Buku Pengantar Lingkungan Hidup Sumatera PDF
Document Details
Uploaded by Deleted User
Institut Teknologi Sumatera
2023
Dr. Rahmat Kurniawan, S. Si., M. Si., Mohammad Ashari Dwiputra, S.Kel., M.Si., Rahmattullah Harianja, ST.Par,.MM.Par., Rinda Gusvita, S.T.P., M.Sc., Mhd Muhajir Hasibuan, S.Hut., M.Si., Alawiyah, S.P.
Tags
Summary
Buku Pengantar Lingkungan Hidup Sumatera membahas sejarah pembentukan, bentang alam, lingkungan pesisir, tantangan, ekologi, dan isu perubahan iklim di Pulau Sumatera. Buku ini ditujukan untuk mahasiswa baru tingkat persiapan, dan menekankan pendekatan naratif dan deskriptif.
Full Transcript
~1~ Buku Pengantar Lingkungan Hidup Sumatera ISBN: xxx.xxx.xx Hak Cipta 2020 pada Penulis Hak penerbitan pada ITERA PRESS. Bagi mereka yang ingin memperbanyak sebagian isi buku ini dalam bentuk atau cara apapun harus mendapatkan izin tertulis dari penulis dan penerbit ITE...
~1~ Buku Pengantar Lingkungan Hidup Sumatera ISBN: xxx.xxx.xx Hak Cipta 2020 pada Penulis Hak penerbitan pada ITERA PRESS. Bagi mereka yang ingin memperbanyak sebagian isi buku ini dalam bentuk atau cara apapun harus mendapatkan izin tertulis dari penulis dan penerbit ITERA PRESS. Penulis: Dr. Rahmat Kurniawan, S. Si., M. Si. Mohammad Ashari Dwiputra, S.Kel., M.Si. Rahmattullah Harianja, ST.Par,.MM.Par. Rinda Gusvita, S.T.P., M.Sc. Mhd Muhajir Hasibuan, S.Hut., M.Si. Alawiyah, S.P. Editor : Dr. Rahmat Kurniawan, S. Si., M. Si. Mohammad Ashari Dwiputra, S.Kel., M.Si Lay out : Eka Suderajat, S.Pd., M. Pd. Desain sampul : Hergo Vina, S. Sos. Penerbit: ITERA PRESS Jl. Terusan Ryacudu, Way Huwi, Kec. Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung 35365 E-Mail: [email protected] Hak Cipta dilindungi Undang-undang All Right Reserved Cetakan I, 202 ~2~ Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas curahan karunia dan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga tim penyusun dapat menyelesaikan buku Lingkungan Hidup Sumatera ini. Buku ini disusun untuk memfasilitasi penyelenggaraan Mata Kuliah Lingkungan Hidup Sumatera (LHS) di Tingkat Tahap Persiapan Bersama (TPB). Penyusunan buku ini merupakan penyelarasan antara program ITERA dengan kebutuhan peserta kuliah hasil kolaborasi antara PTPB, Humas ITERA, UPT KSF, dan SDGs Center. Metode yang digunakan dalam penulisan buku ini didasarkan pendekatan naratif dan deskriptif yang sederhana mengingat buku ini didesign untuk kebutuhan pengantar mahasiswa di tingkat I pada masa TPB. Kami menyadari penyusunan buku ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu, kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun secara terbuka. Diharapkan semoga buku ini dapat memberi manfaat dengan baik. Lampung Selatan, Desember 2023 Penulis ~3~ Daftar Isi Contents..................................................................................... Error! Bookmark not defined. Kata Pengantar......................................................................................................................3 BAB 1 SEJARAH PEMBENTUKAN PULAU SUMATERA.......................................6 A. Pembentukan Pulau Sumatera........................................................................6 B. Kondisi Fisik Geografis Pulau Sumatera....................................................7 C. Iklim Sumatera.................................................................................................... 10 D. Sebaran Hutan dan Populasi di Pulau Sumatera................................. 11 BAB 2 BENTANG ALAM PULAU SUMATERA........................................................ 18 A. Geologi Pulau Sumatera.................................................................................. 18 B. Bentang Lahan Pulau Sumatera.................................................................. 20 C. Bentang Budaya Pulau Sumatera................................................................ 26 D. Ekoregion Pulau Sumatera............................................................................ 32 E. Hasil Bumi Pulau Sumatera........................................................................... 34 BAB 3 LINGKUNGAN PESISIR DAN LAUT SUMATERA.................................... 37 A. Pendahuluan......................................................................................................... 37 B. Karakteristik Wilayah Pesisir....................................................................... 37 C. Estuaria................................................................................................................... 39 D. Ekosistem Mangrove........................................................................................ 44 E. Ekosistem Lamun............................................................................................... 50 F. Ekosistem Terumbu Karang.......................................................................... 52 BAB 4 TANTANGAN DAN BENCANA SUMATERA.............................................. 56 F. Banjir dan Longsor............................................................................................ 56 G. Krisis Air dan Karhutla.................................................................................... 58 H. Abrasi Pantai......................................................................................................... 60 I. Kerusakan Ekosistem Pesisir Laut............................................................. 61 BAB 5 EKOLOGI DAN PERUBAHAN IKLIM............................................................ 