lingkungan dan tujuan konservasi. 9. Konflik dan kesesuaian, yaitu tingkatan yang terkait dengan manfaat area dalam membantu memecahkan konflik antara nilai-nilai sumberdaya dan aktivitas-aktivitas manusia, atau tingkatan yang sesuai atau cocok di antara keduanya. 10.Petunjuk (Benchmark), tingkatan yang mana area dapat dijadikan sebagai "lokasi kontrol" untuk penelitian ilmiah. Kriteria Ekonomi  1. Kepentingan untuk spesies, tingkatan yang terkait pada nilai penting spesies-spesies komersial tertentu yang ada di suatu area. 2. Kepentingan untuk perikanan, tergantung pada jumlah nelayan dan ukuran hasil perikanan. 3. Ancaman alam, yaitu perubahan lingkungan yang mengancam nilai secara keseluruhan bagi manusia. 4. Keuntungan ekonomi, upaya perlindungan akan mempengaruhi ekonomi lokal jangka panjang. 5. Pariwisata, yaitu nilai potensi daerah yang ada saat ini untuk pengembangan pariwisata. Kriteria Regional 1.Pengaruh wilayah, tingkatan yang mana daerah mewakili sifatsifat suatu wilayah, baik kondisi alam, proses ekologis atau lokasi budaya. 2.Pengaruh subwilayah, tingkatan yang mana suatu daerah mengisi gap dalam jaringan daerah-daerah lindung dari perspektif subwilayah. Kriteria Pragmatik 1. Urgensi, yaitu tingkatan dimana suatu tindakan harus segera dilakukan, nilai yang kurang penting pada suatu area harus di-transfer atau dibuang. 2. Ukuran, yang mana dan berapa macam habitat harus dimasukkan ke dalam daerah perlindungan. 3. Tingkat Ancaman, keberadaan dari potensi ancaman dari eksploitasi langsung dan proyek pembangunan. 4. Keefektifan, yaitu kelayakan implementasi program pengelolaan. Kriteria Pragmatik (Lanjutan) 5. Peluang, tingkatan dimana kondisi yang telah ada atau kegiatan yang sedang berlangsung, mungkin akan mengalami aksi di kemudian hari. 6. Ketersediaan (Availability), tingkatan mengenai ketersediaan daerah untuk dapat dikelola secara memuaskan. 7. Pemulihan, tingkatan dimana daerah mungkin dikembalikan ke kondisi alam semula. MKK SOFIATIN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Struktur Kelembagaan Formal untuk Tata Kelola Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Tata kelola adalah interaksi antara struktur, proses, serta tradisi yang menentukan bagaimana kekuasaan dan tanggung jawab dijalankan, bagaimana keputusan diambil, serta bagaimana warga negara atau pemangku kepentingan lainnya menyampaikan pendapat mereka (Graham, Amos, dan Plumptre 2003). Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam, tata kelola dapat dimaknai sebagai berikut: “Pengaturan dan kelembagaan, baik formal maupun informal, yang menentukan penggunaan sumber daya atau lingkungan; evaluasi dan analisa masalah serta peluang, perilaku yang diperbolehkan serta yang dilarang, serta aturan dan sanksi apa yang diterapkan untuk memengaruhi pola pemanfaatan sumber daya dan lingkungan.” (Juda 1999 dikutip dalam Christie dan White 2007). Prinsip Tata Kelola yang Baik : “Prinsip tata kelola yang baik”, dikategorikan sebagai: Legitimasi dan penyampaian pendapat ; Arahan; Kinerja; Akuntabilitas, Keadilan serta Hak (Borrini et al. 2013; Borrini-Feyerabend et al. 2014). Tipologi Tata Kelola IUCN dan CBD mengklasifikasikan empat tipe tata kelola untuk Kawasan Lindung dan Konservasi, berdasarkan siapa pihak/pelaku yang mengambil keputusan mendasar dalam penetapan, tujuan, dan pengelolaan kawasan (Tabel 1.1). Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Kawasan Konservasi Perairan, dapat didefinisikan secara luas sebagai “wilayah laut, pesisir, atau pulau kecil yang ditentukan secara spasial, yang dilindungi dan dikelola oleh sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya perikanan dan lingkungannya secara berkelanjutan” (PP RI No. 60/2007). Tata Kelola KKP di Dunia : Sejarah dan Tantangannya Sejarah tata kelola KKP yang dipimpin oleh negara dengan skema “top-down” (atas-bawah) sering berkorelasi dengan perlindungan keanekaragaman hayati akibat adanya eksploitasi sumber daya pada era kolonial dan pasca-kolonial yang terjadi di berbagai penjuru dunia (Christie dan White 2007). Berdasarkan pengalaman, penerapan model tata kelola KKP yang dipimpin oleh negara tanpa mempertimbangkan konteks lokal termasuk hak dan kebutuhan masyarakat lokal, akan menghasilkan keluaran keanekaragaman hayati dan sosial yang terbatas (Gaymer et al. 2014). Dengan minimnya masukan dari tingkat lokal pada pengembangan kelembagaan, tata kelola yang dipimpin negara sering kali mengarah pada pengelolaan yang kaku, tidak fleksibel, dan tidak memperhitungkan prioritas serta kebutuhan lokal (Glaser et al. 2010). Namun, tata kelola yang dipimpin negara dapat pula memainkan peran penting dalam keberhasilan KKP. Contoh : Undang-undang nasional dan federal tingkat tinggi mengizinkan otoritas pengelola KKP di Australia, Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA), untuk memberlakukan kebijakan zonasi KKP di negaranya. Contoh ini mencerminkan skenario sosio-ekologis yang tidak umum karena sebagian besar wilayah laut di Australia dikelola oleh negara (tidak dikelola oleh masyarakat dalam bentuk hak ulayat) dan dilakukan oleh sejumlah petugas yang terbatas. Hal ini bertolak belakang dengan skenario di negara yang memiliki kawasan terumbu karang yang umumnya memiliki perundangan dan yurisdiksi pengelolaan yang tumpang tindih, serta masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya laut untuk mata pencaharian dan ekonomi mikro (Ban et al. 2011). Contoh dari perbedaan ini adalah berkurangnya dukungan. Contoh : 1. KKP Pulau Apo di Filipina, ketika KKP tersebut beralih dari model berbasis masyarakat yang telah berlangsung lama dan sangat dipatuhi menjadi model yang dipimpin oleh negara (Hind, Hiponia, dan Gray 2010). 2. Tata kelola KKP yang dipimpin negara di Pantai Andaman di Thailand, otoritas taman laut dipandang sebagai pihak luar dengan pemahaman dan perhatian yang terbatas terhadap konteks dan kebutuhan masyarakat setempat (Bennett dan Dearden 2014a). 3. Efektivitas dua KKP di Malaysia menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan “top-down” mengakibatkan minimnya insentif bagi nelayan untuk berpartisipasi yang mengakibatkan rendahnya dukungan terhadap pelaksanaan pengelolaan (Islam et al. 2017). 4. Pengembangan dan implementasi KKP di Filipina (Oracion, Miller, dan Christie 2005). 5. Penerapan Zonasi di Florida Keys, Amerika Serikat Kelembagaan Tata Kelola KKP di Indonesia KKP diatur oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KemenKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK yang memiliki yurisdiksi lintas lingkungan darat dan perairan, mengelola kawasan lindung darat dan KKP. Kedua kementerian tersebut memiliki klasifikasi KKP tersendiri berdasarkan pada tujuan dan ruang lingkup konservasi. KemenKP memiliki 3 katagori KKP, yaitu : Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kawasan Konservasi Maritim (KKM) Kawasan Konservasi Perairan (KKP) KLHK mengklasifikasikan kawasan lindungnya menjadi dua kategori utama, yaitu : Kawasan Suaka Alam (KSA) Kawasan Pelestarian Alam (KPA) KKP di Indonesia dikelola dengan sistem zonasi untuk menyeimbangkan konservasi keanekaragaman hayati dengan berbagai pemanfaatan guna mendukung kesejahteraan manusia. Sistem zonasi KKP (atau sistem blok) di Indonesia bervariasi tergantung pada kategori/tipe KKP. Gambar 1.4. Klasif ikasi Zona /Blok untuk Kawasan Lindung KLHK Zona dalam KKP dapat dikategorikan secara luas sebagai : Zona non-ekstraktif (zona di mana kegiatan ekstraktif tidak diperbolehkan, seperti Zona Inti, Zona Rimba, Zona Rehabilitasi , dan Zona Pariwisata) Zona Pemanfaatan (zona di mana kegiatan ekstraktif diperbolehkan secara terbatas seperti Zona Pemanfaatan Terbatas, Zona Perikanan Berkelanjutan, dan sebagainya) Seluruh KKP KemenKP harus mengalokasikan minimal 2% dari total luasan kawasannya sebagai Zona Inti sesuai dengan Permen KP No. PER.30/ MEN/2010. KKP KemenKP dikelola oleh pemerintah pusat atau provinsi. Untuk Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN), KKP yang terletak di wilayah lintas provinsi atau dalam kawasan strategis nasional dan mungkin memiliki kebutuhan dan pengaruh strategis, dikelola langsung oleh KemenKP melalui kantor perwakilannya. Contoh : Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sewu dikelola oleh Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKPN) KKP yang dikelola oleh KemenKP di tingkat provinsi (Kawasan Konservasi Perairan Daerah/KKPD) yang terletak dalam wilayah perairan 0–12 mil laut dari garis pantai, unit pengelolanya adalah pemerintah provinsi sesuai dengan lokasi KKP tersebut (UU RI No. 23/2014). Gambar 1.5. A. Struktur Organisasi Pengelolaan Kawasan Konser vasi Perairan Nasional (KKPN) Gambar 1.5. B. Struktur Organisasi Pengelolaan Kawasan Konser vasi Perairan Daerah (KKPD) KemenKP mengelola sebanyak 166 KKP di seluruh Indonesia, termasuk di antaranya 10 KKPN yang berada di bawah pengelolaan langsung KemenKP, dan 156 KKPD di bawah pengelolaan langsung pemerintah provinsi (sampai Des 2019). Untuk pengelolaan KKPN, terdapat dua Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di bawah KemenKP, yaitu : Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru yang mengelola dua KKPN di wilayah barat dan tengah Indonesia. BKKPN Kupang yang mengelola delapan KKPN di wilayah timur Indonesia. KKPD KemenKP dikelola oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi di bawah arahan pemerintah provinsi. DKP dapat membentuk lembaga berupa UPTD atau Kantor Cabang Dinas (KCD). UPTD yang memiliki pengelolaan keuangan yang baik dapat bertransformasi menjadi UPTD-BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). KCD adalah kantor cabang DKP yang bertanggung jawab tidak hanya untuk mengelola KKP, namun juga masalah kelautan dan perikanan secara keseluruhan di tingkat kabupaten atau provinsi. Jenis kewenangan pengelolaan daerah yang dipilih tergantung pada kebutuhan dan sumber daya di setiap provinsi. Kawasan lindung KLHK berada langsung di bawah kewenangan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) (Permen Hut No. P.03/Menhut-II/2007), yang pada tahun 2015 diubah menjadi Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) (Permen LHK No. P.18/MENLHKII/ 2015a). Kegiatan pengelolaan di lapangan dilakukan oleh UPT Pada akhir tahun 2019, KLHK mengelola 30 KKP, termasuk tujuh Taman Nasional Laut (TNL) yaitu: (1) TNL Kepulauan Seribu, (2) TNL Karimun Jawa, (3) TNL Taka Bone Rate, (4) TNL Wakatobi, (5) TNL Kepulauan Togean, (6) TNL Bunaken, dan (7) TNL Teluk Cendrawasih. Seluruh KKP tersebut dikelola langsung oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) atau Balai Taman Nasional (BTN). Gambar 1.6. Struktur Organisasi Pengelolaan Kawasan Lindung dan KKP KLHK Proses Penetapan KKP dan Zona /blok Kawasan Lindung Gambar 1.7. Proses Penetapan KKP KemenKP untuk Katagori KKP3K dan KKP Gambar 1.8. Proses Penetapan Zona /Blok Kawasan Lindung oleh KLHK 5 Basis Kelola Kawasan Konservasi Regulation Based resep anti hoax Scientific Based Evidence Based Experience Based Precautionary Principle Based (Wiratno, 2022) 27 Spirit Kelola Kawasan Konservasi 1 Kepeloporan Prinsip 2 Keberpihakan 5K 5 4 3 Kepedulian Konsistensi Kepemimpinan (Wiratno, 2022) 1. Masyarakat Sebagai Subyek 10. Organisasi Pembelajar 2. Penghormatan pada HAM 9. Penghargaan dan 3. Kerjasama Lintas Eselon I Pendampingan 10 Cara (baru) Kelola Kawasan 8. Pengelolaan Konservasi 4. Kerjasama Lintas Kementerian Berbasis Resort 5. Penghormatan Nilai Budaya 7. Pengambilan Keputusan dan Adat Berbasis Sains 6. Kepemimpinan Multilevel (Wiratno, 2022) Pengarusutamaan Konservasi (Wiratno, 2022) Collective Pendekatan Awareness Pendekatan Struktural Kultural Mixed Collective Approach Action Pendekatan Pendekatan Hukum Edukasi Social Capital Terima kasih BW4101 Manajemen Kawasan Konservasi Pendahuluan Tinjauan Pustaka Metodologi Hasil dan Pembahasan K E L O M P O K 1 MODEL EVALUASI EFEKTIVITAS MANAJEMEN KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA MENGGUNAKAN METODE METT (MANAGEMENT EFFECTIVENESS TRACKING TOOL) 1 BW4101 Manajemen Kawasan Konservasi Pendahuluan Tinjauan Pustaka Metodologi Hasil dan Pembahasan Anggota Kelompok Muhammad Ihsan A Destriva Shava A Safina Dwiyanti S Hazim Setiawan Fara Aurellia Rahma 11521005 11521006 11521037 11521044 11521051 2 Ginyard BW4101 International Co. Manajemen Kawasan Konservasi Home Pendahuluan TinjauanVideo Pustaka About Us Metodologi Contact Hasil dan Pembahasan Pendahuluan Indonesia merupakan negara megabiodiversitas dengan lebih dari 17.000 pulau yang memiliki keanekaragaman ekosistem darat dan laut (Margono et al., 2014). Kawasan lindung mencakup sekitar 27% daratan dan kawasan laut yang luas, ditetapkan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menjaga keseimbangan ekologi. Ancaman meliputi perambahan, deforestasi, perburuan liar, dan aktivitas ekonomi tidak berkelanjutan (Gaveau et al., 2013). Kendala utama adalah keterbatasan dana, rendahnya kapasitas manajemen, serta konflik antara pembangunan ekonomi dan konservasi (Bruner et al., 2001). Evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan lindung penting untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang. Tujuannya adalah meningkatkan pengelolaan yang berkelanjutan. 3 Ginyard BW4101 International Co. Manajemen Kawasan Konservasi Home Pendahuluan TinjauanVideo Pustaka About Us Metodologi Contact Hasil dan Pembahasan METT (Management Effectiveness Tracking Tool) Menurut Buku Pedoman Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi yang dipublikasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017), METT (Management Effectiveness Tracking Tool) merupakan salah satu metode penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang diterapkan di berbagai negara, salah satunya di Indonesia. Metode METT dalam penilaiannya mengacu pada panduan umum penilaian yang ditetapkan oleh World Comission on Protected Areas (WCPA). Berdasarkan dokumen pedoman penilaian METT oleh KSDAE, penilaian METT yang diterapkan oleh KLHK melalui KSDAE di Indonesia mempertimbangkan beberapa hal, yaitu pengalaman implementasi, perangkat sederhana, dan menghasilkan gambaran yang terukur. Menurut Wardhana (2015), metode evaluasi METT merupakan salah satu penilaian yang cenderung cepat, cepat, murah dan mudah, dilaksanakan melalui kuisioner dan wawancara kepada pengelola kawasan, menggunakan sistem scoring dengan menerapkan beberapa prinsip dan aspek 4 Ginyard International BW4101 Manajemen Kawasan Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Pembahasan Contact ASPEK PENILAIAN METT Berdasarkan Buku Pedoman Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi yang dipublikasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017), terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penilaian METT 01 Pemahaman terkait konteks dari kawasan konservasi 04 Produk dan jasa yang dihasilkan sesuai dengan yang direncanakan 02 Perencanaan terhadap pengelolaan kawasan 05 Alokasi sumberdaya Dampak atau outcome yang dicapai berdasarkan 03 Kegiatan pengelolaan yang sesuai standar 06 tujuan pengelolaan 5 Ginyard International BW4101 Manajemen Kawasan Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Pembahasan Contact Prinsip - Prinsip METT Menurut Buku Pedoman Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi yang dipublikasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017), terdapat beberapa prinsip yang diterapkan dalam penilaian METT 03 PARTISIPATIF 01 OBJEKTIF Penilaian yang dilakukan Penilaian METT perlu melibatkan pihak-pihak diharapkan dapat baik internal maupun eksternal. Pihak internal merepresentasikan kondisi aktual dapat melibatkan petugas lapangan hingga staff kantor pengelolaan kawasan. Untuk pihak dari pengelolaan kawasan 02 TRANSPARAN sekunder dapat melibatkan masyarakat sekitar konservasi. kawasan, kemitraan, pemerintah daerah, hingga pihak swasta yang bekerja dalam Penilaian suatu kawasan konservasi kawasan menggunakan metode METT diperlukan transparansi baik proses maupun penilaian yang dapat diakses oleh para pihak yang berkepentingan sebagai salah satu pertanggungjawaban dari kegiatan pengelolaan 6 kawasan terhadap publik atau masyarakat Ginyard International BW4101 Manajemen Kawasan Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Pembahasan Contact Prinsip - Prinsip METT Menurut Buku Pedoman Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi yang dipublikasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2017), terdapat beberapa prinsip yang diterapkan dalam penilaian METT 04 REGULER 06 INTROSPEKSI Penilaian METT perlu dilakukan Prinsip introspeksi perlu diterapkan dalam periode tertentu untuk dengan maksud sebagai cara memantau kemajuan pengelolaan pengelola untuk mengevaluasi dari suatu kawasan konservasi. pengelolaan yang telah dilakukan. BERBAGI 05 INDEPENDEN 07 PENGETAHUAN Pengelolaan dilakukan untuk Diperlukan prinsip saling berbagi kepentingan pengelolaan, tanpa ada pengetahuan bagi para pihak yang kepentingan lainnya. terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi. 7 Ginyard International BW4101 Manajemen Kawasan Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Pembahasan Contact Metodologi IUCN telah menyediakan kerangka kerja penilaian efektivitas pengelolaan secara umum yang menjadi panduan penilaian. Penilaian dilakukan terhadap 6 elemen utama. Pemahaman akan konteks dari kawasan konservasi; nilai-nilai penting, ancaman-ancaman 01 yang dihadapi, peluang yang tersedia, dan pihak yang terlibat Perencanaan, meliputi desain (bentuk, luas, dan 02 lokasi), perumusan visi, tujuan, dan target. Alokasi sumberdaya (input), yang meliputi 03 personil/staf, alokasi anggaran yang tersedia, dan peralatan pendukung pengelolaan Kerangka kerja penilaian METT berdasarkan pedoman IUCN Kegiatan-kegiatan pengelolaan Produk dan jasa Dampak atau outcome yang dilakukan sesuai dengan (output) yang dihasilkan yang dicapai disesuaikan 04 standar yang bisa diterima 05 sesuai yang 06 dengan tujuan (proses), direncanakan pengelolaan. 8 Ginyard International BW4101 Manajemen Kawasan Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Pembahasan Contact METODE PENILAIAN DENGAN METT SECARA UMUM 02 PROSES PENILAIAN Proses penilaian efektivas pengelolaan kawasan konservasi dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: Proses penilaian dilakukan dengan mengisi kuisioner yang terdiri dari : 1. Laporan Kemajuan Situs Kawasan Konservasi 2. Data Ancaman Kawasan Konservasi 3. Lembar Penilaian yang terdiri dari 30 pertanyaan dengan skor antara 0 (buruk) hingga Sumber: KLHK (2017) 3 (sangat baik) 01 PRAKONDISI Nilai efektivitas pengelolaan: Mencakup tahap penyiapan berupa kegiatan: < 33% : Pengelolaan kawasan tidak memadai (tidak 1. Sosialisasi rencana penilaian efektivitas pengelolaan kawasan efektif) 33 - 67% : Pengelolaan kawasan kurang memadai oleh pihak pengelola kepada petugas dan staf (kurang efektif) 2. Tim penilaian internal yang ditunjuk oleh kepala unit pengelola > 67% : Pengelolaan kawasan cukup baik (efektif) 3. Penyiapan data dan hasil analisis sebagai alat verifikasi penilaian 4. Identifikasi pihak eksternal yang perlu dilibatkan 9 Ginyard International BW4101 Manajemen Kawasan Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Pembahasan Contact 03 VERIFIKASI Dilakukan untuk memastikan proses dan hasil penilaian yang telah dilakukan sesuai dengan apa yang diharapkan, terutama pada pengujian terhadap konsistensi antara jawaban skor yang dipilih dan keterangan dan langkah ke depan yang akan dilakukan. Verifikasi dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Ditjen KSDAE. PENYUSUNAN RESUME PENILAIAN DAN 03 REKOMENDASI Memberikan masukan berupa beragam pilihan perbaikan sesuai dengan hasil diskusi pada proses penilaian. Mencakup beberapa substansi pada setiap elemen: 1. Nilai efektivitas pengelolaan kawasan 2. Faktor kekuatan 3. Faktor kelemahan 4. Isu prioritas yang perlu ditingkatkan 5. Resume langkah-langkah tindak lanjut berdasarkan hasil penilaian. Resume hasil penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Sumber: KLHK (2017) Rekomendasi diarahkan ke unsur penilai dan Pemerintah pusat untuk 10 mendapatkan respond dan tindak lanjut. Ginyard International BW4101 Manajemen Kawasan Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Pembahasan Contact Dari 554 kawasan konservasi yang telah ditetapkan di Indonesia, 422 (76%) kawasan lindung telah dievaluasi melalui penilaian METT. Secara khusus, 283 (51%), 398 (72%) dan 344 (62%) kawasan lindung telah dievaluasi pada tahun secara berurutan yaitu 2015, 2017, dan 2019. Terdapat 170 kawasan lindung (31%) yang dinilai dalam 3 tahun tersebut. Kawasan lindung dibagi menjadi 3 berdasarkan kewenangan pengelolaannya: 1. Taman Nasional: Di bawah KLHK 2. Taman Hutan Raya: Di bawah pengelola tingkat provinsi Distribusi spasial kawasan konservasi di seluruh Indonesia, termasuk kawasan yang telah dinilai menggunakan METT secara tiga kali yaitu pada tahun 2015, atau kabupaten/kota 2017, dan 2019. 3. Cagar Alam/Suaka Margasatwa/Monumen Alam: Di Sumber: Nugraha dkk. (2024) bawah kewenangan provinsi di bawah kewenangan penuh KLHK 11 Ginyard International BW4101 Manajemen Kawasan Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Pembahasan Contact Untuk menentukan hubungan antar variabel, dilakukan Uji Kruskal-Wallis yang dibedakan berdasarkan antara kawasan lindung dengan tahunnya. Dilakukan uji korelasi antar variabel penjelas: Ukuran kawasan lindung, anggaran per satuan kawasan, dan lima variabel ancaman utama Dilakukan pengukuran skor METT kembali untuk mengkuantifikasi dalam bentuk statistik dengan pengaruh variabel-variabel tersebut: 12 BW4101 Manajemen Kawasan Ginyard International Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Contact Pembahasan Hasil Perubahan sementara dalam Skor METT untuk (a) semua kawasan lindung, (b) Ketat Cagar Alam, (c) Satwa Liar Cagar Alam, (d) Hutan Raya Taman, (e) Taman Nasional dan (f) Monumen Alam di Indonesia yang dinilai tiga kali (2015, 2017, 2019). (Sumber: Nugraha, 2024) 1. Tren skor METT dari waktu ke waktu Nilai rata-rata METT pada kawasan lindung fokus meningkat secara signifikan dari tahun 2015 ke tahun 2017 ke tahun 2019. Tren positif ini diterapkan pada semua tipe kawasan lindung (Gambar. a, b, c, e, f) kecuali Taman Hutan Raya, yang tidak menunjukkan perubahan signifikan seiring waktu. Rata-rata skor METT terbesar peningkatannya adalah untuk Satwa Liar Cagar Alam (+64.7%), diikuti oleh Cagar Alam Mutlak (+48.4%), Monumen Alam (+43.8%) dan Taman Nasional (+17.2%). 13 BW4101 Manajemen Kawasan Ginyard International Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Contact Pembahasan Hasil Perubahan sementara dalam Skor METT untuk (a) semua kawasan lindung, (b) Ketat Cagar Alam, (c) Satwa Liar Cagar Alam, (d) Hutan Raya Taman, (e) Taman Nasional dan (f) Monumen Alam di Indonesia yang dinilai tiga kali (2015, 2017, 2019). (Sumber: Nugraha, 2024) 2. Analisis ancaman kawasan lindung Lima ancaman utama bagi kawasan lindung yang diidentifikasi adalah perburuan liar, penebangan liar, pembangunan permukiman, kegiatan pariwisata, dan budidaya nonkayu. Tingkat keparahan ancaman-ancaman ini bervariasi dari tahun ke tahun, tetapi secara umum menurun dari 2015 hingga 2019, dengan penurunan signifikan pada ancaman seperti pertanian obat-obatan, dll. Selain itu, Taman Nasional menghadapi lebih banyak ancaman dibandingkan dengan tipe kawasan lindung lainnya, meskipun ancaman ini cenderung menurun seiring waktu. 14 BW4101 Manajemen Kawasan Ginyard International Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Contact Pembahasan ANALISIS MODEL TUJUAN Management Effectiveness Tracking Tool Antisipasi perubahan efektivitas pengelolaan dan ancaman Pengukuran dampak intervensi dalam periode waktu tertentu 170''' TAMAN NASIONAL 421/ 554 CAGAR ALAM BIAS OBJEKTIF SUAKA MARGASATWA LOKASI SUAKA ALAM Penilaian mandiri Bukti pendukung 2015-2019 Target perbaikan dalam surat keputusan Penilaian pihak eksternal Dokumentasi pengelolaan Standarisasi Valid dan Terukur Pengukuran input dan proses Evaluasi-pemantauan secara berkala Metode evaluasi standar SIKLUS / 2 Tahun METT Kapasitas pengelolaan Sampel besar/ keterwakilan *SK234/KSDAE-KK/2015 Pengukuran efektivitas Metrik pendukung penilaian kinerja Check and Balances Pengembangan nilai efektivitas manajemen 15 BW4101 Manajemen Kawasan Ginyard International Co. Konservasi Pendahuluan Home TinjauanVideo Pustaka Metodologi About Us Hasil dan Contact Pembahasan Pengelolaan dengan METT mencegah kehilangan hutan tiga kali lebih sedikit dan mengurangi deforestasi lebih Faktor Penentu Efektivitas baik dari kawasan lain, 01 Manajemen Sumber daya manusia efektif Dukungan keuangan memadai Alokasi sumber daya efisien Sistem pengelolaan tertata Batas-batas kawasan jelas Perencanaan terukur Ancaman Utama Kawasan Konservasi 02 Perluasan pemukiman manusia Ekstraksi hasil hutan non-kayu Pembalakan liar Perburuan Pariwisata ANALISIS MODEL Management Effectiveness Tracking Tool 16 BW4101 Manajemen Kawasan Konservasi Pendahuluan Tinjauan Pustaka Metodologi Hasil dan Pembahasan Kesimpulan Skor METT menunjukkan peningkatan signifikan dari 2015 hingga 2019 di berbagai tipe kawasan konservasi. Taman Nasional dan Suaka Margasatwa mencatat peningkatan kinerja yang lebih konsisten dibandingkan Taman Hutan Raya. Ancaman utama meliputi perburuan liar, pembalakan liar, kegiatan pariwisata, ekspansi permukiman, dan ekstraksi hasil hutan non-kayu. Tingkat ancaman secara keseluruhan menurun, tetapi ancaman dari pariwisata masih memerlukan perhatian lebih lanjut. Faktor utama yang mempengaruhi efektivitas pengelolaan adalah kompetensi sumber daya manusia, efisiensi alokasi anggaran, infrastruktur, perencanaan strategis, dan kolaborasi antar pihak. Efisiensi alokasi anggaran lebih penting daripada jumlah anggaran per satuan luas dalam memengaruhi skor METT. METT efektif untuk memantau efektivitas pengelolaan secara berkelanjutan dan berbasis bukti. Kelemahan METT terletak pada kurangnya kemampuan mengukur elemen keluaran (output) dan keterbatasan dalam menilai kinerja dengan metrik tertentu. Penguatan kapasitas pengelola kawasan konservasi dan kebijakan berbasis bukti diperlukan. Implementasi rencana kerja yang lebih terintegrasi diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi. 17 Perlu penguatan dalam penanganan ancaman dan pengukuran kinerja yang lebih menyeluruh. BW4101 Manajemen Kawasan Konservasi Pendahuluan Tinjauan Pustaka Metodologi Hasil dan Pembahasan Referensi Bruner, A. G., Gullison, R. E., Rice, R. E., & da Fonseca, G. A. B. (2001). Effectiveness of parks in protecting tropical biodiversity. Science, 291(5501), 125- 128. Gaveau, D. L. A., Epting, J., Lyne, O., Linkie, M., Kumara, I., Kanninen, M., & Leader-Williams, N. (2013). Evaluating whether protected areas reduce deforestation in Sumatra. Journal of Biogeography, 36(11), 2165-2175. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). Rekalkulasi Penutupan Lahan Tahun 2015. Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan, KLHK, Jakarta, Indonesia. Margono, B. A., Potapov, P. V., Turubanova, S., Stolle, F., & Hansen, M. C. (2014). Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nature Climate Change, 4(8), 730-735. Wardhana, D. 2015. Mengenal Metode Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi. http://ksdasulsel.org/kawasan/164-mengenal-metode- penilaian-efektivitas-pengelolaan-kawasan-konservasi?showall=1. 18 BW4101 Manajemen Kawasan Konservasi Pendahuluan Tinjauan Pustaka Metodologi Hasil dan Pembahasan THANK YOU 19 Kelompok 2 Pendanaan Kawasan Konservasi dan Kemitraan Taman Nasional Kerinci Seblat Our Team! Sang Ara Musthika Ihsan Alif Purnama Mahadewi Sukmaputri 11521012 11521031 11521064 Mutiara Putri Qalbi Muhammad Naufal Putranto 11521010 11521045 PENDAHULUAN Latar Belakang: Komoditas merupakan salah satu kategori pemanfaatan sumber daya alam, di Indonesia sendiri banyak komoditas yang menghasilkan manfaat dan nilai perdagangan yang tinggi. Dalam pengelolaan kawasan konservasi, dibutuhkan konsep bisnis yang berkelanjutan, terutama pada bidang pariwisata. Maka dari itu, perlu diketahui upaya pengelola Taman Nasional Kerinci Seblat dalam menyusun rencana bisnis konservasi serta pendanaan yang berkelanjutan tersebut, beserta kemitraan yang dilakukan TNKS dalam pengelolaan kawasan konservasi. PENDAHULUAN Tujuan 1. Mengeidentifikasi rencana bisnis konservasi untuk mekanisme pendanaan yang berkelanjutan 2. Mengidentifikasi skenario atau peta jalan yang implementatif dalam mewujudkan rencana bisnis 3. Mengidentifikasi konsep kelembagaan dalam pendanaan konservasi berkelanjutan di tingkat TNKS METODOLOGI Kajian rencana bisnis dan kelembagaan pendanan yang berkelanjutan dilakukan pada bulan Desember 2019 – Mei 2020 di wilayah TNKS dan sekitarnya. Kajian dilakukan dengan tiga tahap, yaitu analisis kesenjangan, analisis rencana bisnis, serta analisis dan pembentukan kelembagaan. Kondisi Umum Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan taman nasional terbesar di Pulau Sumatera dengan luasan 1.390 juta ha. Secara administratif, TNKS terletak pada koordinat 100°31'18"E-102°44'01"E dan 1°07'13"S-1°26'14"S. TNKS secara resmi ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan dengan Surat Keputusan Nomor 901/Kpts-II/1999 pada bulan Oktober 1999 Kondisi Umum Kawasan TNKS memiliki variasi elevasi mulai di bawah 300 meter dari permukaan air laut sampai 3.800 meter dari permukaan air laut dan meliputi berbagai tipe ekosistem seperti hutan dataran rendah, hutan bukit, hutan rawa, danau, rawa dataran tinggi dan hutan gunung (Salfutra, 2018). TNKS juga dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2004 dan Taman Warisan ASEAN sejak 18 Desember 2003 Kondisi Umum Kawasan TNKS kaya akan berbagai jenis flora dan fauna. Terdapat sekitar 400 spesies tumbuhan termasuk di dalamnya bunga terbesar di dunia yaitu Rafflesia arnoldi, Amorphophallus titanum, dan flora langka kantong semar (Nepenthes sp.) Kondisi Umum Kawasan Fauna di wilayah TNKS juga beragam mulai dari harimau sumatera, macan dahan, beruang madu, dan sekitar 370 spesies burung. Kondisi Umum Pemangku Kepentingan Pemerintah Pemerintah Sektor NGO Pusat Daerah Private Bappeda, Dinas Perkebunan sawit FFI (Fauna Flora Bappenas, ATR, (99.184 ha), International), Kehutanan, Dinas KLHK, Kementan, PUPR, Dinas Perusahaan untuk Yayasan Warsi, PUPR, Kemenkeu, IUPHHK-HA (64.998 Burung Indonesia, Pendidikan, BKSDA ha), IUPHHK-HTI LSM Kanopi, Akar Kementrian (4 Balai) Balai (258.024 ha), Network, dan KPPL ESDM, dan Wilayah Sungai, (Kelompok Pecinta IUPHHK-RE (12.474 Kemendes dan KPH (20 KPH dan Pemerhati ha), perkebunan seluas 1.357 ha) Lingkungan) teh (4.525 ha). Kondisi Umum Pemangku Kepentingan Forum KSM Kolaborasi NGO Hutan Tanaman Forum Harimaukita, Rakyat (7.696 hs), Forum Konservasi, hutan adat (7.271 Gajah Indonesia, ha), kelompok tani Forum KEE Seblat, mandiri, dan Jaringan Perempuan, kelompok dan Desa TNKS masyarakat sadar wisata Isu Strategis Konservasi Perlindungan Perlindungan ekosistem atau ekosistem di Pengembangan spesies daerah jasa lingkungan habitat di TNKS penyangga TNKS Aktivitas perburuan Pembukaan akses Usulan perhutanan Belum dilakukan dan perdangangan kajian daya dukung jalan di dalam sosial; hutan adat, spesies kunci secar kawasan wisata, kawasan, alih hutan desa, hutan pengelolaan IUPA ilegal, konflik satwa fungsi kawasan kemasyarakatan belum optimal, dan liar dengan TNKS, dan dan peningkatan belum tersusunnya masyarakat, dan kerusakan mata pembalakan kayu kualitas zona master plan wisata ilegal penyangga tingkat TNKS rantai ekosistem Isu Strategis Konflik satwa liar Perburuan dan dengan perdagangan spesies kunci masyarakat Salah satu spesies kunci TNKS yang Kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan desa memiliki tekanan yang lebih Lorem kelangsungan hidup dan keberadaannya besar, karena intensitas aktivitas manusia consect terancam adalah Harimau Sumatera yang lebih tinggi seperti penebangan pohon elit. Ut (Panthera tigris sumatrae). Ancaman ini tidak dan perburuan liar (Woodroffe dan Ginsberg, maximu hanya berasal dari perburuan langsung 1998). Saat sumber makanan dan tempat ameter terhadap harimau, tetapi juga karena berlindung sudah mulai terbatas, maka Morbinu perburuan terhadap mangsanya harimau akan turun ke pemukiman untuk in eltra (Departemen Kehutanan, 2007) berburu mangsa. Isu Strategis Daya dukung Laju deforestasi yang kian wisata tergolong meningkat rendah Berdasarkan penelitian dari Anggraini (2022), Daya dukung fisik (PCC) jalur pendakian Gunung Lorem pada rentang waktu 1995-2022 telah terjadi Tujuh yaitu 240 orang /hari dan 7200 orang /bulan, untuk Daya Dukung Riil didapatkan nilai consect deforestasi seluas -665.01 ha. Zona sebesar 233 orang /hari dan 6990 orang /bulan elit. Ut pemanfaatan merupakan zona yang dan Daya Dukung Efektif yaitu sebesar 177 maximu mengalami deforestasi terbanyak yaitu sekitar orang/hari dan 310 orang /bulan. Nilai ini ameter -965.85 ha, dilanjutkan dengan zona rimba menunjukkan daya dukung wisata jalur Morbinu seluas 257.34 ha dan zona rehabilitasi seluas pendakian Gunung Tujuh TNKS masih belum in eltra 12.82 ha. dapat melampaui nilai ambang batas. Efektivitas Pengelolaan Melalui METT (Management Effectiveness Tracking Tool) Berdasarkan Management Effectiveness Tracking Tool yang telah dilakukan pada tahun 2017, didapatkan skor METT sebesar 69. Nilai ini sedikit di bawah standar KLHK yaitu 70. Beberapa kriteria yang memiliki skor tinggi adalah status hukum kawasan yang telah ditetapkan pada tahun 1999 dan perluasan taman nasional. Sedangkan kriteria dengan nilai rendah atau kurang efektif adalah isu masyarakat adat, kurangnya kegiatan yang bersifat kepedulian terhadap lingkungan dan pengembangan wisata Efektivitas Pengelolaan Melalui METT (Management Effectiveness Tracking Tool) Mekanisme pendanaan dibutuhkan untuk mendukung strategi sebagai langkah tindak lanjut dari nilai METT yang telah didapatkan. Berikut beberapa strategi yang akan dilakukan: Pengembangan koridor spesies kunci melalui inisiasi Kawasan Strategis Nasional (KSN), Konservasi Ekosistem Esensial (KEE), Pengembangan High Conservation Value (HCV) untuk konsesi berkelanjutan dalam kapasitas sektor privat. Peningkatan patroli kawasan inti untuk mengurangi ancaman, peneliharaan tata batas, dan perlindungan sistem di wilayah penyangga Pengembangan jasa lingkungan yang strategis khususnya untuk air, karbon, dan wisata Pendanaan TNKS DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Surat Berharga Rupiah Murni Syariah Negara (SBSN) Dana Hibah dana yang berasal dari instrumen pembiayaan dana yang diberikan oleh Anggaran Pendapatan dan yang diterbitkan oleh pihak ketiga Belanja Negara (APBN) pemerintah berdasarkan prinsip syariah Pendanaan TNKS Non DIPA melalui Kemitraan Perjanjian Kerja Sama Langsung Tidak Langsung in kind - bentuk sharing pendanaan - infrastruktur, perlengkapan, berbagi ruang kegiatan dan operasional Pendanaan TNKS DIPA/Non-DIPA tidak melalui Kemitraan dalam PKS Langsung Tidak Langsung proyek-proyek yang didanai langsung oleh pemerintah atau sumber lain yang tidak memerlukan kerjasama formal dengan pihak eksternal Kesenjangan Kesenjangan Kegiatan dan Kesenjangan Pendanaan Kesenjangan kegiatan-kegiatan konservasinya Kesenjangan pendanaan bernilai Rp 81.754.000.000 (delapan puluh satu milyar tujuh ratus lima puluh empat juta rupiah) Kemitraan menurunkan kesenjangan hingga bernilai Rp 56.085.000.000 (lima puluh enam milyar delapan puluh lima juta rupiah) Kesenjangan pendanaan TNKS yang berasal dari APBN. Mekanisme Tantangan dalam mendanai program Penekanan konservasi utama. Kesenjangan Mekanisme Pendanaan yang Diterapkan Kemitraan Konsesi HIBAH Kemitraan Multipihak Konservasi Sumber dana dari lembaga Kemitraan dengan sektor swasta Kolaborasi dengan pemerintah, sektor donor internasional dan lokal untuk kontribusi finansial yang swasta, masyarakat, dan NGO yang yang Mendukung program Mengintegrasikan praktik Mengembangkan program patroli, rehabilitasi dan perlindungan keberlanjutan dalam pengelolaan edukasi, dan ekowisata. spesies. kawasan Mekanisme Pendanaan yang Diterapkan Pembayaran Jasa Ekowisata Berbasis Proyek Karbon Lingkungan (PES) Masyarakat Pengembangan ekowisata Mekanisme pembayaran dari Pengelolaan karbon berbasis sebagai sumber pendanaan pihak yang memanfaatkan hutan untuk pendanaan tambahan. jasa lingkungan. Melalui perdagangan karbon Berperan meningkatkan internasional. kesadaran konservasi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Opsi Kelembagaan Pendanaan Berkelanjutan TNKS Badan Pengelola Dana Forum Koordinasi Badan Layanan Lingkungan Hidup Wilayah Kerinci Umum Daerah (BPDLH) Seblat (FOLKS) (BLUD) Pengelola utama dana konservasi Forum koordinasi multipihak Lembaga pelaksana lokal Mengelola, menyalurkan, dan Fasilitasi rencana pendanaan Implementasi program memantau dana kolaboratif konservasi di lapangan Struktur Kelembagaan Pendanaan Berkelanjutan Standard Operating Procedure/Protokol Pembentukan Kelembagaan Hal yang dibahas dalam SOP: Dasar hukum pembentukan kelembagaan Langkah pembentukan lembaga Tugas dari setiap kembaga Struktur, Strategi, dan Rencana Aksi Kelembagaan Pendanaan yang Berkelanjutan Hasil dari identifikasi SOAR: Target capaian dan kegiatan Keluaran dan asumsi Pelaksana Sumber dana Tahun pelaksanaan Diproyeksikan dalam 5 tahun APPRECIATIVE strategi kelembagaan INQUIRY OUTPUT: pendanaan yang berkelanjutan dari TNKS Struktur, Strategi, dan Rencana Aksi Kelembagaan Pendanaan yang Berkelanjutan 4 Outcomes (Target capaian) Outcome 1: 7 kegiatan Outcome 2: 3 kegiatan Outcome 3: 7 kegiatan Outcome 4: 10 kegaian BK yang didukung oleh KLHK dan Struktur, Strategi, dan Rencana Aksi pemerintah daerah. Kelembagaan Pendanaan yang Berkelanjutan OUTCOME: Implementasi berbagai skenario yang didasarkan oleh mekanisme hibah, konsesi 1 kawasan konservasi dan penyangganya, dan kemitraan multipihak. Komunikasi dan koordinasi menjadi kuat kepada lembaga pemerintah yang 2 mendukung pendanaan TNKS dari kawasan penyangga, lembaga pendanaan bilateral, multilateral, sektor swasta dan filantropi. Terwujudnya pengelolaan konservasi yang terintegrasi antara TNKS dan kawasan 3 penyangga melalui berbagai jaringan kerja konservasi dan berbagai mekanisme kolaborasi. Terwujudnya kolaborasi secara formal antara LH-Fund, FOLKS, dan BK yang 4 didukung oleh KLHK dan pemerintah daerah. BK yang didukung oleh KLHK dan pemerintah daerah. KERANGKA REGULASI Peraturan yang mengatur penetapan instrumen Kerangka regulasi adalah suatu ekonomi lingkungan hidup dengan tujuan kerangka terkait dengan pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan pengaturan, pengawasan, tata lingkungan hidup: kelola, dan implementasi fungsi sosial dan budaya lembaga UU No. 32 Tahun 2009 terkait Perlindungan dan manajemen kolektif (Arifardhani, Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) 2020) UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 1 angka 33 terkait seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong setiap orang dan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk Kerangka regulasi tersusun atas: melakukan pelestarian dan menjaga fungsi 1. UU No. 32 Tahun 2009 lingkungan hidup. 2. PERPRES No. 77 Tahun 2018 UU No. 32 Tahun 2009 pasal 24 tentang 3. PP No. 46 Tahun 2017 kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah 4. PMK No. 137 Tahun 2019 untuk mengembangkan dan menerapkan 5. UU No. 25 Tahun 2009 instrumen ekonomi lingkungan hidup dengan 6. PP No. 96 Tahun 2012 tujuan melestarikan fungsi lingkungan hidup BK yang didukung oleh KLHK dan pemerintah daerah. KERANGKA REGULASI Peraturan lanjutan untuk Peraturan terkait kelembagaan: mengimplementasikan UU No. 32 Tahun 2009: PMK No. 137 Tahun 2019 terkait struktur dan tata kelola BLU dana lingkungan hidup Perpres No. 77 Tahun 2018 terkait yang mengatur struktur organisasi, tata sistem dan mekanisme yang kelola, dan rencana strategis bisnis Badan digunakan untuk mendanai upaya Layanan Umum Pengelolaan Dana perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup (BPDLH) sebagai lembaga lingkungan hidup: keuangan PP No. 46 tahun 2017 terkait UU No. 25 Tahun 2009 terkait definisi instrumen ekonomi lingkungan hidup pelayanan publik yang perlu dijalankan oleh yang mengatur pembentukan unit lembaga koordinasi dan lembaga organisasi non-eselon untuk pelaksana mengelola dana lingkungan hidup PP No. 96 Tahun 2012 terkait kewajiban yang ditetapkan dengan PMK penyelenggara pelayanan publik dan syarat penyelenggaraannya KESIMPULAN 1. Diketahui bahwa perlindungan kawasan dan biodiversitas menjadi titik berat dalam pengelolaan TNKS, terdapat beberapa kesenjangan kegiatan dan pendanaan akibat belum mengacunya kepada rekomendasi METT 2. Skenario yang dibangun untuk mengatasi kesenjangan pendanaan adalah dengan strategi kemitraan dengan mekanisme PKS melalui pengembangan jaringan kerja secara kolektif per tematik atau topik isu 3. Dalam memperkuat dukungan, dibangun 3 tipe kelembagaan yaitu lembaga keuangan, forum koordinasi (FOLKS), dan lembaga pelaksana. REKOMENDASI Kelembagaan pendanaan berkelanjutan perlu didalami dengan skala yang lebih detail Secara regulasi, FOLKS dapat dikukuhkan secara spesifik melalui SK menteri LHK untuk dukungan anggaran operasional dalam realisasi kerja FOLKS Memberikan inisiatif untuk TNKS berupa endowment fund oleh BPDLH dalam skala kecil untuk implementasi penyaluran dana kecil, agar pendanaan keberlanjutan dapat dilalui dengan pengelolaan dana kecil sebagai tahap awal pendanaan kepada lembaga pelaksana. KELOMPOK 2 Thank You Very Much! ANY QUESTIONS? ompok 3 el K SISTEM RANCANGAN KAWASAN KONSERVASI BENUA AFRIKA BW4101 Manajemen Kawasan Konservasi Anggota Kelompok Kanya Varsha Antonia Neysa Putrantoro Rizkyatush Shalihah 11521016 11521023 11521034 Septian Valerine Angelina R. 11521040 11521046 Benua Afrika, PENDAHULUAN dengan banyak biodiversitas dan ekosistem yang dilindungi Perancangan adalah tahap untuk perencanaan penggunaan dan pengelolaan sumber daya di kawasan lindung, yang bersifat dinamis, praktis, dan realistis. Perancangan mengintegrasikan strategi dan kebijakan dan untuk membentuk kerangka pengelolaan yang bertanggung jawab, mencakup dimensi ruang, waktu, dan metode. Tujuan utamanya adalah memastikan pengelolaan sesuai dengan tujuan konservasi, hukum, dan melibatkan Hampir 17% wilayah masyarakat, dengan tetap menjamin tersetrialnya akuntabilitas. SOUTH merupakan area konservasi AFRICA Tahap perancangan umum PENDAHULUAN SOUTH AFRICA Table of contents AFRIKA SELATAN BOSTWANA KENYA UGANDA TANZANIA KESIMPULAN Total luas kawasan : 11.280.684 hektar (9,2%) 19 Taman Nasional, 42 Taman Laut, 5 Cagar Biosfer UNESCO, 8 Situs Warisan Dunia UNESCO, 27 Ramsar dan sejumlah Taman Lintas Batas. Pengelola Kawasan lindung: pemerintah nasional Cagar alam publik: pemerintah provinsi dan daerah Cagar alam swasta: pemilik lahan swasta. Taman nasional: South African National Parks (SANParks). SOUTH AFRICA SOUTH AFRICA TAHAPAN PERANCANGAN KAWASAN KONSERVASI Penilaian Awal: Melakukan analisis terhadap kondisi ekosistem, keanekaragaman hayati, dan ancaman yang ada. Pengembangan Rencana Pengelolaan: Menyusun rencana yang mencakup tujuan konservasi, strategi pengelolaan, dan tindakan yang diperlukan. Rencana ini harus melibatkan stakeholder dan komunitas lokal. Implementasi: Melaksanakan rencana pengelolaan, termasuk kegiatan konservasi, pemantauan, dan pendidikan publik. Monitoring dan Evaluasi: Memantau efektivitas tindakan konservasi yang diambil dan mengevaluasi dampaknya terhadap ekosistem dan masyarakat. Revisi Rencana: Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, melakukan revisi terhadap rencana pengelolaan untuk meningkatkan efektivitasnya (Department of Environmental Affairs, 2015) SOUTH AFRICA KENYA Pemerintah Kawasan konservasi masyarakat Masyarakat adat Cagar alam masyarakat Individu/komunitas Suaka Hutan Masyarakat lokal Taman Nasional Organisasi non-pemerintah. Cagar alam nasional Cagar alam pribadi SOUTH AFRICA KENYA Tahap Perancangan Kawasan Konservasi di Kenya Tahap Perancangan Kawasan Konservasi di Kenya TANZANIA SOUTH AFRICA TANZANIA FOREST RESERVE Tanzania adalah negara yang terletak di Afrika Timur seluas sekitar 947.303 km². FOREST PLANTATION Tanzania memiliki total 840 kawasan lindung yang tersebar sebanyak 7,330 km² di laut dan 361,594 km² di darat. NATIONAL PARK NATURE RESERVE GAME CONTROLLED AREA GAME RESERVE ▼ Serengeti National Park TANZANIA Kegamba, J.J., Sangha, K.K., Wurm, P., Garnett, S.T. (2022). A review of conservation-related benefit-sharing mechanisms in Tanzania. Global Ecology and Conservation 33 (2022) e01955 TANZANIA Identifikasi dan Penilaian Kawasan Dilakukan survei untuk mengumpulkan data tentang keanekaragaman hayati, ekosistem, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar. Dilakukan analisis ekologis untuk menilai nilai ekologis dari kawasan yang diusulkan, termasuk spesies yang terancam punah dan habitat penting. Konsultasi Publik Konsultasi publik melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan melalui konsultasi publik untuk mendapatkan masukan dan dukungan mereka. Perumusan Rencana Zonasi. Pengembangan rencana zonasi yang membagi kawasan konservasi menjadi beberapa zona berdasarkan fungsi ekologis dan sosialnya. Setiap zona memiliki aturan dan batasan yang berbeda untuk penggunaan sumber daya. Penyusunan Kebijakan dan Regulasi Penyusunan kebijakan yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi, termasuk undang-undang yang mengatur perlindungan keanekaragaman hayati dan penggunaan lahan. Memastikan adanya kerangka hukum yang jelas untuk melindungi kawasan konservasi dari eksploitasi ilegal dan aktivitas merusak lainnya. Implementasi Rencana Konservasi Pelaksanaan program-program yang telah direncanakan, termasuk pengawasan dan penegakan hukum untuk melindungi kawasan dari kegiatan ilegal. Selain itu dilakukan program pendidikan dan pelatihan. untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang

Use Quizgecko on...
Browser
Browser