FAQ BPOM tentang 2D Barcode Obat PDF
Document Details
Uploaded by Deleted User
Tags
Related
- A Concise History of the World: A New World of Connections (1500-1800)
- Human Bio Test PDF
- Comparison PPT PDF
- DFC10273 OS Topic 2 Part 3 Update 26Mar2024 PDF
- Peraturan BPOM No. 29 Tahun 2023 Tentang Persyaratan Keamanan Dan Mutu Obat Bahan Alam PDF
- Fibres & Textiles PDF Forensic Science Lecture Notes
Summary
This document is a FAQ (Frequently Asked Questions) document from BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) related to 2D barcode implementation for medicines. It provides detailed information on the regulations, procedures, and specifics related to the topic. The FAQ covers topics including aggregation methods, dispensations, and various other related issues, crucial for pharmaceutical industries.
Full Transcript
Table of Contents FAQ di Bidang Obat NPPZA 1 2D BARCODE 1 FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN 6 UJI KLINIK...
Table of Contents FAQ di Bidang Obat NPPZA 1 2D BARCODE 1 FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN 6 UJI KLINIK 9 PENGGOLONGAN OBAT 10 KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT 10 LABEL/PENANDAAN/INFORMASI PRODUK 15 UJI BiOAVAILABILITAS/BIOEKIVALENSI 16 EKSPOR IMPOR 19 CPOB 23 CDOB 33 FARMAKOPE, METODE ANALISIS DAN SONK 43 QNA Sosialisasi di Bidang Obat NPPZA 50 SOSIALISASI DAN FGD STANDAR MUTU DI BIDANG OBAT Pada tanggal 29 November 2021 50 Daftar Obat Sirup 55 Daftar Sirup Obat yang Aman Digunakan Sepanjang Sesuai Aturan Pakai 55 FAQ di Bidang Obat NPPZA 2D BARCODE 1. Apakah metode agregasi sudah wajib? Jika Ya, apakah diperkenankan jika penerapan metode agregasi untuk produk dengan metode otentikasi hanya mencantumkan kode primer dan sekunder? Dalam hal ini kode primer adalah 2D Barcode yang dicetak pada label kemasan sekunder dan kode sekunder adalah Barcode pada karton box. Hal ini dikarenakan kesulitan jika menerapkan agregasi hingga kode tersier (kemasan palet). Berdasarkan Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penerapan 2D Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan: Pasal 18 ayat (1) dan (2), Industri Farmasi wajib mencantumkan 2DBarcode pada kemasan primer, kecuali untuk obat-obat tertentu, dimana pouch dengan kemasan besar tidak termasuk dalam pengecualian tersebut sehingga tetap wajib dicantumkan pada kemasan primer. Pasal 12 ayat (3) dan (4), Industri Farmasi tidak wajib melakukan metode agregasi. Namun apabila akan melakukan agregasi, maka pelaku usaha wajib menyampaikan kode agregasi yang meliputi kode primer, kode sekunder, dan kode tersier. Kode primer adalah kode level pertama yang dicetak pada kemasan. Kode sekunder adalah kode level kedua yang memuat informasi dari beberapa kode primer. Kode tersier adalah kode level ketiga yang memuat informasi dari beberapa kode sekunder. Sistem agregasi ini diharapkan akan memudahkan pelaku usaha saat melakukan distribusi obat. Sebagai informasi, saat ini Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 sedang dalam proses revisi. Dalam rancangan revisi tersebut diatur bahwa Industri farmasi yang menerapkan 2D Barcode dengan metode Otentifikasi wajib menerapkan Sistem Agregasi. Namun, selama revisi tersebut belum diundangkan, maka Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 masih tetap berlaku. 2. Bagaimana prosedur pengajuan dispensasi penerapan 2D Barcode? Pengajuan dispensasi penerapan 2D Barcode dilakukan melalui surat resmi yang ditujukan kepada Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif dengan melampirkan data dukung terkait sebagai bahan pertimbangan keputusan terhadap permintaan dispensasi tersebut. 3. Untuk produk yang diedarkan dengan Emergency Use Authorization (EUA): a. Apakah perlu mencantumkan 2D Barcode Otentifikasi? 2D Barcode otentifikasi diterapkan pada Obat Keras (termasuk produk biologi), Narkotika, dan Psikotropika yang telah memiliki izin edar (NIE). Produk dengan EUA tidak masuk dalam ruang lingkup penerapan 2D Barcode. Namun demikian, jika menurut pertimbangan perusahaan 2D Barcode perlu diterapkan pada produk EUA, maka hal tersebut dapat dilakukan. Tidak ada ketentuan yang melarang obat dengan EUA untuk mencantumkan 2D Barcode. b. Apakah mencantumkan 2D Barcode Identifikasi yang kami peroleh dari sistem E-Reg pada saat EUA keluar? 2D Barcode identifikasi diterapkan pada obat yang termasuk golongan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas yang telah memiliki izin edar (NIE). 4. Jika kami memiliki produk Obat yang memerlukan penerapan 2D Barcode Metode otentifikasi ini masih menggunakan persetujuan NIE secara manual dan diterbitkan sebelum Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 diundangkan, mohon informasi Bapak/Ibu mengenai grace period penerapan 2D Barcode untuk produk tersebut. Perhitungan grace periode 2D Barcode metode Otentifikasi: 1. Grace period penerapan 2D Barcode metode Otentifikasi untuk produk Obat yang masih menggunakan persetujuan manual mengikuti Pasal 27 huruf b yaitu paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 diundangkan. 2. Produk Obat yang memerlukan penerapan 2D Barcode metode Otentifikasi yang mendapatkan persetujuan manual setelah Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 diterbitkan, grace period tetap mengikuti ketentuan Pasal 27 huruf b, yaitu paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 diundangkan. 3. Bila produk Obat tersebut dilakukan daftar ulang dan mendapatkan persetujuan secara elektronik, maka penerapan 2D Barcode metode Otentifikasi mengikuti ketentuan Pasal 27 huruf a yaitu 2 (dua) tahun sejak penerbitan izin edar secara elektronik tersebut. 4. Contoh perhitungan grace period: a. Kasus 1: Obat mendapatkan izin edar elektronik tanggal 17 November 2021. Maka harus sudah menerapkan 2D Barcodemetode Otentifikasi pada tanggal 17 November 2023. b. Kasus 2: Obat mendapatkan izin edar manual 10 Agustus 2018. Maka obat harus sudah menerapkan 2D Barcode metode Otentifikasi pada tanggal 7 Desember 2025 (7 tahun setelah Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 diundangkan). Apabila dilakukan registrasi ulang dan terbit izin edar elektronik, misal pada tanggal 10 Agustus 2023, maka obat harus sudah menerapkan 2D Barcode tanggal 10 Agustus 2025 (2 tahun setelah izin edar elektronik diterbitkan). 5. Bagaimana perhitungan grace period 2D Barcode metode identifikasi pada Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 untuk produk Obat dengan persetujuan manual? Perhitungan Grace periode 2D Barcode metode Identifikasi: 1. Grace period penerapan 2D Barcode metode Identifikasi untuk produk Obat yang masih menggunakan persetujuan manual mengikuti Pasal 28 huruf b yaitu paling lambat 5 (lima) tahun sejak Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 diundangkan. 2. Bila produk Obat tersebut dilakukan variasi dan mendapatkan persetujuan secara elektronik, maka penerapan 2D Barcode metode Identifikasi mengikuti ketentuan Pasal 28 huruf a yaitu 6 (enam) bulan sejak penerbitan izin edar secara elektronik tersebut. 3. Contoh perhitungan grace period: a. Kasus 1: Obat mendapatkan izin edar elektronik tanggal 17 November 2021. Maka harus sudah menerapkan 2D Barcodemetode Identifikasi pada tanggal 17 Mei 2022. b. Kasus 2: Obat mendapatkan izin edar elektronik tanggal 31 Maret 2021. Maka harus sudah menerapkan 2D Barcode metode Identifikasi pada tanggal 1 Oktober 2021. c. Kasus 3: Obat mendapatkan izin edar manual tanggal 10 Januari 2018. Maka obat harus sudah menerapkan 2D Barcode metode Identifikasi pada tanggal 7 Desember 2023 (5 tahun setelah Peraturan Badan POM Nomor 33 Tahun 2018 diundangkan). Apabila dilakukan variasi/registrasi ulang dan terbit izin edar elektronik, misal pada tanggal 10 Januari 2023, maka obat harus sudah menerapkan 2D Barcode metode Identifikasi pada tanggal 10 Juli 2023 (6 bulan setelah izin edar elektronik diterbitkan). 6. Pada produk impor, apakah penerapan 2D barcode dilakukan oleh importir atau produsen obat? Sesuai ketentuan Peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penerapan 2D Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan, pencantuman 2D Barcode merupakan kewajiban dan menjadi tanggung jawab pelaku usaha, dalam hal ini adalah industri farmasi pemilik izin edar. Dalam hal produk impor, teknis pencantuman 2D Barcode pada kemasan diserahkan sesuai kesepakatan antara industri farmasi pendaftar (pemilik izin edar) dan produsen asal. Namun, pemilik izin edar harus memastikan bahwa 2D Barcode telah tercantum dan diaktivasi sebelum obat didistribusikan di wilayah Indonesia, serta memenuhi persyaratan/ketentuan lain sebagaimana diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2022. 7. Ketika 2D barcode sudah diterbitkan pada master box, kemudian saat pengeluaran produk dilakukan tidak dalam 1 master box utuh melainkan ecer (per satuan box). Terkait hal ini, apakah harus diterbitkan 2D barcode baru yang ditempelkan pada master box yang berisi eceran tadi? Kemudian untuk master box dengan 2D barcode lama yang isinya sudah tidak utuh lagi apakah juga diterbitkan 2D barcode lagi? Ketentuan terkait dengan pencantuman 2D Barcode Otentifikasi telah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penerapan 2D Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan sebagai berikut: 1. 2D Barcode dengan metode Otentifikasi berlaku untuk obat yang termasuk dalam golongan obat keras (termasuk produk biologi), narkotika, dan psikotropika. 2. Dikecualikan dari ketentuan Otentifikasi, untuk obat keras yang termasuk radiofarmaka dan media kontras wajib menerapkan 2D Barcode dengan metode Identifikasi. 3. Industri farmasi yang menerapkan 2D Barcode dengan metode Otentifikasi wajib menerapkan sistem agregasi. 4. Pelaku usaha pemilik izin edar yang mengelola obat dengan 2D Barcode dan telah menerapkan metode Otentifikasi, wajib menyampaikan laporan 2D Barcode kepada BPOM. 5. Fasilitas distribusi dan fasilitas pelayanan kefarmasian yang mengelola obat dengan 2D Barcode metode Otentifikasi wajib menyampaikan laporan 2D Barcode kepada BPOM. 6. Laporan penggunaan 2D Barcode dilaksanakan terhadap kegiatan: a. aktivasi 2D Barcode yang disampaikan sebelum produk didistribusikan; b. pendistribusian yang disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah obat dengan 2D Barcode didistribusikan; c. penarikan kembali atau pengembalian yang disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah obat dengan 2D Barcode diterima; dan d. pemusnahan yang disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah obat dengan 2D Barcode dilakukan pemusnahan. 