64 J. Perubahan Iklim.................................................................................................. 64 K. Carbon Storage..................................................................................................... 67 L. Sustainable Development Goals (SDGs).................................................... 70 M. Peran ITERA dalam Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) 72 ~4~ BAB 6 KEBUN RAYA…………………………………………………………………………78 A. TAMAN NASIONAL DI SUMATERA................................................................. 78 B. Taman Nasional Batang Gadis (TNBG)......................................................... 80 C. Taman Nasional Berbak....................................................................................... 81 D. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).................................... 82 E. PERANAN ITERA..................................................................................................... 83 F. UNIT PENUNJANG AKADEMIK KONSERVASI FLORA SUMATERA.. 87 G. MANFAAT KEBUN RAYA ITERA...................................................................... 87 BAB 7 LAHAN GAMBUT……………………………………………………………………89 A. Karakteristik lahan Gambut.......................................................................... 89 B. Sebaran lahan Gambut di Indonesia......................................................... 92 C. Biodiversitas Lahan Gambut......................................................................... 94 D. Peran Lahan Gambut Dalam Mitigasi Iklim........................................... 96 E. Potensi Pemanfaatan Lahan Gambut........................................................ 99 F. Tantangan Pengelolaan Lahan Gambut................................................ 101 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 108 Biodata Penulis................................................................................................................ 116 ~5~ BAB 1 SEJARAH PEMBENTUKAN PULAU SUMATERA A. Pembentukan Pulau Sumatera Pulau Sumatera terletak di Indonesia, tepatnya di sebelah barat laut dari Pulau Jawa. Wilayah ini berada di zona subduksi (pertemuan), di mana lempeng tektonik Indo-Australia bertemu dengan lempeng Eurasia. Pulau Sumatera, sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, terbentuk sebagai hasil dari proses geologis yang panjang dan melibatkan interaksi antara beberapa lempeng tektonik. Pembentukan Pulau Sumatera terjadi dalam kerangka waktu geologis yang sangat panjang, banyak sumber geologi sepakat bahwa proses pembentukan Pulau Sumatera melibatkan penyatuan daratan yang terjadi selama periode waktu geologis yang cukup lama. Pada umumnya, perkiraan usia tersebut berkisar dari akhir Mesozoikum hingga awal Cenozoikum. Salah satu perkiraan yang sering disebutkan adalah penyatuan daratan tersebut terjadi selama zaman Miosen, sekitar 25 juta tahun yang lalu. Proses ini melibatkan interaksi dan pergerakan lempeng tektonik yang menyebabkan penyatuan daratan dan pembentukan Pulau Sumatera. Pulau Sumatera secara umum terletak di zona subduksi antara lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia. Proses subduksi terjadi ketika lempeng Indo-Australia menyusup di bawah lempeng Eurasia, menciptakan zona tektonik yang dapat memicu aktivitas vulkanik. Pulau Sumatera terdiri dari berbagai fitur geologis dan geografis, termasuk pegunungan, lembah, dan pantai, yang semuanya merupakan bagian dari evolusi geologis yang kompleks selama berjuta-juta tahun. Interaksi antara lempeng-lempeng ini menciptakan zona subduksi yang unik dengan tingkat aktivitas seismik, termasuk pergeseran lempeng yang intensif. Secara lebih rinci, di wilayah ini, lempeng Indo-Australia bergerak ke arah utara dan bertabrakan dengan lempeng Eurasia yang bergerak ke arah selatan. Kondisi ini menciptakan zona subduksi di mana lempeng ~6~ Indo-Australia menyusup di bawah lempeng Eurasia. Proses ini sering disebut sebagai zona megathrust, dan tekanan yang terakumulasi selama pergerakan lempeng dapat memicu pelepasan energi yang menyebabkan pencairan batuan disekitarnya yang dikenal sebagai peleburan parsial (magma) yang akan menerobos ke permukaan akibat tekanan tinggi pada perut bumi untuk menghasilkan busur pegunungan Bukit Barisan di Sumatera. Gambar 1. Ilustrasi pembentukan pulau Sumatera melalui pergerakan 2 lempeng tektonik: Lempeng Indo-Australia dan Eurasia. B. Kondisi Fisik Geografis Pulau Sumatera Pulau Sumatera terletak diantaran 6° garis Lintang utara hingga 6° garis Lintang selatan dan 95° garis Bujur timur hingga 105° Bujur timur dengan luas bentangan alam lebih dari 473 ribu Km 2 yang memiliki ketinggian daratan bekisar antara 0-3805 mdpl. Letak geografis ini memperlihatkan bahwa Pulau Sumatera berada di kawasan tropis, terletak di sebelah barat semenanjung Malaya dan di sebelah timur Sumatera berbatasan dengan Selat Malaka. Wilayah ini memiliki iklim tropis dengan suhu yang relatif tinggi sepanjang tahun, curah hujan yang cukup besar, dan variasi musim hujan dan musim kemarau. Pulau Sumatera memiliki topografi yang sangat bervariasi, termasuk pegunungan, perbukitan, dan dataran rendah. Keanekaragaman topografi ini menciptakan lanskap yang menarik dan memainkan peran penting dalam karakteristik iklim, hidrologi, dan kehidupan flora serta ~7~ fauna di Pulau Sumatera. Beberapa ciri topografi utama di Pulau Sumatera meliputi: Pegunungan Barisan: Merupakan rangkaian pegunungan yang membentang dari utara ke selatan di sepanjang pulau terutama di daerah