Calvinisme di Gereja Toraja PDF
Document Details

Uploaded by PlayfulUtopia
2021
Alpius Pasulu
Tags
Summary
Dokumen ini membahas tentang Calvinisme di Gereja Toraja, menjelaskan sejarah awal dan perkembangan teologi Calvinisme. Penulis membahas tokoh Yohanes Calvin dan hubungan antara gereja Toraja dengan berbagai aliran Calvinisme lainnya. Penulis juga meneliti pengaruh Calvinisme terhadap berbagai aspek kehidupan di Gereja Toraja.
Full Transcript
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. (sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 49 ayat 1 UU No. 19 Tahun 2002) Sanksi pelanggaran Pasal 72 UU no. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan seng...
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. (sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 49 ayat 1 UU No. 19 Tahun 2002) Sanksi pelanggaran Pasal 72 UU no. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). ii MERUPA CALVINISME GEREJA TORAJA Editor: Alpius Pasulu C.S. Rappan Paledung Penanggungjawab: BPS Gereja Toraja Pelaksana Program dan Pembahas: Tim ITGT Bidang Penelitian Studi dan Penerbitan Pdt. Soleman Allolinggi’, M.Si. Pdt. Yahya Boong, S.Th, M.M. Pdt. Daniel Rori, S.Th., M.Min. Pdt. Dr. Abraham Sere Tanggulungan Pdt. Andrew Buchanan, Ph.D. Herman Kandari, M.Pd. A.K. Sampeasang, S.PAK., M.Pd Drs. Ishak Pasulu’, M.Si. Pdt.Yekhonya F.Timbang, M.Si. Pdt. Dr. Alpius Pasulu Pdt. Helma Yances Pasulu, M.Si. Institut Teologi Gereja Toraja | PT SULO iii Merupa Calvinisme Gereja Toraja Copyright © oleh Institut Teologi Gereja Toraja Diterbitkan oleh PT Sulo, Jl. Dr. Sam Ratulangi 66, Rantepao, Toraja Utara 91831 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Cetakan ke-1: 2021 Penyunting: Alpius Pasulu, C.S. Rappan Paledung Tata Letak & Desain Sampul: C.S. Rappan Paledung ISBN: iv Daftar Isi Editorial.......................................................................................... iii Daftar Isi......................................................................................... v Sambutan Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja....................... vii Kata Pengantar.............................................................................. viii Selintas Rupa Calvinisme Gereja Toraja.................................... 2 Alpius Pasulu Dari Jenewa ke Toraja: Sebuah Tinjauan Historis Mengenai Sistem Presbiterial Calvinis......................................................... 35 Zakaria J. Ngelow Porsi Calvinisme dalam Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus di Gereja Toraja................................................................. 59 Rannu Sanderan Tiga Sola Calvin dalam Budaya Relasional............................... 78 Andrew J. Buchanan Jejak Disiplin Gerejawi Calvin dalam Gereja Toraja............................................................................................... 102 Helma Yances Pasulu 102 Warisan Calvin dalam Orientasi Diakonia Gereja.................. 114 Gustina Saruran v Tradisi Calvinis dalam Liturgi dan Nyanyian Jemaat Gereja Toraja.................................................................................. 131 Tiku Rari Warisan Tradisi Calvin dalam Pendidikan Teologi Gereja Toraja yang Fungsional, Relevan, dan Kontekstual.................. 171 Julius Amping Spiritualitas Kerja Kristiani Mempertimbangkan Spritualitas Kerja Calvin............................................................... 188 Sulaiman Mangnguling Hubungan Gereja dan Negara Menurut Calvin dan Prakteknya dalam Gereja Toraja................................................ 204 Johana R. Tangirerung Predestinasi Calvin dalam Kehendak Bebas Allah.................. 227 Ivan Sampe Buntu Calvinitas Doktrin Gereja Toraja tentang Dosa dan Kehendak Bebas..................................................................... 245 Lidya Kambo Tandirerung Eskatologi Calvin: Jejak dan Relevansinya bagi Pengembangan Teologi Gereja Toraja....................................... 268 Stepanus Ammai Bungaran BIOGRAFI PENULIS................................................................... vii vi Sambutan Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja vii Kata Pengantar viii Selintas Rupa Calvinisme Gereja Toraja Alpius Pasulu Pengantar P emahaman yang benar tentang diri atau identitas suatu gereja adalah sebuah kemutlakan. Dengan memahami diri, maka suatu gereja tidak akan mudah terobang-ambing sekaligus dapat melaksanakan panggilannya sesuai identitasnya. Harus diakui bahwa identitas suatu gereja terbentuk dalam sejarahnya dan teologi yang terbawa dan berkembang dalam garis sejarah perkembangannya. Demikian halnya ketika Gereja Toraja yang mengidentifikasi diri sebagai Gereja Calvinis, telah menyimpulkan identitas diri tersebut berdasar wawasan historisnya. Tulisan ini bermaksud menjelaskan proses perkembangan sejarah dan substansi teologi yang merupakan jejak awal lahirnya aliran Calvinisme hingga sampai ke Toraja yang menjadi benih bagi lahirnya Gereja Toraja yang beridentitas gereja Calvinis. Uraian dimulai dari pemahaman tentang makna istilah Calvinisme yang juga terkait dengan istilah Calvinis. Selanjutnya diuraikan tentang sosok tokoh utama penggagas teologi Calvinis, yaitu Yohannes Calvin. Ajaran Calvin berkembangan ke berbagi tempat, antara lain ke negeri Belanda dan sampai ke bumi Nusantara. Hadirnya Calvinis bercorak Belanda di Nusantara dimulai dengan kegiatan dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan berujung pada kolonialisme, serta disusul dengan datangnya badan-badan penginjilan. Dari sejumlah badan penginjilan yang datang ke bumi Nusantara, Gereformeerde Zendingsbond (GZB)-lah yang pada akhirnya sampai ke daerah Toraja. Namun tidak hanya corak Calvinisme GZB yang mempengaruhi Gereja Toraja, tetapi 2 SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 3 juga Calvinisme Indische Kerk atau Gereja Protestan Indonesia (GPI). Hal itu berdasar fakta bahwa: pertama: sebelum GZB datang di Toraja, Indische Kerk telah hadir di Toraja dan berhasil membaptis sejumlah warga pribumi Toraja. Peristiwa pembaptisan tersebut dicatat dalam sejarah Gereja Toraja sebagai buah sulung pemberitaan Injil di Toraja. Kedua, dalam menjalankan misi penginjilan di Toraja, GZB menggandeng ratusan guru Injil pribumi, dan cukup banyak berasal dari Minahasa, Maluku, dan Timor. Para guru Injil tersebut adalah warga pribumi yang merupakan anggota Indische Kerk di daerahnya. Pada akhirnya, tulisan ini sampai pada uraian berdirinya Gereja Toraja sebagai satu lembaga. Calvinisme dan Calvinis Ada dua pertanyaan awal yang mendasar yang perlu dijawab dalam memahami Calvinisme, yaitu: apa itu Calvinisme dan kapan lahirnya Calvinisme? Apa itu Calvinisme? (2013) merupakan judul buku yang dikarang oleh Christiaan de Jonge yang menyiratkan betapa pentingnya memahami arti kata tersebut. Faktanya, masih banyak gereja-gereja yang secara tegas mengidentifikasi diri sebagai gereja Calvinis namun masih terus bergumul menjejaki hakikat dan makna identitas itu. Calvinisme dapat diartikan paham menurut ajaran Calvin atau sistem teologi yang diwariskan dari ajaran Calvin.1 Selain Calvinisme, istilah yang tidak kalah pentingnya untuk dimengerti adalah Calvinis. Calvinis dapat diartikan aliran gereja yang menganut Calvinisme.2 Pengertian kedua istilah tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa Calvin adalah tokoh yang menentukan lahirnya sistem teologi dan aliran yang mengnut sisitem teologi ini. Yohanes Calvin mutlak dilibatkan dalam diskursus itu karena dari buah pikiran dan karya pelayanannya istilah Calvinisme dan Gereja Calvinis lahir. Sejumlah dokumen Calvinisme yang dibuat oleh gereja yang mewarisi ajaran Calvin menggambarkan gagasan eklesiologi Calvinisme. Thomas van den End sangat berjasa dalam hal itu dengan menyeleksi dan menerbitkan buku Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme (2004). Buku ini berisi berbagai dokumen, antara lain: Pengakuan Iman, Katekismus, Tata Gereja, 1 “Calvinisme,” Sarapan Pagi Biblika Ministry, n.d., https://www. sarapanpagi.org/calvinisme-vt355.html. 2 Christiaan de Jonge dan Jan S. Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?: Pengantar Sejarah Eklesiologi, 8 ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 53. 4 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA dan Tata Ibadah, yang semuanya lahir dari gereja Calvinis. Melalui buku tersebut, terlihat berbagai gagasan teologi Calvinisme pada masa-masa awal tumbuhnya Calvinisme di Eropa. Pertanyaan kapan tepatnya Calvinisme muncul? Jawaban atas pertanyaan itu tersirat dalam pendapat Aritonang dalam buku BerbagaiAlirandidalamdandiSekitarGereja.MenurutJanS.Aritonang, para pengikut ajarannya menyusun sejumlah dokumen gerejawi yang kemudian hari disebut sebagai dokumen-dokumen dasar Calvinisme, antara lain: Konfesi Helvetik (Swiss/Jenewa) I (1536), II (1566), Pengakuan Iman Belanda (Confessio Belgica, 1561), Kanon Sinode Dordrecht (1619), dan Pengakuan Iman Westminster (1647). Bahkan masih banyak lagi dokumen-dokumen Calvinisme yang muncul di kemudian hari.3 Dari data sejumlah dokumen tersebut terlihat bahwa sebelum Calvin meninggal (27 Mei 1564), telah ada dokumen yang digolongkan sebagai dokumen Calvinisme. Dengan demikian dapat disimpulan bahwa Calvinisme telah ada, tidak hanya setelah Calvin meninggal, namun ketika ia masih hidup. Yohannes Calvin Konteks mempengaruhi lahirnya suatu gagasan. Maka dari itu, dalam upaya memahami Calvin dan teologinya, adalah tepat jika hal itu dilakukan dengan tidak dilepaskan dari bingkai latar belakang dan sejarah hidupnya. Memahami latar belakang Calvin dan pengalaman hidupnya akan menolong kita mengerti Calvin secara proporsional, sehingga menghindarkan kita dari prasangka dan kecurigaan tidak berdasar kepada Calvin, ataupun penolakan yang terlalu dini yang bersifat mutlak. Yohannes Calvin (Jean Cauvin) lahir pada 10 Juli 1509 di Noyon, sebuah desa di Prancis Utara. Ayahnya bernama Gerard Calvin, seorang pegawai keuskupan Noyon dan Ibunya Joan France, seorang wanita yang saleh namun meninggal ketika Calvin masih muda. Awalnya, ayah Calvin menginginkan Calvin menjadi imam Gereja Katolik Roma. Karena itu, setelah Calvin menginjak masa remaja, oleh ayahnya, ia diutus ke Paris untuk belajar teologi. Ketika Calvin telah berada di Paris dan mempersiapkan diri untuk belajar teologi, rencana tersebut terhenti oleh karena ayahnya berselisih paham dengan keuskupan Noyon. Calvin 3 Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja, 14 ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 57; Dokumen-dokumen ini disajikan secara lengkap dalam Thomas van den End, ed., Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004). SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 5 akhirnya tidak melanjutkan pendidikan pada bidang teologi dan berpindah mempelajari ilmu hukum di Orleans 1528–1529 dan selanjutnya di Bourges 1529–1531. Latar belakang pendidikan Calvin pada bidang hukum pada akhirnya berperan memberi warna yang kuat dalam gagasan-gagasannya tentang gereja di kemudian hari. Hal itu tercium jelas dalam teologinya dan dalam tata gereja yang ia rumuskan.4 Di Paris, sejak 1531, Calvin bergaul degan cendekiawan humanis yang mempelajari akar-akar kebudayaan Kristen dalam zaman gereja kuno dan kesusastraan Yunani dan Romawi, Alkitab, dan tulisan teolog-teolog kuno. Dari pergaulan itu Calvin terpengaruh semangat kaum humanis yang ingin memurnikan kehidupan Gereja Katolik Roma menurut Alkitab. Calvin pun tiba pada keyakinan bahwa ada jalan untuk melihat kehidupan gereja- gereja yang murni yang belum dikaburkan oleh teologi Abad- abad Pertengahan. Keinginan itu sejalan dengan gagasan Martin Luther mengenai Reformasi gereja, karena itulah Calvin dicurigai dan mendapat ancaman dari pemerintah dan pemimpin Gereja Katolik sebagai penganut Reformasi.5 Proses yang paling berpengaruh menjadikan Calvin mendapatkan pengetahuan teologi yang mumpuni dan telah menjadikannya sebagai teolog Reformasi sekaliber Luther adalah ketika ia belajar di Collège de Montaigue. Di sana, seperti sudah disebut di atas, Calvin bergaul dengan kaum cendekiawan humanis Kristen yang ingin menggali akar-akar kebudayaan Kristen dalam zaman gereja kuno, kebudayaan Yunani, dan Romawi.6 Roger Haight, seorang teolog Yesuit Amerika, menjelaskan bahwa pada periode pendidikan di Calvin di Collège de Montaigu ia menjalani kehidupan gaya intelektual humanis yang mengembangkan filsafat dan teologi. Masa itu ditandai dengan berkembangnya gerakan Protestan dan pendekatan historis-kritis sudah diterapkan dalam membaca Alkitab.7 Setelah Calvin memutuskan untuk terjun sepenuhnya dalam gerakan Reformasi, ia lebih banyak melayani di Swiss, mula-mula di Basel, kemudian di Jenewa. Swiss rupanya lebih cepat menerima gerakan Reformasi, sehingga Calvin mudah 4 Aritonang, Berbagai Aliran, 54. 