7. Selain laporan penggunaan 2D Barcode, pelaku usaha yang merupakan industri farmasi wajib menyampaikan informasi kode agregasi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka: a. Mengingat sistem agregasi diwajibkan untuk memudahkan industri farmasi melakukan scan out saat pendistribusian dan memudahkan fasilitas distribusi dalam melakukan scan in saat penerimaan sehingga tidak perlu membongkar master box, maka kode agregasi pada kemasan master box yang berisikan box eceran harus dicetak kembali. b. Untuk kemasan master box lama yang isinya sudah tidak utuh lagi, apabila master box tersebut akan didistribusikan, maka harus dilakukan pencetakan ulang kode agregasi yang telah disesuaikan dengan isi master box yang sudah tidak utuh lagi tersebut. c. Apabila kode agregasi telah dilaporkan ke BPOM melalui TTAC oleh Industri farmasi sebelum master box dibongkar untuk didistribusikan secara eceran, maka kode agregasi yang telah dilaporkan tersebut dapat diupdate melalui TTAC. Untuk informasi lebih teknis mengenai hal tersebut, Saudara dapat menghubungi dan berkonsultasi dengan tim Pusdatin BPOM melalui alamat email: [email protected]. 8. Terkait implementasi 2D barcode otentifikasi pada obat, apakah industri farmasi dapat membuat sendiri dengan mesin koding yang dimiliki? Apabila bisa, bagaimana prosedurnya? Mengacu pada Peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penerapan 2D Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan: 1. 2D Barcode dengan metode otentifikasi dibuat dengan menggunakan kode berupa serangkaian angka dan huruf. 2. Kode diterbitkan oleh BPOM atau pelaku usaha secara mandiri. 3. Konversi kode menjadi bentuk 2D Barcode dilaksanakan oleh Pelaku Usaha. 4. 2D Barcode otentifikasi untuk obat paling sedikit harus memuat informasi: nomor izin edar dan/atau nomor identitas produk yang berlaku secara internasional, nomor bets atau kode produksi, tanggal kedaluwarsa, dan nomor serialisasi. Jika 2D Barcode dihasilkan oleh pelaku usaha secara mandiri, maka serialisasi mengikuti kebijakan yang pelaku usaha tetapkan. Selain informasi tersebut, 2D Barcode untuk obat juga dapat memuat informasi lain sepanjang memenuhi aspek keamanan, khasiat, dan mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. 2D Barcode dicetak pada kemasan dengan warna tinta yang berbeda dengan warna dasar. 6. 2D Barcode harus mudah dipindai dan mampu dibaca oleh aplikasi BPOM Mobile. 7. Pencantuman 2D Barcode dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas atau terpisah dari kemasannya, dan tidak mudah luntur atau rusak. Oleh karena itu, industri farmasi dapat melakukan pencetakan 2D Barcode secara mandiri dengan mesin koding yang dimiliki dengan barcode yang memuat informasi minimal nomor izin edar dan/atau nomor identitas produk yang berlaku secara internasional, nomor bets atau kode produksi, tanggal kedaluwarsa, dan nomor serialisasi. Selain itu, industri farmasi juga harus memastikan bahwa 2D Barcode yang dicetak mandiri mudah dipindai dan mampu dibaca oleh aplikasi BPOM Mobile serta tidak mudah luntur atau rusak. FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN 1. Apakah diperbolehkan pendirian Apotek di dalam Rumah Sakit? Sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran A.1 (Standar Usaha Apotek) pada Permenkes Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan, salah satu ketentuan dalam pendirian sarana Apotek bahwa sarana Apotek tidak berada di dalam lingkungan Rumah Sakit. 2. Sesuai dengan Peraturan Badan POM Nomor 24 Tahun 2021, instalasi farmasi hanya dapat melayani resep obat berdasarkan resep dari rumah sakit tersebut. Bagaimana mekanisme pelayanan resep jika rumah sakit mendapatkan permintaan layanan resep dari pasien yang berobat di fasilitas pelayanan kesehatan lain? Sesuai dengan Peraturan Badan POM Nomor 24 Tahun 2021, instalasi farmasi hanya dapat melayani resep obat berdasarkan resep dari rumah sakit tersebut. Hal ini sejalan dengan definisi Rumah Sakit sebagaimana diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Selain itu, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2009 juga dinyatakan bahwa rumah sakit harus memenuhi persyaratan kefarmasian salah satunya adalah harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi yang dalam hal ini adalah termasuk obat-obatan. Selain itu, berdasarkan UU berdasarkan aktivitas kegiatan berusaha sebagai dimana diatur dalam peraturan mengenai perizinan berusaha baik di PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko maupun di Permenkes Nomor 14 Tahun 2021, entitas usaha yang menyelenggarakan aktivitas kegiatan berusaha berupa perdagangan eceran obat untuk manusia harus memenuhi perizinan sebagai Apotek atau Toko Obat. Terhadap situasi yang Saudara tanyakan, kami dapat menyarankan sebagai berikut: a. Rumah sakit yang tidak memiliki ketersediaan obat-obatan dapat melakukan rujukan kepada rumah sakit lain yang memiliki obat-obatan untuk dilakukan pelayanan medis secara lebih paripurna. b. Rumah sakit yang tidak memiliki ketersediaan obat-obatan dapat melakukan peresepan dan melakukan rawat jalan dengan obat-obatan yang disebutkan dalam resep dapat dilayani di fasilitas Apotek terdekat. c. Dalam hal terjadi kelangkaan distribusi obat, Rumah Sakit yang memiliki kekosongan ketersediaan obat dan tidak terdapat distributor atau PBF yang memiliki ketersediaan atas obat-obatan tersebut dapat melakukan pengadaan obat dari Apotek terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Bagaimana acuan/regulasi terkait dengan peredaran obat secara daring? Sarana apa saja yang dapat mengedarkan obat secara daring, serta obat-obat apa saja yang dapat diedarkan secara daring? 1. Beberapa regulasi yang dapat menjadi acuan dalam peredaran obat secara daring yaitu: a. Peraturan Badan POM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Badan POM Nomor 32 Tahun 2020 b. Permenkes Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan untuk Standar Kegiatan Usaha Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF) 2. Ruang lingkup peredaran obat secara daring sesuai dengan Peraturan Badan POM Nomor 8 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Badan POM Nomor 32 Tahun 2020 mengatur tentang peredaran obat secara daring dari sarana produksi/distribusi sampai ke tangan pasien. Sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 bahwa: peredaran Obat secara daring dapat dilakukan oleh Industri Farmasi (IF), Pedagang Besar Farmasi (PBF), PBF Cabang, dan Apotek dengan menggunakan Sistem Elektronik. 3. Adapun ketentuan sistem elektronik untuk IF dan PBF yaitu harus menggunakan sistem elektronik yang dimiliki oleh IF dan PBF tersebut, sedangkan sistem Elektronik yang dapat digunakan untuk Apotek yaitu dapat menggunakan sistem elektronik yang dimiliki oleh Apotek atau yang disediakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF). 4. Adapun ketentuan lebih lanjut terkait dengan Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF) tercantum dalam Lampiran D.42 Permenkes Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan. 5. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Badan POM Nomor 8 Tahun 2020 bahwa Peredaran Obat secara daring hanya dapat dilaksanakan untuk Obat yang termasuk dalam golongan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan Obat Keras. Untuk Obat Keras yang diserahkan kepada pasien secara daring wajib berdasarkan Resep yang ditulis secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau diunggah ke dalam sistem. Sedangkan dalam Pasal 27 Peraturan Badan POM Nomor 8 Tahun 2020, obat yang dilarang diedarkan secara daring mencakup: a. Obat keras yang termasuk dalam obat-obat tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Obat yang mengandung prekursor farmasi; c. Obat untuk disfungsi ereksi; d. Sediaan injeksi selain insulin untuk penggunaan sendiri; e. Sediaan implan yang penggunaannya memerlukan bantuan tenaga kesehatan; dan f. Obat yang termasuk dalam golongan Narkotika dan Psikotropika. 6. Dalam hal sistem elektronik masih menggunakan resep yang diunggah, untuk dapat menyerahkan obat kepada pasien maka sarana wajib memastikan pasien tersebut menyerahkan resep aslinya kepada Apotek yang melayani resep tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan Badan POM Nomor 8 Tahun 2020. 4. Bagaimana pengelolaan, regulasi dan aturan, serta praktis di pelayanan telefarma? Beberapa regulasi yang dapat diacu terkait dengan pelayanan telefarmasi, yaitu: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko 2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan 3. Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan secara Daring sebagaimana diubah dengan Peraturan BPOM Nomor 32 Tahun 2020 4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4829/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yang diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 maupun Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2021, yang dapat menyelenggarakan telefarmasi adalah apotek. Penyerahan obat secara daring oleh apotek dapat menggunakan sistem elektronik yang dimiliki oleh apotek dan/atau yang disediakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF) dengan memenuhi ketentuan sistem elektronik sebagaimana tercantum dalam peraturan tersebut. Selain ketentuan mengenai sistem elektronik, fasilitas pelayanan kefarmasian, dalam hal ini apotek harus memenuhi ketentuan terkait pelayanan resep, pelaporan pengiriman obat, serta memenuhi ketentuan komoditi obat yang dapat diedarkan secara daring, yaitu yang termasuk dalam golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat keras. Adapun daftar obat-obat yang tidak diperbolehkan untuk diedarkan secara daring sebagai berikut: a. obat keras yang termasuk dalam obat-obat tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. obat yang mengandung prekursor farmasi; c. obat untuk disfungsi ereksi; d. sediaan injeksi selain insulin untuk penggunaan sendiri; e. sediaan implan yang penggunaannya memerlukan bantuan tenaga kesehatan; dan f. obat yang termasuk dalam golongan Narkotika dan Psikotropika. Apabila sistem elektronik oleh apotek menggunakan jasa pihak ketiga, dalam hal ini melalui PSEF, maka PSEF harus memperoleh perizinan dari Kementerian Kesehatan. Ketentuan lebih lanjut terkait Perizinan PSEF diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan UJI KLINIK 1. Untuk registrasi obat baru yang ditujukan untuk penggunaan kalangan terbatas, apakah ada kebijakan khusus terkait uji klinik? Berdasarkan ketentuan pada Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Keriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 13 Tahun 2021, untuk obat baru yang akan beredar di Indonesia harus didaftarkan terlebih dahulu di Badan POM dengan menyerahkan kelengkapan dokumen sesuai dengan kategori Registrasi Obat Baru, termasuk dokumen nonklinik dan klinik. Selanjutnya, terkait permohonan fleksibilitas pemenuhan dokumen nonklinik dan klinik untuk penggunaan obat di kalangan terbatas, Saudara dapat berkonsultasi dengan Direktorat Registrasi Obat. PENGGOLONGAN OBAT 1. Apakah peraturan mengenai penggolongan obat berlaku untuk obat kombinasi? Ketentuan penggolongan dan kategori obat beserta pembatasannya diatur dalam Permenkes Nomor 28 Tahun 2022 tentang Perubahan Penggolongan, Pembatasan dan Kategori Obat. Pada Permenkes Nomor 28 Tahun 2022, pembatasan ditujukan untuk obat sediaan tunggal yang mengandung zat aktif sebagaimana dalam Lampiran peraturan, kecuali dinyatakan lain seperti pembatasan Triprolidine sebagai Obat Bebas Terbatas dalam sediaan kombinasi dengan Pseudoephedrine. Adapun untuk penggolongan dan kategori obat untuk obat kombinasi, termasuk pembatasan dalam hal kekuatan maupun besar kemasan, dapat mengacu pada regulasi tersebut, namun akan tetap mempertimbangkan komposisi dari obat kombinasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika dalam satu kombinasi terdapat obat dengan golongan obat yang lebih ketat, maka penggolongan produk obat kombinasi akan mengikuti golongan yang lebih ketat. KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT 1. Apakah diperbolehkan penggunaan bahan tambahan food grade pada produk obat? Sesuai ketentuan pada Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023, zat tambahan yang digunakan dalam obat harus memenuhi persyaratan spesifikasi dan metode pengujian zat tambahan pada kompendial atau informasi yang setara dari produsen apabila zat tambahan merupakan zat tambahan non-kompendial. Oleh karena itu, zat tambahan yang digunakan sebaiknya merupakan zat tambahan dengan pharmaceutical grade. 