Buku Ajar Agama Islam UI 2024-1 PDF

Document Details

Uploaded by Deleted User

Universitas Indonesia

2024

null

Dr. Ngatawi El-Zastrouw, M.Si,Abdi Kurnia Djohan, MH,Dr. Abdul Moqstih Ghazali, MA,Ir. Agus Mustofa,Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D,Dr. Imdadun Rahmat, M.Si,Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm.,Dr. Zu

Tags

Islamic studies religious studies Islam university textbook

Summary

This is a textbook for an Islamic Studies course at Universitas Indonesia, likely for undergraduate students. It covers various topics within Islam, from core tenets to perspectives on economics and the environment.

Full Transcript

MATERI PEMBELAJARAN MATAKULIAH AGAMA UNIVERSITAS INDONESIA Tim Penulis: Ketua: Dr. Ngatawi El-Zastrouw, M.Si Sekretaris: Abdi Kurnia Djohan, MH Anggota: 1. Dr. Abdul Moqstih Ghazali, MA 2. Ir. Agus Mustofa 3. Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D 4. Dr. Imdadun Rahmat, M.Si 5. Dr...

MATERI PEMBELAJARAN MATAKULIAH AGAMA UNIVERSITAS INDONESIA Tim Penulis: Ketua: Dr. Ngatawi El-Zastrouw, M.Si Sekretaris: Abdi Kurnia Djohan, MH Anggota: 1. Dr. Abdul Moqstih Ghazali, MA 2. Ir. Agus Mustofa 3. Prof. Alimatul Qibtiyah, S.Ag., M.Si., Ph.D 4. Dr. Imdadun Rahmat, M.Si 5. Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm. 6. Dr. Zuly Qodir, MA 7. Dr. Adib Misbahul Islam, M.Hum 8. Achmad Solechan, M. Si Penyelaras: Idris Masudi ii KATA PENGANTAR Rektor Universitas Indonesia Mata kuliah Agama Islam merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diajarkan di Perguruan Tinggi menurut Pasal 37 huruf (a) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan mata kuliah agama didasarkan kepada tujuan, sebagaimana dimaksudkan di dalam Pasal 36 UU Sistem Pendidikan Nasional, yaitu meningkatkan iman dan takwa, akhlak mulia, potensi kecerdasan peserta didik, dan persatuan nasional. Dalam konteks Universitas Indonesia, penyelenggaraan mata kuliah agama juga diarahkan untuk menguatkan semangat kebhinekaan, dan kebangsaan. Sehingga dengan demikian, agama benar-benar memainkan fungsinya sebagai rahmat bagi alam semesta. Buku ajar Mata Kuliah Agama Islam yang disusun oleh Tim Perumus Mata Kuliah Agama Islam ini, dalam amatan saya, telah memuat visi pendidikan yang diusung oleh Universitas Indonesia. Oleh karena itu, saya menyambut baik penulisan Buku Ajar Mata Kuliah Agama Islam ini. Harapan saya, semoga materi-materi yang diajarkan dari buku ini, dapat memotivasi para mahasiswa untuk meraih kesadaran sebagai umat beragama, yang mengedepankan sikap profesional, mempunyai daya saing global, dan kepedulian terhadap bangsa. Jakarta, 9 September 2020 ttd Prof. Ari Kuncoro, S.E, M.A, Ph.D iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR............................................................................................................... 3 DAFTAR ISI......................................................................................................................... 4 BAB I.................................................................................................................................... 1 1. Islam Sebagai Rahmat Bagi Semesta.............................................................................. 2 2. Al-Qur’an Sebagai Pedoman Hidup.............................................................................. 12 3. Hadis Sebagai Pedoman Hidup.................................................................................... 20 4. POKOK-POKOK AJARAN ISLAM........................................................................... 31 BAB II................................................................................................................................. 40 1. Islam Ditinjau Dari Berbagai Perspektif...................................................................... 41 2. Sejarah Peradaban Islam di Nusantara....................................................................... 50 BAB III............................................................................................................................... 60 Sejarah Awal Ilmu Pengetahuan dalam Islam................................................................. 61 BAB IV............................................................................................................................... 81 1. Ruang Lingkup Ekonomi Syariah................................................................................ 82 BAB V............................................................................................................................... 103 1. Agama dan Kebudayaan dalam Perspektif Islam....................................................... 104 2. Islam dan Kebangsaan................................................................................................ 119 BAB V ISLAM DAN MEDIA......................................................................................... 140 1.1Islam dan Media.......................................................................................................... 141 BAB VI............................................................................................................................. 149 Perempuan dalam Islam.................................................................................................. 150 BAB VII............................................................................................................................ 165 Islam dan Mandat Menjaga Kelestarian Lingkungan Hidup........................................ 166 iv MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA BAB I POKOK-POKOK AJARAN ISLAM 1 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA 1. Islam Sebagai Rahmat Bagi Semesta Setiap orang mempunyai pengalaman beragam dalam memeluk Islam sebagai agama. Ada orang-orang yang menganut Islam sejak lahir. Islam telah diwariskan oleh keluarga besar dari generasi ke generasi entah sejak nenek moyang yang mana. Ketika Islam dianut sebagai warisan, maka ada kecenderungan umum untuk tidak disertai dengan pergulatan serius. Terutama saat Islam menjadi agama mayoritas. Islam dihayati sebagai sesuatu yang mengalir begitu saja. Ritual-ritual agama dikerjakan tanpa pernah mempertanyakan alasan maupun tujuannya. Namun demikian tidak mustahil, setelah dewasa, seseorang yang mewarisi Islam akan memulai mempertanyakan dan memahami ulang tentang ajaran-ajaran Islam yang diwarisinya dari leluhur sehingga kemudian mempunyai kesadaran penuh dalam berislam. Namun demikian perjalanan keislaman seseorang sangat mungkin dimulai setelah dewasa. Misalnya mereka yang masuk Islam karena mendapat petunjuk (hidayah) sehingga memilih Islam dengan alasan dan tujuan tertentu. Memahami misi Islam sebagai agama adalah bagian penting dalam proses panjang menjadi pemeluk Islam sebab misi adalah sesuatu yang hendak diwujudkan oleh Islam yang juga mesti diupayakan oleh setiap muslim. Misi Islam bahkan semestinya mewarnai setiap muslim sebagai orang yang berserah diri hanya pada Allah (islam). 1.1 Pengertian Islam Secara bahasa kata Islam berasal dari kata kerja aslama yang berarti tunduk.1 Secara istilah, kata Islam mengacu kepada sikap pasrah, tunduk, dan menyerahkan diri pada Allah sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Ali Imran, 3:19: “Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah pada-Nya.” Jadi sikap pasrah pada Allah adalah karakteristik dari sikap beragama yang benar. Seorang Muslim, hanya benar dalam beragama jika benar-benar mempunyai sikap kepasrahan hanya kepada Allah Swt.2 Sikap pasrah hanya pada Allah ini terhubung langsung dengan konsep Tauhid, yakni meyakini Allah Swt sebagai satu-satunya Tuhan. Sikap kepasrahan hanya kepada Allah adalah sikap hanya menuhankan Allah. Karenanya ia mensyaratkan untuk tidak menuhankan apapun dan siapapun selain Allah, baik sambil menuhankan Allah maupun tidak Karena itu, keislaman seseorang diawali dengan Syahadat yang berisi kesaksian tidak ada Tuhan selain Allah. Kepasrahan hanya pada Allah ditandai dengan pemberian ketaatan mutlak hanya kepada Allah. Tauhid dengan demikian mensyaratkan untuk meletakkan ketaatan kepada sesama makhluk di bawah ketaatan pada Allah, atau hanya dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam sebuah hadis, Rasululah Saw. Bersabda: “Tidak ada ketaatan dalam ma’shiat (menentang) Allah. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam kebaikan.” (HR. Bukhari Musim). Sikap pasrah pada Allah dengan demikian ditandai dengan ketaatan hanya pada kebaikan, dan ketaatan kepada sesama makhluk bukanlah pada figur, melainkan pada nilai kebaikan bersama, baik kebaikan bagi pihak yang taat maupun pihak yang ditaati. Penuhanan pada selain Allah ditandai dengan ketaatan pada sesuatu atau seseorang yang ditempuh dengan cara-cara yang dilarang oleh Allah. Seseorang yang 1Abul Husain Ahmad, Mu’jamul Maqayis fil Lughah, Beirut, Darul Fikr, 1994, h. 487 2 Nurcholis Madjid, Islam, Iman, dan Ihsan sebagai Trilogi Ajaran Ilahi, dalam Budhy Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 1994, h. 465-466. 2 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA menempuh cara-cara yang dilarang oleh Allah demi meraih dan mempertahankan kekuasaan selama mungkin, menambah harta sebanyak mungkin, memenuhi hasrat seksual tanpa batas, atau apapun dengan cara-cara yang dilarang oleh Allah, maka ia telah menodai keislaman atau kepasrahannya hanya kepada Allah. Demikian pula seseorang yang memberikan ketaatan mutlak pada sesama manusia, seperti anak pada orang tua atau sebaliknya, istri pada suami atau sebaliknya, karyawan pada pimpinan atau sebaliknya, manakala ditempuh hingga dengan cara-cara yang dilarang Allah. Bahkan sikap demikian dapat menjadi bibit-bibit yang dapat berkembang menjadi penghambaan pada sesama makhluk sehingga musyrik atau menduakan Allah dengan menuhankan selain Allah, meski tanpa menamainya dengan Tuhan. Penuhanan pada selain Allah bahkan juga terjadi pada seseorang saat memenuhi setiap keinginannya sendiri secara tak terbatas hingga melanggar larangan Allah. Penghambaan pada nafsu yang menjadi bagian dari diri seseorang tidak kalah bahaya sebab bisa pula menodai sikap Islam atau kepsrahan hanya pada Allah. Memberikan kepasrahan pada selain Allah, baik pada nafsu yang ada dalam diri sendiri maupun pada sesuatu atau diri orang lain pasti akan mendatangkan kerusakan dalam sistem kehidupan manusia. Bahkan kerusakan tersebut tidak hanya menimpa pada pelakunya, namun juga bisa menimpa pada mereka yang hanya memberikan kepasrahan pada Allah dengan melakukan tindakan-tindakan yang baik. Hal ini telah diingatkan Allah dalam Qs. Al-Anfal/8:25: ِ ‫ش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬ ٢٥ ‫ب‬ َّ ‫ظلَ ُم ْوا مِ ْن ُك ْم خ َۤا‬ َ ‫صةً َۚوا ْعلَ ُم ْْٓوا ا َ َّن ه‬ َ ‫ّٰللا‬ َ َ‫ص ْيبَ َّن الَّ ِذيْن‬ ِ ُ ‫َواتَّقُ ْوا فِتْنَةً ََّّل ت‬ Dan peliharalah diri kalian dari keburukan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat kerusakan di antara kalian. Ketahuilah bahwa siksaan Allah amat keras. Ayat di atas menunjukkan pentingnya mempertimbangkan dampak perbuatan setiap orang atau pihak termasuk negara pada orang, pihak, atau negara lain. Apapun perbedaan latar belakangnya, manusia sama-sama hidup di bumi dengan ekosistem yang sama. Keteledoran satu orang, pihak, negara dengan modal sosial yang mereka miliki bisa berdampak pada kerusakan ekosistem yang berdampak buruk bagi seluruh manusia tanpa pandang bulu. Prof. M. Quraish Shihab menegaskan bahwa ayat ini tidak bertentangan dengan ayat tentang tidak mungkinnya seseorang menanggung dosa orang lain (Qs. al- An’am/6:164). Jika kemungkaran telah meluas dan tidak seorang pun tampil meluruskannya, maka sikap tidak peduli seperti ini dinilai ikut merestui sehingga secara tidak langsung dianggap terlibat dan terkena pula dampaknya.3 Kemungkaran dapat berbentuk tindakan tidak manusiawi, maupun perusakan alam terutama yang dilakukan secara kolektif atau sekelompok orang yang mempunyai wewenang besar. Manfaat sikap Islam atau kepasrahan hanya kepada Allah atau bersikap yang melahirkan kebaikan bersama sebagaimana Allah kehendaki tidaklah kembali pada-Nya sebab Allah berkuasa secara mandiri (qiyamuhu binafsihi).4 Manfaat sikap Islam atau 3M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, 2002, j. 4, h. 505. 