5 Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 9 ed. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 56. 6 de Jonge, 7. 7 Roger Haight, Christian Community in History: Comparative Ecclesiology, vol. 2 (New York, NY: The Continuum International Publishing Group, 2005), 83–84. 6 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA diterima di sana. Calvin bekerjasama dengan pimpinan penganut Reformasi dan pendeta senior di Jenewa yang bernama William Farel (1522-1565) untuk membenahi gereja di Jenewa. Jenewa akhirnya menjadi tempat Calvin berkarya secara maksimal sambil merumuskan buah pikiran teologinya. Ketika ia mulai menetap di Jenewa (1535), kota itu baru membebaskan diri dari pemerintahan uskup Gereja Katolik Roma setempat dan beralih menerima ajaran Reformasi. Calvin dan Farel bekerjasama dengan Dewan Kota Jenewa memberlakukan asas-asas Reformasi dalam kehidupan gereja dan masyarakat.8 Pada akhir 1536, Calvin dan Farel telah menyelesaikan sebuah tata gereja dan mengajukan tata gereja itu kepada Dewan Kota Jenewa. Tata gereja ini disusun sedemikian rupa dengan maksud hendak digunakan untuk melawan gereja Katolik Roma yang saat itu dilanda semangat keduniawian. Dalam proses itu, Calvin memberlakukan disiplin secara ketat, khususnya di bidang moral. Pemberlakuan disiplin secara ketat itu menjadikan jemaat dan Dewan Kota Jenewa memecat Farel dan Calvin pada tahun 1538 oleh karena tidak tahan mengikuti peraturan dan disiplin yang ketat itu. Pemecatan tersebut membuat Calvin berpindah sementara ke Strassburg.9 Penolakan Dewan Kota terhadap Calvin dan Farel sesungguhnya dipicu oleh substansi Tata Gereja yang tidak memberi peluang bagi pemerintah untuk berperan bagi gereja. Tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1541, Calvin dipanggil kembali ke Jenewa oleh Dewan Kota setempat dalam rangka mengatasi upaya seorang Kardinal menggiring warga kota kembali ke ajaran Gereja Katolik Roma. Calvin segera menyusun tata gereja yang baru yang ia beri nama Ordonnances Ecclesiastiques (peraturan-peraturan gerejawi) dan sekaligus merupakan penerapan dari dasar-dasar teoritis yang sudah dirumuskannya di dalam Institutio. Tata gereja tersebut tetap sangat menekankan disiplin dan kemurnian ajaran serta perilaku hidup, sehingga sejak tahun 1541 seringkali terjadi pengucilan dan bahkan kadang- kadang hukuman mati diberlakukan bagi pelanggar ajaran gereja yang fatal, seperti yang terjadi pada Michael Servetus (1511-1553).10 Calvin semakin terkemuka di kalangan penganut Reformasi 8 Aritonang, Berbagai Aliran, 56. 9 Aritonang, 56. 10 Michael Servetus (1511-1553) adalah seorang ahli geografi, tabib dan psikolog asal Spanyol yang dipandang mengajarkan ajaran gereja yang sangat menyimpang. Atas persetujuan Calvin, Servetus dihukum mati dengan cara dibakar pada tiang. Lihat ibid. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 7 sampai tingkat internasional. Ia menjalin hubungan dengan para tokoh Reformasi di berbagai negeri: Prancis, Inggris, Skotlandia, Polandia, Hungaria, dan berhasil menanamkan ajarannya atas mereka. Banyak berdatangan calon pendeta gereja Protestan untuk dididik di sebuah Akademi di Jenewa yang diprakarsai oleh Calvin. Akademi tersebut dipercayakan di bawah kepemimpinan Theodorus Beza (1519-1605) yang kelak menjadi pengganti Calvin memimpin gereja dan gerakan Reformasi di Swiss dan sekitarnya. Para mahasiswa Akademi tersebut juga mempelajari pola kehidupan gereja di Jenewa untuk kemudian mereka contoh dan terapkan saat kembali ke negeri masing-masing.11 Teologi Calvin Menurut Haight, periode 1532-1534 merupakan masa yang sangat menentukan pembentukan identitas Calvin dan karakter teologinya. Pada periode itu Calvin mengalami dua momentum penting, yaitu ia memperoleh banyak pengetahuan dalam bidang teologi dan ia bergabung dengan gerakan Protestan. Ada dua alasan utama konversi iman Calvin dari Gereja Katolik Roma ke gerakan Reformasi, dan keduanya terkait dengan pemahamannya tentang gereja (eklesiologi).12 Pertama, Calvin melihat bahwa model beribadah dan cara hidup jemaat Gereja Katolik Roma telah gagal untuk memelihara nurani kedamaian. Kedua, Calvin memandang bahwa doktrin yang dianut dalam Gereja Katolik Roma bukan lagi doktrin yang murni dan benar sesuai ajaran Alkitab.13 Menurut Calvin, poin utama dalam membedakan gereja yang benar dengan gereja yang palsu adalah: Pertama, gereja yang benar adalah gereja yang pelayanannya bersih dari praktik korupsi dan bersih dari penyakit atau moral yang buruk. Kedua, gereja yang benar adalah gereja yang tidak dilemahkan oleh ajaran- ajaran yang remeh. Contohnya adalah penjungkirbalikan doktrin dan penyalahgunaan Sakramen. Ketika hal itu terjadi, maka 11 Aritonang, 56. 12 Senada dengan Haight, Balke juga melihat bahwa Calvin memilih bergabung dalam gerakan Reformasi karena pertobatannya yang terkait alasan teologi gereja (eklesiologi). W. Balke, “Calvin dan Calvinisme,” in Ecclesia Reformata Semper Reformanda, ed. Agustinus M.L. Batlajery dan Thomas van den End (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 12. 13 Jemaat Jenewa adalah jemaat para pengungsi (terutama dari Prancis, kaum Huguenot). Karakteristiknya sebagai jemaat pengungsi ini turut memengaruhi wawasan eklesiologi Calvin. 8 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA gereja sedang menuju pada kematian. Hal itu mengibaratkan kerongkongan yang tertusuk atau hati yang terlukai.14 Dalam memahami kodrat gereja, Calvin menggunakan konsep yang sama dengan Luther, yaitu “persekutuan orang kudus”. Dengan mengikuti jalan pemikiran Augustinus dari Hippo (354-430), Calvin menjabarkan konsep persekutuan orang kudus dalam bentuk konsep gereja yang tampak (visible church) dan gereja yang tidak tampak (invisible church). Gereja yang tampak adalah gereja yang masih berada di dalam dunia, dialami manusia secara empiris, dan masih dipenuhi kemunafikan. Sedangkan gereja yang tidak tampak adalah gereja yang bersih dari kemunafikan dan hanya terlihat di hadapan Allah.15 Calvin menjelaskannya konsep gereja yang tampak dan tidak tampak dalam dua bentuk sebagaimana yang muncul dalam Alkitab. Pertama, kadang-kadang Alkitab menceritakan bahwa istilah gereja mengartikan kehadiran Allah di dalamnya. Yang menjadi bagian dari persekutuan di mana Allah hadir hanyalah anak-anak Allah yang telah Ia pilih menjadi murid-murid Kristus dengan pengudusan Roh Kudus dalam segala zaman. Dengan demikian, gereja tidak hanya mencakup orang-orang yang sementara hidup di dunia, melainkan juga semua yang terpilih sejak dunia diciptakan.16 Kedua, gereja kadang-kadang mengartikan bahwa semua orang yang tersebar di seluruh dunia yang menyatakan penyembahan kepada Kristus dan Allah adalah satu. Melalui Baptisan gereja diinisiasi untuk beriman kepada-Nya, melalui Perjamuan Kudus cinta dan iman kepada Allah dibuktikan, dan melalui pengajaran Firman pelayanan yang dimulai Kristus tetap terpelihara. Gereja yang tampak adalah gereja yang masih berada di dalam dunia, dialami manusia secara empiris, dan masih dipenuhi kemunafikan. Sedangkan gereja yang tidak tampak adalah gereja yang bersih dari kemunafikan, tetapi gereja yang tidak tampak adalah gereja yang hanya terlihat oleh Allah.17 Konsep gereja sebagai persekutuan orang kudus menjelaskan komitmen gereja untuk menjalin persekutuan persaudaraan dan kesatuan semua orang percaya sebagai anak-anak Allah. Setiap orang memiliki kedudukan yang sama dalam gereja dan sekaligus harus bertindak bersama-sama sebagai satu jemaat. 14 John Calvin, Institute of the Christian Religion, ed. oleh John T. McNeill, vol. 2 (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2006), 1041. 15 Haight, Christian Community in History, 2:103. 16 Calvin, Institute, 2:1021. 17 Calvin, 2:1021–22. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 9 Calvin menjelaskan bahwa ada tiga manfaat dari gagasan gereja sebagai persekutuan orang kudus, yaitu: pertama, keanggotaan dalam persekutuan adalah tindakan pemilihan Allah sendiri, dan hal itu adalah tetap dan tidak berubah. Gagasan pemilihan tak berubah itu dirumuskan Calvin secara sistematis yang dikenal dengan teologi predestinasi. Kedua, persekutuan itu mengikat orang percaya kepada Kristus dan tidak akan pernah terlepas. Ketiga, dalam persekutuan itu, janji Allah dipenuhi bagi orang percaya, yaitu “Sion akan diselamatkan dan akan ada harapan pasti dan tetap di tengah-tengah Yerusalem”.18 Persekutuan orang kudus menekankan kesatuan. Kesatuan itu hanya akan dicapai dengan melihat gereja dengan mata dan menyentuhnya dengan tangan. Dengan kata lain, bagi Calvin kesatuan dalam persekutuan orang kudus hanya akan nyata bila gereja adalah sebuah entitas yang tampak (visible church). Gereja yang tampak itu sejalan dengan kredo gereja adalah katolik atau universal. Gereja adalah katolik atau universal oleh karena tidak akan ada dua atau tiga gereja Kristus, tetapi akan selalu satu. Gereja Kristus tidak akan pernah menjadi ganda, sebab setiap orang terpilih telah disatukan di dalam Kristus.19 Mengacu pemikiran Augustinus, Calvin juga mengambarkan gereja sebagai Ibu orang percaya. Calvin menjelaskan metafora itu dengan pengertian bahwa tidak ada jalan lain bagi siapapun untuk masuk ke dalam dunia tanpa melalui proses dikandung dalam rahim ibu dan melahirkannya. Ibu menyusui, memelihara, dan menuntun kita sampai kita menghembuskan nafas terakhir. Seorang ibu tidak akan melepaskan anaknya dari pendidikannya sampai ia terbebas dari kelemahannya, dan sesungguhnya kelemahan itu akan tetap ada selama manusia hidup di dunia. Gereja adalah yang dipilih Allah menjadi ibu bagi jemaat yang melahirkan dan memeliharanya. Jika seseorang meninggalkan gereja, itu sama halnya dengan meninggalkan ibunya yang sementara memberinya kehidupan. Calvin pun menyimpulkan bahwa meninggalkan gereja adalah bahaya bagi hidup seseorang.20 Konsekuensi dari pemahan gereja sebagai Ibu adalah bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja sebagaimana gagasan teologi itu dikostruksi oleh Siprianus dari Kartago (m.258 ZB).21 18 Calvin, 2:1014. 19 Calvin, 2:1015–16. 20 Calvin, 2:1016. 21 Alexander Roberts dan James Donaldson, Ante-Nicene Fathers: The Fathers of Third Century (Hippolytus, Cyprian, Caius, Novatian), vol. 5 (Massachusetts: Hendrickson Publishers Inc., 1995), 427. 