bagian barat pulau Sumatera. Pegunungan ini merupakan bagian dari Cincin Api Pasifik dan melibatkan banyak gunung berapi aktif. Beberapa gunung berapi terkenal di sini antara lain Gunung Kerinci, Gunung Singgalang, dan Gunung Dempo. Dataran Tinggi: Terdapat dataran tinggi di sekitar Pegunungan Barisan, yang membentuk punggung gunung. Dataran tinggi ini memiliki ketinggian yang bervariasi dan memberikan kontribusi penting terhadap ketersediaan air dan iklim di wilayah tersebut. Perbukitan: Bagian-bagian pulau yang tidak terletak di sepanjang Pegunungan Barisan cenderung memiliki topografi perbukitan. Ini mencakup berbagai lereng dan bukit-bukit yang melandai. Dataran Rendah dan Pesisir: Pulau Sumatera memiliki wilayah dataran rendah yang meluas, terutama membentang di sepanjang daerah pesisir timur pulau Sumatera. Wilayah pesisir ini dapat mencakup dataran banjir, delta sungai, dan rawa-rawa. Pulau Sumatera terletak di wilayah yang kompleks dari sudut pandang lempeng tektonik. Geomorfologi Sumatera secara umum dipengaruhi oleh dinamika kompleks antara lempeng-lempeng tersebut. Subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia di sepanjang zona Sunda dapat menciptakan pegunungan bawah laut, dan letusan vulkanik di wilayah ini juga memberikan kontribusi besar terhadap bentuk daratan. Sesar-sesar aktif juga memainkan peran penting dalam membentuk struktur geomorfologi regional. Adapun sebaran lempeng yang berperan dalam membentuk geomorfologi Sumatera adalah sebagai berikut: Lempeng Indo-Australia: Menyusup di bawah lempeng Eurasia di sepanjang zona subduksi Sunda di sebelah barat Sumatera. Proses subduksi ini ~8~ menciptakan zona tektonik yang berkontribusi pada seismisitas tinggi dan aktivitas vulkanik. Lempeng Eurasia: Terletak di sebelah utara Sumatera. Menerima subduksi dari lempeng Indo-Australia, yang dapat menciptakan gempa dan potensi aktivitas vulkanik. Zona Sesar Sumatera: Selain interaksi lempeng subduksi, Sumatera juga dilintasi oleh sejumlah besar sesar aktif. Sesar-sesar ini adalah retakan dalam kerak bumi yang memungkinkan pergeseran horisontal dan vertikal. Salah satu yang terkenal adalah Sesar Semangko yang memanjang dari utara hingga selatan Sumatera. Plate Tektonik Pasifik: Meskipun tidak langsung berdekatan dengan Sumatera, aktivitas tektonik di lempeng Pasifik dapat berpengaruh terhadap seismisitas dan aktivitas vulkanik di sekitarnya. Gambar 2. Peta topologi pulau Sumatera ~9~ C. Iklim Sumatera Wilayah Indonesia termasuk dalam daerah tropis dan ditandai oleh tingginya curah hujan tahunan. Iklim tropis cenderung memiliki suhu yang tinggi sepanjang tahun, dan terdapat dua musim utama: musim hujan dan musim kemarau. Kondisi iklim tropis ini memberikan keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia. Beberapa ciri iklim daerah tropis, termasuk wilayah Indonesia, adalah sebagai berikut: Curah Hujan Tinggi: Daerah tropis cenderung memiliki curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya angin muson dan pemanasan permukaan laut yang memicu pembentukan awan hujan. Evaporasi Tinggi: Suhu yang tinggi juga menyebabkan tingginya tingkat evaporasi. Pada daerah tropis, air laut atau air dari permukaan tanah mudah menguap ke atmosfer. Musim Hujan dan Musim Kemarau: Terdapat pola musiman dengan musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan biasanya disertai dengan curah hujan yang tinggi, sementara musim kemarau cenderung lebih kering. Angin Muson: Angin muson memainkan peran penting dalam mempengaruhi iklim di daerah tropis. Angin muson membawa kelembaban dari laut ke daratan pada musim hujan dan sebaliknya pada musim kemarau. Pulau Sumatera, umumnya, memiliki tipe iklim tropis yang dapat digolongkan sebagai tipe iklim A berdasarkan klasifikasi iklim Köppen. Iklim ini dikenal sebagai iklim hutan hujan tropis, yang dicirikan oleh suhu yang relatif tinggi sepanjang tahun dan curah hujan yang melimpah. Pulau Sumatera mendapatkan curah hujan yang signifikan sepanjang tahun. Puncak musim hujan di Pulau Sumatera biasanya terjadi antara Oktober hingga Januari, dan kadang-kadang dapat berlanjut hingga Februari. Selama musim ini, curah hujan biasanya mencapai tingkat ~ 10 ~ tertinggi. Musim hujan di daerah tropis seperti Sumatera disebabkan oleh pergerakan angin muson dan pemanasan yang tinggi di permukaan laut. Selama musim hujan, beberapa wilayah di Pulau Sumatera dapat mengalami hujan lebat, yang kadang-kadang dapat menyebabkan banjir dan tanah longsor. Di sisi lain, musim kemarau di pulau ini cenderung terjadi pada pertengahan tahun. Karakteristik iklim ini memiliki dampak besar pada vegetasi, hidrologi, dan kehidupan sehari-hari masyarakat di Pulau Sumatera. Iklim tropisnya mendukung keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki dampak penting pada sektor pertanian dan ekologi regional. Gambar 3. Pola musiman angin dan hujan di wilayah Indonesia. D. Sebaran Hutan dan Populasi di Pulau Sumatera Hutan adalah paru-paru dunia, mencerminkan pentingnya hutan dalam menjaga keseimbangan lingkungan global. Hutan memainkan peran penting dalam menyediakan berbagai manfaat bagi ekosistem dan kehidupan manusia. Hutan merupakan penghasil oksigen utama di bumi melalui proses fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan, terutama pohon-pohon di hutan, menghasilkan oksigen. Oksigen ini sangat penting bagi kehidupan manusia dan hewan di seluruh dunia. Hutan berperan ~ 11 ~ sebagai penyerap karbon dioksida melalui fotosintesis. Proses ini membantu mengurangi jumlah gas rumah kaca