4Qiyamuhu Binafsihi (Berkuasa secara Mandiri) adalah sifat kelima dari 20 sifat wajib yang dimiliki Allah setelah Wujud (Ada), Qidam (Awal tanpa Permulaan), Baqa’ (Abadi), Mukhalafatu lil-Hawaditsi (Berbeda dari Seluruh Makhluk-Nya). Allah mempunyai 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat Jaiz yang diyakini oleh penganut aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Sifat lengkap antara lain dapat dilihat dalam kitab Aqidatul Awam karya Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Sayid Ramadhan Mansyur bin Sayid Muhammad al- Marzuqi Al-Hasani yang lahir sekitar 1205 H di Mesir. 3 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA kepasrahan hanya pada Allah dengan tunduk pada nilai kebaikan bersama tentu akan diterima oleh manusia sendiri, baik sebagai individu maupun secara kolektif. Bahkan juga bisa memberikan dampak kebaikan pula pada makhluk lainnya seperti hewan, tumbuhan, dan makhluk Allah lainnya. Menurut Ibnu Taimiyah kata Islam memiliki dua kandungan makna, yaitu sikap tunduk dan patuh pada Allah sehingga tidak sombong pada makhuk- Nya, dan ketulusan dalam sikap tunduk kepada satu Pemilik atau Penguasa, yaitu Allah. Jadi, orang yang tulus tunduk hanya pada Allah itu tidak akan musyrik dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya kepada Allah, Tuhan semesta alam. Makna ini diisyaratkan dalam Qs. al-Baqarah/2:130-132, al- An’am/6:161-163, dan az-Zumar/ 39:54.5 Sikap Islam atau kepasrahan hanya kapada Allah yang diikrarkan melalui kalimat Syahadat diiringi pula dengan kesaksian bahwa Muhammad Saw hanyalah utusan Allah. Hal ini berarti bahwa kepasrahan pada Muhammad Saw hanyalah dalam kapasitas sebagai utusan Allah yang tidak mungkin mempunyai kehendak bertentangan dengan Allah sebagai Dzat yang mengutusnya. Dengan demikian, sikap kepasrahan pada Muhammad Saw adalah juga kepasrahan pada kebaikan bersama. Hal ini ditegaskan pula dalam surat al-Anbiya/21:107: Tidaklah Aku utus kamu kecuali untuk menjadi anugerah bagi semesta alam”. Ayat ini mendapatkan penjelasan lebih kongkret dalam hadis beliau yang menandaskan misi kerasulan: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia”. (HR. Ahmad). Jadi Islam hanya akan menjadi rahmat bagi semesta jika manusia mempunyai akhlak mulia yang menjiwai Islam sebagai sistem ajaran agama. Kesempurnaan akhlak mulia ditunjukkan dengan sikap yang mendatangkan kebaikan bersama, yakni diri sendiri sekaligus pihak lain seluas-luasnya. Sikap kepasrahan hanya kepada Allah sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh manusia, melainkan juga oleh seluruh benda di alam semesta raya sebagaimana diisyaratkan dalam Qs. Fusshshilat/41:11 sebagai berikut: “Kemudian Dia menuju penciptaan langit yang masih merupakan asap. Lalu Dia berkata kepada langit dan bumi: "Kalian datang menuruti perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa?". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". Ayat ini tentu saja bersifat perumpamaan yang mengisyaratkan bahwa alam semesta raya melakukan sikap kepasrahan pada Allah secara otomatis melalui kepasrahan pada hukum alam yang merupakan ketentuan Allah (sunnatullah). Misalnya tumbuhan tidak diberi daya untuk memilih apakah diam di tempat ataukah pindah ke tempat teduh saat matahari bersinar terik yang membuatnya meranggas kepanasan. Jadi tumbuhan tunduk secara otomatis pada hukum alam (sunnatullah) adalah jika tumbuhan terkena panas matahari dalam batas yang tidak bisa ditolerirnya, ia akan mati. Tidak ada pilihan lain. Kepasrahan alam semesta raya pada Allah tentu berbeda dengan kepasrahan manusia kepada-Nya karena manusia mempunyai jati diri dan mandat hidup tertentu yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di muka bumi, sehingga ia diberi daya untuk melakukan kepasrahan ataukah sebaliknya pembangkangan. Manusia diciptakan untuk berbuat kebaikan di bumi, tidak memandang dirinya sebagai tuhan, dan tidak merasa ia dapat menciptakan dan meniadakan hukum moral sekehendak hati untuk tujuan-tujuan dangkal dan egois. Inilah perbedaan antara hukum alam dan hukum moral. Hukum alam harus dipergunakan dan dimanfaatkan sedangkan hukum moral harus dipatuhi dan diabdi sebab manusia akan mempertanggungjawabkannya kelak di Akherat (Qs. al- Mu’minun/23:115).6 5Ibnu Taimiyah, Al-Amr bil Ma’ruf wan Nahy anil Munkar, Beirut, Darul Kitabin Jadid, 1976, h. 72-3 6Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Bandung, Pustaka, 1983, h. 116. 4 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA 1.2 Jati Diri Keislaman Setiap manusia mempunyai status yang melekat sejak lahir hingga mati, yaitu sebagai hanya hamba Allah, sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Azd-Dzariyat/51:56: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghamba pada-Ku.” Sebagai hanya hamba Allah, maka manusia tidak boleh memiliki kepasrahan (Islam) kecuali hanya pada Allah. Di samping itu, manusia juga mempunyai amanah melekat sebagai Khalifah fil Ardl atau penerima mandat dari Allah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi sesama makhluk Allah seluas-luasnya di muka bumi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Qs al-Ahzaz/33:72: “Sesungguhnya Kami tawarkan amanah pada langit, bumi, dan gunung mereka menolak dan keberatan. Lalu manusia menerima amanah tersebut. Sesungguhnya ia adalah sesat lagi bodoh.” Tentu saja ini ayat ini juga perumpamaan yang pesan substansinya adalah manusia mengemban amanah untuk mewujudkan kemaslahatan di muka bumi, sedangkan alam semesta selainnya tidak memilikinya. Jati diri manusia sebagai hanya hamba Allah di satu sisi, dan sebagai Khalifah fil Ardl di muka bumi dengan tugas mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya menunjukkan hubungan yang otomatis antara kualitas tauhid seseorang dengan dampak perilakunya di muka bumi kepada sesama makhluk Allah. Semakin benar sikap tauhid atau konsisten hanya menghamba kepada Allah sebagai Khaliq (Pencipta), maka semakin baik sikapnya kepada sesama makhluk (ciptaan)-Nya sebagai sesama hanya hamba-Nya. Sesuai dengan jati dirinya, nilai manusia hanya ditentukan Taqwa (al-Hujurat/49:13), yaitu sikap seseorang untuk benar-benar hanya menuhankan Allah (Tauhid) secara konsisten sehingga sikapnya melahirkan kemaslahatan pada sesama makhluk Allah di atas bumi, atau sikap konsisten seseorang untuk beriman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan sehingga melahirkan perilaku baik (amal shaleh) kepada sesama makhluk Allah. Jadi, nilai manusia di hadapan Allah benar-benar hanya ditentukan oleh sejauhmana hubungan baiknya yang dengan Allah dapat melahirkan hubungan baiknya dengan sesama makhluk Allah. Salah satu ciri orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa atau yang keberadaanya paling memberi manfaat pada sesama manusia sesuai dengan kapasitas masing-masing. Kerahmatan bagi semesta yang menjadi misi Islam sebagai 5 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA agama (Qs. al-Anbiya/21:107) adalah sekaligus menjadi kompas hidup seorang muslim dan muslimah sebagai penganutnya, yaitu menciptakan sistem kehidupan yang bisa menjadi anugerah tidak hanya bagi diri sendiri melainkan juga bagi pihak lain seluas- luasnya, tidak sebatas anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, dan umat agama yang sama melainkan juga yang lain seluas-luasnya, bahkan sebagai sesama makhluk Allah di semesta alam. Misi Islam yang mulia ini hanya terwujud jika manusia berakhlak mulia (Akhlaqul Karimah) yang dengan akalnya memilah yang baik dari buruk, dan dengan hati nuraninya untuk secara bebas memilih yang baik bagi kehidupan bersama. Dengan mandat kemaslahatan seperti di atas, maka seorang Muslim dan Muslimah tidak cukup memroses diri untuk menjadi orang yang saleh atau salehah (orang baik secara pasif), melainkan juga menjadi muslih atau muslihah (orang baik yang juga secara aktif mewujudkan kebaikan pada lingkungannya). Keislaman seseorang ditentukan oleh sejauhmana imannya kepada Allah mampu mendorongnya untuk menggali potensi positifnya semaksimal mungkin, lalu menggunakannya untuk kebaikan bersama seluas yang ia mampu. Pribadi islami dengan demikian dapat didefinisikan sebagai seseorang yang memberikan kepasrahan hanya kepada Allah dengan tunduk pada kebaikan bersama sehingga terus menerus berikhtiyar mewujudkan kemaslahatan bagi diri sendiri sekaligus orang lain seluas-seluasnya sebagai sesama hanya hamba Allah. Demikian pula keislaman sebuah keluarga, masyarakat, dan negara. Keluarga islami (Keluarga Sakinah, Keluarga Maslahah, atau apapun istilahnya) adalah keluarga yang memberikan kepasrahan hanya pada Allah dengan tunduk pada kebaikan bersama sehingga terus menerus berikhtiyar mewujudkan kemaslahatan pada seluruh anggota keluarga tanpa kecuali dan pada keluarga lain seluas-luasnya sebagai sesama hanya hamba Allah. Masyarakat islami (Khaira Ummah, baik berupa lembaga, organisasi, partai atau apapun) adalah masyarakat yang memberikan kepasrahan hanya pada Allah dengan tunduk pada kebaikan bersama sehingga terus-menerus berikhtiyar memberikan kemaslahatan pada seluruh warganya tanpa kecuali, dan masyarakat tersebut sekaligus memberikan kemaslahatan pada masyarakat lain seluas-luasnya sebagai sesama hanya hamba Allah. Begitu pun Negara Islami (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur apapun sistem negara dan nama pemimpin tertingginya) adalah Negara yang memberikan kepasrahan hanya pada Allah dengan tunduk pada kebaikan bersama sehingga terus menerus berikhtiyar mewujudkan kemaslahatan pada seluruh warga negara tanpa kecuali dan negara-negara lain seluasnya sebagai sesama hanya hamba Allah. 