10 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA Calvin membedakan antara gereja universal (universal church) dan gereja lokal (local church). Gereja universal terdiri dari semua orang yang percaya kepada Kristus. Gereja itu disebut universal karena adalah satu dalam iman kepada Kristus, satu pengharapan, satu cinta, dan dihidupkan oleh Roh yang sama, yaitu Roh Kudus. Sementara gereja lokal adalah gereja yang tampak, berada pada daerah tertentu, misalnya gereja di Jenewa.22 Bagi Calvin, penampakan gereja secara penuh adalah pada gereja lokal, bukan pada gereja universal. Karena itu Calvin memberi perhatian pada cara hidup gereja lokal. Akhirnya Calvin berhasil mengagas model organisasi gereja lokal yang baru dengan jabatan-jabatan gerejawi yang memiliki tugas yang berbeda. Jabatan-jabatan gerejawi yang dimaksud, yaitu: 1) Pastor (gembala/pendeta). Tugas utama gembala/pendeta adalah memberitakan Firman dan melayankan Sakramen; 2) Teacher/doctor (doktor, pengajar). Tugas doktor atau pengajar adalah bertanggungjawab atas kemurnian ajaran, termasuk penafsiran Alkitab; 3) The Elder (yang dituakan/penatua). Penatua bertugas untuk mengatur gereja. Penatua adalah wakil dari pemerintah yang bertugas di dalam gereja mengawasi ajaran. Pendeta dan penatua bertugas untuk menghakimi pelanggaran moral masyarakat; 4) Deacon (diaken). Tanggung jawab diaken adalah mengurus orang miskin dan orang sakit.23 Perbedaan tugas Gembala/Pendeta dan Pengajar adalah: Pendeta bertugas memberitakan Firman, melayankan Sakramen, bertanggungjawab atas disiplin gereja, serta memberi peringatan dan nasihat bagi jemaat. Sementara pengajar terbatas pada penafsiran Alkitab dan menjaga kemurnian ajaran seluruh jemaat berdasrkan tafsir Alkitab. Namun bagi kedua jabatan tersebut, tugas pastoral merupakan tugas bersama yang harus mereka emban. Tugas jabatan gerejawi yang lain (presbiter/penatua dan diaken) adalah: Penatua merupakan orang-orang yang diutus oleh Dewan Kota/Pemerintah, yang bertanggung-jawab mengontrol moral seluruh jemaat. Diaken bertanggungjawab untuk melayani orang-orang miskin. Semua jabatan gereja yang digagas Calvin: gembala/pendeta, pengajar, penatua, dan diaken adalah jabatan yang diterima melalui proses pemilihan. Namun, khusus untuk penatua, pemilihannya dilakukan oleh pihak pemerintah sendiri, sebab mereka adalah wakil pemerintah untuk mengontrol gereja.24 Calvin terkenal sangat ketat dalam penerapan disiplin gerejawi. Calvin mengagas disiplin dalam gereja karena ia sadar bahwa tidak 22 Haight, Christian Community in History, 2:103. 23 Haight, 2:108–10. 24 Calvin, Institute, 2:1059–65. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 11 ada masyarakat ataupun sebuah rumah dengan anggota keluarga kecil sekalipun yang mampu menjaga kondisinya dengan baik tanpa disiplin. Bagi Calvin, disiplin sangat dibutuhkan di dalam gereja, oleh karena gereja membutuhkan kondisi yang tertata sebaik mungkin. Dan karena pemeliharaan doktrin Yesus Kristus adalah jiwa dari gereja, maka disiplinlah yang menjadi otot yang mengikat setiap anggota masing-masing di tempatnya.25 Langkah-langkah dari disiplin gereja menurut Calvin adalah: Pertama, dimulai dengan teguran pribadi kepada siapa pun yang tidak melakukan tugasnya dengan sepenuh hati, bersikap kurang ajar, hidup secara tidak terhormat, atau tetap melakukan tindakan-tindakan yang salah. Jika situasi mendesak maka setiap warga jemaat harus berusaha untuk menegurnya, namun tugas menegur terutama dilakukan oleh para pendeta dan penatua, oleh karena tugas mereka bukan hanya mengajar, tetapi juga untuk mengingatkan dan mendesak setiap orang untuk melakukan perintah gereja secara efektif. Jika ada orang yang dengan keras kepala menolak teguran dengan mencemooh dan tetap melakukan perbuatan jahatnya sesuai kehendaknya, langkah kedua adalah perintah Tuhan Yesus untuk memanggil orang tersebut kepada pengadilan gereja. Teguran dalam pengadilan itu lebih keras. Jika ia tidak mengindahkan teguran dan tetap hidup berkanjang dalam kelemahannya, perintah Yesus Kristus bagi orang yang dianggap tercela itu adalah dikeluarkan dari persekutuan atau dikucilkan/diekskomunikasi.26 Tujuan teguran dan pengucilan di dalam disiplin gereja adalah: Pertama, mereka yang hidupnya diwarnai dengan hal kotor dan keji, tidak boleh disebut sebagai orang Kristen, sebab mereka mencemarkan nama Allah dan gereja-Nya yang kudus. Kedua, hal yang baik di dalam gereja tidak dirusak oleh orang- orang yang terus berbuat jahat. Ketiga, orang-orang menjadi malu dan berhenti melakukan perbuatannya yang jahat dan bertobat. Orang-orang yang telah sampai pada pengucilan atau ekskomunikasi tidak selamanya akan berada pada kondisi yang demikian. Jika mereka mau berubah dan bertobat, terbuka peluang untuk menerima mereka kembali dan menjadi bagian dalam satu persekutuan dengan hak dan kewajiban yang sama dengan warga jemaat yang. Calvin menyakini bahwa hanya ada dua tanda yang tampak dari Allah yang sakral, yang menjadi Sakramen. Keduanya adalah Baptisan dan Perjamuan Kudus. Sakramen Baptisan Kudus 25 Calvin, 2:129–30. 26 Calvin, 2:1229–1231. 12 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA adalah tanda inisiasi bahwa seseorang telah diterima masuk kedalam pesekutuan gereja, terbuka untuk penanaman ajaran Kristus, dan dihitung sebagai anak Allah. Tujuan Sakramen Baptisan diberikan oleh Allah kepada gereja, adalah: Pertama, untuk menyatakan iman kita di hadapan Allah. Kedua, untuk mengikrarkan pengakuan iman kita di hadapan manusia. Melalui Baptisan, kita memperoleh anugerah Tuhan secara pribadi, yaitu menerima tanda dan bukti pembersihan kita atau bukti pengampunan dosa.27 Calvin memahami kehadiran Kristus dalam Sakramen Perjamuan bukan dengan konsep transubstansiasi, melainkan kehadiran secara rohani (spiritual presence of Christ). Roti dan anggur dalam Perjamuan adalah tanda makanan yang tidak kelihatan yang kita terima dari tubuh dan darah Kristus. Roti dan anggur menjadi makanan rohani bagi kita. Kristus memberikan roti hidup yang menjadi makanan bagi setiap orang percaya untuk mencapai hidup yang kekal, benar dan berbahagia. Jemaat dipanggil oleh Bapa di sorga untuk datang kepada Dia, supaya setelah menjadi segar karena makan dari makanan itu, jemaat dapat menghimpun tenaga sampai untuk mencapai hidup kekal di sorga.28 Pandangan Calvin itu jelas diinspirasi ajaran Augustinus, tetapi dalam hal peserta Perjamuan, Calvin berbeda dengan Augustinus. Augustinus tidak ketat menyaratkan kekudusan perserta Perjamuan dan ia terbuka terhadap kehadiran anak- anak. Sementara Calvin tidak setuju dengan Perjamuan bagi orang-orang yang belum membersihkan diri melalui pengakuan dosa dan bagi anak-anak. Menurut Calvin, Perjamuan hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah dapat memahami arti Perjamuan dan mengikutinya dengan layak. Mereka yang layak itu adalah yang mengerti dan mampu membedakan tubuh dan darah Kristus dan tentu anak-anak dipandangn belum memenuhi kriteria itu. Selain itu peserta perjamuan harus menguji dirinya dan mampu memproklamasikan kematian Kristus dan mengakui kekuasaan-Nya.29 Menyakut hubungan gereja dan negara, yang khas pada zaman Calvin adalah hampir semua orang, kecuali minoritas orang Yahudi, sejak lahir telah menjadi anggota gereja yaitu Gereja Katolik Roma yang dipimpin oleh Paus. Karena itu mereka yang menduduki pemerintahan, umumnya adalah anggota gereja. 27 Calvin, 2:1303–1304. 28 Calvin, 2:1360–1362. 29 Calvin, 2:1352–1353. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 13 Institusi gereja dan negara memang berbeda, tetapi sesungguhnya menyangkut orang-orang yang sama. Karena itu, istilah corpus Christianum (tubuh Kristus) muncul dengan pemahaman bahwa masyarakat dan gereja adalah suatu kesatuan. Gereja adalah jiwa dan masyarakat adalah tubuhnya. Tugas gereja adalah mengurus perkara-perkara yang berkaitan dengan keselamatan abadi, sedangkan pemerintah bertugas memajukan kesejahteraan manusia di dunia ini dan keduanya bekerjasama demi kemuliaan nama Kristus dan Allah.30 Calvin mengakui otoritas gereja dan negara di dunia tetapi otoritasnya berasal dari Allah. Keduanya memakai otoritasnya dengan cara berbeda. Gereja memerintah dengan kuasa rohani, yaitu dengan kasih. Dalam model pemerintahan itu, tidak ada paksaan karena paksaan bertentangan dengan kasih. Gereja tidak dapat berbuat lebih dari upaya meyakinkan orang tentang kebenaran Firman Allah. Sementara itu, negara memerintah dengan kuasa dan paksaan, bahkan bila diperlukan, pemerintahan dilakukan dengan kekerasan pedang yang terwujud dalam bentuk hukuman mati bagi pelanggar hukum dan perang terhadap musuh demi membela negara.31 Calvin mengarisbawahi kesamaan kedudukan antara gereja dan negara. Ia menolak pendapat yang dikemukakan oleh Paus- paus besar Abad-abad Pertengahan, bahwa pemerintah adalah bawahan negara. Pemerintah mendapat tugasnya langsung dari negara dan bukan dari gereja, sehingga gereja tidak berhak memerintahkan kepada negara apa yang harus dilakukan untuk gereja.32 Pemerintah secara mendasar memiliki dua tugas. Pertama: mencegah pemujaan terhadap berhala, pelanggaran melawan kekudusan nama Allah, penghujatan melawan kebenaran Allah, dan perlawanan-perlawanan lain kepada agama yang muncul dalam masyarakat. Jadi negara mendukung dan menjamin manifestasi agama di dalam masyarakat. Fungsi kedua pemerintahan adalah memelihara perikemanusiaan di antara manusia. Tugas itu dilakukan dengan menjaga wilayah publik dari berbagai rongrongan, sehingga setiap orang dapat menyimpan harta miliknya dengan aman, menjaga pernikahan sucinya, dan kejujuran serta kesopanan tercipta di antara semua orang.33 30 de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 256. 31 de Jonge, 260. 32 de Jonge dan Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?, 260. 33 I. John Hasselink, Calvin’ First Catechism: A Commentary (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1997), 170. 14 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA Jemaat yang dilayani Calvin di Jenewa dapat dikategorikan sebagai gereja-negara. Keberadaan gereja sepenuhnya didukung dan dibiayai oleh pemerintah kota itu. Tetapi, dalam dalam pemikirannya tentang hubungan antara gereja dan negara, Calvin menghendaki agar ada pemisahan yang tegas antara gereja dan negara. Bagi Calvin, sumber kekuasaan gereja dan negara adalah satu dan sama, yaitu Tuhan Allah. Pemahaman Calvin itu terkenal dengan konsep “wawasan dua pedang dan cita- cita teokrasi”, yaitu Allah menjadi Raja dan penguasa tertinggi, baik dalam kehidupan gereja maupun negara. Tuhan akan memberi pedang yang satu (pedang jasmani) kepada negara atau pemerintahan, sedangkan pedang yang satu lagi (pedang rohani) diberikan kepada gereja. Negara harus membantu gereja dalam memberlakukan kedaulatan Allah dan ketertiban dalam kehidupan manusia, tetapi negara tidak boleh mencampuri urusan gereja, termasuk dalam hal organisasi, peribadahan, upacara-upacara, dan penetapan jabatan gerejawi. Ini dapat berarti bahwa gereja memiliki banyak wewenang dibandingkan dengan negara, karena gereja bisa berbicara dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik dan pemerintahan. Sementara sebaliknya negara tidak boleh berbicara dalam urusan keagamaan. Akan tetapi, dalam waktu-waktu selanjutnya, dalam kenyataan sejarah, gereja-gereja yang mengaku Calvinis diatur oleh negara, ketimbang sebaliknya.34 Calvinisme Negeri Belanda Pada masa awal Reformasi gereja, daerah yang disebut negeri Belanda meliputi wilayah Belgia dan negeri Belanda sekarang. Penyebaran Calvinisme ke negeri Belanda cukup cepat dan dipengaruhi oleh faktor politik. Pada masa itu, Raja Spanyol, Charles V, juga meguasai negeri Belanda. Raja Charles V adalah anggota setia Gereja Katolik Roma, sehingga ia langsung bertindak ketika Reformasi gereja mulai tersebar ke berbagai daerah- daerah kekuasaannya. Mula-mula pengaruh ajaran Calvin ke negeri Belanda masuk ke bagian selatan yang berbatasan dengan Prancis, yang penduduknya juga berbahasa Prancis. Ajaran Calvin disebarkan ke sana oleh pengkhotbah-pengkhotbah yang dididik di Jenewa dan mengumpulkan jemaat-jemaat dengan mengikuti pola jemaat Jenewa.35 34 Aritonang, Berbagai Aliran, 231. 35 de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 22–23. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 15 Tahun 1555 Raja Philip II menggantikan ayahnya sebagai tuan atas negeri Belanda dan meneruskan politik Charles V untuk memperkuat kekuasaan Spanyol di daerah itu. Dalam rangka itu, ia mencoba memperkuat kuasa Gereja Katolik Roma melalui pembagian keuskupan yang baru. Kebijakan tersebut menimbulkan perlawanan, baik dari kaum Protestan maupun kaum bangsawan Katolik, sehingga terjadi pemberontakan pada 1566 yang dipimpin oleh Pangeran Willem dari Oranje-Nassau. Pemerintah merespons pemberontakan itu dengan kekerasan, sehingga banyak yang mati syahid dan ribuan orang Protestan Belanda mengungsi ke Jerman. Pemberontakan yang dipimpin Pangeran Willem berhasil di daerah Utara (sekarang Belanda), tetapi gagal di daerah Selatan (sekarang Belgia).36 Pada tahun 1581 negeri Belanda bagian utara menolak pemerintahan Raja Philip II, dan pada tahun 1588 didirikan Republik Tujuh Negara yang Dipersatukan. Kuasa tertinggi tidak dipegang oleh keluarga Oranje-Nassau, melainkan oleh Dewan Umum (Staten-Generaal) yang terdiri dari wakil-wakil provinsi.37 Sementara pemberontakan berjalan, jemaat-jemaat Protestan membenahi diri di daerah pengungsian dengan menata keseragaman jemaat. Jemaat diatur sesuai dengan tata gereja Jenewa dan tata gereja jemaat Belanda di London. Tiga tahun kemudian (1571), untuk pertama kalinya berkumpul jemaat- jemaat Protestan di Jerman dan di sana ditetapkan tata gereja untuk Gereja Gereformeerd (artinya direformasikan) di negeri Belanda. Patokannya adalah organisasi gereja Protestan di Prancis. Karena itu, struktur sinodal dan klasis mengikuti pola yang ditetapkan sinode Paris (1559), yaitu Pengakuan Gereja Prancis untuk kesatuan Gereja Protestan Prancis, Katekismus Heidelberg yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Belanda, dan Katekismus Jenewa untuk jemaat-jemaat yang berbahasa Prancis.38 Berikutnya, beberapa kali pertemuan sinode diadakan (Sinode Dordrecht 1578, Middelburg 1581, dan ‘s-Gravenhage, 1586) menghasilkan keputusan-keputusan yang disesuaikan dengan keadaan gereja di Belanda. Hal-hal yang didiskusikan secara hangat adalah sampai di mana pengakuan-pengakuan iman wajib dipegang oleh anggota-anggota gereja, terutama pendeta-pendeta, dan sampai di mana hak pemerintah untuk campur tangan dalam urusan-urusan gerejawi. Para pendeta memperjuangkan hak untuk mengatur gerejanya sendiri sesuai 36 de Jonge, 22–23. 37 de Jonge, 24. 38 de Jonge, 22–24. 16 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA Firman Allah dan pengakuan iman, serta melawan pengaruh tokoh-tokoh pemerintah yang dianggap liberal. Sementara itu, pihak pemerintah merasa kuatir bahwa, jika gereja berada di bawah pimpinan pendeta-pendeta, akan menjadi negara di dalam negara. Karena itu mereka mencoba mengendalikan pendeta- pendeta yang dianggap fanatik.39 Pada dasawarsa pertama abad ke-17 muncul pertikaian dalam Gereja Protestan Belanda terkait ajaran predestinasi. Salah seorang teolog dari Universitas Leiden, Jacobus Arminius (1560-1609), menyerang ajaran predestinasi yang telah dirumuskan Calvin dalam Institutio dan yang telah diterima Gereja Protestan Belanda. Ternyata sejumlah pihak pemerintah juga mendukung ajaran Arminius. Pengikut-pengikut Arminius membela pemahaman Arminius dalam suatu pernyataan “remonstransi” (sehingga mereka disebut kaum Remonstran) terhadap pembelaan dari pihak pembela ajaran predestinasi.40 Akhirnya timbullah perselisihan yang hebat yang menyebabkan keretakan di dalam gereja maupun di dalam negara dan berpotensi terjadinya perang saudara. Pangeran Maurits, panglima tentara Belanda, menjatuhkan pemerintah yang pro-Arminius. Atas dorong pemerintah yang baru, dilaksanakanlah sinode gereja-gereja Belanda, yang juga dihadiri oleh utusan-utusan sejumlah gereja Calvinis Inggris, Jerman, dan Swiss. Dengan demikian, Sinode Dodrdrecht (1618–1619) bersifat internasional.41 Sinode Dordrecht tersebut menolak ajaran Remonstran, yang dinyatakan dalam dokumen yang berjudul “Lima Pasal melawan kaum Remonstran”, yang juga disebut Pasal-pasal Dordrecht. Dari sinode tersebut, Gereja Gereformeerd Belanda terpecah. Kaum Remonstran dianggap sebagai bidat dan akhirnya mereka membentuk gereja sendiri, yang disebut Persaudaraan Remonstran (Remonstrantse Broederschap).42 Walaupun Gereja Gereformeerd berperan dalam perjuangan kemerdekaan Belanda dari Spanyol, tetapi itu tidak menjadikan gereja Gereformeerd menjadi gereja negara. Memang gereja menerima dukungan dari negara, tetapi negara tidak berwenang mengatur gereja. Dukungan yang diperoleh dari negara, sesuai dengan Pengakuan Iman Belanda Pasal 36, adalah pemerintah mendukung ibadah yang benar dan pemerintah membiayai gereja. Pegawai pemerintah wajib menjadi anggota gereja Gereformeerd. 39 de Jonge, 24–25. 40 de Jonge, 25. 41 End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, 57. 42 de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 25. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 17 Dengan demikian gereja Gereformeerd diberi status sebagai gereja resmi di Belanda. Walaupun demikian, pemerintah tidak mau mengabulkan permintaan gereja Gereformeerd untuk melarang gereja-gereja lain berdiri di Belanda, seperti: kaum Remonstran, Lutheran, Mennonit, bahkan Katolik Roma. Orang-orang yang dianiaya karena keyakinan, seperti orang Yahudi, Eropa Selatan dan Timur, diterima di Belanda, sehingga Belanda menjadi benteng toleransi pada abad ke-17 dan ke-18.43 Kata Gereformeerd yang sebenarnya terjemahan Belanda untuk kata Latin reformata di kemudian hari menjadi persoalan, sebab mulai diartikan sebagai Calvinis murni atau ortodoks. Karena itu, pada pertegahan abad ke-18 dimunculkan kata yang dianggap netral, yaitu hervormd (dibentuk kembali). Kata itu mulai dipakai dalam gereja dan pada akhirnya Gereja Protestan Belanda disebut Nederlandse Hervormde Kerk (NHK).44 Pada awal dasawarsa 90-an abad ke-18 negeri Belanda diserang dan ditaklukkan oleh Prancis. Prancis memproklamasikan negeri Belanda sebagai Republik Batavia (Batavia adalah nama dalah satu suku di Belanda). Oleh pemerintah Prancis, cita-cita Revolusi Prancis tentang kebebasan beragama diberlakukan di Belanda. Karena itu, hak istimewa Gereja Hervormd Belanda ditiadakan. Gereja dan negara dipisahkan dan semua warga negara diberi hak kebebasan beragama. Setelah negeri Belanda merdeka dari Prancis pada tahun 1813, Raja Willem I mulai menata kembali Gereja Hervormd. Pada tahun 1816, pemerintah menetapkan Peraturan Umum bagi gereja. Peraturan Umum tersebut mengatur kepengurusan gereja, tetapi tidak menentukan bagaimana pengakuan gereja yang formal dipertahankan dan diawasi. Hal itu mengartikan bahwa pintu terbuka bagi pemahaman- pemahaman liberal. Pihak-pihak ortodoks menyuarakan protes atas peraturan tersebut, dan mengajak Gereja Hervormd untuk kembali kepada pengakuan dan tata gereja Gereformeerd yang mula-mula. Pelopor gerakan ortodoks Belanda pada masa itu adalah Abraham Kuyper. Pengurus gereja tidak memperhatikan suara tersebut dan akhirnya mengakibatkan perpecahan. Kaum ortodoks dalam gerakan Doleantie (dari kata Latin dolere: sedih), sebagai gerakan jemaat-jemaat yang sedih karena hak-hak kaum ortodoks Gereformeerd sejati tidak diakui oleh Gereja Hervormd, memisahkan diri secara resmi (Afscheiding), dari gereja Hervormd pada 1892 dan membentuk Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN). Komunitas Afscheiding yang lain mendirikan Christelijke 43 de Jonge, 26. 44 de Jonge, 26. 18 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA Gereformeerde Kerk (CGK).45 Indische Kerk dan GZB Penanaman Calvinisme di wilayah Nusantara dimulai sejak orang-orang Belanda menetap di Nusantara. Tahun 1596 kapal-kapal dagang orang-orang Belanda mendarat di Banten dan sejak itu orang-orang Belanda tahu bahwa perdagangan di wilayah Nusantara mendatangkan keuntungan. Enam tahun kemudian, pada tahun 1602, usaha-usaha perdagangan orang- orang Belanda di Nusantara dipersatukan dalam satu organisasi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Lembaga VOC diberi hak oleh Dewan Umum Republik Belanda untuk bertindak sebagai pemerintah yang berdaulat di wilayah kerjanya atas nama Pemerintah Republik Belanda. Hak tersebut digunakan untuk mendapatkan monopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah Nusantara. Untuk itu perlu dilakukan tiga hal: Pertama, orang- orang Portugis yang sebelumnya telah berdagang di wilayah Nusantara harus diusir. Kedua, usaha orang-orang Spanyol dari Filipina untuk menyerbu daerah Nusantara bagian Timur harus dihentikan. Ketiga, raja-raja pribumi Nusantara harus dipaksa berdagang dengan VOC.46 Dalam hak istimewa yang diberikan oleh Dewan Umum Republik Belanda untuk menjadi pemerintah yang berdaulat di bumi Nusantara, tersirat bahwa VOC harus melakukan apa yang menurut pemahaman gereja Belanda tercantum dalam Pengakuan Iman Gereja Belanda pasal 36, yaitu “kewajiban pemerintah Kristen untuk melindungi gereja dan memajukan ajaran yang benar gereja Belanda.”47 Gereja Protestan di Nusantara pada masa VOC adalah gereja tiruan dari gereja Protestan Belanda. Urusan-urusan gerejawi di Nusantara digandengkan kepada 45 de Jonge, 26–27. 46 de Jonge, 30. 47 Rumusan Pengakuan Iman Belanda 1561 pasal 36 yang terkait langsung dengan tugas pemerintah, yaitu: “…jabatan pemerintah bukan hanya untuk memperhatikan dan mengawasi urusan pemerintahan. Juga, jabatan itu meliputi: mempertahankan pelayanan gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh penyembah berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan anti-Kritus, dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang, berusaha agar Firman Injil dikabarkan kemana-mana, supaya Allah dimuliakan dan dilayani oleh tiap-tiap orang, sebagaimana yang diperintahkan-Nya dalam Firman- Nya. Lihat End, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, 53. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 19 gereja induk di Belanda. Hal itu nyata dengan adanya perhatian dari Klasis Amsterdam pada urusan gereja di Nusantara, namun tidak sepenuhnya diatur oleh gereja dari Belanda karena VOC membatasinya dalam hal-hal tertentu. Sebagai bagian dari gereja di Belanda, gereja di Nusantara mencerminkan keadaan gereja induknya. Naskah-naskah gerejawi yang dipakai di Belanda adalah naskah yang sama yang dipakai di Nusantara, seperti: Pengakuan Iman Belanda, Pasal-pasal Dordrecht, Katekismus Heidelberg, dan Tata Gereja Belanda hasil Sinode Dordrecht (1618-1619). Khusus menurut Tata Gereja hasil Sinode Dordrecht tersebut, diatur bahwa hak pemanggilan pendeta diatur oleh majelis gereja setempat, tetapi dalam praktiknya VOC-lah yang menempatkan dan memutasi pendeta yang didatangkan dari Belanda.48 Ketika VOC dibubarkan pada tahun 1799, kondisi Gereja Protestan Indonesia tetap dipengaruhi kondisi Gereja Protestan dari Belanda. Saat pemerintah di negeri Belanda memberi hak istimewa atas gereja Prostetan di Belanda, hal yang sama berlaku di daerah jajahan di Nusantara. Dan saat pemerintah mengatur kebebasan beragama maka demikian juga diberlakukan di Nusantara. Seperti pada saat Prancis menguasai Belanda, cita-cita revolusi Prancis pun diberlakukan di Belanda, yaitu pemerintah mengatur kebebasan beragama dan tidak ada keistimewaan bagi gereja Protestan. Hal itu pun diberlakukan sama di Nusantara, sehingga pada masa itu Gereja Katolik Roma dapat kembali masuk ke Nusantara untuk melayani orang-orang Katolik Eropa, bahkan menginjili orang pribumi. Juga gereja Lutheran di Batavia kembali dapat melayani pegawai pemerintah Belanda yang beraliran Lutheran.49 Ketika Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menginvasi dan menaklukkan wilayah Toraja pada 1906, mereka segera melakukan penataan administrasi pemerintahan dan pembatasan wilayah. Toraja dibagi dua di bawah afdeeling Luwu’, yaitu onderafdeeling Makale dan onderafdeeling Rantepao. Kedua onderafdeeling tersebut masih dibagi dalam distrik, sub-distrik dan kampung, yang diatur dengan batas wilayah. Pemerintah Kolonial Belanda mengakomodasi pemimpin-pemimpin lokal Toraja untuk menjalankan roda pemerintahan.50 48 de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 32. 49 de Jonge, 34; Lihat juga Jan S. Aritonang dan Karel Steenbrink, ed., A History of Christianity in Indonesia (Leiden: Brill, 2008), 123. 50 Terance W. Bigalke, Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People (Singapore: Singapore University Press, 2005), 66. 