2. Apakah kategori registrasi obat yang dikembangkan dengan metode pembuatan dan bentuk sediaan berbeda dengan inovator? Sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023, Obat dengan zat aktif baru, bentuk sediaan baru, kekuatan baru atau kombinasi baru yang belum pernah disetujui di Indonesia dikategorikan sebagai Obat Baru. Mengingat obat dikembangkan dengan metode pembuatan yang berbeda dengan produk yang telah terdaftar, maka produk tersebut dapat dikatakan merupakan bentuk sediaan baru dan termasuk dalam kategori obat baru. Selanjutnya, untuk informasi lebih lanjut mengenai proses registrasi obat, dapat berkonsultasi langsung dengan Direktorat Registrasi Obat. 3. Apakah ada regulasi yang mengatur tentang ketentuan zat tambahan yang digunakan dalam obat? Sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023, eksipien (zat tambahan) yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan tentang bahan tambahan yang berlaku. Mengingat sampai saat ini belum ada regulasi terkait bahan tambahan obat, dapat mengacu pada ketentuan bahan tambahan yang berlaku dan literatur terkait zat tambahan, sebagai contoh: Peraturan Kepala Badan POM Nomor 36 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet. Selain itu, zat tambahan yang digunakan dalam obat harus mempertimbangkan kompatibilitas dengan zat aktif, serta memenuhi persyaratan spesifikasi dan metode pengujian zat tambahan pada kompendial atau informasi yang setara dari produsen apabila zat tambahan merupakan zat tambahan non-kompendial. Oleh karena itu, zat tambahan yang digunakan sebaiknya merupakan zat tambahan dengan pharmaceutical grade. 4. Apakah ada regulasi yang mengatur ketentuan mengenai standar informasi obat flu dan batuk? Saat ini regulasi mengenai standar informasi obat flu dan batuk masih dalam tahap penyusunan. Oleh karena itu, disarankan pemilihan formula maupun penandaan dapat mengacu pada produk sejenis yang telah terdaftar. Selanjutnya, untuk informasi lebih lanjut mengenai proses registrasi obat, maka dapat berkonsultasi langsung dengan Direktorat Registrasi Obat. 5. Apakah pengajuan registrasi variasi perpanjangan batas kedaluwarsa obat dapat menggunakan data obat skala pilot? Sesuai dengan ASEAN Guideline on Stability Study of Drug Product, data stabilitas obat yang harus diserahkan pada saat registrasi obat adalah sebagai berikut: 1. Obat Baru: data stabilitas obat dari paling sedikit 3 (tiga) bets pertama (primary batch) 2. Obat Generik dan Variasi: a. Untuk bentuk sediaan konvensional dan zat aktif diketahui stabil: data stabilitas obat dari paling sedikit 2 (dua) bets dengan skala pilot. b. Untuk bentuk sediaan kritikal dan zat aktif diketahui tidak stabil: data stabilitas obat dari 3 (tiga) bets pertama (primary batch), dengan paling sedikit 2 (dua) bets skala pilot. Dengan demikian pengajuan perpanjangan batas kedaluwarsa dapat menggunakan data stabilitas obat skala pilot dengan memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku sesuai dengan Lampiran XVI pada Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023. 6. Apakah ada pembatasan jenis dan besar kemasan obat yang boleh didaftarkan? Pemilihan sistem kemasan, termasuk jenis dan besar kemasan, harus mempertimbangkan kesesuaian sistem kemasan yang digunakan untuk penyimpanan, transportasi (pengiriman), dan penggunaan obat, meliputi pemilihan bahan kemasan, perlindungan terhadap pengaruh kelembaban dan cahaya, kompatibilitas antara bahan kemasan dan obat, termasuk interaksi obat dengan kemasan, leaching, keamanan bentuk kemasan, dan ketepatan dosis pemberian dari alat yang digunakan sebagai bagian obat jadi jika ada. Selain itu, juga harus mempertimbangkan dosis terapi yang diperlukan, batas dosis maksimal yang digunakan, tujuan dan lama pengobatan, serta produk sejenis yang telah disetujui. Selanjutnya, untuk informasi lebih lanjut mengenai proses registrasi obat, dapat berkonsultasi langsung dengan Direktorat Registrasi Obat. 7. Bagaimana ketentuan mengenai data stabilitas obat jadi? Sesuai dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan BPOM Nomor 15 Tahun 2023: 1. Data stabilitas obat digunakan sebagai bukti untuk menunjukan bahwa produk bersifat stabil, memenuhi spesifikasi produk jadi selama shelf-life yang diajukan, dimana tidak terjadi dekomposisi obat dalam jumlah yang bermakna selama periode ini, serta menunjukkan tidak ada perubahan potensi dan efektivitas pengawet. 2. Berdasarkan Lampiran VII, untuk data stabilitas Obat Generik dan Variasi mengacu pada ASEAN Guideline on Stability Study of Drug Product. Sesuai pedoman tersebut, ketentuan terkait pemilihan bets untuk uji stabilitas Obat adalah sebagai berikut: Pada saat pengajuan registrasi, harus tersedia data stabilitas obat dari bets dengan formulasi, bentuk sediaan dan sistem kemasan obat yang sama dengan obat yang akan diedarkan. Untuk bentuk sediaan konvensional (misal bentuk sediaan padat lepas cepat, larutan) dan zat aktif diketahui bersifat stabil: paling sedikit 2 (dua) bets skala pilot. Untuk bentuk sediaan kritikal (misal bentuk sediaan pelepasan diperpanjang) atau zat aktif diketahui bersifat tidak stabil: paling sedikit 3 (tiga) bets utama (primary batch), dengan 2 bets diantaranya harus paling sedikit skala pilot. 1 bets lainnya dapat dalam skala lebih kecil dengan justifikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka data stabilitas obat minimal harus skala pilot, sehingga perlu ditetapkan besar bets skala komersial (produksi) dan besar bets skala pilot. 8. Bagaimana penamaan obat generik dan acuannya? Sesuai ketentuan pada Pasal 6 Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan BPOM Nomor 15 Tahun 2023, nama Obat yang diregistrasi dapat menggunakan nama generik atau nama dagang. Nama generik Obat yang diregistrasi mengacu pada International Nonproprietary Names for Pharmaceutical Substances (INN) yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) atau nama yang ditetapkan dalam program kesehatan nasional. 9. Bagaimana ketentuan mengenai stabilitas obat setelah kemasan dibuka (beyond use date)? Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan BPOM Nomor 15 Tahun 2023: 1. Data stabilitas obat, termasuk data stabilitas obat setelah kemasan dibuka, digunakan sebagai bukti untuk menunjukkan bahwa produk bersifat stabil, memenuhi spesifikasi produk jadi selama shelf life yang diajukan, dimana tidak terjadi dekomposisi obat dalam jumlah bermakna selama periode ini, serta menunjukkan tidak ada perubahan potensi dan efektivitas pengawet. 2. Batas penggunaan setelah direkonstitusi atau setelah wadah dibuka (in use stability) merupakan informasi yang dicantumkan dalam informasi produk dan label apabila dinyatakan perlu berdasarkan hasil evaluasi produk (proses registrasi). Sesuai dengan ASEAN Guideline on Stability Study of Drug Product, BUD (Beyond Use Date) atau batas penggunaan setelah wadah dibuka, termasuk dalam parameter pengujian in-use stability, yang bertujuan untuk memberikan informasi penandaan untuk penyiapan, kondisi penyimpanan dan periode penggunaan produk multi dosis setelah kemasan dibuka, rekonstitusi atau pengenceran (dilution) dari suatu larutan, misalnya injeksi antibiotik dalam bentuk serbuk injeksi. In-use stability harus didesain semirip mungkin untuk memberikan gambaran penggunaan obat oleh konsumen, termasuk volume isi dari kemasan dan pengenceran atau rekonstitusi sebelum penggunaan. Pada interval tertentu sesuai petunjuk penggunaan, sejumlah obat harus dipindahkan menggunakan metode penggunaan yang dipakai dan tercantum pada informasi produk. In-use stability harus dilakukan sepanjang masa penyimpanan setelah dibuka yang diajukan. Penetapan kondisi penyimpanan dan batas kedaluwarsa produk (shelf life), termasuk batas kedaluwarsa produk setelah dibuka oleh BPOM, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi data stabilitas obat yang diserahkan. Sesuai dengan Lampiran X dan XI Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023, batas kedaluwarsa/ stabilitas termasuk dalam informasi minimal yang harus dicantumkan pada informasi produk dan label, termasuk batas penggunaan setelah direkonstitusi atau setelah wadah dibuka (in-use stability) berdasarkan data in-use stabiliity, khususnya untuk obat multi dosis dan obat yang penggunaannya memerlukan proses rekonstitusi atau pengenceran, sebagai bentuk informasi bagi konsumen dalam penggunaan obat. Selanjutnya, dalam hal pengajuan desain pengujian dan masa simpan setelah wadah dibuka (in use stability), dapat berkonsultasi kepada Direktorat Registrasi Obat dengan menyerahkan kajian mandiri beserta data dukung. 10. Apakah obat dengan izin edar yang telah habis masa berlakunya dan dalam proses registrasi ulang dapat diedarkan? Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023: 1. Obat yang akan diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki Izin Edar. 2. Dalam hal Izin Edar sudah habis dan akan dilakukan pengajuan registrasi variasi: a. Persetujuan registrasi variasi wajib dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan diterbitkan. b. Persetujuan lama masih dapat diproduksi paling lama 6 (enam) bulan setelah diterbitkannya persetujuan baru selama persetujuan baru belum dilaksanakan. c. Pendaftar wajib melaporkan jumlah, nomor bets, dan tanggal kedaluwarsa bets terakhir yang diedarkan sebelum pelaksanaan registrasi variasi kepada Kepala Badan. d. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana butir i – iii untuk perubahan pendaftar atau perubahan yang terkait aspek keamanan sebagai tindak lanjut hasil pengawasan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Maka, berdasarkan ketentuan di atas: 1. Obat dapat diedarkan apabila memiliki Izin Edar yang masih berlaku. 