6 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA Indonesia telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang berketuhanan Yang Maha Esa seperti tertera dalam sila pertama Pancasila sebagai fondasi dalam bernegara. Keislaman Indonesia sebagai negara tinggal bagaimana mengikhtiyarkan secara terus menerus agar penyelenggaraan negara ini bisa memberikan kemslahatan pada seluruh warga negara tanpa kecuali, sekaligus memberikan kemaslahatan pada negara-negara lain dalam pergaulan internasional seluas-luasnya. Keislaman Indonesia sebagai negara tak ubahnya keislaman seseorang sebagai Muslim atau Muslimah yang perlu terus menerus berupaya agar bisa menjadi anugerah bagi diri sendiri sekaligus pihak lain seluas-seluasnya sepanjang hayat. Keislaman sesuatu dan seseorang adalah sebuah proses tanpa henti untuk menghadirkan kemaslahatan seluas-luasnya pada sesama makhluk atas dasar iman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan. 1.3 Rukun Islam dan Spiritualitas Kerahmatan bagi semesta yang menjadi misi Islam tidak bisa dimaknai dengan cara memaksa semua penduduk bumi masuk Islam sehingga Islam bisa menjadi rahmat bagi semesta. Kerahmatan Islam bagi semesta mesti dipahami sebagai apapun dan siapapun yang mendaku Islam/ islami bertanggungjawab untuk membuktikan keberadaannya menjadi anugerah secara internal sekaligus eksternal seluas-luasnya sebagai pembuktian atas kepasrahan hanya pada Allah yang berarti hanya tunduk pada nilai kebaikan bersama. Para utusan Allah telah memberikan contoh bagaimana sikap memberikan kepasrahan hanya pada Allah (Tauhid) menjadi amunisi untuk mewujudkan kehidupan yang memberi kebaikan bersama. Mereka telah memberikan teladan untuk menempuh jalan terjal memegang Tauhid agar bisa mewujudkan kemaslahatan seluasnya. Tauhid yang dibawa oleh Rasul Ibrahim As secara sosial berarti anti pada penuhanan atas kekuasaan sebagaimana dilakukan oleh Raja Abrahah. Penuhanan pada kekuasaan yang dilakukannya telah menimbulkan perilaku tidak manusiawi antara lain dengan membakar Rasul Ibrahim hidup-hidup, namun atas izin Allah beliau tidak terbakar. Demikian pula Tauhid yang dibawa oleh Rasul Musa As. Penuhanan pada kekuasaan yang dilakukan oleh Firaun telah melahirkan bencana massal yaitu pembunuhan semua bayi yang berjenis kelamin laki-laki karena khawatir ketika besar kelak akan merebut kekuasaannya. Tauhid yang dibawa Rasul Syu’aib As secara sosial berarti anti penuhanan pada harta sehingga melahirkan sistem perekonomian yang curang dengan mempermainkan timbangan saat jualan sebagaimana dilakukan oleh penduduk Madyan. Tauhid yang dibawa Rasul Luth As secara sosial berarti anti penuhanan pada libido seks hingga melakukan tindakan seksual tidak manusiawi sebagaimana dilakukan kaumnya. Untuk mewujudkan misi kemaslahatan di atas bumi, manusia dikaruniai akal untuk memilah mana yang baik dari buruk, serta hati nurani untuk memilih yang baik. Daya untuk memilih yang baik sekaligus yang buruk inilah yang menyebabkan manusia mampu melahirkan kemaslahatan yang spektakuler sehingga nilainya di hadapan Allah sangat tinggi. Namun sebaliknya, akal juga bisa disalahgunakan melakukan keburukan yang bersifat spektakuler sehingga nilainya di hadapan Allah tersungkur. Status melekat sebagai hanya hamba Allah dan amanat melekat sebagai Khalifah fi Ardl dengan mandat mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi ini, menyebabkan menusia mempunyai jati diri tidak sebatas sebagai makhluk fisik, melainkan makhluk spiritual yang akan mempertanggungjawabkan semua tindakannya di dunia pada Allah sebagai Sang Pemberi Kehidupan. Bahkan jati diri yang bersifat fisik hanyalah sementara karena setelah mati tubuh akan dimakan tanah. Manusia dituntut ikhtiyar semaksimal mungkin untuk mendayagunakan akal dan nuraninya untuk bisa menjadikan dirinya sebagai anugerah, baik bagi diri sendiri maupun 7 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA pihak lain seluasnya. Islam telah menyediakan mekanisme bagi seorang Muslim untuk berpegang teguh pada jati dirinya yang hakiki sebagai makhluk spiritual yang diasah dan dijaga melalui rangkaian lima rukun Islam. Pertama, Syahadat. Penyerahan diri hanya pada Allah dimulai dengan ikrar dengan mengucapkan dua kalimat pendek, namun berdaya ubah dahsyat. Bagian pertama Syahadat menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang berarti tidak ada penghambaan kecuali pada Allah. Dalam sebuah sistem sosial yang menganut perbudakan, kalimat pertama dalam Syahadat ini secara sosial berarti kesetaraan manusia sebagai sesama hanya hamba Allah. Sebagai manusia, seorang pemilik budak dan budak adalah sama-sama hanya hamba Allah. Demikian pula, di tengah sistem sosial patriarki garis keras di mana perempuan adalah milik mutlak laki-laki sehingga bayi perempuan bisa dikubur hidup-hidup dan perempuan juga bisa dijadikan warisan, kalimat pertama Syahadat ini juga secara sosial berarti larangan keras bagi laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai hamba. Laki-laki dan perempuan sebagai manusia adalah sama-sama hanya hamba Allah. Bagian kedua Syahadat menegaskan bahwa Muhammad Saw hanyalah utusan Allah. Secara sosial bermakna keharusan mengikuti petunjuk Muhammad Saw dalam melakukan penyerahan diri hanya pada Allah (Islam), sekaligus juga larangan keras untuk menuhankan beliau karena hanya menjadi utusan Allah, bukan Allah itu sendiri. Dua kalimat Syahadat meskipun pendek, ia bagaikan gunung berapi. Puncaknya tampak kecil namun di bawahnya menyimpan tenaga sangat dahsyat untuk mengubah tatanan sosial. Semula kehidupan didasarkan pada kekuatan fisik dan materi, Islam mengubahnya menjadi didasarkan pada ideologi Tauhid (keesaan Allah sebagau Tuhan) yang mengandung obsesi pada terwujudnya masyarakat egaliter yang menghargai hak-hak asasi manusia (termasuk perempuan) sebagai sesama makhluk Tuhan.7 Kesalehan dan kerahmatan yang dikehendaki oleh Islam tidaklah sebatas personal dalam hubungan seorang muslim dan muslimah dengan Allah, melainkan juga kesalehan dan kerahmatan sosial dalam hubungan mereka dengan sesama manusia, bahkan kerahmatan semesta dalam hubungan mereka dengan sesama makhluk Allah. Kedua, Shalat. Sehari minimal lima kali seorang muslim dan muslimah melakukan Shalat Fardlu, yaitu Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh. Shalat adalah momen spiritual yang paling intim antara seorang hamba dengan Tuhannya. Seluruh ucapan dan gerakan dalam shalat bermakna pembaharuan komitmen spiritual seorang muslim dan muslimah untuk hanya menghamba pada Allah dan membuktikannya dengan sikap yang memberikan kebaikan pada sesama makhluk Allah. Oleh karena itu, Shalat yang benar pasti menghindarkan pelakunya dari perbuatan keji dan munkar. Seorang muslim dan muslimah yang shalat tidak hanya dengan tubuhnya, melainkan juga dengan jiwanya, akan memperoleh keteguhan hati yang diperlukannya dalam menjalani peran apapun dalam kehidupan. Ujian dan cobaan seorang muslim dan muslimah adalah beragam dan bisa muncul dalam bentuk kesengsaraan sekaligus kebahagiaan. Spiritualitas yang kuat menjadi modal bagi seornag Muslim dan Muslimah untuk tidak tergelincir pada perbuatan keji dan munkar pada sesama manusia, bahkan sesama makhluk Allah. Ketiga, Zakat. Pemberian sebagian harta dalam beragam jenisnya adalah sebuah mekanisme di dalam Islam agar seorang Muslim menghayati harta yang diperolehnya sebagai titipan Allah yang mesti digunakan untuk kemaslahatan dengan cara berbagi pada pihak lain minimal sejumlah yang diwajibkan oleh agama. Tidak ada satu pun harta yang bisa diperoleh manusia tanpa peran orang lain di dalamnya. Tidak seorang pun manusia yang mampu memperoleh harta tanpa peran orang lain di dalam prosesnya. Untuk bekerja seseorang perlu tenaga melalui asupan makanan dan minuman. Ketika makan 7Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Jakarta, Paramadina, 1996, h.67. 8 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA nasi misalnya. Ada proses panjang yang dilakukan oleh banyak orang sebelum nasi itu berada di piring untuk dimakan. Ada petani yang menanam padi dengan susah payah. Ada pedagang yang mengemas dan menjualnya dengan susah payah. Ada yang memasaknya. Sementara makan nasi juga menggunakan peralatan, baik peralatan untuk makan maupun untuk duduk dengan nyaman juga melibatkan banyak sekali orang di baliknya. Bahkan ketika memperoleh harta warisan sekalipun. Hal yang sama juga terjadi pada pihak pemberi waris karena mereka juga memerlukan makanan, minuman, dan hal- hal lainnya ketika hidup yang juga melibatkan jasa banyak orang. Zakat adalah kesadaran untuk berbagi atau memberikan kontribusi harta pada orang-orang yang tidak beruntung dalam sistem ekonomi yang ada. Ketika zakat dihayati sebagai tanggungjawab spritual, maka zakat adalah kecuaian personal bagi yang menunaikannya, dan kesucian sosial bagi masyarakat yang menegakkanya. Zakat secara harfiyah memang berarti kesucian.8 Keempat, Puasa. Setahun sekali selama bulan Ramadhan, seorang Muslim dilatih untuk menjaga jarak aman dari aneka kenikmatan duniawi yang halal dan sudah menjadi haknya. Sepanjang siang dilarang minum minuman dan makan makanan halal yang sudah pula menjadi hak miliknya. Demikian pula dilarang berhubungan seksual dengan suami atau istri yang sudah saling halal sehingga berhak untuk melakukannya. Jika selama sebulan penuh berhasil melatih diri, maka pada 11 bulan lainnya semakin lihai jaga jarak aman dari sesuatu dan seseorang yang telah halal dan menjadi haknya agar tetap hanya memanfaatkannya secara maslahat bagi semua pihak. Jika sudah lihai menjaga jarak aman dari sesuatu dan seseorang yang sudah halal dan menjadi haknya, maka apalagi di hadapan sesuatu dan seseorang yang jelas-jelas tidak halal atau belum menjadi haknya. Sayang sekali, seperti juga shalat, puasa pun banyak dilakukan seorang Muslim sebatas tubuh sehingga saat buka puasa justru berlebihan dan mental pun gagal terlatih. Kelima, Haji bagi yang mampu. Ibadah Haji dipenuhi dengan gerakan-gerakan simbolik. Berhaji secara fisik dan jiwa tentu saja berbeda dengan berhaji hanya secara fisik. Ada gerakan Thawaf dengan cara mengelilingi Ka’bah atau Baitullah dalam hitungan tertentu. Ini adalah gerakan yang mengisyaratkan perlunya seorang Muslim untuk memusatkan jiwa raga pada Allah dalam kehidupan mereka. Demikian pula gerakan melempar Jumrah sebagai gerakan mengendalikan dan kadang mesti melawan secara tegas keinginan dalam diri manusia (nafsu) untuk melakukan perbuatan sederhana yang berdampak buruk tidak seberapa hingga kejahatan besar yang berdampak buruk secara masif dan sistemik. Demikian pula kegiatan bermalam (mabit) di Muzdalifah yang hanya bersifat sebentar menyimbolkan kehidupan dunia yang fana dan sangat sebentar dibandingkan dengan hidup di alam Akhirat yang jauh lebih abadi. Sebentar tetapi menentukan sehingga harus dijalani dengan baik dan penuh tanggungjawab. Kalimat Talbiyah yang dirapal selama haji berisi peneguhan hati untuk mendatangi panggilan Allah dan menyerahkan segala pada Allah Sang Penguasa sehingga tidak ada sekutu pun bagi- Nya. Demikian jiwa diteguhkan untuk menyiapkan diri menghadapi panggilan Allah kelak di Hari Perhitungan. Semua Rukun Islam dalam bentuk Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji diterima atau tidaknya oleh Allah ditentukan oleh perilaku setelah mekanisme spiritual tersebut selesai dilakukan. Syahadat diterima oleh Allah setelah dibuktikan dengan perilaku yang melahirkan kemaslahatan bagi diri dan pihak lain seluasnya. Shalat diterima oleh Allah jika setelahnya seorang Muslim mampu mencegah dirinya dari perilaku keji (Fahsya’) dan buruk (Munkar). Puasa diterima oleh Allah jika selama 11 lainnya setelah Ramadhan seorang Muslim mampu menjaga jarak aman dari segala hal yang bersifat 8Masdar Farid Mas’udi, Agama Keadilan; Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta, P3M, 1991, h.97. 9 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA syubhat (tidak jelas halal dan haramnya) apalagi yang sudah pasti haram. Demikian pula Haji hanya diterima Allah jika tingkat laku seorang Muslim setelah haji lebih baik daripada sebelumnya. Berdasarkan jati diri manusia sebagai makhluk fisik sekaligus spiritual, maka semua hal yang bersifat materi, duniawi, dan materiil dapat bernilai spiritual jika menjadi media bagi manusia untuk mewujudkan kemaslahatan. Sebaliknya semua hal yang bersifat spiritual seperti ibadah mahdlah, keilmuan dan otoritas keagamaan akan hilang nilai spiritualitasnya jika disalahgunakan untuk kerusakan. Misalnya menyalahgunakannya untuk menyebarkan fitnah, propaganda, dan tindakan yang membahayakan kemanusiaan, termasuk kemanusiaan perempuan maupun perusakan alam. Oleh karena itu, setiap Muslim dan Muslimah mesti mengenali modal sosial yang dimilikinya, baik berupa tubuh, ilmu pengetahuan, profesi, jabatan, keterampilan, kendaraan, rumah, harta, maupun lainnya. Kemudian menggunakan semua itu sebagai media untuk mewujudkan kemaslahatan karena prinsip hidup seorang Muslim dan Muslimah hanyalah “Aku manfaat, maka aku ada!”