20 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA Berbarengan dengan itu juga, hadirlah pelayanan Gereja Protestan Indonesia (GPI)/Indische Kerk yang sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial bekerjasama dengan GPI melaksanakan misi penginjilan di Toraja dan dalam kesepakatan itu tampak bahwa Pemerintah Kolonial sangat bersemangat. Dua tahun berikutnya mulai didirikan beberapa sekolah di Makale dan Rantepao yang dipimpin oleh guru-guru Kristen. Kendati sekolah itu berstatus netral (bukan sekolah agama), namun guru-guru di sekolah mengajarkan agama Kristen, dan dengan demikian terjadi proses penginjilan bagi orang Toraja. Mulai tahun 1912 karya penginjilan di Toraja didukung oleh pendeta GPI dari Makassar, R.W.F Kijftenbelt, dengan mengutus pendeta bantu yaitu Jonathan F. Kelling. Dari hasil penginjilan melalui sekolah di Makale, maka akhirnya berbuah dengan dibaptisnya 23 orang murid pada tahun 1913.51 Motivasi gereja berbeda dengan motivasi Pemerintah Kolonial dalam melakukan penginjilan. Gereja melakukan penginjilan demi terwujudnya penyelamatan Kristus bagi orang Toraja, sementara motivasi Pemerintah Kolonial lebih kuat pada alasan politik.52 Hal itu juga merupakan hasil analisis historis yang dilakukan Bigalke, bahwa pendorong utama Pemerintah Kolonial Belanda mendukung kegiatan kristenisasi di Toraja adalah pertimbangan politis. Belanda telah belajar dari pengalaman perang yang mahal selama 40 tahun di Aceh, yang diketahui adalah akibat perlawanan pihak Islam. Belanda melihat peluang konversi orang Toraja ke agama Islam sudah sangat besar dengan adanya hubungan dagang yang telah terjalin lama, dan karena itu harus segera dibendung dengan cara kristenisasi.53 Akibat perbedaan kedua motivasi tersebut, sering terjadi pertentangan antara kedua lembaga itu. Namun kuasa Pemerintah Kolonial sangat dominan menentukan, dan gereja tampak tidak berdaya.54 Selain mengandalkan penginjilan oleh gereja Protestan, Pemerintah Kolonial Belanda ingin memaksimalkan proses kristenisasi orang Toraja dengan program penginjilan yang lebih intensif. Karena itu, dibukalah kesempatan bagi lembaga zending dari negeri Belanda untuk berkarya di Toraja. Gereformeerde 51 Theodorus Kobong, Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Kontekstual, Transformasi, trans. oleh Theodorus Kobong dan Thomas van den End (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 125. 52 Kobong, 126. 53 Bigalke, Tana Toraja, 80. 54 Kobong, Injil dan Tongkonan, 127. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 21 Zendingsbond (GZB) menerima undangan tersebut dan melaksanakan karyanya di Toraja. GZB mengutus zendeling pertama Antonie A. van de Loosdrecht untuk bekerja di wilayah Toraja.55 GZB merupakan organisasi penginjilan yang di dalamnya tergabung tiga aliran teologi, yaitu aliran yang terpengaruh oleh wawasan Neo-Calvinisme yang dikembangkan Abraham Kuyper (1837-1920); aliran pietisme yang mementingkan unsur subjektif, pengalaman rohani personal; dan teologi yang dipengaruhi Ph.J. Hoedemaker, yang bertolak dari kenyataan objektif, yaitu perjanjian Allah, gereja, dan pembaptisan. Namun ketiganya berazaskan pemikiran Calvin, karangan-karangan pengakuan iman Gereformeerd, dan Reformasi lanjutan, yaitu Reformasi abad ke-17 yang mengikhtiarkan intensifikasi iman dan akhlak, baik warga gereja perorangan maupun bangsa dan negara (Belanda).56 Para pengikut Kuyper dalam lingkungan GZB memandang Pekabaran Injil (PI) sebagai tugas gereja. Hanya, aliran itu sudah tidak mengharapkan lagi pembaruan Gereja Hervormd. Karena itu, mereka ingin menggalang jemaat-jemaat setempat agar menjadi pusat kegiatan PI. Mereka memandang GZB sebagai perserikatan jemaat-jemaat yang ingin menjalankan PI dan menumbuhkan gereja di daerah PI. Dalam Anggaran Rumah Tangga GZB 1901 ditetapkan bahwa “akan diterima selaku calon zendeling yang telah mencapai usia 16 tahun. Para calon akan dididik di Utrecht, yaitu dalam lembaga pendidikan GZB sendiri. Dengan demikian, GZB meniru kebijakan lembaga-lembaga PI abad ke-19, seperti NZG, dll. Setelah itu, pengurus GZB menempuh jalan gerejawi, yakni pengutusan pelayan-pelayan Firman menjadi pendeta utusan.57 Menurut Bastiaan (Bas) Plaisier, sekalipun GZB terdiri atas tiga golongan dengan wawasan gereja yang berbeda, tetapi ketiganya sama-sama masuk dalam aliran Calvinisme. Ketiganya taat pada Alkitab dan pengakuan iman gereja Calvinis serta mengupayakan kemurnian ajaran dan kehidupan rohani setiap orang. Ketiganya menuntut agar pemberitaan Firman bersifat alkitabiah, artinya menjadikan Firman sebagai kekuatan yang mengeritik eksistensi manusia.58 Dalam perhimpunan yang di dalamnya bercampur beberapa aliran itu, tidak terhindarkan perbedaan pandangan 55 Bigalke, Tana Toraja, 80. 56 Bas Plaisier, Menjembatani Jurang, Menembus Batas: Komunikasi Injil di Wilayah Toraja, 1913-1942, ed. oleh Thomas van den End (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 52. 57 Plaisier, 52–53. 58 Plaisier, 54. 22 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA tentang gereja. Perbedaan-perbedaan itu tampak dalam perjalanan pelayanan para zendeling di Toraja, menyangkut misalnya: soal nyanyian dan pandangan terhadap kebudayaan Toraja. Pada tahun 1902 pemimpin GZB menyatakan bahwa “Pekabaran Injil bertujuan untuk memuliakan Allah.” Ungkapan ini merupakan semboyan kaum Calvinis Belanda. Pimpinan GZB juga menyatakan bahwa Pekabaran Injil harus ditujukan kepada bangsa-bangsa, bukan kepada orang per orang saja. Dengan kata lain, yang menjadi tujuan adalah kristenisasi bangsa-bangsa. Karena itu, para penginjil-utusan perlu mendekati kepala suku atau pemimpin masyarakat setempat, dan penyediaan pendidikan Kristen bagi anak-anak harus mendapat prioritas. Pandangan dalam gereja Calvinis pada umumnya adalah bahwa orang kafir akan binasa untuk selama-lamanya, kecuali jika mereka mengenal kebenaran, yaitu mengenal Allah Tritunggal. Karena itu, zending wajib mengarahkan mereka untuk bertobat. Pandangan itu berdasar pada Kisah Para Rasul 4:12 “di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan, kecuali di dalam Kristus”.59 Pada tahun 1905 pengurus GZB menyerukan kepada para pendeta sealiran dengan gerakan Gereformeerd agar bersedia diutus ke lapangan Pekabaran Injil, tetapi tidak seorang pun yang bersedia mendaftar. Karena itu, pengurus GZB terpaksa kembali ke rencana semula, yaitu mengutus zendeling leraar (pendeta utusan) yang tidak berpendidikan akademis dan tidak ditahbiskan menjadi pendeta gereja Hervormd.60 Tahun 1909, ada seorang muda melamar sebagai tenaga zending, bernama Antonie A. van de Loosdrecht yang saat itu adalah siswa Nederlandse Zendingsschool. Dalam kurun waktu 1913–1942, GZB mengutus dua belas orang Belanda dan ratusan orang pribumi Nusantara untuk mewujudkan kegiatan Pekabaran Injil di daerah Toraja. Mereka dengan cara dan kemampuan masing-masing mewujudkan Pekabaran Injil dan asas-asas GZB dalam pelayanannya. Khusus untuk keduabelas utusan GZB ke wilayah penginjilan Toraja, tidak ada yang tetap di medan penginjilan selama tiga dasawarsa tersebut. Formulasi para pekabar Injil di medan penginjilan juga berubah-ubah. Ada kalanya pekabaran Injil di Toraja berada di tangan satu orang saja (1913–1915), dan ada kalanya tujuh atau delapan orang hadir secara bersama di medan penginjilan.61 59 Plaisier, 55. 60 Plaisier, 53. 61 Keduabelas tenaga zendeling GZB di daerah Toraja dalam periode tersebut adalah: 1. A.A. van de Loosdrecht (1913-1915), zendeling wilayah; SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 23 Beberapa di antara para zendeling yang diutus Belanda ke Toraja adalah zendeling-leraar (pendeta-utusan).62 Istilah zendeling- leraar atau pendeta-utusan mulai populer pada akhir abad ke-19 bersamaan dengan munculnya lembaga-lembaga Pekabaran Injil. Pendeta-utusan adalah orang-orang yang dapat memberitakan Firman dan melayankan Sakramen di wilayah penginjilan di seberang lautan. Dalam lingkup komunitas Gereformeerd sejak abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20, lembaga zending dan gereja jelas dibedakan. Perbedaan yang paling menonjol di antara keduanya adalah dalam pandangan mengenai jabatan gereja. Pendeta-utusan tidak dipandang sebagai sebuah jabatan dalam gereja di Belanda, melainkan sebagai jabatan di wilayah Pekabaran Injil semata. Karena itu, pendeta-utusan hanya berwenang melayankan Sakramen di wilayah PI, dan tidak di Belanda. Selain itu, fungsi pendeta-utusan dianggap jauh lebih rendah dari jabatan pendeta. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa pada abad ke-19 pendeta di Belanda adalah orang-orang yang telah menempuh pendidikan tinggi akademis. Sementara, pendeta-utusan hanya melalui sekolah pendidikan kejuruan, yang pada awalnya sangat sederhana. Syarat yang paling penting untuk melayakkan pendeta-utusan dapat diutus untuk karya penginjilan terutama adalah berdasarkan pangggilan pribadi dan kesalehannya. GZB pun memperlihatkan pola umum bahwa yang melamar menjadi tenaga utusannya secara umum adalah orang yang berpendidikan rendah, dan sangat sedikit pendeta. Sebagian besar zendeling GZB hanya mengenyam pendidikan dasar yang setara dengan SD atau SMP.63 2. Dirk C. Prins (1915–1920), zendeling wilayah; 3. Johannes Belksma (1916-1942), kepala pendidikan guru dan guru Injil, dan juga menjadi zendeling wilayah; 4. Hendrik van der Veen (1920-1930), ahli bahasa; 5. Pieter Zijlstra (1920-1930), zendeling wilayah; 6. Jacob Tanis (1925-1939 dst.), Kepala Schakelschool]; 7. Herman Pol (1927–1942 dst.], perawat dan zendeling wilayah; 8. Dirk J. van Dijk (1927-1942 dst.], zendeling wilayah; 9. Harm J. van Weerden (1927-1942], zendeling wilayah; 10. Abr. Belksma (1928-1942], guru dan zendeling wilayah; 11. Hendrik C. Heusdens (1930-1942], zendeling wilayah; dan 12. Jouke J.J. Goslinga (1934-1942 dst.]. Ibid., 58–59. 62 Istilah leraar bukan sinonim “guru” (sekolah), melainkan sinonim “pendeta”. Plaisier, 60. 63 Sampai pada 1942, ada empat golongan utusan Injil Belanda yang dikenal dengan istilah zendeling-leeraar (utusan-pekabar Injil), zendeling- onderwijzer (utusan-guru), zendeling-arts (utusan-dokter), zendeling- diacoon (utusan-mantri perawat). Sesudah Perang Dunia II, zendeling- leeraar memperoleh status pendeta dan tidak ada lagi zendeling- diacoon. Istilah-istilah tersebut mengalami perubahan di kemudian 24 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA Proses pendidikan tenaga utusan GZB adalah di lembaga pendidikan Nederlandse Zendingsschool (NZS). Sekolah ini mempersiapakan para calon tenaga utusan penginjilan dan juga membentuk kehidupan rohani mereka. Lembaga pendidikan NZS lahir dari peleburan lembaga pendidikan milik NZG dan UZV pada 1905. Kedua badan Pekabaran Injil tersebut dipimpin oleh tokoh-tokoh aliran etis dalam gereja Hervormd. Aliran teologis itu terbuka sepenuhnya pada budaya umum yang beranekaragam, namun tetap ingin menempatkan Kristus dalam pusat pemikiran teologis. Tokoh-tokoh aliran lembaga ini memandang bahwa kebenaran bersifat etis, artinya tidak boleh merupakan keyakinan otak semata, tetapi harus menampakkan diri dalam seluruh kepribadian manusia. Karena itu, gereja tidak boleh mengikatkan diri pada karangan-karangan pengakuan iman, tetapi harus hidup dalam pimpinan Roh Kudus. Dengan demikian, aliran ini mengutamakan pembinaan kepribadian yang beriman, pengembangan bakat-bakat manusia, dan keyakinan iman yang datang dari luar manusia. Iman hanya dapat diterima secara bebas dan tidak menyisihkan budi pekerti dan tabiat manusia. Teologis etis memperhatikan dan menghormati nilai- nilai budaya dan pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan. Pandangan-pandangan etis tersebut dielaborasi dalam praktik pekabaran Injil terutama oleh Albert C. Kruyt (1869-1949) dan Nicolaus Adriani (1856-1926) yang bekerja di wilayah Pekabaran Injil di Sulawesi Tengah.64 Para siswa NZS dicalonkan dari masing-masing lembaga Pekabaran Injil. Akan tetapi, banyak juga yang diterima atas prakarsa sekolah. Seperti Van de Loosdrecht yang pada saat masuk ke NZS belum terikat pada salah satu lembaga PI, termasuk belum terikat dengan GZB. Setelah zaman Van de Loosdrecht, para siswa calon utusan GZB telah terlebih dahulu diutus oleh GZB untuk dididik di NZS. Untuk tamatan Sekolah Dasar, pendidikan akan berlangsung selama enam tahun, dibagi dalam tiga kelas. Kelas pertama disebut tahun percobaan. Kelas tersebut berlangsung selama dua tahun, yang didalamnya pelajaran Sekolah Dasar diulang dan diperluas. Mata pelajaran yang diberikan adalah: hari, sebagaimana sesudah tahun 1945 istilah yang digunakan adalah zendingspredikant (para pendeta-utusan), zendingsonderswijzer (guru zending utusan), zendingsarts (dokter zending utusan), dan zendingsverpleegter (perawat zending utusan)., ibid., 60–61; Thomas van den End, ed., Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Toraja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994). 64 Plaisier, Menjembatani Jurang, Menembus Batas, 69–70. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 25 Bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, sejarah, ilmu pasti, dan ilmu alam. Pelajaran Bahasa Jerman dan Bahasa Inggris diteruskan paling tidak empat tahun lamanya, dan mulai tahun kedua ditambah lagi dengan Bahasa Yunani Perjanjian Baru (Koiné). Selain itu, selama lima tahun para siswa diajari pertukangan kayu agar mereka mampu membuat perabot yang sederhana dan mengawasi pembangunan gedung gereja dan sekolah. Pelajaran musik juga dipentingkan, karena itu para siswa diberi pelajaran menyanyi dan bermain orgel, serta membentuk korps musik tiup.65 Kelas kedua disebut kelas teologi. Pada tingkat ini para siswa dipersiapkan untuk ujian pendeta penginjil. Ujian itu ditempuh dihadapan Komisi Urusan-urusan Gereja-gereja Protestan di Hindia Belanda di Timur dan Barat (Haagsche Commissie) bersama pengurus Klasis Rotterdam, dan di kemudian hari oleh Klasis Leiden. Ujian tersebut juga membuka kemungkinan bagi siswa menerima fungsi dalam gereja di negeri Belanda sebagai guru agama (godsdienst-onderwijzer), yang tidak lain adalah pendeta- bantu dalam Gereja Hervormd, yang tidak berwenang melayankan Sakramen. Kelas teologi serupa dengan kelas Alkitab, sebab mengembangkan pengetahuan siswa tentang Alkitab dan tradisi gereja. Selama periode dua tahun itu, para siswa belajar Sejarah Dogma dan Sejarah Gereja, Apologetika, Simbolika, Dogmatika, Tafsir Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Sejarah Pekabaran Injil, serta Metode Pekabaran Injil. Juga, para siswa sudah mulai mempelajari Bahasa Melayu dan Bahasa-bahasa Daerah. Pada tingkat ketiga, yang juga mencakup dua tahun, seluruh pelajaran terfokus tentang tugas Pekabaran Injil. Mata pelajarannya, antara lain: Pengantar kedalam Filsafat, Ilmu Tanam dan Hewan Tropis, Pedagogi dan Didaktik, Metode Pekabaran Injil dan Sejarah Pekabaran Injil. Disamping itu pelajaran Biblika dilanjutkan. Terdapat juga pelajaran tambahan yaitu kursus Ilmu Kesehatan dan menjalani magang di bangsal-bangsal dan poliklinik Rumah Sakit Rotterdam, dan sesudah tahun 1917 dilakukan di Rumah Sakit Akademis di Leiden. Para siswa juga medapat pelajaran selama hampir tiga ratus jam untuk mata pelajaran Ilmu Kedokteran seperti anatomi, patologi, ilmu persalinan, ilmu penyakit dalam, ilmu bedah, penyakit kulit, mata, dan gigi, serta pengetahuan yang menyangkut kebersihan (higiene) dan pengetahuan tentang obat-obatan. Sekitar tahun 1910 para siswa diwajibkan hadir dalam proses persalinan paling kurang sepuluh 65 Plaisier, 70–71. 26 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA kali.66 Pada dasarnya, para zendeling melihat bahwa agama orang Toraja dan agama Kristen bertentangan. Akan tetapi, bila keduanya dikonfrontasikan, akan menyebabkan kehancuran menyeluruh bagi orang Toraja. Karena itu, para zendeling tidak memaksa orang Toraja menerima kekristenan model Barat, namun mereka meminta agar orang Toraja membuang semua unsur yang berkaitan dengan penyembahan dewa dan leluhur. Metode untuk menjembatani ketegangan itu adalah dengan memperkenalkan dua jenis sisi kehidupan manusia, yaitu yang religius (sakral) dan yang duniawi (sekuler/profan). Untuk menjadi Kristen, orang Toraja harus meninggalkan unsur religius agama aslinya dan boleh tetap mempertahankan unsur duniawinya. Unsur religius disebut aluk (agama) sedangkan yang duniawi disebut ada’ (adat).67 Oleh zendeling, aturan boleh-tidaknya orang Toraja berpegang pada kebiasaan dalam ritus-ritus orang Toraja disaring dalam dua kriteria, yaitu: (1) Apakah hal itu termasuk aluk, dan (2) Apakah adat kebiasaan lama membawa akibat sosial yang buruk. Pada mulanya zending tidak ingin menyusun daftar-daftar hal-hal yang diperbolehkan atau dilarang itu, dan hal itu nyata dalam Peraturan Adat yang dibuat pada 1923 yang menonjolkan kebebasan orang Kristen. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ketika orang Kristen semakin banyak dan persoalan gereja semakin bertambah, makin banyak pula peraturan yang harus dipatuhi oleh orang Kristen.68 Berdasarkan kriteria tersebut, ritual-ritual kematian Rambu Solo’ dipertahankan, walau bentuk dan isinya dikristenkan, dan secara umum ritual Rambu Tuka’ dilarang bagi orang Kristen karena dinilai diarahkan sepenuhnya kepada dewa-dewa. Akan tetapi, masalahnya tidak sesederhana itu, sehingga pembedaan dan pelarangannya sulit dipertahankan. Ritual-ritual yang dikristenkan pada mulanya masih berbentuk sederhana, tetapi lama-kelamaan menjadi lebih semarak. Ternyata dalam praktiknya, ritual Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ tetap memiliki makna religius dan makna sosial yang tidak bisa ditinggalkan orang Toraja. Lama-kelamaan semakin banyak ritual-ritual Toraja yang masih dihadiri bahkan dilaksanakan oleh orang Kristen Toraja. Juga upaya awal para zendeling membatasi pelaksanaan ritual-ritual yang dianggap pemborosan, pada akhirnya justru semakin bertambah. Hal itu disebabkan oleh penghilangan aturan dan tahapan pemotongan 66 Plaisier, 71. 67 Plaisier, 464–65. 68 Plaisier, 467. SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 27 hewan dalam suatu ritus oleh karena dianggap aluk, dan juga upaya mewujudkan kesederajatan manusia. Kemungkinan itu membuat siapa saja, baik golongan masyarakat tinggi maupun rendah, dapat memotong hewan dalam jumlah yang mereka inginkan sendiri terlepas dari aturan aluk yang asli.69 Berdirinya Gereja Toraja Pemandirian Gereja Toraja dipersiapkan oleh Tim yang dibentuk dalam Konferensi Para Zendeling tahun 1930. Konsep pemandirian Gereja Toraja yang disusun oleh tim tersebut dan dibahas secara resmi dalam Konferensi Para Zendeling pada 13–16 April 1937. Dalam konsep pemandirian yang disusun tim itu, terdapat tiga topik yang menentukan karakter Gereja Toraja dimasa depannya. Ketiga topik itu adalah: nama untuk gereja yang akan dimandirikan di Toraja; pengakuan iman yang akan dipakai, dan bentuk tata gereja yang harus dipedomani.70 Ada beberapa nama gereja yang diusulkan oleh Tim Pemandirian gereja di Toraja, yaitu: Gereja Kristen Toraja, Gereja Kristen Toraja di Sulawesi Barat Daya, Sidang Masehi Toraja, Sidang Kristen Toraja, Gereja Sarani Toraja, dan Kombongan Kristen Toraja. Pada akhirnya nama yang dipilih adalah nama Gereja Toraja. Nama itu disetujui dalam Sidang Sinode Am I Gereja Toraja tahun 1947.71 Namun tiga bulan setelah Gereja Toraja mandiri, di negeri Belanda dilaksanakanlah Rapat Pengurus Besar GZB bersama deputat-deputat Christelijke Gereformeerde Kerken untuk urusan pekabaran Injil. Rapat tersebut membahas laporan pemandirian Gereja Toraja. Tiga pokok yang menonjol yang telah diputuskan dalam Sidang Sinode Am I Gereja Toraja dibahas kembali, yaitu soal nama Gereja Toraja, pengakuan iman Gereja Toraja, dan peraturan Gereja Toraja. Rapat tersebut mempersoalkan nama Gereja Toraja yang tidak menyertakan istilah Kristen. Akan tetapi, D.J. van Dijk, selaku ketua Sinode Gereja Toraja pertama memberi argumentasi bahwa nama Gereja Toraja sudah memadai, sebab dalam istilah gereja telah terkandung segala hal yang ingin dikatakan tentang Kristen. Argumentasi Van Dijk tidak diterima, dan Rapat Pengurus Besar tetap bersepakat bahwa nama Gereja Toraja harus diganti menjadi Gereja Kristen Toraja.72 69 Plaisier, 468. 70 End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Toraja, 393. 71 End, 393. 72 Walaupun Pengurus Besar memutuskan mengubah nama Gereja Toraja 28 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA Dalam perkembangan selanjutnya, pernah terjadi perubahan nama Gereja Toraja menjadi Gereja Toraja di Rantepao untuk membedakan dengan Gereja Toraja Mamasa, tetapi kemudian dikembalikan ke nama Gereja Toraja.73 Usulan-usulan untuk mengganti nama Gereja Toraja juga masih tetap muncul dalam berberapa Sidang Gereja Toraja selanjutnya. Namun usulan perubahan terhadap nama tersebut cenderung dipandang berpeluang mengubah identitas yang telah mendarah-daging dalam kehidupan jemaat-jemaat Gereja Toraja.74 Tampaknya, nama Gereja Toraja telah istilah yang memiliki makna yang mendalam bagi warga Gereja Toraja dan telah diterima menjadi identitas secara konseptual. Perpaduan dua kata “Gereja” dan “Toraja” mengambarkan makna secara historis yang lahir dari perjumpaan orang Toraja dengan kekristenan. Mengenai pengakuan iman Gereja Toraja, Konferensi Para Zendeling 13–16 April 1937 memutuskan bahwa gereja yang menjadi Gereja Kristen Toraja, namun dalam tubuh Gereja Toraja yang resmi dipakai tetap nama Gereja Toraja. Dengan demikian, Gereja Toraja tidak mengindahkan keputusan Rapat Pengurus Besar. Pembahasan ulang interfensi Pengurus Bezar GZB atas beberapa keputusan yang muncul dalam Sidang Sinode Pertama Gereja Toraja dipandang oleh Th. Kobong dan Bas Plaisier tindakan yang tidak memahami dan tidak menghargai kemandirian Gereja Toraja. End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Toraja; Kobong, Injil dan Tongkonan, 269. 73 End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Toraja, 606. 74 Misalnya, pada Sidang Sinode Am III Gereja Toraja mengemuka usul dari peserta sidang untuk mengganti nama Gereja Toraja dengan nama Gereja Masehi dan atau Gereja Masehi Indonesia Toraja. Selanjutnya pada Sidang Sinode Am XII Gereja Toraja tahun 1970 di Makale dan Sidang Sinode XIII Gereja Toraja tahun 1972 di Palopo, ditugaskan kepada Komisi Khusus untuk mengkaji perubahan nama Gereja Toraja. Bahkan sampai Sidang Sinode Am XXII tahun 2006 di Jakarta masih terdengar usulan jemaat tertentu untuk perubahan nama Gereja Toraja. Lihat dalam Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, Gereja Toraja dari Sinode ke Sinode: Kompilasi Himpunan Keputusan Sidang Sinode Am Gereja Toraja 1947-2011, ed. oleh Christian Tanduk, vol. 1 (Rantepao: Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, 2016); Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, Gereja Toraja dari Sinode ke Sinode: Kompilasi Himpunan Keputusan Sidang Sinode Am Gereja Toraja 1947-2011, ed. oleh Christian Tanduk, vol. 2 (Rantepao: Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, 2016); Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, Gereja Toraja dari Sinode ke Sinode: Kompilasi Himpunan Keputusan Sidang Sinode Am Gereja Toraja 1947-2011, ed. oleh Christian Tanduk, vol. 3 (Rantepao: Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, 2016). SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 29 akan dimandirikan di Toraja harus bergabung atau menjadi bagian dari Gereja Hervormd di negeri Belanda. Dengan demikian Gereja Toraja harus menggunakan tiga dokumen keesaan yang digunakan Gereja Hervormd, yaitu: Pengakuan Iman Belanda (37 Pasal Pengakuan Iman Belanda), Katekismus Heidelberg, dan 5 Pasal Melawan Remonstran. Dokumen tersebut ditetapkan dalam Sidang Sinode Am I Gereja Toraja dan ditegaskan kembali pada Rapat Pengurus Besar GZB (20 Juni 1947).75 Rumusan yang mengemuka dalam Peraturan Gereja Toraja tentang pengakuan iman Gereja Toraja adalah: pengakuan iman Gereja Toraja didasarkan atas segenap Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang diterangkan dalam tiga naskah keesaan, yaitu Pengakuan Iman Belanda (37 Pasal Pengakuan Iman Belanda), Katekismus Heidelberg, dan 5 Pasal Melawan Remonstran. Rumusan pengakuan tersebut bertahan sampai pada tahun 1981, saat Gereja Toraja mensahkan dokumen Pengakuan Gereja Toraja. Warna Calvinisme warisan GZB dalam soal jabatan gerejawi ketal dalam Gereja Toraja. Nemun seiring pertumbuhan Gereja Toraja, konsep jabatan gerejawi itu juga berubah. Konsep jabatan gereja yang diatur secara resmi dalam Peraturan Gereja Toraja yang dibuat oleh GZB bagi Gereja Toraja terumus demikian: Pasal I: Dari Hal Jabatan-Jabatan dalam Gereja Toraja, Art. 2. “Dalam Gereja Kristen ada empat rupa jabatan yaitu: 1. Gembala dan Pengajar (Pendeta); 2. Pengajar di sekolah Pendeta; 3. Penatua; 4. Syamas. Hanya orang laki-laki dapat memegang jabatan itu.76 Konsep jabatan gerejawi demikian sama dengan yang terumus dalam Tata Gereja Belanda 1619 (Tata Gereja Dordrecht), yang juga juga sesuai dengan yang diajarkan Calvin. Menarik untuk memperhatikan bahwa dalam Tata Gereja Toraja perdana, ada rumusan konkret yang mengatur bahwa hanya laki-laki yang memegang jawabtan gerejawi, sementara dalam Tata Gereja Belanda 1619 hal itu tidak terumus konkret karena telah menjadi pengetahuan umum bahwa hanya kaum laki-laki yang bisa jadi pejatab gerejawi. Van den End mencatat bahwa ketika orang- orang Toraja sudah mulai banyak yang menerima Injil, maka terbentuklah jemaat-jemaat di berbagai tempat. Jemaat-jemaat itu kemudian mengangkat penatua dan diaken, dan sejumlah jemaat mengakat perempuan menjadi diaken dan hal itu mengherankan bagi para zendeling.77 Perdebatan seputar posisi kaum perempuan 75 End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Toraja, 605. 