2. Dalam hal registrasi ulang terdapat perubahan, maka registrasi ulang diproses sesuai kategori registrasi variasi atas perubahan yang dilakukan. Adapun ketentuan produksi dan peredaran obat dengan persetujuan lama dilakukan dengan mempertimbangkan stok obat di peredaran dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 11. Pada Peraturan Badan POM Nomor 15 tahun 2023 terkait perubahan kategori variasi minor untuk jenis perubahan "Perubahan/Penambahan Produsen Zat Tambahan" salah satu dokumen persyaratan adalah "Data uji disolusi terbanding (UDT) minimal 1 bets skala pilot antara obat dengan produsen zat tambahan yang diajukan dengan yang disetujui (sesuai ketentuan)". Apakah yang dimaksud dengan "sesuai ketentuan" ini? Keterangan "sesuai ketentuan" pada data uji disolusi terbanding minimal satu bets skala pilot antara Obat dengan produsen zat tambahan yang diajukan dengan yang disetujui, dipersyaratkan untuk eksipien yang dapat mempengaruhi pelepasan obat maupun obat dengan zat aktif yang diwajibkan uji bioekivalensi. Sebagai informasi, dapat merujuk regulasi lain terkait registrasi variasi, seperti Guidance for Industry - Scale-Up and Postapproval Changes: Chemistry, Manufacturing, and Controls, In Vitro Dissolution Testing, and In Vivo Bioequivalence Documentation, dll. LABEL/PENANDAAN/INFORMASI PRODUK 1. Apakah makna dari sistem penomoran yang digunakan pada Nomor Izin Edar (NIE) obat? Sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023, setiap Obat yang beredar di Indonesia harus memiliki Nomor Izin Edar (NIE). Obat yang telah memiliki NIE dapat dipastikan memenuhi standar keamanan, mutu, khasiat serta memiliki informasi yang lengkap serta tidak menyesatkan. NIE untuk obat yang dikeluarkan oleh Badan POM terdiri dari 15 digit dengan kombinasi sebagai berikut: Digit 1 menunjukkan jenis obat, apakah obat dengan nama dagang (kode D) atau obat generik (kode G). Digit 2 menunjukkan golongan obat, apakah termasuk dalam golongan obat bebas (kode B), obat bebas terbatas (kode T), obat keras (kode K), Psikotropika (kode P), atau Narkotika (kode N). Digit 3 menunjukkan status produksi obat, apakah obat produksi lokal (kode L) atau obat impor (kode I). Digit 4 – 15 menunjukkan nomor identitas obat yang diproduksi oleh setiap Industri Farmasi. Sebagai contoh, obat dengan NIE DKL1234567890A1 memiliki arti obat merupakan obat keras dengan merek dagang yang diproduksi di dalam negeri (lokal). Untuk mengetahui informasi obat terdaftar di Indonesia yang telah mendapatkan NIE, dapat diakses melalui laman resmi Badan POM https://cekbpom.pom.go.id 2. Apakah ada ketentuan khusus terkait klim penandaan obat? Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 47 Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023, evaluasi informasi produk dan label mengacu pada: 1. Hasil evaluasi khasiat, keamanan, dan mutu; 2. Informasi produk obat baru yang telah disetujui oleh Kepala Badan; atau 3. Standar informasi obat yang ditetapkan oleh Kepala Badan. 3. Bagaimana ketentuan pencantuman eksipien (zat tambahan) pada kemasan? Sesuai Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan BPOM Nomor 15 Tahun 2023: 1. Informasi Produk adalah keterangan lengkap mengenai Obat yang disetujui oleh Kepala BPOM, meliputi khasiat, keamanan, cara penggunaannya serta informasi lain yang dianggap perlu untuk dicantumkan pada Ringkasan Karakteristik Produk/ Brosur dan/ atau Informasi Produk untuk Pasien. Ketentuan pencantuman informasi minimal pada Informasi Produk mengacu pada Lampiran X. 2. Label adalah informasi yang dicantumkan pada kemasan. Ketentuan pencantuman informasi minimal pada Label mengacu pada Lampiran XI. 3. Untuk Obat golongan tanpa resep dokter (Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas), Informasi Produk untuk Pasien harus disertakan pada kemasan terkecil, dapat berupa catch cover/amplop, blister, atau brosur yang melekat kuat pada kemasan terkecil, yang terbaca selama penggunaan Obat. Informasi mengenai Daftar Eksipien termasuk dalam informasi minimal yang harus dicantumkan dalam Ringkasan Karakteristik Produk/Brosur. Informasi minimal terkait Daftar Eksipien yang harus dicantumkan dalam informasi produk adalah seluruh komponen Obat yang tidak mempunyai efek farmakologis (seluruh zat tambahan yang terdapat dalam Obat), termasuk pelarut yang ada dalam produk obat (seperti penggunaan alkohol dalam sediaan eliksir). Pengecualian dalam hal zat tambahan yang digunakan hilang selama proses pembuatan (misal pelarut zat aktif yang akan hilang pada proses granulasi), dapat tidak dicantumkan dalam informasi produk, namun tetap dilakukan kontrol mutu obat berupa uji residu pelarut jika dipersyaratkan. UJI BiOAVAILABILITAS/BIOEKIVALENSI 1. Adakah acuan yang dapat digunakan untuk pelaksanaan uji ekivalensi, termasuk pemilihan obat komparator? Pelaksanaan uji ekivalensi baik berupa uji bioekivalensi maupun uji disolusi terbanding di Indonesia dilakukan sesuai ketentuan pada Peraturan Badan POM Nomor 11 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Uji Bioekivalensi dan Keputusan Kepala Badan POM Nomor 65 Tahun 2022 tentang Daftar Obat Generik Tertentu Wajib Uji Bioekivalensi. Untuk referensi mengenai obat komparator dapat dilihat melalui laman https://pionas.pom.go.id/obat-komparator atau laman SISOBAT (https://standarobat.pom.go.id) pada menu “Produk Standardisasi/Lainnya”. Untuk pemilihan obat komparator yang akan digunakan dalam Uji Ekivalensi, disarankan untuk melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan Direktorat Registrasi Obat. 2. Bagaimana kriteria pemilihan obat komparator untuk uji ekivalensi di Indonesia saat ini? Dalam hal pemilihan obat komparator yang digunakan dalam Uji Ekivalensi, seleksi dilakukan sesuai kriteria yang telah tercantum pada Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Uji Bioekivalensi, sebagai berikut: 1. Obat komparator yang digunakan dalam Uji Ekivalensi harus obat inovator yang memiliki Izin Edar di Indonesia. 2. Dalam hal obat inovator berasal dari tempat produksi yang berbeda dengan tempat produksi obat inovator yang terdaftar di Indonesia, maka obat inovator tersebut dapat digunakan namun harus dilakukan Uji Disolusi Terbanding untuk membuktikan ekivalensi kedua obat inovator. 3. Jika Obat Komparator sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan 2 tidak teridentifikasi, maka obat komparator dapat dipilih dengan urutan prioritas sebagai berikut: a. Obat yang telah terdaftar di negara yang tergabung dalam International Council for Harmonization (ICH) dan negara asosiasinya (associated countries); b. Obat generik yang telah terbukti bioekivalen terhadap obat inovator dengan hasil paling mendekati obat inovator; atau c. Obat yang termasuk dalam daftar prakualifikasi World Health Organization (WHO) 4. Untuk obat inovator yang sudah tidak beredar di Indonesia, maka sesuai butir 2, dapat digunakan obat inovator yang terdaftar atau dipasarkan di negara lain. Jika obat komparator sudah tidak beredar lagi di negara manapun, maka dapat dipilih sesuai butir 3. 5. Obat inovator yang beredar di negara lain dapat ditelusuri secara mandiri melalui daftar obat yang terdaftar pada laman resmi regulator negara lain, seperti US-FDA (https://www.fda.gov/drugs/development-approval-process-drugs/drug-approvals- and-databases), EMA (https://www.ema.europa.eu/en/medicines), dan lain-lain. 6. Untuk informasi lebih lanjut mengenai obat komparator dapat dilihat melalui laman https://pionas.pom.go.id/obat-komparator atau laman SISOBAT (https://standarobat.pom.go.id) pada menu “Produk Standardisasi/Lainnya”. Untuk pemilihan obat komparator yang akan digunakan dalam Uji Ekivalensi, disarankan untuk melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan Direktorat Registrasi Obat. 3. Apakah maksud dari ketentuan peralihan dari Keputusan Kepala Badan POM Nomor 65 Tahun 2022 tentang Daftar Obat Generik Tertentu Wajib Uji Bioekivalensi? Diktum ketiga Keputusan Kepala Badan POM Nomor 65 Tahun 2022 menjelaskan bahwa untuk obat generik tertentu yang masih dalam proses registrasi, obat generik yang didaftarkan sebagai registrasi baru, dan/atau obat generik yang didaftarkan sebagai registrasi ulang yang termasuk dalam daftar obat generik tertentu wajib uji bioekivalensi dapat dilakukan komitmen uji bioekivalensi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Keputusan ini ditetapkan. Hal ini bermakna bahwa komitmen uji bioekivalensi hanya berlaku untuk obat generik tertentu yang yang masih dalam proses registrasi baik yang didaftarkan sebagai registrasi baru dan/atau registrasi ulang. Jika obat tidak dalam proses registrasi, maka tidak masuk dalam kategori tersebut, sehingga persyaratan penyerahan laporan hasil uji bioekivalensi mengikuti ketentuan pada Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Untuk informasi lebih lanjut mengenai proses registrasi obat, dapat berkonsultasi dengan Direktorat Registrasi Obat. 4. Jika suatu zat aktif tidak termasuk dalam Keputusan Kepala BPOM Nomor 65 tahun 2022 tentang Daftar Obat Generik Tertentu Wajib Uji BE, apakah zat aktif tersebut tidak wajib uji BE? Keputusan Kepala BPOM Nomor 65 tahun 2022 tentang Daftar Obat Generik Tertentu Wajib Uji BE merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Uji Bioekivalensi, yang mengatur mengenai obat generik tertentu dengan zat aktif wajib uji bioekivalensi. Terkait zat aktif/ obat yang tidak termasuk ke dalam daftar tersebut, maka sesuai dengan Pasal 4 Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Uji Bioekivalensi, selain obat generik tertentu sebagaimana diatur dalam Keputusan Kepala BPOM Nomor 65 tahun 2022, dapat dipersyaratkan Uji Bioekivalensi dan atau Uji Disolusi Terbanding berdasarkan kriteria obat untuk uji ekivalensi pada Lampiran I Pedoman Uji BE pada bagian C. Kriteria Untuk Uji Ekivalensi. Selanjutnya dalam hal ketentuan uji ekivalensi untuk zat aktif tersebut, disarankan berkonsultasi dengan Direktorat Registrasi Obat. 5. Bagaimana menentukan suatu zat aktif apakah memerlukan uji bioekivalensi (BE) atau cukup dilakukan Uji Disolusi Terbanding (UDT)? Penentuan kriteria uji ekivalensi suatu obat, dapat mengacu pada Lampiran I Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Uji Bioekivalensi bagian C. Kriteria Untuk Uji Ekivalensi. Selanjutnya, dalam hal ketentuan uji ekivalensi lebih lanjut, disarankan agar berkonsultasi langsung dengan Direktorat Registrasi Obat dengan menyampaikan informasi kajian yang lengkap. 6. Jika suatu obat wajib uji bioekivalensi memiliki beberapa kekuatan yang berbeda, apakah obat dengan kekuatan terendah dapat dilakukan uji disolusi terbanding saja dengan kekuatan yang telah dilakukan uji bioekivalensi? Penjelasan ketentuan terkait obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolusi terbanding) dan pelaksanaan uji bioekivalensi obat untuk beberapa kekuatan telah tercantum dalam Lampiran 1 Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Uji Bioekivalensi, yaitu: 1. Untuk obat generik yang hanya berbeda kekuatan dan mempunyai sifat farmakokinetik yang linier, uji bioekivalensi dilakukan sedikitnya pada salah satu kekuatan (biasanya kekuatan tertinggi, kecuali untuk alasan keamanan dipilih kekuatan yang lebih rendah). 2. Jika ada obat generik yang mempunyai lebih dari 2 kekuatan, dan formulanya secara kualitatif sama tetapi kadarnya tidak proporsional, maka uji bioekivalensi (uji BE) harus dilakukan pada kekuatan tertinggi dan terendah. 3. Untuk kekuatan obat yang berada diantara dua kekuatan tersebut di atas, tidak perlu dilakukan uji BE jika formulanya secara kuantitatif dalam rentang dua kekuatan yang diuji BE. 4. Uji disolusi terbanding dapat diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan perbandingan profil disolusi dengan ketentuan sebagai berikut: a. semua kekuatan mempunyai proporsi zat aktif dan zat tambahan yang sama yaitu untuk kekuatan yang berbeda, proporsi zat aktif dan zat tambahan dari setiap kekuatan adalah sama; b. zat aktif sangat poten, yaitu jumlah zat aktif dalam sediaan relatif rendah (sampai 10 mg per satuan dosis atau tidak lebih dari 5% berat total sediaan), dengan jenis dan jumlah zat tambahan yang sama untuk semua kekuatan; c. terkait butir a. dan b., jenis dan jumlah zat tambahan harus persis sama untuk masing-masing kekuatan, kecuali untuk zat pengisi (filler) dapat berubah apabila ada perubahan kekuatan zat aktif. EKSPOR IMPOR 1. Bagaimana ketentuan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk mengajukan Surat Keterangan Impor (SKI) bahan baku obat? Tidak ada ketentuan khusus mengenai informasi minimal yang harus tercantum dalam sertifikat CPOB produsen bahan obat. Adapun beberapa informasi utama yang dievaluasi pada saat pengajuan permhonan SKI bahan obat mencakup: 1. Nama Produsen 2. Alamat Produsen 3. Penerbit CPOB 4. Tanggal terbit CPOB 5. Tanggal inspeksi 6. Masa berlaku CPOB 7. Lingkup inspeksi (inspection scope) Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia, persyaratan permohonan SKI bahan baku obat diantaranya yaitu dokumen sertifikat CPOB milik produsen bahan obat yang masih berlaku saat bahan obat tersebut diproduksi atau dokumen lain yang setara, yang dikeluarkan oleh otoritas pengawas obat setempat dan/atau otoritas pengawas obat negara lain. Tidak ada ketentuan khusus mengenai jangka waktu minimal masa berlaku sertifikat CPOB. Selain itu, sertifikat CPOB tidak perlu dilegalisir. Terkait dengan sertifikat CPOB (GMP) dalam proses renewal/resertifikasi, sebagai dokumen pelengkap dapat menggunakan dokumen bukti proses renewal/resertifikasi CPOB (GMP) dari otoritas pengawas obat terkait, atau dokumen lain yang setara yang dikeluarkan oleh otoritas pengawas obat setempat dan/atau otoritas pengawas obat negara lain. Dalam hal persyaratan dokumen lembar data keamanan dan/atau spesifikasi bahan untuk pengajuan SKI bahan baku obat, dokumen berupa informasi yang menunjukkan sifat/tingkat hazardous dari bahan dan cara penanganan (handling), atau sering disebut sebagai Material Safety Data Sheet (MSDS). Untuk informasi lebih lanjut terkait persyaratan teknis impor bahan obat, dapat berkonsultasi dengan Direktorat Pengawasan Keamanan, Mutu, dan Ekspor Impor Obat NPPZA sebagai Unit Penyelenggara Pelayanan Publik penerbitan SKI BPOM (Komoditi Obat dan Bahan Obat). 2. Terkait dengan bahan baku obat dengan pemasukan melalui mekanisme SAS yang tidak boleh digunakan untuk komersialisasi, jika terdapat sisa bahan baku, apakah bahan baku tersebut tidak boleh digunakan untuk pembuatan produk komersial? Pada Peraturan BPOM Nomor 30 Tahun 2022 tentang Pemasukan Obat dan Bahan Obat melalui Mekanisme Jalur Khusus (Special Access Scheme), salah satu kriteria yang wajib dipenuhi dalam pemasukan Obat dan Bahan Obat melalui SAS yaitu bukan untuk kepentingan komersial. Selain itu, persetujuan SAS yang diberikan juga melekat pada tujuan penggunaan sesuai dengan permohonan. Terkait hal tersebut, jumlah bahan obat yang akan didatangkan, misal untuk penelitian dan pengembangan produk, harus sesuai dengan kebutuhan sebagaimana tercantum dalam proposal penelitian yang menjadi salah satu dokumen persyaratan pengajuan permohonan. Dalam hal terdapat sisa penggunaan, maka harus dimusnahkan dan dilaporkan dengan mencantumkan informasi sebagaimana diatur dalam Lampiran huruf D mengenai laporan pemusnahan sisa obat dan bahan obat SAS. 3. Dalam pengajuan SAS untuk keperluan bahan pembanding (reference standard), apakah tetap harus menyampaikan protokol pemakaian bahan, rincian pemakaian bahan, dan sertifikat CPOB? Berdasarkan definisi pada Peraturan BPOM Nomor 30 Tahun 2022, bahan pembanding/ baku pembanding termasuk dalam bahan obat yang diatur ketentuannya dalam peraturan. SAS bahan obat hanya dapat digunakan untuk keperluan penelitian, pengembangan produk dan/atau ilmu pengetahuan, serta donasi. Salah satu persyaratan umum pengajuan SAS adalah sertifikat CPOB dari produsen obat dan/atau bahan obat yang masih berlaku, atau dokumen lain yang setara yang dikeluarkan oleh otoritas pengawas obat setempat dan/atau otoritas pengawas obat di negara lain. Selain itu, pemohon yang mengajukan permohonan persetujuan SAS bahan obat juga harus memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut: 1. sertifikat analisis, 2. surat keterangan donasi (letter of donation) yang dibuat oleh donatur untuk keperluan donasi, 3. protokol penelitian/pengembangan produk untuk keperluan penelitian dan pengembangan produk dan/atau ilmu pengetahuan, 4. rincian rencana penggunaan produk hasil penelitian dan rincian rencana penggunaan hasil pengembangan produk dan/atau ilmu pengetahuan, dan 5. laporan realisasi penggunaan bahan obat yang sama sesuai dengan tujuan penggunaan berdasarkan persetujuan SAS bahan obat terakhir yang diterbitkan oleh BPOM. Oleh karena itu, protokol pemakaian bahan, rincian pemakaian bahan, dan sertifikat CPOB tetap harus disampaikan untuk pengajuan permohonan SAS bahan pembanding (reference standard). 4. Apakah terdapat regulasi Badan POM yang relevan untuk dapat dijadikan pedoman pada ekspor obat produk jadi? Apabila suatu produk obat dengan formula tertentu hanya akan diekspor, maka diperlukan persetujuan khusus ekspor. Apabila suatu produk obat yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia telah memiliki persetujuan izin edar (atau NIE) dan rencana juga akan diekspor, apakah dapat mengajukan persetujuan ekspor dengan menggunakan dokumen obat yang beredar di Indonesia? Selain itu, apakah untuk produk ekspor wajib dilakukan pembuatan Certificate of Pharmaceutical Product (CPP) ke Badan POM? Regulasi yang dapat diacu terkait ekspor obat antara lain: 1. untuk ekspor obat selain Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dapat mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Peraturan Badan POM Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Obat dan Makanan pada Lampiran D.1 Standar dan Persyaratan Surat Keterangan Ekspor Obat/Certificate of Pharmaceutical Product (CPP). 2. untuk ekspor obat yang termasuk golongan Narkotika Psikotropika dan Prekursor Farmasi dapat mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dan Peraturan Badan POM Nomor 26 Tahun 2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Permohonan Analisa Hasil Pengawasan dalam Rangka Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Untuk ekspor produk obat dengan formula tertentu yang hanya ditujukan untuk ekspor, dapat mengajukan surat persetujuan khusus ekspor sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Peraturan Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Sedangkan untuk ekspor produk obat yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia yang telah memiliki persetujuan izin edar (dengan formula yang sama persis), dapat mengajukan Surat Keterangan Ekspor Obat/Certificate of Pharmaceutical Product (CPP) dengan persyaratan pengajuan sebagaimana dalam pada butir a. Pengajuan dokumen tersebut dapat diajukan kepada Direktorat Registrasi Obat. 5. Terkait pemasukan obat ke Indonesia dari luar negeri sebagai inovator untuk proses registrasi obat yang memerlukan uji bioekivalensi, apakah industri farmasi (manufaktur obat) dapat memasukkan obat dari luar negeri secara langsung? Jika bisa, bagaimana skema untuk pemasukan/impor obat tersebut? Adakah jumlah maksimum obat yang dapat diimpor? Pemasukan obat/bahan obat untuk tujuan penelitian atau pengembangan produk dapat dilakukan melalui mekanisme jalur khusus / Special Access Scheme (SAS). Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 43 Peraturan Badan POM Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia dan Pasal 37 Peraturan Badan POM Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia, bahwa pemasukan obat dan bahan obat untuk keperluan tertentu (antara lain keperluan penelitian dan pengembangan produk) dilakukan melalui mekanisme jalur khusus / special access scheme. Ketentuan lebih lanjut terkait persyaratan dan teknis tata cara pemasukan obat dan bahan obat melalui mekanisme jalur khusus/special access scheme sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan POM Nomor 30 Tahun 2022 tentang Pemasukan Obat dan Bahan Obat Melalui Mekanisme Jalur Khusus (Special Access Scheme/SAS), yaitu: 1. Pemohon SAS yaitu pelaksana impor dapat berupa Industri Farmasi yang memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 bahwa salah satu kriteria Obat atau Bahan Obat yang dimasukkan melalui SAS yaitu wajib memenuhi kriteria dalam jumlah terbatas sesuai dengan kebutuhan dan bukan untuk kepentingan komersial. 3. Terkait dengan jumlah maksimum obat yang dapat diimpor, persetujuan SAS yang diberikan melekat pada tujuan penggunaan sesuai dengan yang dimohonkan. Jumlah Obat atau Bahan Obat yang akan didatangkan misal untuk penelitian dan pengembangan produk, harus sesuai dengan kebutuhan sebagai tercantum dalam proposal penelitian yang menjadi salah satu dokumen persyaratan pengajuan permohonan. 6. Terkait importasi, apakah PBF bahan baku obat bisa melakukan importasi obat jadi dengan melewati regulasi SAS untuk pengujian di industri farmasi? Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 Peraturan Badan POM Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia, pemasukan obat yang belum memiliki izin edar untuk keperluan tertentu (antara lain keperluan penelitian dan pengembangan produk), maka dilakukan melalui mekanisme jalur khusus / Special Access Scheme (SAS). Ketentuan lebih lanjut terkait persyaratan dan teknis tata cara pemasukan obat dan bahan obat melalui mekanisme jalur khusus/special access scheme sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan POM Nomor 30 Tahun 2022 tentang Pemasukan Obat dan Bahan Obat Melalui Mekanisme Jalur Khusus (Special Access Scheme/SAS), yaitu: 1. Pemohon SAS yaitu pelaksana impor dapat berupa PBF yang memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17, salah satu dokumen pendukung pada pendaftaran akun permohonan SAS adalah Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik untuk pemohon berupa PBF. 3. Sedangkan persyaratan khusus SAS Obat Penelitian sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) antara lain berupa sertifikat analisis, protocol penelitian/pengembangan produk, dan laporan realisasi penggunaan Obat Penelitian yang sama sesuai dengan tujuan penggunaan berdasarkan persetujuan SAS Obat Penelitian terakhir yang diterbitkan oleh Badan POM. 4. Penyampaian laporan SAS berupa laporan realisasi penggunaan dan laporan pemusnahan obat dan bahan obat sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (3) menjadi tanggung jawab pemohon (dalam hal ini PBF) dan pengguna (dalam hal ini Industri Farmasi). 5. sebagai catatan, dalam dokumen permohonan SAS harus dapat memberikan penjelasan justifikasi peruntukan dan tujuan penggunaan Obat Penelitian tersebut, yang dapat dituangkan dalam proposal penelitian/pengembangan produk. Adapun ketentuan lebih lanjut terkait dengan sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik, sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran huruf A.8 Peraturan Badan POM Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Obat dan Makanan, ruang lingkup Sertifikat Distribusi Obat yang Baik meliputi obat, bahan obat, produk rantai dingin, narkotika, psikotropika, prekursor farmasi, dan/atau obat-obat tertentu yang sering disalahgunakan, sesuai kategori produk yang dikelola yang diberikan, masing-masing dalam 1 (satu) sertifikat. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1. pemasukan obat yang belum memiliki izin edar untuk keperluan tertentu (antara lain keperluan penelitian dan pengembangan produk), maka dilakukan melalui mekanisme jalur khusus / Special Access Scheme (SAS). 2. PBF Bahan Obat dapat melakukan pengelolaan obat jadi termasuk di dalamnya importasi obat penelitian dengan catatan telah memiliki sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik untuk ruang lingkup pengelolaan obat jadi. Untuk informasi terkait dengan sertifikasi CDOB, dapat berkonsultasi langsung dengan Direktorat Pengawasan Distribusi dan Pelayanan ONPP. Untuk informasi lebih lanjut terkait importasi obat penelitian melalui jalur Special Access Scheme (SAS), dapat berkonsultasi langsung ke Direktorat Registrasi Obat. CPOB 1. Bagaimana ketentuan perubahan line produksi sediaan yang sama dengan sertifikat CPOB sama? Sesuai ketentuan Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Obat dan Makanan pada Lampiran A.5 Standar dan Persyaratan Sertifikasi Cara Pembuatan Obat yang Baik, perpindahan line produksi selama masih dalam satu fasilitas (sertifikat CPOB) berupa perubahan fungsi ruangan tanpa disertai perubahan kelas kebersihan dan/atau dengan perubahan peralatan dapat dilakukan setelah menyampaikan notifikasi kepada Kepala BPOM. Namun, apabila perpindahan/perubahan tersebut disertai dengan perubahan kelas kebersihan yang lebih tinggi atau penambahan ruangan maka perubahan tersebut harus dilakukan inspeksi terlebih dahulu oleh BPOM. Dalam hal perubahan tersebut memerlukan inspeksi BPOM, dapat berkonsultasi kepada Direktorat Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor. 2. Apakah pelulusan untuk produk impor dapat dilakukan tanpa re-testing? Apabila persyaratan dokumen registrasi terpenuhi, tersedia quality statement bahwa produsen produk menjamin produk stabil selama masa edar produk, dan setiap kali pemasukan produk dilengkapi dengan sertifikat analisis obat pada setiap batch, sertifikat compliance terhadap kesesuaian GMP dan batch record serta telah dilakukan audit ke produsen produk, apakah ini cukup sebagai justifikasi Industri Farmasi tidak perlu melakukan re-testing terhadap sertifikat analisis yang dikeluarkan dari produsen produk? 1. Dalam Peraturan Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 menyebutkan bahwa Registrasi Obat Impor hanya dapat dilakukan oleh Pendaftar yang mendapatkan persetujuan tertulis dari industri farmasi di luar negeri. Salah satu dokumen persyaratan registrasi untuk Obat Impor adalah Sertifikat analisis Zat Aktif dan Obat. 2. Sejalan dengan ketentuan sebagaimana butir 1, dalam Peraturan Badan POM Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pengawasan Pemasukan Obat ke Dalam Wilayah Indonesia sebagaimana diubah dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2020 dalam Pasal 15 menyatakan bahwa salah satu persyaratan dokumen pengajuan impor produk Obat yaitu dokumen sertifikat analisis. Dalam hal penerbit sertifikat analisis berbeda dengan produsen, maka nama produsen harus dicantumkan dalam sertifikat analisis. Adapun sertifikat analisis paling sedikit memuat informasi yaitu: nama produk, parameter uji, hasil uji, metode analisis, nomor batch/nomor lot/kode produksi, tanggal produksi dan tanggal kedaluwarsa. 3. Dalam ketentuan Peraturan Badan POM Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik menyatakan bahwa pelulusan akhir produk hendaklah didahului dengan penyelesaian dari hal-hal yang mencakup sebagai berikut: a. produk memenuhi persyaratan mutu dalam semua spesifikasi pengolahan dan pengemasan; b. sampel pertinggal dari kemasan yang dipasarkan dalam jumlah yang mencukupi untuk pengujian di masa mendatang; c. pengemasan dan penandaan memenuhi semua persyaratan sesuai hasil pemeriksaan oleh bagian Pengawasan Mutu; d. rekonsiliasi bahan pengemas cetak dan bahan cetak dapat diterima; dan e. produk jadi yang diterima di area karantina sesuai dengan jumlah yang tertera pada dokumen penyerahan barang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Industri Farmasi pengimpor wajib menjamin produk memenuhi persyaratan mutu dan melakukan pelulusan mutu produk. Namun demikian, terkait produk tersebut merupakan Obat Impor yang sudah dilengkapi sertifikat analisis dari produsen produk, pelulusan mutu produk dapat dilakukan melalui reviu dokumen tanpa harus dilakukan pengujian ulang (re-testing). Informasi lebih lanjut terkait teknis persyaratan pemasukan/impor produk dapat menghubungi Direktorat Pengawasan Keamanan, Mutu, dan Ekspor-Impor ONPPZA. 3. Bagaimana prosedur konsultasi lay out fasilitas produksi baru ke Badan POM? Apakah tersedia konsultasi online atau offline? Dokumen apa saja yang harus disiapkan? Untuk konsultasi lay out fasilitas produksi baru, dapat mengajukan konsultasi/pertanyaan mengenai hal tersebut kepada Direktorat Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor. 4. Apakah diperbolehkan Nomor Izin Edar (NIE) tidak tercetak tetapi di-inkjet print pada kemasan blister obat (bersama informasi MD, ED, dan Nomor bets)? Terkait penulisan NIE pada kemasan obat menggunakam inkjet print, beberapa hal yang perlu dicermati adalah sebagai berikut: 1. Sesuai dengan Peraturan Kepala Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Laksana Registrasi Obat Pasal 30 ayat 2 bahwa label harus mencantumkan identitas yang mampu telusur untuk menjamin keabsahan produk. Selain itu, pada Lampiran XI dinyatakan bahwa Informasi minimal yang harus dicantumkan pada kemasan blister salah satunya adalah NIE. 2. Untuk penulisan NIE pada kemasan harus dicetak pada kemasan sedangkan penulisan dengan inkjet print pada kemasan dapat digunakan untuk nomor bets, tanggal kedaluwarsa, dan HET. 3. Sehubungan dengan implementasi butir 2 di atas, dapat berkonsultasi lebih lanjut dengan Direktorat Registrasi Obat terkait kondisi produk. 5. Bagaimana ketentuan tentang re-labelling dan re-packing (pengemasan sekunder) untuk produk biologi impor dalam kemasan primer? Berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik pada Bab 3 tentang Bangunan dan Fasilitas, mungkin diperlukan bangunan-fasilitas dan peralatan yang terdedikasi untuk kegiatan pengolahan dan/atau pengemasan guna mengendalikan risiko dari beberapa obat yang tergantung dari tingkat risiko. Fasilitas tersendiri dipersyaratkan untuk pembuatan obat yang berisiko karena: 1. risiko tidak dapat dikendalikan secara memadai melalui pengoperasian dan/atau tindakan teknis; 2. data ilmiah dari evaluasi toksikologi tidak mendukung risiko yang dapat dikendalikan; dan 3. batas residu relevan berdasarkan hasil evaluasi toksikologi, tidak dapat ditentukan secara memuaskan dengan metode analisis tervalidasi. Hal ini termasuk untuk produk yang dapat menimbulkan alergi dari bahan yang menimbulkan sensitisasi tinggi (misal betalaktam), preparat biologis (misal dari organisme hidup), dan produk lain seperti hormon tertentu (misal hormon seks), sitotoksika tertentu, produk mengandung bahan aktif tertentu berpotensi tinggi serta pembuatan produk non-obat. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penilaian risiko mutu terhadap proses pembuatan produk, untuk menilai seberapa besar risiko yang bisa dikendalikan dan bagaimana pengendalian risiko tersebut, seperti jenis produk biologi, cara penanganan produk yang pecah atau tumpah, dsb. Apabila telah dilakukan penilaian risiko mutu, dan proses re-labeling dan re-packing produk biologi dilakukan di luar fasilitas produk biologi, maka sesuai dengan ketentuan pada Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Obat dan Makanan, terutama pada Lampiran A.5 tentang Standar dan Persyaratan Sertifikasi CPOB, proses penambahan aktivitas produksi pada fasilitas produksi nonsteril dan steril hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Kepala BPOM. Untuk informasi lebih teknis mengenai hal tersebut, dapat berkonsultasi ke Direktorat Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor. 6. Bagaimana ketentuan pemasok bahan baku obat, baik zat aktif maupun eksipien? Sesuai dengan ketentuan pada Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik, pada Bab IV mengenai Operasional butir 4.1, fasilitas distribusi harus memperoleh pasokan obat dan/atau bahan obat dari pemasok yang mempunyai izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika obat dan/atau bahan obat diperoleh dari fasilitas distribusi lain/industri farmasi/industri non-farmasi, maka fasilitas distribusi wajib memastikan bahwa pemasok mempunyai izin serta menerapkan prinsip CDOB/CPOB. Berdasarkan ketentuan ini, jika pengadaan bahan baku obat bersumber dari luar negeri, maka hendaklah diperoleh langsung dari produsen bahan baku di luar negeri atau dapat melalui distributor dari luar negeri yang dapat menunjukan bukti keagenan dari produsen bahan baku dan salinan sertifikat GMP dari produsen bahan baku. Informasi lebih lanjut terkait ketentuan kualifikasi pemasok bahan baku obat, dapat berkonsultasi dengan Direktorat Pengawasan Distribusi dan Pelayanan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor. 7. Terkait pemusnahan produk Obat-obat Tertentu, baik sediaan cair maupun solid di Industri Farmasi, bagaimana prosedur/alur pengajuan secara teknis hingga pengundangan saksi? apakah produk cair/solid dapat dimusnahkan dalam keadaan utuh bersama dengan kemasan primer hingga tersiernya dalam incinerator? Apakah terdapat ketentuan-ketentuan lainnya? Untuk permintaan saksi pemusnahan obat, Pemohon dapat mengirimkan surat undangan permintaan saksi ditujukan kepada Balai Besar/Balai POM setempat, namun tidak ada ketentuan format khusus untuk surat tersebut. Proses pemusnahan ini dilakukan untuk mencegah penyimpanan/penyalahgunaan produk obat, dan proses pemusnahan harus dilakukan sampai pada kemasan yang memuat identitas produk. Produk likuid/solid dapat dimusnahkan dalam keadaan utuh bersama dengan kemasan primer hingga tersiernya dalam incinerator. Hal tersebut dimungkinkan apabila saksi petugas Balai/Balai Besar POM atau Dinas Kesehatan setempat menyaksikan proses pemusnahan dalam incinerator tersebut untuk menghindarkan terjadinya diversi. Ketentuan terkait dengan pemusnahan obat-obat tertentu telah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu yang sering Disalahgunakan, pada Lampiran Bab I butir H mengenai Pengelolaan Bahan/Obat-Obat Tertentu di Industri Farmasi, yaitu: 1. Pemusnahan dilaksanakan terhadap: a. bahan obat yang ditolak/rusak/ kedaluwarsa. b. baku pembanding dan sampel pertinggal yang kedaluwarsa. c. sisa granul pencetakan/pengisian dari tablet dies. d. debu hasil pencetakan/pengisian/deduster mesin cetak/metal detector khusus untuk mesin cetak/filling dedicated. e. sisa sampel pengujian. f. sisa sampel hasil pengujian pengawasan selama proses pembuatan. g. obat-obat tertentu kembalian yang tidak memenuhi spesifikasi dan tidak dapat diproses ulang/obat hasil penarikan/ditolak/obat kedaluwarsa. h. obat-obat tertentu yang dibatalkan izin edarnya. i. hasil trial yang tidak terpakai. 2. Harus tersedia daftar inventaris bahan obat dan obat-obat tertentu yang akan dimusnahkan sekurang-kurangnya mencakup nama, bentuk dan kekuatan sediaan, kuantitas obat, nomor bets, dan tanggal daluwarsa. 3. Kebenaran bahan obat dan obat-obat tertentu yang akan dimusnahkan harus dibuktikan dengan dokumen pendukung yang disetujui oleh Apoteker Penanggung Jawab Pemastian Mutu bahwa bahan obat dan obat-obat tertentu sudah tidak memenuhi syarat untuk digunakan dan/atau diedarkan. 4. Pelaksanaan pemusnahan harus dibuat dengan memperhatikan pencegahan diversi dan pencemaran lingkungan. Kegiatan pemusnahan ini dilakukan oleh Apoteker Penanggung Jawab Pemastian Mutu atau personil yang ditunjuk oleh Apoteker Penanggung Jawab Pemastian Mutu, dan disaksikan oleh petugas Balai Besar/Balai POM atau Dinas Kesehatan setempat. 5. Pelaksanaan pemusnahan harus mempertimbangkan kapasitas tempat pemusnahan, ketersediaan petugas pelaksana pemusnahan dan ketersediaan saksi. 6. Kegiatan pemusnahan harus didokumentasikan dalam Berita Acara Pemusnahan yang ditandatangani oleh pelaku dan saksi. 7. Berita Acara Pemusnahan sekurang-kurangnya memuat: a. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan b. tempat pemusnahan c. nama lengkap penanggung jawab produksi d. nama lengkap petugas Balai Besar/Balai POM atau Dinas Kesehatan setempat yang menjadi saksi dan saksi lain dari pihak ketiga bila pemusnahan dilakukan oleh pihak ketiga e. nama, bentuk dan kekuatan sediaan, kuantitas, nomor bets, dan tanggal daluwarsa bahan obat/ obat-obat tertentu yang dimusnahkan 8. Khusus untuk obat-obat tertentu yang ditarik dari peredaran, harus dilakukan pemusnahan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lainnya terkait pemusnahan bahan pengemas juga telah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, yaitu sebagai berikut: 1. Bahan pengemas primer, bahan pengemas cetak atau bahan cetak lain yang tidak berlaku lagi atau obsolet, hendaklah dimusnahkan dan pemusnahannya dicatat (Butir 5.120). 2. Setelah proses pengemasan selesai, bahan pengemas yang tidak terpakai tetapi telah diberi prakodifikasi, hendaklah dimusnahkan dan pemusnahan tersebut dicatat. Bila bahan cetakan belum diberi prakodifikasi akan dikembalikan ke stok gudang, hendaklah mengikuti prosedur terdokumentasi (Butir 5.153). 3. Supervisor hendaklah mengawasi penghitungan dan pemusnahan bahan pengemas dan produk ruahan yang tidak dapat lagi dikembalikan ke gudang. Semua sisa bahan pengemas yang sudah diberi penandaan tapi tidak terpakai hendaklah dihitung dan dimusnahkan. Jumlah yang dimusnahkan hendaklah dicatat pada Catatan Pengemasan Bets (Butir 5.157). 4. Produk kembalian yang tidak dapat diolah ulang hendaklah dimusnahkan. Prosedur pemusnahan bahan atau pemusnahan produk yang ditolak hendaklah disiapkan. Prosedur ini hendaklah mencakup tindakan pencegahan terhadap kontaminasi lingkungan dan penyalahgunaan bahan atau produk oleh orang yang tidak mempunyai wewenang (Butir 5.175). 5. Penanganan produk kembalian dan tindak lanjutnya hendaklah didokumentasikan dan dilaporkan. Bila produk harus dimusnahkan, dokumentasi hendaklah mencakup berita acara pemusnahan yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh personel yang melaksanakan dan personel yang menyaksikan pemusnahan (Butir 5.176). Ketentuan lain terkait dengan pemusnahan, terutama yang terkait dengan Penarikan Obat, diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penarikan dan Pemusnahan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat, Mutu, dan Label, sebagai berikut: 1. Pemilik izin edar wajib melaksanakan pemusnahan terhadap obat, kemasan, label, dan/atau brosur yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan mutu, khasiat, dan keamanan, yang telah ditarik dan/atau yang masih dalam persediaan. Pemusnahan dilaksanakan dengan tidak menimbulkan penurunan kesehatan bagi manusia dan tidak mencemari lingkungan (Pasal 24). 2. Pemusnahan dilakukan oleh pemilik izin dengan disaksikan oleh Pengawas, yaitu pegawai di lingkungan BPOM yang diberi tugas untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan penarikan dan pemusnahan obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, mutu, dan label (Pasal 26). 3. Pemusnahan dituangkan dalam Berita Acara Pemusnahan yang dibuat oleh pemilik izin dan paling sedikit memuat keterangan mengenai: a. hari, tanggal, dan tempat/lokasi pemusnahan; b. pemilik izin; c. saksi pengawas; d. pihak yang memusnahkan, jika ada; e. saksi lainnya, jika ada; f. nama obat; g. bentuk sediaan; h. nomor izin edar, nomor EUA dan/atau nomor persetujuan special access scheme; i. jumlah obat j. nomor bets; k. cara pemusnahan; dan l. nama dan tanda tangan dari: pemilik izin; saksi pengawas; pihak yang memusnahkan, jika ada; dan saksi lainnya, jika ada. 8. Bagaimana ketentuan impor dan kontrak Obat-Obat Tertentu (OOT)? Sesuai Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan pada Lampiran Bab I mengenai Pengelolaan Bahan Obat/Obat-Obat Tertentu Di Industri Farmasi butir C.5, pembuatan obat mengandung OOT dapat dilaksanakan secara kontrak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pedoman CPOB, khususnya Bab 11 mengenai Kegiatan Alih Daya, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Perjanjian kontrak harus menyebutkan dengan jelas lokasi penyimpanan bahan obat dan penanggung jawabnya. 2. Serah terima bahan obat harus diverifikasi oleh pemberi dan penerima kontrak. 3. Pengadaan bahan obat harus dilakukan oleh pemberi kontrak, dan setelah menjadi produk jadi harus dikembalikan ke pihak pemberi kontrak sebelum disalurkan. Dengan demikian, pengadaan bahan baku zat aktif OOT harus dilakukan oleh industri farmasi pemberi kontrak. Sesuai dengan Lampiran Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 pada Bab 1 butir A.6, industri farmasi yang mengimpor bahan obat termasuk baku pembanding, produk ruahan dan produk jadi hanya boleh menggunakan untuk keperluan produksinya sendiri dan tidak boleh memindahtangankan bahan obat kepada pihak lain walaupun dalam satu grup, kecuali ada izin khusus dari Kepala BPOM. Maksud dari ketentuan tersebut yaitu bahan baku OOT yang diimpor oleh industri farmasi pemilik izin edar produk OOT hanya dapat digunakan untuk memproduksi OOT milik industri farmasi itu sendiri, dan bahan baku OOT tersebut dilarang diperjualbelikan, dipinjamkan atau dipindahtangankan baik secara komersial maupun non-komersial kepada pihak lain, misal kepada industri farmasi lain meskipun industri farmasi tersebut masih dalam satu grup kepemilikan. Dalam hal perlu dilakukan pemindahtanganan bahan baku OOT tersebut, industri farmasi harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari BPOM. Ketentuan ini tidak berlaku untuk pembuatan obat secara kontrak, karena kepemilikan dan tanggung jawab terhadap bahan baku OOT tersebut tetap di bawah industri farmasi pemberi kontrak. Dalam hal ini, industri farmasi pemberi kontrak dapat memberikan bahan baku OOT tersebut kepada industri farmasi penerima kontrak sesuai perjanjian kontrak yang dibuat dengan memperhatikan ketentuan pada Pedoman CPOB Bab 11 mengenai Kegiatan Alih Daya, dan ketentuan pada Lampiran Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2019 Bab 1 butir C.5. 9. Apakah untuk obat produksi lokal diperbolehkan melakukan produksi di 2 (dua) produsen obat? Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 10 Peraturan Kepala BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023: 1. Pembuatan Obat Kontrak produksi dalam negeri berupa seluruh tahapan pembuatan atau sebagian tahapan pembuatan. 2. Formula Obat Kontrak produksi dalam negeri berupa formula dari Pemberi Kontrak atau formula dari Penerima Kontrak. 3. Obat Kontrak produksi dalam negeri dapat diproduksi pada lebih dari 1 (satu) tempat produksi dengan memberikan justifikasi. 4. Obat Kontrak produksi dalam negeri harus memiliki mutu yang sama, meliputi Formula dan spesifikasi produk Sesuai ketentuan di atas, obat lokal/produksi dalam negeri dapat diproduksi pada 2 (dua) produsen dengan syarat harus tersedia justifikasi mengenai hal tersebut dan memiliki mutu yang sama baik formula maupun spesifikasi produk. Untuk informasi lebih lanjut, dapat mengajukan konsultasi kepada Direktorat Registrasi Obat. 10. Terkait parameter pengujian yang perlu dicantumkan dalam spesifikasi release (CoA) suatu produk jadi, untuk parameter deskripsi/appearance produk apakah diperbolehkan apabila tidak dicantumkan dalam spesifikasi release (CoA) obat jadi? Sehingga parameter tersebut hanya diuji dan dicantumkan dalam spesifikasi in-process control dan shelf-life saja. Sesuai dengan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), diatur beberapa hal terkait pelulusan dan spesifikasi produk jadi antara lain: 1. Bab 5 Produksi butir 5.183: pelulusan akhir produk hendaklah didahului dengan penyelesaian yang memuaskan dari paling tidak hal sebagai berikut: a. produk memenuhi persyaratan mutu dalam semua spesifikasi pengolahan dan pengemasan; b. sampel pertinggal dari kemasan yang dipasarkan dalam jumlah yang mencukupi untuk pengujian di masa mendatang; c. pengemasan dan penandaan memenuhi semua persyaratan sesuai hasil pemeriksaan oleh bagian Pengawasan Mutu; d. rekonsiliasi bahan pengemas cetak dan bahan cetak dapat diterima; dan e. produk jadi yang diterima di area karantina sesuai dengan jumlah yang tertera pada dokumen penyerahan barang. 2. Bab 10 Dokumentasi butir 10.16: spesifikasi produk jadi hendaklah mencakup atau memberikan referensi ke: a. nama produk yang ditentukan dan kode referen (kode produk) bila diperlukan; b. formula; c. deskripsi bentuk sediaan dan uraian mengenai kemasan; d. petunjuk pengambilan sampel dan pengujian; e. persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas keberterimaan; f. kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan khusus, bila diperlukan; dan g. masa edar. Sesuai ketentuan di atas, salah satu persyaratan pelulusan produk jadi harus memenuhi mutu terhadap spesifikasi pengolahan, dan untuk spesifikasi produk jadi juga harus mencakup persyaratan mutu kualitatif, dalam hal ini misal deskripsi/appearance produk, sehingga parameter tersebut seharusnya tercantum dalam spesifikasi pelulusan. 11. Terkait dengan Pengkajian Mutu Produk (PMP), pembuatan laporan PMP sebaiknya dilakukan minimal berapa bets produksi? Mengacu pada butir 1.10 Peraturan Badan POM Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), pengkajian mutu produk secara berkala hendaklah dilakukan terhadap semua obat terdaftar, termasuk produk ekspor, dengan tujuan untuk membuktikan konsistensi proses, kesesuaian dengan spesifikasi bahan awal, bahan pengemas dan produk jadi, untuk melihat tren dan mengidentifikasi perbaikan yang diperlukan untuk produk dan proses. Pengkajian mutu produk secara berkala biasanya dilakukan tiap tahun dan didokumentasikan, dengan mempertimbangkan hasil kajian ulang sebelumnya dan hendaklah meliputi paling sedikit: 1. kajian terhadap bahan awal dan bahan pengemas yang digunakan untuk produk, terutama yang dipasok dari sumber baru; khususnya pengkajian ketertelusuran rantai pasokan bahan aktif obat; 2. kajian terhadap pengawasan selama-proses kritis dan hasil pengujian produk jadi; 3. kajian terhadap semua bets yang tidak memenuhi spesifikasi yang ditetapkan dan investigasi yang dilakukan; 4. kajian terhadap semua penyimpangan atau ketidaksesuaian mutu yang signifikan, investigasi terkait yang dilakukan dan efektivitas hasil tindakan korektif dan pencegahan; 5. kajian terhadap semua perubahan yang dilakukan terhadap proses atau metode analisis; 6. kajian terhadap variasi Izin Edar yang diajukan, disetujui atau ditolak termasuk dokumen registrasi untuk produk ekspor; 7. kajian terhadap hasil program pemantauan stabilitas dan segala tren yang tidak diinginkan; 8. kajian terhadap semua produk kembalian, keluhan dan penarikan obat terkait mutu produk, termasuk investigasi yang telah dilakukan; 9. kajian kelayakan tindakan korektif sebelumnya terhadap proses produk atau peralatan; 10. kajian terhadap komitmen pasca pemasaran dilakukan pada obat yang baru mendapatkan persetujuan pendaftaran dan variasi persetujuan pendaftaran; 11. status kualifikasi peralatan dan sarana penunjang kritis yang relevan misal sistem tata udara (HVAC), sistem pengolahan air, gas bertekanan, dan lain-lain; dan 12. kajian terhadap ketentuan teknis kontrak pembuatan obatsebagaimana diuraikan dalam Kontrak di Bab 11 Kegiatan Alih Daya untuk memastikan tetap mutakhir. Terkait jumlah bets yang dibutuhkan dalam pembuatan laporan Pengkajian Mutu Produk (PMP), Industri Farmasi dapat menentukan secara mandiri jumlah bets yang dibutuhkan dengan justifikasi yang sesuai dan memadai. Namun idealnya untuk parameter yang dilakukan analisa secara statistik dianjurkan untuk dapat disesuaikan dengan jumlah minimal yang dapat dianalisis oleh aplikasi statistik yang digunakan, sehingga dapat menggambarkan kecakapan kinerja proses produksi yang dilakukan. Untuk informasi lebih lanjut mengenai hal tersebut, dapat berkonsultasi kepada Direktorat Pengawasan Produksi Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor. 12. Apakah dalam produksi obat wajib harus menggunakan bahan yang pharmaceutical grade? Jika sesuai dengan Peraturan Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 diperbolehkan menggunakan zat tambahan food grade atau pharmaceutical grade? Berdasarkan Peraturan Badan POM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Badan POM Nomor 15 Tahun 2023, untuk perubahan terkait zat tambahan, zat tambahan yang digunakan harus memenuhi kriteria pharmaceutical grade. Hal ini dijelaskan kembali dalam Surat Edaran Kepala Badan POM Nomor 5 Tahun 2023 tentang Kualifikasi Pemasok Bahan Obat, bahwa bahan obat berupa bahan aktif obat atau bahan tambahan obat dengan standar dan/atau persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pharmaceutical grade). Dikecualikan untuk bahan tambahan obat yang tidak dipersyaratkan standar mutu farmasi dalam farmakope indonesia/kompendial seperti zat pewarna dan perisa (kecuali dinyatakan lain di dalam standar dan/atau persyaratan), dapat diperoleh dari pemasok selain industri farmasi bahan obat dan PBF bahan obat, dengan ketentuan tetap melakukan kualifikasi pemasok untuk memastikan pemasok telah kompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. CDOB 1. Bagaimana mekanisme dan acuan peraturan pemusnahan obat, selain komoditi Narkotika, Psikotropika dan Prekursor (NPP) dan Obat-obat Tertentu (OOT)? Terkait dengan regulasi yang mengatur ketentuan pemusnahan obat (selain komoditi OOT dan NPP) di PBF, hal yang perlu dicermati antara lain sebagai berikut: 1. Regulasi yang mengatur terkait pemusnahan obat (selain komoditi OOT dan NPP) yaitu PP 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dan PerBPOM 6/2020 tentang Perubahan Atas PerBPOM 9/2019 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik. 2. Dalam kedua regulasi sebagaimana butir 1 di atas tidak diatur terkait pemusnahan obat/bahan obat (selain komoditi OOT dan NPP) harus disaksikan oleh petugas Balai Besar/Balai POM atau Dinas Kesehatan setempat. 3. Adapun salah satu pengaturan dalam Pasal 47 PP 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan bahwa pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilaporkan kepada Menteri dan pelaporannya sekurang-kurangnya salah satunya memuat terkait dengan nama satu orang saksi dalam pelaksanaan pemusnahan. Adapun saksi yang dimaksud tidak disebutkan harus disaksikan oleh petugas Balai Besar/Balai POM atau Dinas Kesehatan setempat. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk pemusnahan obat dan bahan obat (selain komoditi OOT dan NPP) diatur dalam PP 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dan PerBPOM 6/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik. Dalam kedua regulasi tersebut tidak ada ketentuan bahwa pemusnahan obat harus disaksikan oleh petugas Balai Besar/Balai POM atau Dinas Kesehatan setempat. Berbeda dengan komoditi NPP dan OOT yang diatur bahwa pemusnahan harus disaksikan oleh petugas Badan POM dan Dinkes sebagaimana diatur dalam Permenkes 3/2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; PerBPOM 6/2020 tentang Perubahan Atas Per BPOM 9/2019 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik; dan BerBPOM 10/2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu Yang Sering Disalahgunakan. 2. Apakah ada regulasi yang mengatur terkait distribusi obat baik golongan obat bebas, bebas terbatas dan keras? 1. Regulasi yang menjelaskan secara mendetail terkait ketentuan pendistribusian obat tersedia berdasarkan sarana yg berwenang yaitu sarana distribusi dan sarana pelayanan kefarmasian. Penyaluran obat oleh sarana distribusi (PBF dan IFP) harus sesuai dengan kaidah Cara Distribusi Obat Yang Baik dan untuk penyerahan obat oleh sarana pelayanan kefarmasian sampai dengan ke tangan pasien harus memenuhi standar pelayanan kefarmasian dan pengelolaan obat. 2. Sebagaimana kita ketahui, dalam regulasi jelas diatur bahwa untuk obat keras peredarannya harus berdasarkan resep, dan tidak dapat diedarkan melalui toko obat, sedangkan untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas dapat diserahkan oleh Toko Obat. 3. Selain itu, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 PP Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian bahwa Pekerjaan Kefarmasian yang mencakup pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan hal tsb. 4. Adapun beberapa regulasi yang dapat diacu terkait dengan peredaran obat antara lain: a. PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko b. PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian c. Permenkes Nomor 14 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan d. Permenkes Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi e. Permenkes Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Permenkes Nomor 30 Tahun 2017 f. Peraturan Badan POM Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian g. Peraturan Badan POM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring sebagaimana diubah dengan Peraturan Badan POM Nomor 32 Tahun 2020 h. Peraturan Badan POM Nomor 10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan i. Peraturan Badan POM Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik sebagaimana diubah dengan Peraturan Badan POM Nomor 6 Tahun 2020. 3. Apakah Industri Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi dapat mengedarkan obat secara daring langsung kepada konsumen? Bagaimana ketentuan dan batasannya jika Industri Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi ingin mengedarkan obat secara daring? Industri Farmasi (IF) dan Pedagag Besar Farmasi (PBF) termasuk PBF Cabang tidak diperkenankan untuk menjual obat secara eceran. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 Permenkes Nomor 1148 Tahun 2011 tentang Pedagang Besar Farmasi sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Permenkes Nomor 30 Tahun 2017, serta Pasal 20 ayat (1) Permenkes Nomor 1799 Tahun 2010 tentang Industri Farmasi yang hanya membolehkan Industri Farmasi mendistribusikan obat hasil produksinya secara langsung ke PBF, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, dan toko obat. Ketentuan ini juga berlaku dalam hal peredaran dilakukan secara daring, sehingga IF dan PBF tidak diperkenankan mendistribusikan atau menjual obat secara langsung kepada masyarakat baik melalui cara konvensional (offline) maupun secara daring (online). Adapun pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Badan POM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Badan POM Nomor 32 Tahun 2020 untuk Industri Farmasi dan PBF adalah terkait business to business, bukan kepada pasien secara langsung, dengan ketentuan teknis lebih lanjut merujuk kepada Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) mengenai ketentuan penerapan surat pesanan secara elektronik. 4. Bagaimana regulasi acuan, ketentuan distribusi donasi vaksin COVID-19 dan persyaratan penggunaan pada program vaksinasi COVID-19? Untuk donasi vaksin COVID-19, mengacu pada Peraturan BPOM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pengawasan Peredaran Obat Donasi di Wilayah Indonesia. Namun demikian, terdapat pas