. 1.4 Kontektualisasi Islam dalam Kehidupan Takwa adalah adalah satu-satunya ukuran nilai seorang manusia di hadapan Allah, yakni sejauhmana Tauhid atau iman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan mampu melahirkan kemaslahatan atau perilaku baik (amal saleh) pada sesama makhluk Allah. Terdapat begitu banyak ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw yang menghubungkan Takwa dan iman dengan perilaku pada sesama makhluk Allah. Iman kepada Allah yang melahirkan kemaslahatan dan kerahmatan semesta adalah iman yang menggerakkan peradaban manusia dan dunia. Takwa misalnya mensyaratkan sikap adil pada sesama manusia. Utamanya adil pada orang-orang yang sedang dibenci. Jadi, kebencian tidak menghalangi orang yang beriman dan bertakwa untuk tetap bersikap adil, terutama pada kelompok sosial yang rentan diperlakukan secara tidak adil seperti perempuan dan anak, minoritas agama dan madzhab, difabel, dan lainnya. ‫ع ٰلْٓى ا َ ََّّل ت َ ْع ِدلُ ْوا ۗاِ ْع ِدلُ ْو ۗا ه َُو ا َ ْق َربُ لِلت َّ ْق ٰو ِۖى‬ َ ‫ش َه َد ۤا َء بِ ْال ِقسْطِِۖ َو ََّل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم‬ َ ‫شن َٰا ُن قَ ْوم‬ ِ ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ُك ْونُ ْوا قَ َّوامِ يْنَ ِ ه‬ ُ ‫ّلِل‬ ٨ َ‫ّٰللا َخ ِبي ٌْۢر ِب َما ت َ ْع َملُ ْون‬ َ ‫َواتَّقُوا ه‬ َ ‫ّٰللا ۗا َِّن ه‬ 10 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Maidah/5:8). Ketakwaan kepada Allah yang menjadi satu-satunya standar kualitas manusia di depan Allah juga terkait dengan sikap sehari-hari dalam perkawinan dan keluarga sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang menjadi bagian dari Khutbah Wada’ (Khutbah perpisahan dalam pelaksanaan haji) sebagai berikut: َّ ‫وج ُه َّن بى َكلى َم ىة‬ ‫اَّللى‬ ‫اَّلل ىِف النىسَ ىاء فَىإنَّ ُكم أَخ ْذُتُُوه َّن ىِبَمانَىة َّى‬ ََّ ‫اتَّ ُقوا‬ َ َ ‫استَ ْحلَْلتُ ْم فُ ُر‬ ْ ‫اَّلل َو‬ َ ُ َ ْ َ Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan istri karena kalian telah meminang mereka dengan izin Allah dan menghalalkan vagina mereka dengan kalimat Allah. (HR. Muslim) Hadis di atas terhubung langsung dengan etika saling memperlakukan secara bermartabat (Mu’asyarah bil-Ma’ruf) antara suami dan istri sebagaimana ditegaskan dalam Qs. An-Nisa/4:19 berikut ini: َ‫َِّل ا َ ْن يَّأْتِيْن‬ ْٓ َّ ‫ض َما ْٓ ٰات َ ْيت ُ ُم ْوه َُّن ا‬ ُ ‫س ۤا َء ك َْرهًا ۗ َو ََّل ت َ ْع‬ ِ ‫ضلُ ْوه َُّن ِلت َ ْذ َهب ُْوا بِبَ ْع‬ َ ِ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََّل يَحِ ُّل لَ ُك ْم ا َ ْن ت َِرثُوا الن‬ ١ ‫ّٰللاُ فِ ْي ِه َخي ًْرا َكثِي ًْرا‬ ‫شيْـًٔا َّويَجْ عَ َل ه‬ َ ‫عاش ُِر ْوه َُّن بِ ْال َم ْع ُر ْوفِ ۚ فَا ِْن ك َِر ْهت ُ ُم ْوه َُّن فَعَ ٰسى ا َ ْن ت َ ْك َره ُْوا‬ ْٓ َ ‫بِفَاحِ شَة ُّمبَيِنَة ۚ َو‬ Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian menjadikan perempuan sebagai harta warisan secara paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian pemberian kalian kepada mereka kecuali bila mereka melakukan perbuatan kejahatan yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara bermartabat. Kemudian bila kalian membenci mereka, maka mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Hadis dan ayat di atas menunjukkan bahwa ciri dari orang yang bertakwa dan beriman adalah saling bersikap baik sebagai pasangan suami dan istri, termasuk bersikap baik dalam melakukan aktifitas yang hanya boleh dilakukan oleh suami dan istri, yaitu hubungan seksual. Tak terhitung ayat dan hadis lainnya yang menghubungkan perilaku baik seorang Muslim dan Muslimah tidak hanya dengan Allah sebagai Pencipta, tetapi dengan sesama makhluk (ciptaan) Allah. Misalnya keharusan orang beriman untuk berbicara baik atau diam, bersikap baik pada tamu dan tetangga, juga keharusan untuk menjaga kebersihan. Di dalam al-Qur’an sendiri kata iman nyaris selalu beriringan dengan perbuatan baik (amal shaleh). Hal ini menunjukkan betapa eratnya hubungan baik seorang Muslim dan Muslimah dengan Allah mensyaratkan hubungan baiknya dengan sesama manusia dan alam sebagai sesama ciptaan Allah, baik di dalam rumah maupun dalam pergaulan di luar rumah secara lebih luas. Penutup Menjadi seorang muslim atau muslimah adalah sebuah pilihan hidup untuk hanya melakukan penyerahan kepada Allah. Tunduk pada Allah berarti tunduk untuk melakukan tindakan yang melahirkan kebaikan bersama. Manusia dibekali akal untuk memilah yang baik dari yang buruk, dan hati nurani untuk memilih sesuatu yang memberikan kebaikan bersama, tidak hanya pada sesama manusia bahkan sesama ciptaan Allah. Keislaman mesti sejalan dengan kerahmatan semesta sebab nilai keislaman manusia hanya ditentukan oleh sejauhmana manusia mampu membuktikan keberadaannya di dunia, sebagai apapun, bisa memberi anugerah bagi diri sendiri dan pihak lain seluas-luasnya atas dasar iman kepada Allah Swt. 11 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA 2. Al-Qur’an Sebagai Pedoman Hidup Al-Qur’an adalah kitab suci yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia agar hidup sesuai dengan jati dirinya. Sejak lahir hingga mati, setiap manusia mempunyai identitas yang melekat sebagai hanya hamba Allah (abdullah) dan dengan amanah melekat sebagai penerima mandat untuk mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi (khalifah fil ardl). Untuk menjalankan amanah ini, diberi petunjuk oleh Allah berupa Al- Qur’an sebagai pedoman agar bisa mencapai derajat taqwa, yaitu hubungan baik dengan Allah yang melahirkan hubungan baik dengan sesama manusia, alam, dan sesama makhluk. Namun demikian, kita kerap menyaksikan tindakan yang menistakan kemanusiaan dan berdampak kerusakan alam yang tak jarang juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai justifikasi. Karenanya, setiap muslim tidak hanya wajib mengimani al- Qur’an sebagai kitab suci tetapi juga mengenali visinya agar bisa hidup sejalan dengannya. 2.1 Pengertian dan Sejarah Turun Secara bahasa al-Qur’an berasal dari kata qara’a yang berarti mengumpulkan dan menghimpun dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Quran pada mulanya seperti qira’ah, yaitu mashdar dari kata qara’a, qira’atan, qur’anan.9 Secara istilah al-Qur’an adalah firman Allah, berisi mukjizat yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul (Muhammad Saw), melalui Malaikat Jibril, tertulis pada mushaf, yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, membacanya dinilai ibadah, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.10 Definisi al-Qur’an sesungguhnya mengandung dua unsur penting. Pertama, al- Qur’an sebagai firman Allah (kalamullah), Tuhan seluruh manusia, lintas masa, dan waktu sehingga petunjuk dalam al-Qur’an ditujukan kepada seluruh manusia lintas masa dan tempat (likulli zaman wa makan). Kedua, al-Qur’an sebagai wahyu yang diterima oleh Rasul Muhammad Saw yang lahir pada tahun 571 M kemudian mulai menerima wahyu pada usia 40 tahun, yaitu 611 M dan wafat pada tahun 634 M. Jadi al-Qur’an ditujukan kepada seluruh manusia melalui masyarakat Arab, ditujukan untuk seluruh zaman hingga Kiamat melalui tahun 611-634 M, dan untuk seluruh wilayah di muka bumi melalui Jazirah Arabia. Dua sisi sekaligus dari al-Qur’an, yakni petunjuk umum untuk seluruh manusia lintas zaman dan wilayah sekaligus petunjuk khusus untuk Rasulullah Saw dan pengikutnya selama masa pewahyuan, menyebabkan al-Qur’an mengandung petunjuk yang bersifat universal yang tidak terkait langsung dengan kondisi waktu itu, sekaligus kontekstual atau terkait langsung dengan kondisi waktu itu. Pesan-pesan universal yang ada di dalam al-Qur’an adalah pesan-pesan yang juga dibawa oleh seluruh Rasul Allah. Misalnya Tauhid (benar-benar hanya menghamba pada Allah), kerahmatan semesta, kemaslahatan, keadilan, kemanusiaan, perdamaian, empati pada pihak yang lemah, kelestarian alam, dan nilai kebaikan universal lainnya. Pesan-pesan ini terdapat dalam banyak ayat. Bahkan menjiwai seluruh ayat dalam al-Qur’an termasuk ayat-ayat yang berkaitan langsung dengan kondisi masyarakat waktu itu. Sejarah menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak turun sekaligus melainkan secara berangsur-angsur (tadrij). Cara ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara firman Allah yang bersifat universal, dengan kondisi masyarakat Arab yang dihadapi oleh Rasul Muhammad Saw sepanjang masa pewahyuan. Ada banyak ayat yang menyebutkan nama 9Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Mudzakir AS (Pen.), Bogor, Pustaka Litera AntarNusa, 2000, h. 15-16. 10Muhammad Ali as-Subhani, At-Tibyan fi Ulumil Qur’an, Beirut, Darul Irsyad, 1970, h. 10. 12 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA orang-orang yang memang hidup ketika itu. Di samping Rasul Muhammad Saw sendiri yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah surat, ada pula Abu Lahab bin Abdul Muthalib bin Hasyim yang merupakan paman kandung Rasul dalam surat al- Lahab. Ada pula Zaid bin Haritsah putra angkat Rasul yang disebutkan dalam surat al- Ahzab. Figur- figur yang disebutkan dalam al-Qur’an tidak terbatas pada mereka yang hidup sezaman dengan Rasul Muhammad, tetapi juga yang hidup jauh sebelum beliau lahir. Misalnya para Rasul dari Adam As sampai dengan Isa al-Masih. Begitu pun tokoh-tokoh perempuan yang disebutkan namanya secara langsung seperti Maryam As, maupun tidak disebutkan secara langsung seperti istri-istri Rasul Muhammad saw, Ratu Balqis, Ibunya Nabi Musa As (Ummi Musa), istri Fir’aun, dll. Di samping menyebutkan nama-nama orang yang nyata ada dalam sejarah kehidupan manusia, al-Qur’an juga kerap turun merespons situasi yang nyata terjadi pada masa itu. Misalnya ayat-ayat yang diawali dengan pertanyaan-pertanyaan masyarakat tentang berbagai hal sehingga diawali dengan kalimat mereka bertanya padamu. Seperti ayat-ayat yang merespons pertanyaan-pertanyaan tentang bulan Sabit (al-Baqarah/2:189), nafkah (al-Baqarah/2:215), berperang pada bulan haram (al-Baqarah/2: 217), khamer dan judi (al-Baqarah/2: 219), anak-anak yatim (al-Baqarah/2: 220), menstruasi (al- Baqarah/2:222), makanan halal (al-Ma’idah/5:4), Kiamat (al-A’raf/7:187), harta rampasan perang (al-Anfal/8:1), ruh (al-lsra’/17:85), Zulkarnain (al-Kahfi/18:83), dan tentang gunung-gunung (Thaha/20:105). Interaksi al-Qur’an dengan realitas sosial yang dihadapi Rasul Muhammad Saw dan umatnya waktu itu juga tercermin dalam banyak ayat yang memberikan petunjuk langsung atas fenomena yang terjadi kala itu. Cara turun al-Qur’an secara berangsu-angsur mempunyai tujuan agar pesan Allah dapat tertancap kuat di dalam hati (linutsabbita bihi fuadak) sebagaimana disinggung dalam Qs. al-Furqan/25:32. Karena turun bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa dapat memudahkan hafalan dan pemahaman yang menjadi salah satu faktor kemantapan hati. Hikmah penting lainnya adalah kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan tahapan dalam penetapan hukum.11 Misalnya penerapan larangan minuman keras (khamr). Pada periode Mekkah al-Qur’an menyebut khamr sebagai salah satu rahmat Allah bersama dengan susu dan madu (Qs. an-Nahl/16:66-68). Setelah hijrah ke Madinah minuman keras disebutkan sebagai keburukan sekaligus memiliki kemanfaatan (Qs. al-Baqarah/2:219). Kemudian al- Qur’an melarang melakukan shalat dalam kondisi mabuk karena minum khamr (Qs. an- Nisa/43). Barulah setelah itu, khamr dilarang keras dengan menyebutnya sebagai perbuatan keji dan perbuatan syetan (al-Maidah/5:90-91).12 2.2 Misi Kemaslahatan al-Qur’an Al-Qur’an sesuungguhnya mempunyai aspek fisik sekaligus batin. Aspek fisik al- Qur’an adalah aspek sebagaimana terlihat dalam mushaf al-Qur’an, yakni terdiri dari susunan huruf dan bisa diperdengarkan dengan suara (biharfin wa shautin). Adapun aspek batin al-Qur’an adalah keseluruhan pesan yang menjiwainya, seperti tauhid, kemaslahatan semesta, kemanusiaan, kelestarian alam, keadilan, dan semua pesan kebajikan universal lainnya. Sejarah pewahyuan al-Qur’an adalah sejarah pemberian petunjuk pada Rasul Muhammad Saw dan umatnya dalam memegang teguh sikap penyerahan diri (islam) hanya pada Allah (tauhid) hingga bisa mewujudkan kerahmatan semesta yang menjadi misi Islam sesuai dengan tantangan hidup pada masa tersebut. 11Manna Khalil,Studi Ilmu, h. 156 dan 165. 12Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1990, h. 49-50. 13 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dalam mewujudkan kemaslahatan bagi semesta. Ia menjadi sumber utama Syariat Islam yang memuat ajaran-ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah, sesama manusia, alam, maupun dengan sesama makhluk- Nya. Kemaslahatan Islam telah dirumuskan oleh para ulama dalam konsep Tujuan Syariat (Maqashidusy Syariah), tujuan akhir dan rahasia-rahasia yang dicanangkan pembuat Syari’at (Syari’) di balik setiap ketentuan hukum yang disyariatkannya.13 Konsep ini juga dirumuskan sebagai makna-makna dan hikmah-hikmah yang senantiasa menjadi perhatian Syari’ dalam seluruh atau sebagian besar pensyariatan hukum.14 Definisi lainnya adalah nilai dan makna yang dijadikan tujuan dan hendak direalisasikan oleh pembuat Syariah (Allah swt) di balik pembuatan Syariat dan hukum yang diteliti oleh para ulama mujtahid melalui teks-teks Syariah.15 Meskipun konsep Tujuan Syariah ini muncul dalam disiplin Ilmu Hukum Islam (Fiqh). Namun karena hukum Islam sendiri adalah bagian dari ajaran Islam secara umum, maka apa yang menjadi tujuan syariat itu pun menjadi tujuan dari Islam dan tujuan dari al-Qur’an sebagai sumber utamanya. Tujuan Syariat ini sekaligus menjadi panduan bagi masyarakat Muslim agar memahami al-Qur’an untuk kemaslahatan bersama sebagaimana tujuan kehadiran Islam, dan tidak menyalahgunakannya sebagai legitimasi bagi tindakan yang bertentangan dengan Tujuan Syariat, yakni tindakan yang melahirkan kerusakan (masfadat) apalagi bahaya (mudlarat) bagi kehidupan, baik bagi manusia maupun alam semesta. Kemaslahatan yang dikehendaki oleh Islam dan al-Qur’an adalah kemaslahatan secara internal dan eksternal seluas-luasnya. Artinya, tindakan yang hanya maslahat bagi diri, keluarga, masyarakat, negara sendiri tapi berdampak keburukan apalagi bahaya bagi diri, keluarga, masyarakat, negara lain, tentu saja bukan kemaslahatan yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh Islam dan al-Qur’an. Kemaslahatan bisa dilakukan dengan cara mencegah (ad-daf’u) keburukan agar tidak terjadi, dan mewujudkan kebaikan agar terjadi (al-ijad).16 Tentu saja keburukan dan kebaikan yang dimaksudkan adalah bagi kehidupan bersama, yakni baik diri sendiri maupun pihak lain. Jika sebuah tindakan bisa memberi kemaslahatan pada satu pihak, namun memberikan dampak keburukan pada pihak lain, maka prinsip dasar Islam adalah mencegah keburukan diutamakan daripada mewujudkan kemaslahatan (dar’ul mafasidi muqoddamun ‘ala jalbil mashalih). Dengan akal dan hati nuraninya, manusia dituntut untuk mempertimbangkan kebaikan dan keburukan atas segala tindakannya. Dalam praktiknya, manusia seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan dilematis yang sama-sama buruk atau sama-sama tidak ideal. Maka prinsip dasar dalam mengahadapi kondisi tersebut adalah diambil pilihan yang dengan risiko buruk paling lebih sedikit (akhaffudl dlarurain), yakni risiko buruk terendah bagi kehidupan bersama (diri sendiri dan pihak lain)). Jadi, inilah kemungkinan kondisi yang dihadapi oleh manusia dan apa yang mesti dipilihnya: 1. Baik dan lebih baik, pilih yang lebih baik, 2. Baik dan baik, pilih yang terbaik, 3. Baik dan buruk, pilih yang baik, 4. Buruk dan buruk, pilih yang terbaik, 5. Buruk dan lebih buruk, pilih yang buruk 13 Ahmad ar-Raisuni, Nadhariyatul Maqashid indal Imam asy-Syatibi, al-Ma’hadul Alami lil Fikril Islami, 1990, h. 18. 14 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Maqashidusy Syariatil Islamiyah, Tunisia, Darus Salam, 2006, h. 39. 15 Jasser Auda, Fiqhul Maqashidi Inatatil Ahkam bi Maqashidiha, Herndon, IIIT, 2007, h. 15. 16 Ibrahim bin Musa asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushulisy Syariah, Daru Ibni ‘Affan, 1997, j.2, h.7-8. 14 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA Para Ulama telah menjelaskan bentuk-bentuk kemaslahatan yang menjadi tujuan Syariat Islam sehingga menjadi tujuan al-Qur’an di setiap firmannya. Jumlahnya ada yang menyebut lima namun dan ada pula yang menyebut enam. Bentuk-bentuk kemaslahatan ini bahkan terus berkembang tanpa meniadakan bentuk yang sudah ada: 1. Menjaga Agama (Hifdzud Din), 2. Menjaga Jiwa (Hifdzun Nafs), 3. Menjaga Akal (Hifdzul Aqli), 4. Menjaga Keturunan (Hifdzun Nasl), 5. Mnejaga Kehormatan (Hifdzun Irdl), 6. Menjaga Harta (Hifdzul Mal), Hal ini berarti bahwa jika keenam kebutuhan dasar (dlarury) ini terpenuhi, lebih lebih apabila enam kebutuhan tersebut dalam level sekunder (hajy) dan tersier (tahsiniy) juga terpenuhi dengan baik, maka kemaslahatan akan terwujud dan itulah yang menjadi tujuan universal Syariat.17 Ini pula tujuan al-Qur’an sebagai petunjuk. Bentuk-bentuk kemaslahatan yang kini semakin disadari sebagai bagian dari kemaslahatan Islam yang dengan demikian menjadi kemaslahatan al-Qur’an adalah menjaga lingkungan hidup (Hifdzul Bi’ah) dan menjaga tanah air (Hifdzul Wathan). Lingkungan hidup bahkan sudah semakin dalam kondisi yang membahayakan sehingga menjaganya sudah sampai tahap penyelamatan lingkungan hidup. Demikian pula, menjaga tanah air agar tetap bersatu padu, damai, dan mendatangkan kebaikan pada seluruh warga negara tanpa kecuali adalah bagian dari pembuktian ikrar bangsa Indonesia untuk ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Karenanya menjaga tanah air agar tidak mengalami konflik, terpecah belah, adil, dan makmur adalah bagian tak terpisahkan dari kemaslahatan Islam di Indonesia khususnya sebagai ungkapan atau pembuktian rasa syukur atas karunia Allah berupa kemerdekaan yang telah diperjuangkan bangsa Indonesia selama ratusan tahun. Menjaga tanah air adalah bagian dari pembuktian iman pada Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa dan pembuktian dari Islam atau penyerahan diri hanya kepada-Nya semata. Kemaslahatan yang dikehendaki Islam yang sekaligus dikehendaki oleh al-Qur’an sebagai sumber utama petunjuk adalah terpenuhinya seluruh kebutuhan manusia, baik secara lahir maupun batin, dan baik terkait dengan kebutuhan internal manusia sehingga tak terpisahkan dari diri manusia, terkait dengan kebutuhan eksternal yang berada di luar diri manusia. Ada tiga tingkat kemaslahatan manusia berdasarkan tingkat kebutuhan yang dimiliki oleh manusia, yaitu: 1. Kemaslahatan Dlaruriyyah, yaitu pemenuhan kebutuhan primer manusia yang menjadi syarat hidup dengan baik dan layak sehingga tanpanya manusia akan mengalami keburukan, bahaya, bahkan punah, 2. Kemaslahatan Hajiyyah, yaitu pemenuhan kebutuhan sekunder manusia yang dengannya hidup manusia menjadi lebih mudah, 3. Kemaslahatn Tahsiniyyah, yaitu pemenuhan kebutuhan tersier manusia yang dengannya hidup manusia menjadi lebih indah. Untuk mewujudkan bentuk-bentuk kemaslahatan, baik agama, jiwa, akal, keturunan, kehormatan, harta, lingkungan hidup, dan tanah air, tentu saja masing-masing mengandung jenis kebutuhan yang bersifat primer (dlaruriyyah), sekunder (hajiyyah), dan tersier (tahsiniyyah). Prinsip dasar dalam melakukan skala prioritas pada bentuk dan jenis kemaslahatan-kemaslahatan tersebut tersebut adalah kemaslahatan bentuk manapun yang bersifat primer, ia mesti didahulukan dari kemaslahatan bentuk apapun yang sekunder, 17 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulil Fiqh, Mesir, Dar al-Ilmi, 1978, h. 197. 15 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA dan kemaslahatan bentuk apapun yang bersifat sekunder, ia mesti didahulukan dari kemaslahatan apapun yang bersifat tersier. Misalnya Umrah bayar sendiri atau membantu tetangga atau saudara yang kelaparan? Umrah adalah urusan agama namun tidak wajib sehingga bisa masuk kebutuhan sekunder (hajiyah) atau bahkan kalau umrah berkali-kali bisa jadi hanya tersier (tahsiniyyah). Sementara selamat dari kelaparan adalah kebutuhan primer (dlaruriyyah), maka membantu tetangga atau saudara dari kelaparan mesti diutamakan. Jadi tidak setiap kebutuhan yang berkaitan dengan agama (din) mesti diprioritaskan daripada kebutuhan lainnya, tergantung level kebutuhan terkait dengan agama itu apa dan yang terkait lainnya juga apa. Jadi, misi al-Qur’an sebagai sumber petunjuk utama Syariat Islam adalah mewujudkan kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta alam (Rahmatan lil Alamin), dengan menyempurnakan Akhlak mulia manusia yang menjadi misi kerasulan Muahmmad Saw yang menjadi penerima langsung dari Allah melalui malaikat Jibril. Namun demikian, al-Qur;an kerap disalahpahami dan disalahgunakan untuk melegitimasi tindakan yang bertentangan dengan al-Qur’an sehingga menyadari perbedaan mendasar antara al-Qur’an dengan pemahaman atasnya menjadi sangat penting. 2.3 Al-Qur’an dan Pemahaman Atasnya Melihat cakupan pesannya, ayat al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi dua. Pertama, ayat dengan pesan yang bersifat universal, yaitu pesan-pesan yang tidak terkait sama sekali dengan kondisi sosial yang dihadapi oleh Rasulullah Saw dan umatnya ketika itu. Misalnya pesan-pesan tentang Tauhid, kemaslahatan manusia, pelestarian alam, dan pesan tentang kebajikan universal lainnya. Pesan-pesan seperti ini akan terus relevan sepanjang masa dan tempat termasuk di sini pada hari ini, atau di mana pun hingga Kiamat. Ayat al-Qur’an yang mengandung pesan seperti ini tetap sejalan dengan misi Islam untuk mewujudkan kemaslahatan semesta meskipun dipahami secara tekstual atau tanpa mempertimbangkan kondisi sosial waktu turunnya. Karenanya, prinsip yang digunakan dalam memahami ayat seperti ini adalah pesan ditentukan oleh keumuman lafadz (al-Ibratu bi Umumil Lafdzi) Misalnya ayat tentang perintah untuk bersikap adil walau pada orang yang kelompok yang sedang dibenci di Qs. al-Maidah/5:8: ُ‫ع ٰلْٓى ا َ ََّّل ت َ ْع ِدلُ ْوا ۗاِ ْع ِدلُ ْو ۗا ه َُو ا َ ْق َرب‬ َ ‫ش َه َد ۤا َء بِ ْال ِقسْطِِۖ َو ََّل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم‬ َ ‫شن َٰا ُن قَ ْوم‬ ِ ‫ٰيْٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ُك ْونُ ْوا قَ َّوامِ يْنَ ِ ه‬ ُ ‫ّلِل‬ ٨ َ‫ّٰللا َخبِي ٌْۢر بِ َما ت َ ْع َملُ ْون‬ َ ‫لِلت َّ ْق ٰو ِۖى َواتَّقُوا ه‬ َ ‫ّٰللا ۗا َِّن ه‬ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Kedua, pesan yang bersifat khusus karena terkait erat dengan situasi sosial yang dihadapi oleh Rasululllah Saw. Misalnya ayat-ayat tentang peperangan, perbudakan, qishash, poligami, waris, dll. Semua ayat yang berkaitan dengan kondisi saat itu, tentu saja adalah petunjuk Allah tentang bagaimana menerapkan nilai-nilai universal Islam dalam konteks tertentu, yaitu masyarakat Arab, di Jazirah Arabia selama masa pewahyuan. Prinsip Tauhid dan kebajikan universal tentu saja menjiwai keseluruhan ayat-ayat yang mengandung pesan kontekstual itu sehingga penerapannya adalah dalam rangka mewujudkan misi Islam tentang Tauhid dan kemaslahatan bersama. Agar tetap sejalan dengan misinya maka ayat-ayat dengan pesan seperti ini mesti dipahami lengkap dengan 16 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA konteks sosialnya sehingga lahirlah konsep tentang latar belakang turunnya ayat yang disebut dengan Asbabun Nuzul. Kata asbab adalah bentuk plural dari kata sabab yang berarti sebab-sebab. Meskipun demikian ulama berbeda pendapat mengenai ada tidaknya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara ayat yang turun dengan peristiwa yang disebut Asbabun Nuzul. Hal ini tercermin dari perbedaan cara mendefinisikannya. As-Suyuti menolak keharusan adanya hubungan kausalitas dan memahami Asbabun Nuzul sebagai latar belakang turunnya ayat saja sehingga ia mendefinisikannya sebagai hari-hari di mana sebuah atau beberapa ayat turun (yang tidak selalu mempunyai hubungan sebab-akibat).18 Sementara itu, Az-Zarqani mendefinisikan Asbabun Nuzul sebagai sesuatu yang ketika satu atau beberapa ayat turun membicarakan tentangnya atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut.19 Ayat-ayat yang terkait erat dengan kondisi sosial saat turunnya ini penting sekali untuk dipahami secara kontekstual agar masyarakat muslim yang hidup dengan kondisi sosial berbeda tidak kehilangan pesan Tauhid dan pesan-pesan kebaikan universal yang menjiwainya. Pada ayat-ayat yang terkait erat dengan situasi sosial ketika itu dapat digunakan prinsip: pesan ditentukan oleh kekhususan latar belakang (al-Ibratu bi Khususis Sabab). Artinya, ayat tersebut tetap diberlakukan di berbagai belahan dunia atau masa yang berbeda sepanjang situasi sosial yang menjadi latar belakangnya masih ditermukan. Namun, jika situasi sosial yang melatarinya tidak lagi ditemukan, maka ayat tersebut bukanlah ditujukan pada mereka. Misalnya ayat tentang peperangan hanya berlaku saat perang. Namun dalam masyarakat Muslim yang sedang hidup dalam kondisi damai, maka ayat tersebut tidak sedang ditujukan pada mereka sebab perdamaian itulah yang menjadi cita-cita tertinggi Islam atas sebuah masyarakat. Ayat tentang peperangan tentu turun pada saat Rasulullah Saw dan umatnya yang ketika itu sedang diperangi oleh pihak lain. Demikian pula ayat tentang perbudakan juga turun pada saat sistem perbudakan ada pada saat itu. Ayat-ayat seperti ini tentu saja akan berdampak berbeda jika diterapkan di masyarakat yang mempunyai kondisi damai tanpa peperangan atau masyarakat yang sudah tidak memiliki sistem perbudakan sama sekali. Jika ayat tentang perang dan perbudakan itu diterapkan pada masyarakat Muslim yang sedang damai dan tidak memiliki sistem perbudakan, maka justru akan melahirkan masalah, yakni mereka menjadi pemicu peperangan dan pemicu sikap perbudakan pada sesama manusia. Ayat-ayat tentang peperangan dan perbudakan dijiwai dengan nilai-nilai kebaikan universal seperti Tauhid (hanya menghamba pada Allah), kemanusiaan, perdamaian, dll. Artinya, ketika masyarakat Muslim hidup dalam perdamaian tanpa perang, sistem sosial yang lebih manusiawi karena tidak ada perbudakan, maka justru masyarakat tersebut telah menerapkan tujuan akhir dari petunjuk-petunjuk al-Qur’an yaitu mengurangi dampak buruk dari perang dan perbudakan hingga titik nol, yakni tanpa peperangan dan perbudakan. Al-Qur’an terdiri dari 6236 ayat. Dalam memahami al-Qur’an, memilih ayat adalah keniscayaan di mana kecenderungan umumnya adalah ayat yang dipilih itu jauh lebih sedikit daripada ayat yang tidak dipilih. Misalnya menulis skripsi, tesis, atau bahkan disertasi tentang sesuatu menurut al-Qur’an. Pada umumnya karya tulis akhir seperti ini tidak memilih seluruh ayat untuk dipertimbangkan, namun hanya ayat-ayat yang diduga kuat langsung terkait dengan tema. Misalnya memilih 20 ayat yang paling relevan. Tindakan memilih 20 ayat ini berarti pula tidak memilih 6216 ayat lainnya. Apalagi jika 18Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan fi Ulumil al-Qur’an, Beirut, Muassasah al-Kitabits Tsaqafah, 1996, h. 85. 19Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, Isal Babil Halabi, h. 30. 17 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA hanya ceramah dalam 2 jam, tentu ayat yang dipilih untuk mewakili al-Qur’an semakin minim, sebaliknya yang tidak dipilih semakin banyak. Karenanya, pembahasan dan penjelasan yang dilakukan oleh seseorang tentang sesuatu menurut al- Qur’an pada hakikatnya adalah sesuatu menurut al-Qur’an dalam pandangan orang tersebut. Jadi, pemahaman atas ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan nilai Tauhid dan misi kerahmatan semesta sangat mungkin disebabkan oleh cara memilih dan cara menjelaskannya, bukan oleh al-Qur’an sendiri. Pemahaman atas al-Qur’an juga ditentukan oleh metode dalam memahaminya. Misalnya adalah apakah dengan menjadikan ayat-ayat yang berisi pesan universal sebagai payung di mana pesan ayat kontekstual mesti mengacu, atau sebaliknya ayat-ayat dengan pesan kontekstual mesti diprioritaskan meskipun saat diterapkan dalam situasi sosial yang 180 derajat berbeda dengan situasi sosial saat turunnya justru melahirkan dampak yang bertentangan dengan pesan-pesan universal al-Qur’an? Termasuk dalam perbedaan metode juga terkait dengan apakah sebuah ayat akan dikutip secara utuh, ataukah sepotong-potong. Jika sepotong-potong, lalu bagian mana yang diambil dan bagian mana yang ditinggalkan juga ikut menentukan pemahaman atas al-Qur’an. Perbedaan pemahaman atas al-Qur’an juga ditentukan oleh latar belakang keilmuan yang dimiliki seseorang. Mereka yang memiliki ilmu pengetahuan mendalam akan berbeda dengan mereka yang pengetahuannya sangat terbatas, baik pengetahuan tentang ayat al-Qur’an, makna, dan sejarah turunnya, maupun pengetahuan yang berkaitan dengan substansi ayat. Misalnya ayat tentang gunung. Ketika dipahami oleh seorang ahli Bahasa Arab sangat mungkin penjelasan akan fokus pada aspek bahasa dari ayat, seperti asal-usul setiap kata, kedudukan masing dalam kalimat, dan makna tekstual yang dimaksudkan. Namun ayat yang sama jika dipahami oleh seorang ahli gunung mungkin penjelasan akan dikaitkan dengan pengetahuannya tentang macam-macam gunung, karaktertik masing-masing jenis gunung, fungsi gunung di bumi, dan hubungan antara gunung dengan entitas lainnya di bumi. Meskipun ahli gunung ini hanya membaca al-Qur’an melalui terjemahannya sangat mungkin dia bisa menjelaskan kemungkinan makna ayat tersebut secara lebih substantif. Latar belakang politik seseorang juga bisa ikut memengaruhi pemahamannya atas al-Qur’an. Ayat al-Qur’an yang sama sangat mungkin dipahami dengan cara yang berbeda oleh mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaam dengan yang berada dalam penjara sebagai tahanan politik penguasa. Demikian pula, kitab-kitab tafsir yang disusun oleh mereka yang hidup di penjara pada umumnya mempunyai semangat berbeda dengan kitab tafsir yang disusun di istana mewah. Latar belakang jenis kelamin yakni laki-laki atau perempuan seseorang juga bisa memengaruhi pemahaman seseorang atas al-Qur’an. Ketika memahami ayat-ayat al- Qur’an tentang menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui sangat mungkin mufasir laki-laki yang tidak mengalaminya akan berbeda dengan mufasir perempuan yang mengalami. Laki-laki mungkin tidak akan menghubungkan maksud ayat dengan pentingnya rasa sakit (adza) bahkan sangat sakit (wahnan ala wahnin) yang dialami perempuan saat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui mesti dihubungkan dengan konsep kemaslahatan al-Qur’an dan kemaslahatan Islam, sedangkan perempuan menghubungkannya. Tentu masih banyak faktor yang bisa memengaruhi pemahaman seseorang atas al-Qur’an. Termasuk sekuat apa komitmen seseorang untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, baik sesama anggota keluarga, masyarakat, warga negara, maupun sesama makhluk Allah sebagai penghuni alam semesta. Al-Qur’an yang sama bisa melahirkan penafsiran yang berbeda antara mereka yang kuat komitmennya untuk mewujudkan kemaslahatan bersama dengan mereka yang hanya ingin mewujudkan kemaslahatan diri atau kelompoknya. Semua faktor yang memengaruhi pemahaman atas al-Qur’an sekali 18 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA menunjukkan bahwa jika ada pemahaman seseorang atas al-Qur’an yang bertentangan dengan Prinsip Tauhid dan kemaslahatan semesta yang menjadi misi Islam dan al- Qur’an., maka sangat mungkin akarnya ada pada orang tersebut, bukan pada al-Qur’an. Kemaslahatan semesta dan kemaslahatan bersama adalah misi al-Qur’an karena ini juga sekaligus menjadi salah satu indikator penting apakah sebuah pemahaman atas al- Qur’an itu valid atau sesuai dengan jiwa al-Qur’an, yaitu pemahaman tersebut sejalan dengan prinsip Tauhid dan kemaslahatan semesta dan juga mencerminkan kemuliaan akhlak manusia. Penutup Proses turunnya al-Qur’an yang berangsur-angsur menunjukkan pentingnya mempertimbangkan kondisi riil yang dihadapi masyarakat Muslim dalam menerapkan al- Qur’an agar kemaslahatan semua pihak bisa terwujud. Jadi di samping ayat-ayat al- Qur’an, realitas kehidupan nyata hari ini juga penting untuk dipertimbangkan dalam merumuskan kemaslahatan Islam, sebab kemaslahatan bersama, tidak hanya sesama Muslim, tetapi juga sesama manusia, dan sesama makhluk Allah adalah misi Islam sebagai agama dan misi al-Qur’an sebagai Kitab Suci Umat Islam. Al-Qur’an adalah firman Allah Dzat yang Mahatahu, Mahabenar, lagi Mahaadil. Semua petunjuk yang ada di dalamnya didasarkan pada pengetahuan yang tak terbatas, pasti benar, dan pasti adil pada seluruh manusia, terutama pada kelompok masyarakat yang rentan mengalami ketidakadilan karena lemah (Dluafa’) misalnya anak-anak, lansia, orang sakit atau karena dilemahkan (Mustadl’afin), terutama dilemahkan secara sistemik seperti orang miskin, perempuan, difabel, dan kelompok minoritas lainnya, baik terutama minoritas secara kekuatan meskipun secara jumlah adalah mayoritas. Namun demikian, al-Qur’an selalu dipahami oleh manusia yang tidak satupun Mahatahu, Mahabenar, maupun Mahaadil. Karenanya, pemahaman manusia atas al- Qur’an bisa benar bisa salah, bisa tepat bisa tidak tepat, bisa pula adil dan tidak adil. Jadi ada petunjuk Allah yang ada dalam al-Qur’an pasti benar dan adil, sedangkan petunjuk Allah sebagaimana dipahami manusia bisa salah antara lain karena tidak adil. Untuk melahirkan tafsir yang adil, manusia mesti berpegang teguh pada misi al-Qur’an sebagai kitab tentang Tauhid, kemaslahatan semesta atau kemaslahatan bersama antar sesama manusia dan sesama makhluk Allah, dan kitab tentang bagaimana menjadi manusia yang berahlak mulia. Jika sebuah ayat yang membawa kita pada pemahaman yang tidak mencerminkan kemaslahatan, maka ada yang bermasalah dalam cara kita berinteraksi dengannya sehingga pengetahuan yang mendalam tantang al-Qur’an, sejarah turunnya, dan situasi hari ini akan membantu kita untuk memahami al-Qur’an lengkap dengan spirit kemaslahatan semesta yang menjiwainya karena al-Qur’an adalah pedoman bagi manusia dalam mewujudkan kemaslahatan semesta, bukan sebaliknya. 19 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA 3. Hadis Sebagai Pedoman Hidup Setelah al-Qur’an, hadis adalah sumber kedua yang menjadi rujukan ajaran Islam.20 Al-Qur’an banyak memberikan petunjuk secara global. Hadislah kemudian yang menerangkannya (Bayanut Tafsir) dan merincinya (Bayanut Tafshil).21 Misalnya ayat tentang shalat, zakat, puasa, dan haji disampaikan oleh al-Qur’an secara global. Ayat tentang shalat misalnya tidak menjelaskan tentang cara shalat secara detail. Rasulullah Saw kemudian bersabda: “Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Bukhari). Para Sahabat Nabi pun kemudian menceritakan secara detil bagaimana beliau Saw melakukan shalat sehingga kemudian cara-cara tersebut bisa kita ikuti hingga kini, dengan perbedaan- perbedaan yang tidak signifikan. Begitupun rincian-rincian tata cara zakat, puasa, haji, dan ajaran Islam lainnya. Dengan demikian, kedudukan hadis di kalangan masyarakat Muslim adalah sangat vital. 3.1 Kedudukan Hadis Hadis mempunyai kedudukan sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al- Qur’an. Meskipun sama pentingnya dengan al-Qur’an sebagai pedoman hidup seorang muslim, namun hadis berbeda dengan al-Qur’an. Wahbah al-Zuhaili menegaskan bahwa perbedaan keduanya terletak pada sumber lafadznya di mana lafadz al-Qur’an langsung berasal dari Allah (Matlu), sedangkan hadis tidak (Ghairu Matlu).22 Menurut Subhi ash- Shalih perbedaan keduanya terletak pada proses periwayatannya di mana periwayatan seluruh ayat al-Qur’an dilakukan oleh orang banyak sehingga mustahil mengandung dusta (Mutawatir), sedangkan tidak seluruh periwayatan hadis dilakukan secara demikian.23 Bahkan periwayatan hadis yang dilakukan secara mutawatir sangat sedikit, sisanya hanya perorangan (Ahad).24 Karena itu, periwayatan al-Qur’an bersifat meyakinkan (Qath’iyyul Wurud) sebab sejak diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasul Muhammad Saw, lalu secara resmi dibukukan dalam sebuah mushaf pada masa Usman bin Affan Ra, dan terus berlanjut hingga sekarang, telah dihafal. Sumber utama proses periwayatan al-Qur’an bukanlah catatan dalam bentuk tulisan (as-Suthur) melainkan hafalan di dada (Ash-Shudur). Periwayatan hadis tidak mencapai tingkatan tersebut, melainkan hanya sangat diduga kuat (Dzonniyyul Wurud) berasal dari Rasulullah Saw. Pengakuan atas al-Qur’an sebagai kitab Allah adalah bagian dari rukun iman, yakni iman kepada kitab-kitab Allah. Demikian pula pengakuan atas Muhammad Saw sebagai Rasulullah adalah bagian dari rukun iman, yakni iman kepada para rasul Allah. Tentu saja hadis adalah salah satu sumber penting yang menopang iman atas kerasulan Muhammad Saw sehingga nyaris mustahil menolak keberadaan hadis secara keseluruhan. Apalagi hadis berfungsi untuk menjelaskan dan merinci petunjuk Allah yang ada dalam al-Qur’an. Namun demikian, sejarah penulisan hadis diwarnai dengan proses verifikasi yang sangat ketat sehingga muncul tingkatan kualitas sesuatu sebagai sebuah hadis, mulai dari kuat (Shahih), sedang (Hasan), lemah (Dlaif), bahkan palsu (Maudlu’). Karenanya pengingkaran atas kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam sangat berbeda dengan 20Abdul Halim Mahmud, As-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha, Mesir: Darul Kutubil ‘Arabi, 1967, h. 26. 21Muhammad ‘Ajjajil Khatib, Ushulul Hadis Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut, Darul Fikr, 1989, h. 46. 22Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Damaskus, Darul Fikril Arabi, t. th., j. 1, h. 34. 23Subhi as-Shalih, Mabahis fi-Ulumil Qur’an, Beirut, Darul Ilmi Lil Malayin, 1988, h. 21. 24Shalahuddin bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqdil Matni Inda Ulumil Hadis, Beirut, Darul Afaqil Jadidah, 1983, h. 9. 20 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA pengingkaran atas sesuatu sebagai sebuah hadis. Bahkan pengingkaran pada hadis palsu (Maudlu’) sebagai sebuah hadis adalah wajib karena ia sesungguhnya bukan hadis. Fakta ini menunjukkan pentingnya bersikap sangat hati-hati dalam menerima sesuatu sebagai sebuah hadis sehingga penting mengetahui pengertian, proses verifikasi, dan cara memahami hadis. 3.2 Pengertian Hadis dan Sunnah Hadis Nabi kerap disejajarkan dengan Sunnah Nabi. Meskipun keduanya sangat terkait erat, sesungguhnya dua kata ini memiliki perbedaan sangat penting yang perlu disadari agar bisa menyikapinya secara proporsional dan mendudukkan keduanya secara tepat dalam konteks sebagai sumber petunjuk terpenting kedua setelah al-Qur’an dalam ajaran Islam. Secara bahasa, kata hadis mempunyai beberapa arti, yaitu baru (jadid) sebagai lawan kata lama (qadim), dekat (qarib) (dekat) sebagai lawan kata jauh (ba’id)25. Kata hadis juga bisa berarti berita (khabar).26 Adapun kata sunnah secara bahasa berarti jalan atau kebiasaan baik maupun jelek.27 Makna kata sunnah sebagai jalan ini digunakan dalam sebuah hadis: “Barangsiapa yang mengawali kebiasaan baik (sunnah hasanah), maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari Kiamat tanpa berkurang sedikit pun. Namun barangsiapa memulai kebiasaan buruk (sunnah sayyi’ah), maka ia akan memperoleh balasan dan balasan orang-orang yang mengikutinya sampai hari Kiamat tanpa berkurang sedikit pun. (HR. Muslim)28 Secara istilah, kata hadis mempunyai pengertian dengan cakupan khusus dan umum. Pada pengertian khusus, hadis didefinisikan sebagai perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), persetujuan (taqrir), dan sifat yang disandarkan pada Nabi Saw.29 Definisi ini meliputi perbuatan para sahabat yang dibiarkan oleh Nabi dan dapat dipahami sebagai pembolehan. Namun para ulama yang memiliki kitab koleksi hadis menggunakan hadis dalam pengertian yang lebih luas. Tak jarang mereka juga memasukkan ucapan dan sikap sahabat Nabi yang tidak bisa secara pasti dibiarkan oleh Rasulullah saw sehingga bisa diartikan pembolehan. Bahkan terdapat pula ucapan dan perbuatan generasi setelah sahabat Nabi (tabiin) yang sama sekali tidak menjumpai Nabi. Karena itu, muncullah kategori hadis menjadi tiga, yaitu perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang disandarkan pada Nabi (Hadis Marfu’), pada para sahabat Nabi (Hadis Mauquf), dan para tabiin atau generasi setelah Sahabat Nabi (Hadis Mqthu’). Fakta ini lagi-lagi menunjukkan pentingnya berhati-hati lagi dalam menyikapi sesuatu sebagai sebuah hadis, yakni apakah dalam pengertian dengan cakupan khusus Nabi ataukah dalam cakupan umum sehingga menjangkau sahabat Nabi bahkan tabiin, sebab yang diutus oleh Allah Swt sebagai Rasulullah hanyalah Nabi. Ulama Fiqh (Fuqaha) mempunyai definisi yang sedikit berbeda dengan Ulama Hadis (Muhaddisin). Mereka hanya membatasi hadis pada informasi yang mempunyai implikasi hukum. Karena itu, hadis-hadis yang berisi informasi tentang penampian fisik 25Abul Faid Muhammad bin Muhammad Ali al-Farisi, Jawahirul Usulil Hadis fi Ilmi Hadisir Rasul, Beirut, 1992, h. 24. 26 Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra,1999, h. 1. Bayumi Ajlan, Dirasat fi al-Hadis an-Nabawi, Iskandariyah, Muassasah Syabab al-Jami’ah, 1986,. 20 27 Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadis wal Muhadissun, Beirut, Darul Fikr, t.th., hal 9. 28 Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasith fi ‘Ulumi wa Mustholahi Hadis, Kairo, Maktabatus Sunnah, 2006, h. 14 29 Subhi as-Shalih, Mabahis, h. 5. 21 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA Nabi yang tentunya tidak berimplikasi hukum tidak dipandnag sebagai sebuah hadis.30 Ulama Fiqh juga menggunakan istilah sunnah dalam pengertian yang serupa dengan hadis, namun menggunakan juga sebagai istilah salah satu status hukum perbuatan manusia. Sunnah dalam hal ini berarti perbuatan yang jika dilakukan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan tidak apa-apa. Rasulullah Saw. sebetulnya menggunakan kata sunnah sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an saat memberikan pesan penting dalam sabdanya: “Aku tinggalkan dua hal yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Al-Hakim). Sunnah sesungguhnya memiliki makna yang lebih luas daripada hadis. Perbedaan sekaligus hubungan dua kata ini seperti hubungan antara sebuah peristiwa dengan laporan tentang peristiwa tersebut. Pemahaman Nabi atas pesan atau wahyu Allah dan teladan beliau dalam melaksanakannya kemudian membentuk tradisi atau sunnah kenabian (as-Sunnah an-Nabawiyyah). Para sahabat Nabi kemudian menceritakan atau meriwayatkan tentang apa yang disabdakan, dilakukan, atau tindakan para sahabat Nabi yang “didiamkan” beliau dan bisa diartikan sebagai restu. Sunnah Nabi dengan demikian mesti dipahami sebagai keseluruhan kepribadian dan akhlak Nabi yang menjadi teladan baik (uswah hasanah) bagi umatnya (Al-Ahzab/33:21). Beliau juga dilukiskan oleh al- Qur’an sebagai seseorang yang berakhlak amat mulia (al-Qalam/68:4). Tingkah laku dan kepribadian Nabi sebagai seseorang yang berakhlak sangat mulia inilah sunnah yang menjadi pedoman hidup kedua setelah al-Qur’an. Sumber informasi tentang Sunnah Nabi dengan demikian tidak terbatas pada kitab-kitab kumpulan hadis, melainkan juga kitab-kitab tentang sejarah (sirah) atau biografi Nabi.31 Sunnah Nabi adalah peristiwa, sedangkan hadis adalah riwayat atau laporan atau cerita tentangnya. Sunnah Nabi sebagai sebuah peristiwa adalah tunggal sehingga tidak memiliki banyak versi dan tingkatan kualitas sunnah juga tidak dikenal. Sebaliknya sebagai sebuah riwayat atau laporan atau cerita tentang sebuah peristiwa, hadis sangat tergantung pada periwayat atau pelapornya sehingga satu sabda atau perbuatan Nabi yang sama bisa melahirkan banyak riwayat hadis, bahkan yang bertentangan satu sama lain. Periwayatan atas sunnah atau yang disebut dengan hadis ini tentu saja tergantung pada pengetahuan para periwayat atas sebuah peristiwa, kemampuan memahami dan mengingatnya, dan sebesar apa ia bisa dipercaya. Semua faktor ini melahirkan tingkatan kualitas sebuah hadis. Sunnah sebagai tindakan Rasullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sangat terjaga sebab beliau adalah manusia yang dijaga oleh Allah (ma’shum). Dalam menyampaikan wahyu al-Qur’an beliau tidak mungkin salah, dan dalam hal lainnya apabila belia salah bersikap, akan langsung ditegur oleh Allah Swt. Sementara hadis adalah riwayat, laporan, dan cerita tentangnya yang dilakukan oleh para sahabat Nabi sebagai manusia biasa yang tidak ma’shum sebagaimana Nabi. Jadi iman kita kepada nabi Muhammad Saw sebagai Rasulullah, keyakinan kita pada Sunnah Nabi sebagai pedoman hidup seorang Muslim, dan pentingnya hadis sebagai sumber informasi tentang sunnah, tidak menghalangi pentingnya seorang Muslim bersikap hati-hati dalam menyikapi sesuatu sebagai sebuah hadis. Bahkan ulama pun sudah sangat hati-hati dalam melakukan verifikasi ketat untuk menetapkan sesuatu sebagai sebuah hadis. 3.3 Sejarah Singkat Ilmu Hadis 30 M. M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, Kuala Lumpur, Islamic Book Trust, 1977, h. 3. 31 Nurcholis Madjid, Pergeseran Pengertian “Sunnah” ke “Hadits”: Implikasinya dalam Pengembangan Syariah dalam Budhy Munawar Rahman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Yayasan Wakap Paramadina, 1994, h. 210-211. 22 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA Ilmu hadis pada awalnya muncul dari kepedulian umat Islam untuk menjaga ucapan Nabi Muhammad dari penyalahgunaan sekelompok orang untuk tujuan-tujuan jangka pendek. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad tidak pernah memerintahkan para sahabat untuk menulis dan mengumpulkan semua ucapannya. Kekhawatiran akan bercampurnya al-Qur’an dengan ucapan Nabi, merupakan di antara motif tidak diperintahkannya penulisan hadis pada masa Nabi Muhammad. Setelah Nabi Muhammad wafat, Islam tersebar luas hingga keluar Jazirah Arab. Bangsa-bangsa non Arab banyak yang memeluk Islam. Bersamaan dengan itu, para sahabat nabi pun ikut berpencar sebagai konsekuensi dari penyebaran agama Islam. Wafatnya Nabi Muhammad juga berdampak pada berubahnya politik umat Islam. Abu Bakr yang menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin negara menghadapi persoalan legitimasi dari kabilah-kabilah Arab yang melepaskan diri dari pemerintahan Islam di Madinah. Tidak sampai di situ, Abu Bakr juga menghadapi kampanye kenabian palsu dari Musailamah al-Kazzab. Tokoh dari Yamamah ini menyebarkan berita tentang wahyu yang ia klaim diperoleh dari Tuhan. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Abu Bakr berhasil menuntaskan persoalan tersebut. Setelah Abu Bakr wafat, pemerintahan dilanjutkan oleh Umar ibn al-Khatthab. Era pemerintahan Umar disebut-sebut sebagai era yang ideal. Umar dianggap telah mengembalikan semangat yang pernah dikobarkan Nabi Muhammad di dalam menjalankan pemerintahan, yaitu pemerintahan untuk rakyat. Selama 10 tahun menjalankan pemerintahan, Umar wafat. Roda pemerintahan Islam kemudian dijalankan oleh Usman ibnu Affan. Di dalam catatan sejarah, masa pemerintahan Usman merupakan awal dari disharmoni kehidupan politik umat Islam. Sebagaimana ditulis oleh Ahmad Syalabi, di antara sebab disharmoni itu adalah praktik nepotisme yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan, di dalam mengangkat pejabat-pejabat publik. Situasi disharmoni itu tidak dapat diselesaikan oleh Usman sehingga pada akhirnya ia dibunuh oleh massa yang tidak puas terhadap pemerintahannya. Ali ibn Abu Thalib tampil menggantikan Usman setelah massa pemberontakan memaksanya melakukan baiat. Namun naiknya Ali ke tampuk pemerintahan ternyata memunculkan permasalahan baru. Keluarga besar Usman ibn Affan tidak bisa begitu saja menerima kepemimpinan Ali sebagai kepala pemerintahan. Naiknya Ali menjadi khalifah dianggap tidak legitimate karena tidak melalui prosedur sebagaimana yang telah dilalui oleh tiga khalifah sebelumnya. Tidak sampai di situ, keluarga besar Usman ibn Affan bahkan mencurigai Ali sebagai inisiator aksi massa yang menewaskan Khalifah Usman. Dikaitkan dengan perkembangan ilmu hadis, masa terpecahnya pemerintahan Islam menjadi pemerintahan Ali ibn Abu Thalib dan pemerintahan Muawiyah ibn Abu Sufyan (tahun 40 Hijriyyah) dikatakan sebagai masa pertama beredarnya hadis-hadis palsu yang dihubung-hubungkan dengan situasi politik yang berkembang. Hadis-hadis palsu itu memuat sanjungan terhadap tokoh politik yang didukung, dan celaan terhadap tokoh yang menjadi lawan politiknya. Tidak sampai di situ. Sanjungan di dalam hadis-hadis palsu kemudian melebar hingga ke aspek geografis. Daerah-daerah yang menjadi basis pendukung utama seorang tokoh, mendapat pujian setinggi langit di dalam hadis-hadis palsu itu. Begitu pula sebaliknya, daerah-daerah yang menjadi basis perlawanan seorang tokoh, mendapat celaan. Kondisi seperti itu terus berlangsung hingga abad kedua Hijriyyah. Perlu juga untuk disampaikan di sini bahwa persoalan politik bukan satu-satunya pemicu kemunculan hadis-hadis palsu. Para ulama hadis menyebut di antara sebab lain munculnya pemalsuan hadis adalah keinginan untuk meraih popularitas di hadapan khalayak. 23 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA Kegelisahan para ulama terhadap maraknya peredaran hadis-hadis palsu mengundang perhatian Umar ibn Abdul Aziz, seorang khalifah dari dinasti Umayyah. Setelah mendengarkan saran dan pertimbangan dari para ulama, Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan Gubernur Madinah Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm untuk melakukan proyek pengumpulan dan penulisan hadis-hadis Nabi Muhammad. Upaya melestarikan hadis-hadis Nabi itu selanjutnya diteruskan oleh para ulama hadis, seperti al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi, dan al-Thabrani. Upaya pelestarian yang dilakukan oleh para ulama itu yang kemudian melahirkan disiplin baru di dalam keilmuan Islam, yaitu ilmu hadis. Dengan disiplin ilmu hadis itu, para ulama menyeleksi hadis-hadis yang bertebaran di masyarakat. Sebagian hadis itu ada yang dinilai shahih—dalam arti periwayatannya benar berasal dari Nabi Muhammad, melalui orang-orang yang kuat ingatannya, terpercaya, dan adil (dalam arti tidak sering melakukan maksiat)—ada pula yang dinilai hasan (baik), yang derajatnya di bawah shahih, ada juga yang dinilai dhaif (lemah)—dalam arti tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai hadis shahih dan hadis hasan—dan bahkan ada yang dinilai mawdhu’ (palsu), yaitu hadis yang bukan merupakan ucapan Nabi Muhammad. Al-Bukhari—dengan tidak mengecilkan kontribusi para ulama hadis sebelumnya—dianggap ikon di dalam upaya pelestarian hadis-hadis Nabi tersebut. Karyanya di dalam pengumpulan hadis yang diberi judul al-Jami’ al-Shahih atau yang lebih dikenal dengan nama Shahih al-Bukhari, oleh para ulama dari kalangan Ahlul- Sunnah dinilai sebagai kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Selain al-Bukhari, para ulama dari kalangan Ahl ul-Sunnah yang juga melakukan upaya pelestarian hadis melalui karya-karyanya adalah Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, Ibnu Majah, dan masih banyak lagi. Karya-karya para ulama hadis itu hingga kini masih dipelajari baik di ranah pendidikan formal maupun informal. Di pesantren-pesantren salaf (kuna) di Pulau Jawa, kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim itu dibaca dan dikaji sampai tuntas, setiap bulan Ramadhan. Sementara itu, di kalangan Syi’ah juga dilakukan upaya pengumpulan dan kodifikasi hadis-hadis Nabi Muhammad. Istilah hadis di kalangan Syi’ah tidak saja terbatas pada ucapan Nabi Muhammad tapi juga ucapan-ucapan dari anggota keluarga Nabi yang dianggap suci. Jalaludin Rahmat menulis bahwa di dalam tradisi Syi’ah definisi hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada ma’shumin (orang-orang yang terpelihara dari dosa), selain dari Nabi Muhammad dan putrinya, Fatimah, mereka adalah dua belas imam. Maka dari itu, fatwa Ja’far al-Shadiq, salah seorang keturunan Nabi Muhammad dan bagian dari imam yang dua belas, menurut kalangan Syiah dimasukkan ke dalam kategori hadits. Perbedaan di dalam pemaknaan definisi hadis, juga berdampak pada perbedaan di dalam metodologi pengumpulan dan penilaian hadis. Jika kalangan Ahl ul-Sunnah menetapkan metodologi pengumpulan dan penilaian hadis yang dianggap selektif dan mampu membersihkan hadis-hadis nabi dari unsur pemalsuan, maka kalangan Syiah pun mempunyai metodologi yang diklaim lebih ketat daripada metodologi Ahl ul-Sunnah. Setidaknya itu yang bisa dibaca dari penjelasan Jalaludin Rahmat. Al-Kulaini menggunakan dua kriteria di dalam pengumpulan hadis; pertama, perawinya tidak fasik, dan kedua, muatannya jauh dari unsur taqiyah. Perbedaan lain dari metodologi pengumpulan hadis kalangan Syiah adalah penetapan kualifikasi hadis, yang dibagi menjadi; shahih (valid), hasan (baik), muwatstsaq (terpercaya), qawiy (kuat), dan dhaif (lemah). 24 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA 3.4 Proses Verifikasi Hadis Sebuah hadis muncul dalam konteks menceritakan sosok Rasulullah Saw, peristiwa saat beliau bersabda, melakukan sesuatu, atau memberikan sikap atas apa yang dilakukan para sahabat beliau. Saat beliau bersabda, para sahabat ada yang menceritakannya dengan mengutip langsung sabda beliau (bil-lafdzi atau lafdzan), ada pula yang tidak langsung (bil- ma’na atau ma’nan). Sunnah Rasulullah Saw terjadi sekali sepanjang perjalanan hidup beliau. Ibarat sebuah buku, begitu wafat maka lembar terakhir sunnah Nabi pun berakhir. Generasi muslim yang masuk Islam setelah beliau wafat, apalagi lahir setelah beliau wafat, apalagi generasi muslim yang lahir berabad-abad setelah beliau wafat tentu saja tidak bisa melihat langsung peristiwa sunnah Nabi ini dan hanya mengandalkan pada periwayatan generasi sahabat yang hidup sebagai Muslim selama beliau masih hidu, yang diceritakan kepada generasi setelah mereka (Tabi’in) dan generasi setelahnya (Tabi’it Tabi’in). Proses menceritakan Sunnah Nabi sudah dimulai sejak Rasulullah hidup. Para sahabat masuk Islam tidak secara serentak dan tidak pula setiap mereka terus-menerus bergerombol mengikuti Rasulullah kemana pun pergi. Mereka saling bertukar cerita atas pengalaman masing-masing dalam menyaksikan apa yang disabdakan, diperbuat, dan disikapi Rasulullah Saw. Ada Sunnah Nabi yang menjadi pengetahuan kolektif Muslim dari generasi ke generasi, ada pula yang diketahui secara perorangan. Demikian pula meskipun pada masa-masa awal penulisan hadis tidak dapat dukungan karena al-Qur’an masih dalam masa pewahyuan yang dilanjutkan dengan proses kodifikasi hingga selesai pada masa Khalifah ketiga, yaitu Usman bin Affan Ra. Proses pembuktian sesuatu sebagai sebuah hadis bukanlah perkara sepele. Para ulama hadis telah menghabiskan sebagian besar hidup mereka untuk melakukan kerja peradaban yang berat ini. Langkah pertama pembuktian adalah apakah sebuah riwayat bisa dibuktikan sebagai ucapan, perbuatan, atau ketetapan Rasulullah Saw atau tidak. Jika ada seseorang meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mengatakan sesuatu, maka ia hanya akan dianggap hadis adalah jika sesuatu itu benar-benar dari Rasulullah. Artinya, meskipun sebuah riwayat mengandung pesan kebaikan namun jika terbukti riwayat tersebut tidak mungkin berasal dari Rasulullah saw, riwayat ini mengandung kebohongan karena dikatakan dari Rasulullah Saw padahal tidak. Setelah bisa dibuktikan, maka langkah pembuktian berikutnya adalah menyangkut isi riwayat, yakni apakah apakah bisa dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari ajaran Islam atau tidak. Jadi, kualitas hadis diuji melalui dua jalur sekaligus, yaitu verifikasi rangkaian periwayat hadis (Naqdus Sanad) dan isi hadis (Naqdul Matni). Syarat rangkaian periwayat (Sanad) dinilai berkualitas setidaknya ada lima. Pertama, sanadnya bersambung (Ittishalus Sanad), yakni setiap periwayat dari periwayat pertama yang menyaksikan Sunnah Nabi sampai dengan periwayat terakhir yang menceriatakan sebuah hadis dipastikan mungkin menerima langsung dari periwayat sebelumnya).32 Kedua, masing-masing periwayat bersifat dikenal sebagai orang yang jujur, menjaga diri dari dosa besar dan kecil, serta menghindari hal-hal mubah yang merusak reputasinya (adil).33 Ketiga, setiap periwayat juga mesti dikenal sebagai orang yang kuat hafalannya atas apa yang didengar dan bisa menyampaikan kapan saja diperlukan secara konsisten (dlabith).34 Keempat, terhindar dari hal-hal yang menyebabkan kesangsian (adamusy syadz), misalnya para periwayat tidak menceritakan hadis yang bertentangan dengan periwayat lain yang reputasinya lebih tinggi. Kelima, terhindar dari kecacatan yang samar (adamul illat), tidak mengandung cacat yang secara kasat mata tidak terlihat namun saat diteliti lebih dalam ternyata ada. 32 M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1988, h. 111. 33 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, As-Sunnah Qablat-Tadwin, Beirut, Darul Fikr, 2001, h. 231-232 34 M. Syuhudi Ismail, Kaedah, h. 119. 25 MPK AGAMA ISLAM UNIVERSITAS INDONESIA Verifikasi tahap kedua menyangkut isi hadis (Naqdul Matni). Verifikasi isi sebuah hadis sebetulnya sudah dilakukan sejak zaman Sahabat Nabi. Salah satu sahabat yang kerap melakukan hal ini adalah Aisyah Ra dengan menggunakan ayat al-Qur’an maupun pengalaman pribadinya sebagai istri Rasulullah Saw. Contoh pertama saat beliau mendengar sahabat Ibnu Umar Ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya seorang mayit disiksa karena tangisan keluarganya.” (HR. Ahmad). Mendengar ini, Aisyah Ra mengoreksi dengan ayat al-Qur’an: “Tidaklah seorang pun menanggung dosa perbuatan orang lain (Qs. al-Isra/13:15). Contoh kedua saat beliau mendengar sahabat Abu Hurairah Ra meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Shalatnya seseorang akan terputus ketika perempuan, keledai, dan anjing hitam lewat di hadapannya sementara jarak tidak mencapai seukuran pelana.” (HR. Musim). Mendengar ini riwayat ini Aisyah Ra langsung marah: “Buruk sekali perlakuan kalian menyamakan kami dengan Anjing dan Keledai. Sungguh aku mengalami sendiri melihat Rasulullah Saw. shalat sedangkan aku sedang rebahan persis di depan beliau

Use Quizgecko on...
Browser
Browser