76 Komisi Usaha Gereja Toraja, Tata Gereja Toraja (Rantepao: Komisi Usaha Gereja Toraja, 1947), 1. 77 End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Toraja, 401–2. 30 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA dalam gereja mengemuka sejak sinode Pertama Gereja Toraja, dan pada akhirnya pada Sidang Sinode Gereja Toraja tahun 1984 Gereja Toraja mentapkan bahwa perempuan boleh menjadi pejabat gerejawi, termasuk diurapai menjadi pendeta. Kesimpulan Dari sejumlah tokoh Reformasi yang muncul pada masa Reformasi gereja, Calvin adalah yang paling menonjol di antarannya. Calvin menonjol dalam menghasilkan konsep gereja yang baru yang detail. Selain itu Calvin memiliki banyak pengikut sehingga ajarannya berkembang dengan sangat pesat ke berbagai wilayah, khususnya berkembang sangat subur ke negeri Belanda. Ajaran Calvin yang berkembang itu kemudian dikenal dengan istilah Calvinisme. Para pengikut Calvin yang menganut ajaran Calvinisme ternyata juga memodifikasi ajaran Calvin sesuai konteksnya. Karena itu, pengikut Calvin yang mengklaim diri sebagai penjaga ajaran Calvin murni (ortodoks), dalam faktanya tidak sepenuhnya menjaga ajaran Calvin semurni mungkin. Pengaruh konteks tidak terhindarkan dalam memodifikasi ajaran Calvin. Uraian di atas mempelihatkan bahwa Calvinisme lahir merespons konteks dan perkembangannya terus-menerus merepons konteksnya. Calvinisme dari waktu ke waktu saling berkaitan dan modelnya adalah mengafirmasi/melengkapi dan atau mengkonfrontasi, sehingga membentuk konsep eklesiologi yang unik, namun tidak sepenuhnya baru. Ketika gereja semakin berkembang, variasi konteks menuntut untuk merumuskan konsep eklesiologinya secara baru demi menjaga gereja dapat bertahan. Calvinisme di Indonesia berkembang melalui gereja resmi VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu Indische Kerk. Menyusul setelahnya badan-badan penginjilan. Zending yang bekerja di wilayah Toraja, GZB, pada dirinya memiliki variasi konsep eklesiologi. Sekalipun menggunakan istilah Gereformeerde yang identik dengan ortodoksi ajaran Calvin, tetapi anggota- anggotanya banyak juga yang beraliran Hervormd (Calvinisme yang lebih terbuka). Selain itu, para zendeling GZB yang bekerja di Toraja memiliki variasi dalam paham tentang gereja, dan variasi pemahaman para guru Injil pribumi yang dipekerjakan GZB di Toraja. Dampaknya, ketika Gereja Toraja berdiri, sekalipun bercorak Calvinisme, ia tidak sama dengan konsep gereja GZB. Yang pasti, perjalanan eklesiologi Calvinisme dalam rentang sejarah gereja yang panjang juga berujung menyentuh orang Toraja SELINTAS RUPA CALVINISME GEREJA TORAJA 31 dengan konteks tersendiri. Sentuhan itu berpengaruh dalam persekutuan baru, yaitu Gereja Toraja dengan ciri perpaduan (hibrid) yang khas. Atas kesadaran itu, dapatlah kiranya Gereja Toraja menentukan arah menggerejanya dengan prinsip dinamis dan kontekstual dalam zaman yang terus berubah. Calvinisme adalah identitas Gereja Toraja, namun ia adalah bentuk identitas yang telah mengambil bentuknya yang khas dalam sejarahnya. Dan ia tidak harus disoal dari segi kesaamaan dengan Calvinisme Belanda atau bahkan Jenewa, dan atau kemurniannya. Calvinisme Gereja Toraja pun akan terus berubah seiring perkembangan zaman yang terus berubah. Dengan demikian, tepatlah semboyan Reformasi “Eclesia Reformata Semper Reformanda”. Daftar Pustaka Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di dalam dan di Sekitar Gereja. 14 ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015. Aritonang, Jan S., dan Karel Steenbrink, ed. A History of Christianity in Indonesia. Leiden: Brill, 2008. Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja. Gereja Toraja dari Sinode ke Sinode: Kompilasi Himpunan Keputusan Sidang Sinode Am Gereja Toraja 1947-2011. Diedit oleh Christian Tanduk. Vol. 1. Rantepao: Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, 2016. ———. Gereja Toraja dari Sinode ke Sinode: Kompilasi Himpunan Keputusan Sidang Sinode Am Gereja Toraja 1947-2011. Diedit oleh Christian Tanduk. Vol. 2. Rantepao: Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, 2016. ———. Gereja Toraja dari Sinode ke Sinode: Kompilasi Himpunan Keputusan Sidang Sinode Am Gereja Toraja 1947-2011. Diedit oleh Christian Tanduk. Vol. 3. Rantepao: Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, 2016. Balke, W. “Calvin dan Calvinisme.” In Ecclesia Reformata Semper Reformanda, diedit oleh Agustinus M.L. Batlajery dan Thomas van den End, 8–28. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015. Bigalke, Terance W. Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People. Singapore: Singapore University Press, 2005. Calvin, John. Institute of the Christian Religion. Diedit oleh 32 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA John T. McNeill. Vol. 2. Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2006. Sarapan Pagi Biblika Ministry. “Calvinisme,” n.d. https:// www.sarapanpagi.org/calvinisme-vt355.html. End, Thomas van den, ed. Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. ———, ed. Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Toraja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Haight, Roger. Christian Community in History: Comparative Ecclesiology. Vol. 2. New York, NY: The Continuum International Publishing Group, 2005. Hasselink, I. John. Calvin’ First Catechism: A Commentary. Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1997. Jonge, Christiaan de. Apa itu Calvinisme? 9 ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015. Jonge, Christiaan de, dan Jan S. Aritonang. Apa dan Bagaimana Gereja?: Pengantar Sejarah Eklesiologi. 8 ed. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013. Kobong, Theodorus. Injil dan Tongkonan: Inkarnasi, Kontekstual, Transformasi. Diterjemahkan oleh Theodorus Kobong dan Thomas van den End. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Komisi Usaha Gereja Toraja. Tata Gereja Toraja. Rantepao: Komisi Usaha Gereja Toraja, 1947. Plaisier, Bas. Menjembatani Jurang, Menembus Batas: Komunikasi Injil di Wilayah Toraja, 1913-1942. Diedit oleh Thomas van den End. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016. Roberts, Alexander, dan James Donaldson. Ante-Nicene Fathers: The Fathers of Third Century (Hippolytus, Cyprian, Caius, Novatian). Vol. 5. Massachusetts: Hendrickson Publishers Inc., 1995. Dari Jenewa ke Toraja: Sebuah Tinjauan Historis Mengenai Sistem Presbiterial Calvinis Zakaria J. Ngelow Jabatan Gereja dalam Alkitab hingga Masa Bapa- bapa Gereja G ereja perdana, sebagaimana disaksikan dalam Alkitab, mengenal beberapa jabatan. Dalam menjelaskan mengenai kesatuan jemaat sebagai satu tubuh Kristus dengan banyak anggotanya, Rasul Paulus menyebut secara khusus beberapa pejabat gereja, yakni rasul, nabi, dan pengajar (1Kor 12:28). Rasul (apostolos) adalah saksi langsung peristiwa Yesus (kehidupan, pelayanan dan kematian, kebangkitan dan kenaikan- Nya ke surga). Nabi (prophetes) adalah kelanjutan jabatan dalam tradisi Perjanjian Lama (PL), yaitu seorang yang dikuasai Roh Allah dan diutus menyampaikan firman Allah. Pengajar (didaskalos) mengajarkan kehendak Allah dan kewajiban manusia. Di samping itu, ada orang-orang di dalam jemaat dengan karunia khusus, tetapi bukan jabatan gereja: mengadakan mujizat, menyembuhkan, melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata- kata dalam bahasa roh, dan untuk menafsirkan bahasa roh (1 Kor 12: 29-30). Dalam suratnya kepada Jemaat Efesus, Rasul Paulus menambahkan jabatan pemberita Injil (euanggelistas) dan gembala (poimenas) dan kemudian menjelaskan tentang para pejabat gereja sebagai karunia Kristus bagi gereja-Nya, “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita- pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar,” 34 DARI JENEWA KE TORAJA 35 (Ef 4:11). “Dan fungsi mereka adalah memperlengkapi warga gereja untuk pelayanan, pembangunan jemaat, kematangan iman dan ajaran (Ef 4: 12-15). Jabatan “pemberita Injil” digunakan untuk Filipus (Kis 21:8), yang melakukan perjalanan dari kota ke kota memberitakan Injil (Kis. 8:4 Kis. 8:40). Dilihat dari pelayanan Filipus, para penginjil tidak memiliki otoritas seorang rasul, atau karunia nubuat, atau tanggung jawab pengawasan pastoral atas sekelompok umat. Mereka adalah pengkhotbah keliling, memiliki fungsi khusus untuk membawa Injil ke tempat-tempat yang sebelumnya tidak dikenal. Dalam perkembangan selanjutnya, jabatan rasul, nabi, pengajar dan penginjil tidak menonjol lagi, digantikan jabatan Penilik (episkopos, Kis. 20:28; Fil. 1: 1; 1 Tim. 3:1, 2; Tit. 1:7) dan Penatua (presbyteros, Kis. 11:30; 14:23; 15:2), serta Diaken (diakonos, Fil. 1: 1; 1 Tim. 3: 8, 12).1 Penatua memimpin, berkhotbah, dan mengajar (1 Tim. 5:17); mendoakan dan mengoles orang sakit dengan minyak (Yak 5:14). Sidang pertama para pemimpin jemaat di Yerusalem dihadiri oleh para rasul dan para penatua (Kis 15:6). Dalam pertemuan terakhir dengan para penatua jemaat Efesus di Miletus, Rasul Paulus menyebutkan fungsi para penatua, “Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.” (Kis 20:28). Jadi, setelah masa para rasul dengan para pejabat gereja lainnya yang datang dari luar jemaat, berkembang jabatan gereja yang dipilih dari kalangan warga jemaat itu sendiri, yang akhirnya melembaga dalam ketiga jabatan, yakni penatua, penilik dan diaken. Perkembangan jabatan gerejawi, sejak awal abad ke-2 dan ke-3 ZB, memberi posisi utama pada adanya penatua menjadi penilik (episkopos, uskup), yaitu pimpinan jemaat-jemaat sewilayah tertentu, khususnya di kota-kota besar. Pada abad ke-3, terdapat keuskupan di kota-kota Antiokhia, Aleksandria, Kaesarea, Konstantinopel, dan Yerusalem di bagian timur, sedangkan di bagian barat terletak di kota Roma, ibu kota kekaisaran Romawi. Uskup kota-kota besar ini berkembang menjadi pemimpin monarkis atau menjadi penguasa tunggal di wilayahnya. Sementara, para penatua atau diaken hanya menjadi pembantunya 1 Menurut Calvin, jabatan-jabatan rasul, nabi, dan penginjil tidak permanen. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. oleh John T. McNeil, trans. oleh Ford Lewis Battles, vol. 2 (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1960), 4.III. 36 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA saja. Perkembangan jabatan uskup ini merupakan bagian dari kebutuhan gereja untuk menjaga kebenaran ajaran Kristen, baik terhadap berbagai ajaran sesat dari kalangan gereja sendiri, maupun serangan dari luar. Gnostisisme, Antinomianisme, Marsionisme, Montanisme, Nomisme, Dosetisme adalah aliran- aliran sesat yang muncul dalam gereja purba. Para pemimpin dan teolog gereja purba menulis pembelaannya terhadap kebenaran ajaran Kristen, yang kemudian dikenal sebagai apologi. Beberapa apologet Kristen gereja purba adalah Aristides dari Atena (m.134 ZB), Aristo dari Pella (100-160 ZB), Tatian (120-180 ZB), Yustinus Martir (100-165 ZB), Melito dari Sardis (m.180 ZB), Athenagoras dari Atena (133-190 ZB), Theophilus dari Antiokia (m.183/185 ZB), Irenaeus (130-202 ZB), Origenes (m.254 ZB), Hippolitus dari Roma (m.236 ZB), Tertulianus (155-240 ZB), Minucius Felix (m.260 ZB), Siprianus dari Kartage (258 ZB), dan Victorinus Cdari Pettau (250- 303 ZB).2 Bersama dengan adanya uskup yang berkuasa (dan relatif terpelajar menguasai kebenaran ajaran), gereja juga melakukan kanonisasi Kitab Suci, dan menyusun pengakuan iman. Ketiganya disebut senjata-senjata gereja. Irenaeus, seorang Bapa Gereja abad ke-2, mencatat: Otoritas gereja bertumpu pada tiga hal. Pertama pada kanon Alkitab, kitab-kitab yang diterima sebagai buku-buku gereja Kristen yang otentik dan berwibawa. Kedua, bertumpu pada Pengakuan Iman Rasuli sebagai aturan normatif iman. Dan ketiga, itu bertumpu pada keuskupan, para uskup sebagai penjaga dan penafsir kebenaran dan Kitab Suci.”3 Pada awal abad ke-3, gereja-gereja umumnya telah menjadi satu kesatuan yang kompak. Semuanya memiliki Pengakuan Iman Rasuli, kanon Perjanjian Baru, dan bentuk pemerintahan keuskupan. Gereja itu selanjutnya dikenal sebagai Gereja Katolik. Setiap uskup memiliki otoritas yang sama pada awalnya, tetapi uskup dari kota-kota yang lebih besar dan secara politik lebih kuat menjadi uskup yang lebih terkemuka. Para uskup dari gereja-gereja besar di kota-kota besar ini dikenal sebagai uskup metropolitan atau sebagai patriarch.4 2 Charles Francis Aiken, “Apologetics,” in The Catholic Encyclopedia Vol. 1 (Robert Appleton Company, 1907). 3 David Calhoun, “Canon, Creed, and Bishops,” n.d. 4 Demetrius Kiminas, The Ecumenical Patriarchate: A History of Its Metropolitanates with Annotated Hierarch Catalogs (Maryland: Wildside Press, 2009). DARI JENEWA KE TORAJA 37 Pada pertengahan abad ketiga, ada lima uskup yang saling bersaing untuk menjadi uskup utama dari para uskup metropolitan. Uskup-uskup Yerusalem, Antiokhia, Aleksandria, Konstantinopel dan Roma semuanya mengklaim keunggulan di antara para uskup. Akhirnya Uskup Roma menang dengan mengklaim Roma sebagai kedudukan takhta Rasul Petrus.5 Suksesi Apostolik Salah satu pemahaman yang dikembangkan menyangkut jabatan gereja adalah pewarisan rasuli (suksesi apostolik). Salah seorang yang memulai gagasan itu adalah Irenaeus, Uskup Ludunum, Gallia, Prancis. Suksesi jabatan Apostolik ditandai dengan keuskupan historis, yakni penerusan jabatannya melalui penumpangan tangan para uskup kepada para penerusnya dalam mata rantai sejarah tak terputus sejak para rasul. Gereja Katolik kemudian menekankan pewarisan tradisi Apostolik, termasuk ajaran, pemberitaan, dan otoritasnya, yang diturunkan dari para rasul melalui para uskup dengan penumpangan tangan. Gereja Anglikan menekankan jabatan uskup dalam konsep historic episcopate6 itu, yang merupakan salah satu dari keempat prinsip Lambeth Quadrilateral (1888), yaitu Alkitab, Pengakuan Iman, Sakramen Baptisan dan Perjamuan, serta Kesinambungan Jabatan Keuskupan Rasuli.7 Pemahaman lain menyatakan bahwa jabatan para rasul telah diserahkan kepada gereja, sehingga gerejalah yang berkewenangan mengangkat para pejabat. Gereja-gereja Protestan umumnya menolak suksesi jabatan, kecuali Gereja Lutheran Skandinavia, Anglikan, dan Moravian. Sebab, yang terpenting dalam suksesi Apostolik bukan suksesi jabatan, melainkan suksesi ajaran (Ef. 2:20) dan fungsi sebagai pemberita Injil kepada segala bangsa (Rm. 1:1, 5).8 5 George Joyce, The Pope, New Advent: The Catholic Encyclopedia, vol. 12 (New York, NY: Robert Appleton Company, 1911), https://www. newadvent.org/cathen/12260a.htm. 6 Stanley Archer, “Hooker on Apostolic Succession: The Two Voices,” The Sixteenth Century Journal 24, no. 1 (1993): 67–74, https://doi. org/10.2307/2541798. 7 Lihat rumusannya dalam R. T. Davidson, The Five Lambeth Conferences (New York, NY, 1920). 8 Mengenai sejarah Pengakuan Iman Rasuli, lihat Herbert Thurston, “Apostles’ Creed,” in The Catholic Encyclopedia Vol. 1. (Robert Appleton Company, 1907). 38 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA Reformasi dan Disiplin Gereja Reformasi Gereja telah diupayakan sebelumnya,9 tetapi gerakan Martin Luther (1483-1546) pada tahun 1517-lah yang berhasil dan berdampak luas bahkan hingga saat ini. Reformasi Luther mulai mempersoalkan penjualan surat pengampunan dosa (indulgence) dan dengan itu mempertanyakan pokok- pokok ajaran gereja yang lazim dianut pada waktu itu.10 Reformasi Luther menentang pembedaan kalangan klerus (pejabat gereja) dan awam di dalam gereja, termasuk pembedaan antara panggilan rohani para pejabat gereja dan panggilan awam. Semua panggilan sama kudusnya dan memuliakan Allah.11 Dalam suratnya kepada para bangsawan Jerman, Luther menjelaskan mengenai prinsip imamat am orang percaya. Akan tetapi, Luther juga menekankan pentingnya pelayanan pemberitaan Firman Tuhan dan sakramen-sakramen oleh pejabat gereja yang ditahbiskan.12 Sementara itu, Calvinisme adalah ajaran gerejawi yang dikembangkan mengikuti ajaran Yohanes Calvin (1509–1564), seorang Reformator Protestan di Jenewa pada abad ke-16. Gereja-gereja penganut Calvinisme disebut gereja-gereja Reformed. Sebenarnya permulaan Calvinisme bukan oleh Calvin, melainkan oleh Ulrich Zwingli (1484-1531) di Zurich dan Yohanes Oecolampadius (1482–1531) di Basel. Mereka berdua yang sejak 1519 menolak pandangan Luther mengenai kehadiran nyata (real presence) Kristus dalam materi Perjamuan Kudus.13 Dapat dicatat bahwa suatu diskusi (colloquy) para teolog Lutheran (antara lain Luther dan Melanchton) dan Reformed 9 Di antara para perintis reformasi adalah John Wycliffe (1324-1384), John Hus (1369-1415), Girolamo Savonarola (1452-1498), dan William Tyndale (1494-1536). 10 Martin Luther, “The 95 Theses,” n.d., https://www.luther.de/ en/95thesen.html. 11 Rachel Ciano, “`: The Importance for Today,” Credo, n.d., https:// credomag.com/2020/01/luthers-doctrine-of-the-priesthood-of-all- believers the-importance-for-today/. 12 Aweis A. Ali, “Dispelling the Myth of Martin Luther’s Priesthood of all Believers,” African Research Journal of Education and Social Sciences, 2019, http://arjess.org/dispelling-the-myth-of-martin-luthers- priesthood-of-all-believers/. 13 Pemahaman ini lazim disebut konsubstansiasi, lihat “Consubstantiation,” Britanica, n.d., https://www.britannica.com/topic/consubstantiation. DARI JENEWA KE TORAJA 39 (antara lain Zwingli, Oecolampadius, dan Martin Bucer) diselenggarakan di kota Marburg pada 1-4 Oktober 1529. Percakapan ini diinisiasi oleh Raja Filipus dari Hesse (1504-1567) untuk menyatukan semua kelompok Protestan dari negara- negara berbeda dalam rangka pertahanan politik menghadapi kekuatan politik Gereja Katolik.14 Kedua belah pihak membahas 15 pokok ajaran, dan sepakat atas 14 pokok, namun tidak berhasil menyepakati pokok ke-15, yaitu pemahaman mengenai kehadiran Kristus dalam sakramen Perjamuan Kudus.15 Hal ini menjadi titik tolak perbedaan yang memisahkan Gereja Lutheran dengan Reformed. Perpisahan ini pun menambah jumlah denominasi Protestantisme sehingga menjadi empat: Anglikan, Lutheran, Anabaptis dan Reformed.16 Pokok lain yang memisahkan kalangan Protestan adalah ajaran dan pelaksanaan disiplin gereja, yang lebih ditekankan di kalangan Reformed Calvinis dan Anabaptis. Di masa awal, ada mazhab disiplin gereja yang bersaing dalam kalangan Calvinisme abad ke-16. Kelompok pertama dikembangkan Yohanes Calvin di Jenewa, yang lain oleh Heinrich Bullinger (1504-1575) di Zürich. Calvin mewakili sebuah garis pemikiran yang menekankan otoritas gereja dalam peran mendisiplin warga gereja yang menyimpang, yang dijalankan oleh Konsistori Gerejawi (=Majelis Jemaat), yang memiliki kuasa yang relatif besar untuk mengawasi, memperingatkan, dan menghukum berbagai pelanggaran terhadap patokan agama dan moral Kristiani. Model Calvin di Jenewa meneruskan apa yang dilakukan oleh Yohanes 14 “The Colloquy of Marburg,” Encyclopedia.com, 2018, https://www. encyclopedia.com/philosophy-and-religion/christianity/christianity- general/colloquy-marburg. 15 Pertemuan yang dikenal sebagai Marburg Colloquy itu menyusun dokumen ajaran yang disebut “Marburg Articles” dengan mencatat nama 10 teolog sebagai peserta. Pada pokok ajaran ke-15 dicatat “And although we have not been able to agree at this time, whether the true body and blood of Christ are corporally present in the bread and wine [of communion], each party should display towards the other Christian love, as far as each respective conscience allows, and both should persistently ask God the Almighty for guidance so that through his Spirit he might bring us to a proper understanding.” Lihat “The Marburg Articles,” http://germanhistorydocs.ghi-dc.org/pdf/eng/Doc.44 ENG- Marburg Articles EYG.pdf. 16 Di kemudian hari kalangan Reformed terbagi lagi dengan munculnya kelompok Metodisme dan Pentakosta. 40 MERUPA CALVINISME DI GEREJA TORAJA Oecolampadius (1482-1531) di Basel dan Martin Bucer (1491–1551) di Strasbourg.17 Di Zürich, mengikuti pandangan Zwingli, Heinrich Bullinger (1504-1575) merumuskan gagasan yang berbeda, bertolak dari hubungan antara otoritas gerejawi dan pemerintahan sipil yang menghasilkan model pembagian kewenangan, seperti pembinaan spiritual dan pengawasan menjadi tanggung jawab gereja, sedangkan penerapan disiplin gerejawi, termasuk pengucilan, menjadi tanggung jawab hakim sipil. Sesuai Pengakuan Augsburg (1530), Gereja didefinisikan sebagai “kumpulan orang-orang kudus di mana Injil diajarkan dengan murni dan sakramen dilaksanakan dengan benar.”18 Disiplin gereja sering dianggap salah satu tanda gereja yang kelihatan, sebagaimana pemberitaan firman dan sakramen- sakramen, sekali pun fungsi utamanya adalah untuk mendisiplin, meneguhkan, melindungi, dan membawa kepada pertobatan warga gereja yang melanggar. Calvin menekankan ketiga fungsi disiplin gereja itu, yakni melindungi persekutuan dari dosa, menjaga kemuliaan nama Tuhan di dalam gereja, dan mendorong orang bersalah pada pertobatan. Disiplin gereja ditekankan kalangan Reformed, namun menolak pandangan kaum Anabaptis mengenai kemurnian gereja. Gereja kudus bukan bergantung pada kekudusan warganya, melainkan pada Tuhan yang menguduskannya (2 Tim 1:9, 1 Pet 2: 9-10). Penekanan pada disiplin gereja memperkuat posisi gereja terhadap pemerintah, dengan menegaskan bahwa pelaksanaan disiplin gereja sepenuhnya kewenangan gereja melalui Konsistori. Beberapa teolog Reformis lainnya menganut sistem magisterial Zwingli dan Bullinger, di mana pelaksanaan disiplin gereja ada di tangan pemerintah. Penekanan disiplin gereja sebagai tanda gereja yang ketiga, ditekankan juga dalam Reformasi Anglikan yang dimotori Thomas Cranmer (1489-1556) atas pengaruh Bucer dan Peter Martyr Vermigli, yang mengungsi ke Inggris pada masa itu. Teolog Reformed, Jan Laski (1499–1560) dari Polandia dan Valérand Poullain (1515–1560) dari Prancis, yang melayani jemaat 17 Uraian mengenai disiplin gereja di sini mengacu pada Jordan Ballor dan W. Bradford Littlejohn, “No Title,” European History Online, 2013, http://ieg-ego.eu/en/threads/crossroads/religious-and-confessional- spaces/jordan-ballor-w-bradford-littlejohn-european-calvinism-church- discipline. 18 Artikel 7 di Glen L. Thomson, “The Unaltered Augsburg Confession A.D. 1530,” 2005, http://www.lutheran.ro/iratok/ca_en.pdf. DARI JENEWA KE TORAJA 41 pengungsi Reformed Belanda dan Prancis, mengembangkan visi gereja yang dipengaruhi Anabaptis, yaitu suatu persekutuan orang percaya yang berhimpun dan mengatur diri sendiri sepakat berkomitmen pada sistem disiplin alkitabiah, yang menolong memurnikan diri dari “lalang” orang Kristen duniawi. Pandangan dan tindakan komunitas ini berpengaruh pada banyak kelompok Protestan di Inggris dan Skotlandia, bahkan kemudian di Eropa ketika kaum Protestan Inggris mengungsi Eropa. Jabatan Gerejawi Sebagaimana diatur Calvin dalam Tata Gereja (1541) di Jenewa, peran penting pelaksanaan disiplin gereja adalah Konsistori, yaitu Majelis Jemaat, yang terdiri dari para pejabat gereja.19 Calvin mengajarkan bahwa ada empat jabatan dalam pemerintahan gereja lokal. Ia menandaskan bahwa “ada empat perintah jabatan yang dilembagakan oleh Tuhan kita untuk pemerintahan gereja-Nya. Pertama, pendeta; lalu pengajar (doctor); penatua berikutnya; dan diaken yang keempat. Oleh karena itu, jika kita ingin memiliki gereja yang tertata dan dipelihara dengan baik, kita harus menjalankan bentuk pemerintahan ini.”20 Gereja yang tertib hidup di bawah pengawasan empat jabatan, yaitu pendeta, pengajar, penatua, dan diaken. (Tata Gereja 1541). Sistem jabatan para presbiter ini diperkembangkan dari gagasan Martin Bucer di Strasbourg.21 Kita juga perlu mencatat bahwa sebagai generasi kedua Reformator, Calvin meneruskan pandangan Luther mengenai imamat am orang percaya, yang bertolak dari penolakan pandangan Roma Katolik mengenai gereja sebagai pengantara anugerah Allah melalui para pejabat yang diteguhkan. Semua orang adalah imam, dan semua pekerjaan masing-masing adalah pelayanan gerejawi.22 Para pejabat gereja 19