di atmosfer dan mengatasi perubahan iklim. Hutan menyediakan habitat alami bagi berbagai macam flora dan fauna. Keanekaragaman hayati ini mencakup berbagai spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang saling bergantung satu sama lain dalam rantai makanan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki peran penting dalam menjaga tata air. Gambar 4. Sebaran hutan hujan Indonesia. (https://www.seputargeografi.com/2022/12/Berbagai-Jenis-Potensi-dan-Sebaran-Hutan-di- Indonesia.html) Pepohonan hutan membantu mengatur aliran air, mencegah erosi tanah, dan menyediakan sumber air bagi sungai dan danau di sekitarnya. Sistem akar pohon di hutan dapat mengikat tanah dengan kuat, mengurangi risiko erosi dan membantu mencegah banjir. Pohon-pohon juga dapat bertindak sebagai penyerap air yang berlebihan selama musim hujan. Akar pohon tidak hanya membantu mencegah erosi, tetapi juga menjaga kualitas tanah. Mereka membantu mempertahankan struktur tanah dan mengurangi kemungkinan terjadinya longsor. Hutan juga memberikan sumber daya bagi masyarakat lokal, seperti kayu, buah- buahan, dan produk hutan non-kayu. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan dapat mendukung keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan manusia. ~ 12 ~ Indonesia memiliki tiga wilayah utama yang mencakup hutan hujan tropis, dan setiap wilayah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Berikut adalah gambaran singkat tentang masing-masing wilayah: Hutan Hujan Tropis Wilayah Barat: Lokasi: Meliputi pulau Sumatera dan Kalimantan (Borneo). Curah Hujan Tinggi: Wilayah ini cenderung memiliki curah hujan yang tinggi sepanjang tahun. Flora dan Fauna Khas: Hutan hujan tropis di wilayah barat kaya akan keanekaragaman hayati. Anda dapat menemukan berbagai spesies tumbuhan dan hewan endemik, termasuk beberapa spesies yang langka. Topografi: Topografi wilayah ini bervariasi, mencakup dataran rendah, pegunungan, dan sungai-sungai besar. Hutan Hujan Tropis Wilayah Timur: Lokasi: Meliputi pulau Papua (Irian Jaya), Sulawesi, Maluku, dan sebagian Kepulauan Nusa Tenggara. Karakteristik Iklim: Iklim di wilayah timur umumnya lebih kering dibandingkan dengan wilayah barat. Meskipun demikian, hutan hujan tropis masih dapat ditemukan, terutama di daerah-daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi. Keanekaragaman Hayati: Wilayah ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan spesies-spesies unik yang sesuai dengan kondisi iklimnya. Topografi: Topografi wilayah ini termasuk pegunungan, dataran rendah, dan kepulauan. Hutan Hujan Tropis Wilayah Peralihan: Lokasi: Merupakan wilayah peralihan antara wilayah barat dan timur, meliputi Jawa, Bali, dan sebagian Kalimantan. Kombinasi Karakteristik: Wilayah ini memiliki kombinasi karakteristik hutan hujan tropis wilayah barat dan timur. Iklimnya mungkin sedikit lebih kering daripada wilayah barat, tetapi tetap mendukung pertumbuhan hutan hujan tropis. ~ 13 ~ Keanekaragaman Hayati: Meskipun mungkin tidak seberagam wilayah barat, wilayah peralihan ini tetap memiliki keanekaragaman hayati yang signifikan. Pengaruh Manusia: Wilayah ini juga dapat lebih dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan deforestasi dibandingkan dengan wilayah hutan hujan tropis murni. Hutan Hujan Tropis di Wilayah Barat (Sumatera, Kalimantan, Jawa) didominasi oleh Family Dipterocarpaceae. Dipterocarpaceae adalah keluarga pohon yang umumnya ditemukan di hutan-hutan tropis Asia Tenggara. Pohon-pohon dipterokarpace dikenal karena memiliki kayu yang bernilai tinggi dan sering digunakan dalam industri kayu. Hutan hujan Tropis di Wilayah Timur (Papua, Maluku, Pulau-Pulau kecil sekitarnya) didominasi oleh Famili Myrtaceae dan Araucariaceae. Keluarga tumbuhan ini mencakup banyak spesies tumbuhan termasuk pohon-pohon di hutan hujan tropis, seperti beberapa jenis eukaliptus dan pohon-pohon pandan. Keluarga Araucariaceae mencakup beberapa spesies pohon seperti cemara dan araucaria, yang dapat ditemui di hutan- hutan pegunungan. Gambar 5. Kondisi sebaran hutan Sumatera (Margono dkk., 2012). ~ 14 ~ Sedangkan Hutan hujan Tropis di Wilayah Peralihan (Jawa, Bali, sebagian Kalimantan) didominasi oleh Famili Verbenaceae, Myrtaceae, dan Araucariaceae. Tumbuhan dengan keluarga ini mencakup berbagai jenis tumbuhan, termasuk beberapa pohon dan semak yang dapat ditemukan di berbagai habitat. Sama seperti yang dijelaskan sebelumnya, famili ini juga dapat ditemukan di wilayah timur. Iklim tropis dan curah hujan yang tinggi di pulau Sumatera menyebabkan pulau ini memiliki berbagai tipe hutan, termasuk hutan gambut, hutan hujan tropis, hutan mangrove dan hutan muson, yang terdistribusi di berbagai wilayah pulau sesuai dengan perbedaan kondisi iklim dan topografinya. Beberapa jenis hutan yang dipengaruhi oleh keadaan iklim pulau Sumatera. Hutan Gambut: Hutan gambut cenderung ditemukan di daerah dengan curah hujan tinggi dan iklim tropis, yang menciptakan kondisi yang mendukung pembentukan lapisan gambut. Wilayah pantai timur Sumatera, terutama di daerah sekitar Riau, merupakan salah satu daerah di mana hutan gambut dapat ditemui. Hutan gambut memiliki tanah gambut yang terbentuk dari material organik yang membusuk di bawah kondisi yang tergenang air. Hutan Hujan Tropis: Pulau Sumatera secara umum memiliki tipe iklim A, yang mendukung perkembangan hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis Sumatera, yang meliputi sebagian besar wilayah pegunungan di sepanjang Pegunungan Barisan, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan mendukung berbagai spesies flora dan fauna. Hutan Muson: Hutan muson, yang umumnya tumbuh di daerah yang mengalami perubahan musim hujan dan musim kemarau, juga dapat ditemui di beberapa bagian Sumatera, terutama di daerah yang lebih terpengaruh oleh pola angin muson. Bagian selatan Sumatera, terutama di sekitar Lampung, dapat mencerminkan karakteristik hutan muson. ~ 15 ~ Hutan Mangrove: Hutan mangrove memiliki ciri khas tumbuh di sepanjang pantai berlumpur, berpasir, dan aliran arus yang tenang. Jenis tumbuhan bakau mendominasi vegetasi hutan mangrove yang tersebar di sepanjang pantai Sumatera. Jenis tumbuhan bakau mendominasi hutan mangrove. Beberapa spesies bakau yang umum ditemukan di sepanjang pantai Sumatera meliputi Rhizophora spp., Avicennia spp., dan Sonneratia spp. Bakau memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di lingkungan pantai yang penuh dengan air asin, seperti akar napas yang muncul dari permukaan tanah untuk mengambil oksigen. Kehadiran dan distribusi berbagai tipe hutan ini menciptakan keragaman ekologi di Pulau Sumatera, yang juga memiliki dampak pada iklim, lingkungan dan kehidupan manusia di wilayah Sumatera. Gambar 6. Sebaran kepadatan penduduk pulau Sumatera. ~ 16 ~ Pulau Sumatera adalah pulau keenam terbesar di dunia dengan luas sekitar 473.481 km². Jumlah penduduk Pulau Sumatera sekitar 60 juta Jiwa pada tahun 2020. Pulau Sumatera terdiri dari sepuluh provinsi, masing-masing dengan karakteristik geografis, budaya, dan ekonomi yang unik. Provinsi dengan populasi penduduk terpadat adalah kepulauan Riau, Sumatera Utara, dan Lampung. Sebaran penduduk di pulau Sumatera dipengaruhi oleh kondisi alam dan ketersediaan sumber daya alam pendukung kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut memberikan gambaran secara luas tentang keragaman etnis dan kegiatan ekonomi di Pulau Sumatera. Suku Melayu sebagai penduduk asli pesisir timur Pulau Sumatera, memiliki pengaruh budaya yang kuat di wilayah ini. Suku-suku lain seperti Batak, Minangkabau, Aceh, Lampung, Karo, Nias, Rejang, Komering, Gayo, Enggano, Mentawai, Devayan, dan lainnya menunjukkan keberagaman etnis yang signifikan di wilayah ini pesisir timur hingga ke kawasan Aceh Besar. Sebagian besar penduduk pendatang terpusat di kota-kota besar seperti Medan, Batam, Pekanbaru, Palembang, dan Bandar Lampung menjadi tempat banyaknya penduduk pendatang. Jawa, Banjar, Sunda, Tionghoa, dan India adalah beberapa kelompok etnis yang menetap di wilayah perkotaan. Pengaruh kultural dan ekonomi dari kehadiran penduduk pendatang membawa pengaruh budaya dan ekonomi yang beragam, menciptakan keragaman dalam aspek-aspek seperti kuliner, bahasa, dan tradisi. Sebagian besar penduduk Sumatera mengandalkan mata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan pedagang. Ini mencerminkan hubungan erat penduduk dengan sumber daya alam dan perekonomian lokal. Penting untuk diingat bahwa keragaman budaya dan etnis di suatu wilayah sering kali menciptakan kekayaan dalam hal tradisi, bahasa, dan adat istiadat. Interaksi antara berbagai kelompok etnis juga dapat memperkaya masyarakat secara keseluruhan. ~ 17 ~ BAB 2 BENTANG ALAM PULAU SUMATERA A. Geologi Pulau Sumatera Pulau Sumatera terletak di antara lempeng samudera dan lempeng benua. Bagian barat pulau didominasi oleh keberadaan lempeng samudera, sementara bagian timur didominasi oleh keberadaan lempeng benua. Berdasarkan penjelasan tentang gaya gravitasi, magnetisme, dan seismik, ketebalan lempeng di Pulau Sumatera sekitar 20 kilometer. Lempeng benua memiliki ketebalan sekitar 40 kilometer. Sejarah tektonik Pulau Sumatera terkait erat dengan pertumbukan lempeng India-Australia dan Asia Tenggara sekitar 45,6 juta tahun yang lalu. Peristiwa ini mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dalam pergerakan relatif lempeng-lempeng, termasuk perubahan kecepatan relatif antar lempeng dan kegiatan ekstrusi. Tumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara menyebabkan perubahan kecepatan relatif lempeng-lempeng tersebut. Kecepatan gerak lempeng India-Australia mengalami fluktuasi akibat proses tumbukan ini. Akhirnya, proses tumbukan tersebut mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar di sebelah timur India. Gerak lempeng India-Australia awalnya memiliki kecepatan 86 mm/tahun, kemudian menurun menjadi 40 mm/tahun akibat proses tumbukan. Setelah itu, kecepatan mengalami kenaikan sampai sekitar 76 mm/tahun. Dinamika tektonik di Pulau Sumatera berdampak terhadap pembentukan struktur geologi dan sesar di wilayah tersebut. Gerakan lempeng yang terjadi secara terus menerus menyebabkan fragmentasi punggungan dan cekungan busur muka di Pulau Sumatera. Hal ini adalah manifestasi proses tektonik yang kompleks dan beragam selama sejarah geologisnya. Adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum dalam sejarah tektonik Pulau Sumatera memainkan peran penting dalam pembentukan tatanan tektonik yang kompleks. Trans- tension adalah kombinasi dari pergerakan tarik (extension) dan lateral ~ 18 ~ (strike-slip), yang dapat menyebabkan deformasi dan fragmentasi. Keadaan tektonik Sumatera terbagi menjadi tiga pola. Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera yang terbentuk sejak 2 juta tahun yang lalu, bagian tengah cenderung tidak beraturan, sementara bagian utara tidak selaras dengan pola penunjaman. Bagian Selatan Pulau Sumatera, menunjukkan pola geser en echelon dan terletak pada kedalaman 100-135 km di atas penunjaman. Pada daerah ini Gunung Api umumnya terletak sebelah Barat atau di dekat sesar-sesar Sumatera. Cekungan Busur terbentuk sederhana, dengan kedalaman 1-2 kilometer, dan bertumpang tindih dengan sesar utama. Relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan berbentuk sederhana. Sesar Mentawai dan Homoklin dipisahkan oleh punggungan dan cekungan busur muka yang relatif seragam dengan sudut kemiringan landai hingga curam. Gambar 7. Geologi Pulau Sumatera. Bagian Utara Pulau Sumatera berbentuk tidak beraturan dan berada pada posisi 125-140 km dari garis penunjaman dengan busur Vulkanik terletak di sebelah utara sesar Sumatera. Punggungan Busur Muka secara ~ 19 ~ struktural dan kedalamannya sangat beragam. Homoklin berada di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer, mirip dengan struktur Mentawai yang berada di sebelah selatannya dengan sudut kemiringan penunjaman yang sangat tajam. Bagian Tengah Pulau Sumatera memiliki karakter sesar Sumatera dengan daerah sepanjang 350 km pada posisi memotong arah penunjaman. Ciri Busur Vulkanik berposisi memotong dengan sesar Sumatera. Memiliki cekungan busur muka topografi dangkal (0,2-0,6 km) dan terbagi-bagi menjadi blok-blok oleh sesar yang memiliki kontruksi miring. Homoklin terletak antara punggungan dan cekungan busur muka yang terpisah-pisah dengan sudut kemiringan penunjaman yang beragam. Kompleksitas struktural dan geologis Pulau Sumatera, yang mencerminkan sejarah tektonik yang beragam di wilayah tersebut yang menghasilakan keragaman lahan, budaya, sosial ekonomi dan ekoregion Pulau Sumatera. B. Bentang Lahan Pulau Sumatera Pulau Sumatera terletak di bagian barat dari rangkaian Kepulauan Nusantara. Pulau Sumatera memiliki posisi yang strategis di gugusan Kepulauan Nusantara dan dikelilingi oleh perairan yang penting. Pulau ini berbatasan dengan Teluk Benggala pada bagian utara, berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah timur, di sebelah selatan dengan Selat Sunda, dan di sebelah barat dengan Samudera Hindia. Di sektor timur pulau, terdapat berbagai daerah rawa yang dilintasi oleh sungai-sungai besar seperti Asahan (Sumatera Utara), Siak, Kampar, dan Sungai Indragiri (Riau), Jambi), Batang Hari (Sumatera Barat, Ketahun (Bengkulu), Ogan, Musi, Lematang, dan Way Sekampung (Lampung) serta Komering (Sumatera Selatan). Pembagian fisiografi Pulau Sumatera memberikan wawasan tentang kompleksitas topografi dan geologi pulau Sumatera serta memengaruhi pola penggunaan lahan di masing-masing zona tersebut. Pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari utara hingga selatan di bagian barat Pulau Sumatera menjadi salah satu faktor utama mengapa hanya sedikit ~ 20 ~ wilayah ini yang cocok digunakan untuk pertanian padi. Pegunungan ini memiliki karakteristik lahan yang cenderung curam, dengan lereng- lereng yang terjal dan ketinggian yang bervariasi. Gambar 7. Peta Wilayah Perairan Sumatera. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:Peta_Wilayah_Sungai_di_Pulau_Sumatera.jpg Sungai-sungai tersebut memainkan peran penting dalam irigasi, transportasi, dan ekosistem lingkungan di Pulau Sumatera. Pembagian Pulau Sumatera menjadi enam zona fisiografi, seperti yang dijelaskan oleh van Bemmelen pada tahun 1949, memberikan gambaran umum tentang keragaman landscape pulau ini. Berikut adalah ringkasan dari keenam zona tersebut: Zona Jajaran Barisan: Merupakan zona pegunungan yang membujur dari utara ke selatan di bagian barat Pulau Sumatera. Dikenal dengan Pegunungan Barisan yang mencakup serangkaian pegunungan. Zona Semangko: Merupakan zona yang terletak di antara Pegunungan Barisan dan Pegunungan Bukit Barisan. Mungkin mencakup dataran rendah atau tanah yang lebih datar di antara pegunungan. ~ 21 ~ Zona Pegunungan Tigapuluh: Merupakan zona pegunungan yang terletak di bagian tengah Pulau Sumatera. Dikenal dengan sebutan Pegunungan Tigapuluh. Zona Kepulauan Busur Luar: Merupakan zona yang mencakup kepulauan di sekitar Pulau Sumatera termasuk pulau-pulau di sepanjang pesisir timur dan barat Sumatera. Zona Paparan Sunda: Merupakan zona yang mencakup dataran rendah atau dataran tinggi di sebelah timur Pegunungan Bukit Barisan. Zona Dataran Rendah dan Berbukit: Merupakan zona yang mencakup dataran rendah dan berbukit di sebelah timur Pulau Sumatera sebagian besar adalah lahan pertanian dan permukiman. Karakteristik landscape pada area ini mengakibatkan beberapa kendala dalam pengembangan pertanian padi, di antaranya lereng yang terjal menyulitkan pengaturan drainase air, yang dapat mengakibatkan masalah seperti erosi tanah dan banjir. Sebagian besar lahan pertanian padi di pulau Sumatera cenderung terdapat di dataran rendah bagian timur atau dataran aluvial yang lebih mudah diakses dan lebih cocok untuk pembentukan lahan sawah yang diperlukan untuk pertanian padi. Bentang lahan pertanian padi yang unik dapat dijumpai pada daerah pegunungan seperti di Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera selatan yang dikenal dengan lahan Padi Ladang. Lahan Padi Ladang (atau sering disebut juga sebagai padi Gogo) adalah jenis padi yang tumbuh di lahan kering atau tanah yang tidak tergenang air seperti pada sawah. Berbeda dengan padi sawah yang ditanam di lahan yang diisi dengan air, padi gogo dapat tumbuh di daerah-daerah yang tidak memiliki irigasi yang memadai. Padi gogo biasanya ditanam di lahan-lahan yang lebih miring atau lereng gunung, di dataran tinggi, atau di daerah-daerah dengan air tanah yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. ~ 22 ~ Gambar 8. Zona fisiografi van Bemmelen pulau Sumatera. Pertumbuhan padi gogo tidak memerlukan genangan air yang konstan, sehingga cocok untuk daerah-daerah dengan kondisi tanah yang tidak mudah tergenang. Padi gogo dapat menjadi alternatif yang penting untuk daerah-daerah yang tidak memenuhi kondisi ideal untuk pertanian padi sawah. Pulau Sumatera memiliki beberapa dataran tinggi yang terkenal dengan keindahan alamnya dan juga kesuburannya, seperti wilayah Alas Gayo yang merupakan dataran tinggi yang terletak di Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Dataran tinggi ini dikelilingi oleh pegunungan dan bukit-bukit yang hijau. Wilayah ini terkenal dengan kopi Gayo yang memiliki rasa dan aroma yang khas. Selanjutnya adalah Dataran Tinggi Agam terletak di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Wilayah ini dikenal dengan teras-teras sawah yang membentang di lereng-lereng bukit (Padi Gogo). ~ 23 ~ Bentang lahan Pulau Sumatera tidak lepas dari rangkaian pegunungan yang memiliki karakteristik beragam, salah satu Gunung yang ikonik di Sumatera adalah gunung Kerinci. Gunung merupakan daratan yang menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan area sekitarnya, sehingga menghasilkan topografi yang unik. Gambar 9. Gunung Kerinci, Taman Nasional Kerinci Seblat. https://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Kerinci#/media/Berkas:Uprising-mount_kerinci.jpg Gunung Kerinci merupakan gunung berapi tertinggi di wilayah Asia Tenggara dengan ketinggian 3805 mdpl yang terletak di Provinsi Jambi, Sumatera, Indonesia. Keberadaannya di wilayah yang terletak di Cincin Api Pasifik, yang merupakan kawasan dengan banyak gunung berapi aktif menjadikan gunung ini sebagai salah satu landmark alam Indonesia yang kaya budaya dan ekologi. Keberadaannya menciptakan lanskap yang menarik dan berkontribusi pada warisan alam bangsa. Gunung Kerinci terasimilasi di dalam Taman Nasional Kerinci Seblat, yang merupakan taman nasional terluas di Sumatera. Taman nasional ini memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa dan menjadi habitat bagi banyak spesies unik, termasuk harimau Sumatera dan badak Sumatera yang terancam kepunahan. ~ 24 ~ Danau adalah akumulasi air yang terkumpul di suatu depresi atau cekungan alami di permukaan bumi, cekungan ini dapat disebabkan oleh berbagai proses geologis, seperti tektonika lempeng, glasiasi, atau aktivitas vulkanik sehingga keberadaan danau sering kali dikaitkan dengan keberadaan pegunungan api. Sumber air danau dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk mata air, sungai, salju yang meleleh, atau hujan yang meresap ke dalam tanah. Beberapa danau di pulau Sumatera yang terkenal adalah danau Laut Tawar yang berlokasi di Daratan Tinggi Gayo, Provinsi Aceh dengan luas lebih dari 69 km2. Danau ini terbentuk melalui aktivitas tektonik dan vulkanik. Danau Singkarak yang terletak di Provinsi Sumatera Barat. Danau ini menjadi populer di dunia sejak berlangsungnya satu event olahraga internasional yaitu kejuaraan balap sepeda dunia “Tour de Singkarak”. Danau Ranau merupakan danau terluas kedua di Pulau Sumatera setelah danau Toba, danau ini terletak di antara dua provinsi, yaitu Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Provinsi Sumatera Selatan, Danau Ranau menciptakan batas alam antara kedua provinsi tersebut. Gambar 10. Danau Toba: salah satu danau kaldera terbesar di Dunia. https://liputanbangsa.com/danau-toba-terancam-tak-lagi-masuk-global-geopark-unesco-liputan-online- indonesia/ ~ 25 ~ Beberapa danau terbentuk di dalam kaldera gunung api yang tidak aktif atau setelah letusan gunung berapi. Danau kaldera seringkali memiliki karakteristik danau yang besar dan dalam. salah satu danau kaldera yang paling terkenal di Dunia adalah Danau Toba. Danau Toba terletak di dalam kaldera supervulkan yang berlokasi di provinsi Sumatera Utara, yang merupakan bekas dari letusan gunung berapi Toba purba yang sangat besar yang terjadi sekitar 74.000 tahun yang lalu. Letusan ini dianggap sebagai salah satu letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah manusia. Danau ini memiliki panjang 100 km dan lebar 30 km dengan kedalaman danau mencapai 508 meter, menjadikan Danau Toba sebagai salah satu danau terdalam di dunia. Kapasitas volume airnya yang besar juga membuatnya menjadi danau terbesar di Indonesia serta danau vulkanik terbesar di dunia. Letusan gunung Toba Purba menciptakan kaldera raksasa yang kemudian terisi oleh air hujan dan mata air bawah tanah, membentuk Danau Toba. Setelah letusan utama, aktivitas vulkanik masih berlanjut di sekitar kaldera, menyebabkan perubahan bentuk daratan danau dan membentuk pulau-pulau kecil, termasuk Pulau Samosir. Proses erosi dan sedimentasi dari aliran air danau serta aktivitas geologis lanjutan lainnya memengaruhi proses pembentukan Pulau Samosir. Sedimentasi dan pengendapan material di sekitar pulau menghasilkan kontur danau yang khas dengan Pulau Samosir yang berlokasi di dalam kaldera tersebut, yang seiring waktu terisolasi dan terpisah menjadi pulau karena air danau mengelilinginya. C. Bentang Budaya Pulau Sumatera Pulau Sumatera memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, dan setiap provinsi di dalamnya menonjolkan keunikan dan kekhasannya masing-masing yang dipengaruhi oleh bentang alam, iklim dan asimilasi budaya. Rumah Panggung merupakan salah satu ciri khas konstruksi rumah adat dari sebagian besar Pulau Sumatera. Secara umum Rumah Panggung memiliki ciri bangunan yang menyesuaikan dengan kondisi alam dan iklim di wilayah tersebut. Rumah Rakit adalah rumah tradisional yang terbuat dari bambu dan kayu serta didesain untuk ~ 26 ~ mengapung di atas air. Konstruksi rumah ini memungkinkan penghuninya untuk tinggal di atas air dan sering digunakan oleh masyarakat pesisir untuk memudahkan akses ke perairan. Rumah Limas merupakan rumah adat yang memiliki bentuk atap berbentuk piramida atau limasan. Struktur atapnya memberikan ruang ekstra di bagian atas yang memberikan sirkulasi udara yang baik. Rumah Panggung adalah rumah tradisional yang dibangun di atas tiang-tiang kayu. Bangunan rumah ini meninggikan lantai dari permukaan tanah untuk melindungi dari banjir, hewan liar, dan memudahkan sirkulasi udara di bawah bangunan. Gambar 11. Tari Bedana; simbol kearifan masyrakat Lampung. https://www.tribunnewswiki.com/2021/03/31/tari-bedana Setiap daerah di Sumaetra memiliki gaya tari yang berbeda-beda tergantung pada kekayaan budaya dan sejarahnya. Tarian tradisional sering kali merupakan ekspresi seni yang menggabungkan elemen- elemen musik, gerakan, dan pakaian untuk menciptakan pengalaman yang kaya secara visual dan artistik. Tari tradisional di berbagai daerah mencerminkan kekayaan budaya, sejarah setempat, dan kondisi alam. Dalam konteks ini, beberapa ciri khas tari di Sumatera adalah gerakan Lincah dan Gesit, hal Ini dapat mencerminkan kehidupan sehari-hari, kegiatan pertanian, atau cerita mitologis, dengan gerakan yang menggambarkan keceriaan dan kehidupan masyarakat. Umumnya penekanan pada gerakan kaki yang dapat memberikan karakteristik ~ 27 ~ tarian dari setiap daerah, mencakup langkah khas, irama, atau gerakan- gerakan yang menunjukkan keindahan dan kekuatan. Gerakan yang tangan dan kepala yang sederhana pada bagian tubuh selain kaki. Hal ini bisa membantu penonton untuk lebih memahami cerita yang diceritakan melalui gerakan tersebut. Penggunaan pakaian khas Melayu dapat mencakup baju kurung, kain songket, atau pakaian tradisional khas Melayu. Pakaian ini mencerminkan sejarah dan keberagaman budaya di Pulau Sumatera. Berikut adalah beberapa ciri khas budaya tari dan arsitektur dari beberapa provinsi di Sumatera: Aceh (Nanggroe Aceh Darusalam): Aceh dikenal dengan warisan budaya Islam yang kuat. Adat istiadat dan tradisi Islam sangat kental di provinsi ini. Tarian Saman yang terkenal sebagai tarian yang memerlukan koordinasi yang sangat baik antara para penari. Rumoh Aceh merupakan salah satu rumah adat Aceh yang dikenali dengan bentuknya yang persegi panjang memiliki posisi membujur dari barat ke timur. Sumatera Utara: Suku Batak, salah satu etnis terbesar di Sumatera Utara, memiliki ciri khas yang menonjolkan adat istiadat, musik, dan tarian tradisionalnya. Istana Maimun di Medan adalah salah satu bangunan bersejarah yang mencerminkan kekayaan budaya daerah Medan. Sumatera Barat: Tarian Randai, yang merupakan kombinasi seni bela diri, teater, dan musik tradisional. Rumah Gadang, rumah tradisional Minangkabau yang khas dengan atap berbentuk tanduk kerbau. Riau: Tarian Zapin, tarian tradisional Riau yang kaya akan gerakan- gerakan halus. Rumah Melayu Atap Lontik, yang juga dikenal sebagai Rumah Pelancang, adalah salah satu jenis rumah adat tradisional yang berasal dari suku Melayu di wilayah Riau. Nama "Pelancang" merujuk pada bentuk kaki rumah yang menyerupai perahu atau lancang. ~ 28 ~ Kepulauan Riau: Kaya akan seni dan budaya Melayu, dengan pengaruh dari berbagai suku di sekitarnya termasuk dari negara serumpun tetangga Malaysia. Tari Persembahan adalah salah satu tarian yang umumnya ditampilkan dalam acara-acara adat lainnya. Sama seperti kebanyakan rumah adat Melayu, rumah adat Belah Bubung memiliki struktur panggung yang tinggi. Jambi: Tarian Zapin Melayu Jambi yang mencerminkan keindahan dan kelembutan gerakan. Warisan budaya Kerajaan Jambi yang dapat dilihat dalam benteng dan situs sejarah seperti Makam Taman Rajo-Rajo, Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin terletak di Tanah Garo, Rumah Batu Olak Kemang terletak di Kelurahan Olak Kemang. Bengkulu: Tarian Tari Piring, merupakan tarian yang melibatkan gerakan- gerakan dengan membawa piring yang sangat khas. Bangunan Peninggalan kolonial memberikan pengaruh cukup besar pada corak khas arsitektur di wilayah bengkulu, seperti Benteng Marlborough dan Thomas Parr Monument. Sumatera Selatan: Tarian Tanggai, tarian tradisional yang melibatkan gerakan cepat dan dinamis. Rumah Ulu Besemah atau Ghumah Baghi adalah rumah tradisional Besemah yang memiliki konstruksi rumah panggung dengan atap persegi memanjang yang unik. Bangka Belitung: Rumah Rakit dan Rumah Limas adalah dua jenis rumah adat tradisional yang khas dari Bangka Belitung. Tari Campak adalah tarian tradisional yang berasal dari Kepulauan Bangka Belitung. Tari Campak mendapatkan pengaruh musik dari Portugis yang mencerminkan kecerian bujang dan dayang di provinsi tersebut. Lampung: Tarian tradisional seperti Tari Bedana yang mencerminkan adat istiadat, agama dan etika yang menjadi simbol kearifan masyarakat lampung. Nuwo Sesat merupakan salah satu jenis ~ 29 ~ rumah adat dari suku Lampung terutama di wilayah Pesisir. Ciri khas Nuwo Sesat adalah atap berbentuk limas atau segitiga dengan hiasan ornamen ukiran yang indah. Material untuk bangunan rumah ini terbuat dari bambu dan kayu. Gambar 12. Nuwo Sesat salah satu rumah adat Lampung. https://www.orami.co.id/magazine/rumah-adat-lampung?page=all Indonesia dikenal memiliki keberagaman bahasa, terdapat ratusan bahasa daerah yang digunakan oleh suku-suku yang berbeda di seluruh nusantara. