Teks Argumentasi - Bagaimana Politik Beras yang Menggeser Sagu di Papua Bisa Ancam Ketahanan Pangan Lokal.docx
Document Details
Uploaded by WelcomeMeteor
Tags
Related
- A Food Systems Approach to Natural Resource Use - Why Food Systems PDF
- Week 3 PPT PDF - Introduction to Food Security and Global Food System
- Food Security & Sustainability Introduction PDF
- Towards Global Citizenship and Sustainability PDF
- Environmental Science and Sustainability Chapter 12 PDF
- Sustainable Development Goals and Food Security Week 13-15 PDF
Full Transcript
**Bagaimana Politik Beras yang Menggeser Sagu di Papua Bisa Ancam Ketahanan Pangan Lokal?** Warga Suku Marind di Merauke menghadapi wabah malnutrisi terutama setelah hutan digunduli untuk produksi pangan. "Dikatakan stunting, ya, memang. Karena dia sudah termasuk stunting karena dia punya tinggi b...
**Bagaimana Politik Beras yang Menggeser Sagu di Papua Bisa Ancam Ketahanan Pangan Lokal?** Warga Suku Marind di Merauke menghadapi wabah malnutrisi terutama setelah hutan digunduli untuk produksi pangan. "Dikatakan stunting, ya, memang. Karena dia sudah termasuk stunting karena dia punya tinggi badan tidak sesuai dengan berat badan." "Terutama itu masuknya perusahan karena kan hutan ini di dibongkar oleh perusahaan." "Inilah yang mengakibatkan pola konsumsi yang dulu mengambilnya dari hutan masih natural dan segar, sekarang tidak bisa lagi." Balita dan anak-anak ini, hingga tahun lalu masih menghadapi ancaman kasus tengkes dan malnutrisi. Desa Zanegi berlokasi di jantung wilayah adat Marind Anim di Barat Kota Marauke, Papua Selatan. Kasus gizi buruk menimpa Louis Getze. Bayi berusia dua tahun ini mengalami demam, tapi sang ayah ragu membawanya ke klinik kesehatan terdekat. "Pak Mantri bilang, 'Itu aduh jangan terlalu sore', kata Amandus Gebze, orang tua Louise. Natalie, sang Ibu, akhirnya memberanikan diri membawa bayinya ke Puskesmas. "Berat terakhir berapa?" Tanya Mantri. "Apa?" "Beratnya?" "Sudah lupa." Perempuan Marind diklaim acap menjauhi layanan kesehatan yang disediakan secara gratis oleh pemerintah, menurut sebuah riset antropologi dari Australia. Pahalal, balita bergizi buruk rentan terhadap penyakit. Menurut Dinas Kesehatan Merauke, Zanegi memiliki tingkat stunting atau tengkes yang tinggi. Balita yang mengalami perlambatan pertumbuhan prevalensinya meningkat, dari sebanyak 17,2% pada tahun 2021 menjadi sebesar 36,8% pada tahun 2022. "Kalau perbedaan jumlah kasus stunting dari tahun lalu sampai sekarang perbedaannya ya kalau memang si kalau stunting tahun kemarin ini agak banyak dibandingkan dengan Sekarang." (Nuraini, Bidan di Zanegi) Bagi balita malnutrisi, infeksi penyakit umum seperti diare, pneumonia atau malaria bias berakibat fatal. Efraim termasuk anak yang mengalami stunting, karena tumbuh lebih lambat ketimbang balita seusianya. Diduga, kondisinya diakibatkan oleh kehamilan berganda. "Efraim bisa tumbuh kembangnya begitu karena yang pertama dari... dari apa namanya... jarak kehamilan. Karena sebelum Efraim, ada yang meninggal lagi, baru setelahnya baru Louise. Begitu." Kasus stunting di Zanegi tercatat mulai marak setelah pembukaan hutan untuk proyek Kebun Pangan dan Energi (MIFEE) pada tahun 2009. Penebangan hutan alami berakibat fatal, karena terjadi ketika tradisi pangan lokal tersingkir oleh kebijakan pangan nasional. Akibatnya, warga suku Marind mengalami kerentanan pangan, menurut pantauan organisasi advokasi dari Keuskupan Merauke. "Dengan masuknya para investor yang begitu banyak diberi izin oleh pemerintah, dan masif itu, di hampir seluruh wilayah mereka, hutan-hutan itu makin lama makin habis dan sumber-sumber penghidupan mereka juga makin terbatas dan makin jauh, ruang hidup pun makin sempit." (Harry Warsoek, MSC Verterten, Merauke) Perusahaan sejauh ini telah menebang 5.000 hektar dari 170.000 hektar hutan alami yang diserahkan pemerintah di jantung wilayah adat Marind, sebuah area yang didominasi hutan, rawa, dan gambut. Perusahaan ini mengolahkan kayu akasia dan eukaliptus, dari perkebunan untuk dibakar demi listrik berkelanjutan. "Waktu itu kita sebetulnya sudah mengalokasikan banyak daerah yang dianggap biodiversitinya tinggi, nilai karbonnya tinggi, maupun yang memang tidak bisa disentuh karena urusan adat, itu kita sisihkan." (Budi Basuki, COO Power & Mining Medco Energi) Betapapun juga, upaya tersebut urung mencegah beralihnya fungsi hutan sebagai sumber pangan utama bagi suku Marind. Di rimba adat Marga Kaize ini, Moses masih membiasakan diri berburu babi, rusa, atau burung kasuari untuk dimakan. Tradisi ini terancam, ketika aktivitas perkebunan membuat satwa buruan semakin sulit ditemukan. Tidak jarang. Moses harus menginap di hutan selama berhari-hari untuk berburu. "Kan di sisi, perusahaan sudah masuk dan mengolah hasil alam. Hewan tidak bisa tinggal di satu tempat, karena di sini sudah rebut, mereka harus jauh-jauh." (Moses Kaize, Warga Zanegi) Sebagaimana tradisi Marind, Moses membawa keluarga besarnya tinggal di sebuah bivak di tepi hutan untuk mencari makan. Selain berburu, mereka memanen sagu dan menyantap ulatnya sebagai camilan. Sudah sejak lama sagu tidak lagi menjadi makanan pokok di sini. Padahal... "Kalau sagu itu, kalau kita makan, kita kenyang, itu tidak cepat lapar. Itu kalau sagu. Kalau nasi ini kan ringan, jadi cepat lapar." (Moses Kaize, Warga Zanegi) Punahnya pola pangan suku asli di Papua, tercermin pada sekolah vokasi pertanian milik Medco di Wapeko, tidak jauh dari Zanegi. Sekolah ini termasuk bagian dari tanggung jawab sosial korporasi yang dikembangkan antara lain untuk menjawab isu kerentanan pangan di Merauke. Kurikulum pendidikannya selaras dengan strategi pangan nasional dimana hutan tidak dianggap sebagai penghasil pangan. "Kita masih masih agak jauh untuk mengubah budaya meramu ini, tapi paling tidak kita sedikit demi sedikit melalui pendidikan inilah." (Dicky Ahdiyat, Medco Energy) Peserta pelatihan tahun ini, mayoritasnya generasi kedua petani transmigran. Hanya dua peserta yang berstatus orang asli Papua. Besarnya kebergantungan kepada petani pendatang diyakini terbentuk akibat kebijakan terpusat yang mengesampingkan kearifan lokal dan akibatnya justru memperlemah ketahanan pangan suku Marind. (Harry Warsoek, MSC Verterten, Merauke) "Sepertinya menurut saya ada rasisme dalam kebijakan semacam ini, itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh pikiran bahwa kami lebih tahu tentang bangun Papua ketimbang Anda, ketimbang kalian orang Papua, misalnya di Zanegi atau di wilayah suku Yei. Sehingga semuanya diterapkan menurut cara berpikir orang Jakarta, ketimbang mengajak orang di sini dan mendengarkan suara mereka. Menurut kajian MSC Vertenten, kebergantungan Marind pada beras dan makanan impor ikut berkontribusi pada kemiskinan struktural. Porsi rata-rata anggaran rumah tangga untuk membeli bahan makanan tidak jarang melampaui angka 60 persen. Kebergantungan ini diperkuat oleh dominasi warga pendatang pada industri pangan di Merauke. Pemerintah masih berharap, transmigrasi akan bisa merangsang perubahan pada orang asli Papua. "Kita punya saudara-saudara dari Jawa, yang datang melakukan transmigasi ke Papua, ini merupakan satu program pemerintah dalam rangka bisa memberikan inovasi kepada masyarakat yang ada di khususnya Kabupaten Merauke. Saya pikir setiap manusia kalau dibantu dengan pendampingan yang bagus, dengan memberikan sarpras yang bagus, pasti akan berubah dan itu terjadi." (Josefina Rumaseuw, Dinas Ketahanan Pangan, Kab. Merauke) Pendampingan oleh tenaga teknis sangat diperlukan petani asli Papua. Jumlah mereka tidak banyak, dari sekitar 27.000 petani tanaman padi di Merauke, warga asli Papua yang menggeluti profesi ini berjumlah kurang dari 400 orang. Berbeda dengan di desa transmigran hampir semua petani asli di Merauke menanam padi di lahan tadah hujan, karena tidak memiliki akses irigasi. Bagi mereka ketimpangan ini mengesankan keberpihakan pemerintah kepada petani non orang asli Papua. "Kalau kecemburuan jelas ada, karena masalah alat. Kenapa kami kelompok lokal atau orang asli tidak dapat alat. Kenapa? Kami juga tidak tahu." (Simon Konmop, Petani Papua) Petani asli Papua mengeluhkan selama ini sering diabaikan petugas pendampingan teknis. Asosiasi Petani Asli Papua di Merauke mengklaim pemerintah hingga kini baru memberikan 4 unik traktor, itu pun untuk menggarap lahan sawah seluas 300 hektar. Akibatnya, tidak semua lahan milik petani asli bisa digarap saat musim tanam tiba. ' "Sementara alat yang turun itu selalu lari ke seberang Sungai Maro, yaitu saudara-saudara kita petani-petani non-OAP yang ada di sana. Irigasinya bagus, alat-alatnya lengkap, jadi ketika musim tanam, semua bisa tanam. Aspirasi kami sebagai petani asli Papua, sebenarnya kami ingin diperlakukan sama." (Ansel Kaipman, Asosiasi Petani Asli Papua) Di Zanegi, anak perempuan tertua Amandeus dan Natalie Gebze menyiapkan setumpuk nasi dan tiga bungkus mi instan untuk sarapan. Pola makan seperti ini sudah lazim di kalangan Suku Marind. Mi instan dan makanan kalengan kini hadir di hampir setiap jam makan. Jika tidak punya uang untuk belanja di warung, tidak jarang, warga Marind hanya menyantap nasi tanpa lauk, yang di sini disebut sebagai nasi kosong. "Kalau kita tanam padi, kita harus mau makan beras terus. Kalau kita tidak tahu bagaimana tanam padi, tidak bisa, kita harus tanam sagu. Karena kita dibesarkan dan dilahirkan oleh orang tua kita semua pakai sagu." (Bonifacius Gebze, Tetua Marind) Pohon sagu tumbuh di lahan basah, dan menyukai tanah dengan tingkat keasaman tinggi seperti pada ekosistem rawa gambut di Marauke. Memanen sagu di hutan adat dilakukan Bonifasius bersama kedua anak perempuannya setiap beberapa pekan. Rutinitas ini menjamin ketahanan pangan Suku Marind secara turun-temurun. "Kalau kami pergi di hutan, itu bahan makan kan hidup harus kita tebang, lalu ambil, lalu kalau untuk makan. Jangan asal tebang, lalu ditinggal, itu tidak." (Bonifacius Gebze, Tetua Marind) Sagu didapat dengan menggerus tual rumbia. Dari sebuah pohon dewasa bisa dihasilkan antara 150 sampai 300 kg pati sagu yang akan diolah kembali untuk dimakan. Bonifasius meyakini, jika pola makan asli sudah ditinggalkan maka hutan yang pertama kali menjadi korban. "Kekhawatiran saya itu adalah apa yang saya selalu bilang hancur, itu kehancuran. Karena dia sudah menyangkal adat dan budaya hidup kita." (Bonifacius Gebze, Tetua Marind) Dalam keyakinannya, Suku Marind Anim merasa terikat nasib dengan semua makhluk hidup di alam raya. Meramu di hutan berarti merayakan ikatan tersebut. Kedua putri Bonifasius dibesarkan dengan keyakinan yang sama, bahwa keberadaan sagu di Papua bukan ditentukan manusia melainkan sudah disediakan alam. Mengingkari berkah alam tersebut berarti melanggar simbiosis yang selama ini menjamin keseimbangan ekologis dan ketahanan pangan di Papua. "Saya menjaga hutan ini karena saya khawatir, khawatir anak cucu saya. Cucu saya nanti di kemudian hari, di tahun-tahun yang akan datang nanti sudah tidak hidup layak lagi." Pemerintah Merauke sudah mengakui ketertinggalan Papua dalam produksi sagu dan berniat berbenah. Pemerintah pusat pun sudah mulai menerima tradisi lokal sebagai landasan kebijakan pangan di daerah. Kini tinggal mendengar saran dan masukan Suku Marind, tentang bagaimana membangun peradaban yang selaras dengan alam di Papua Selatan.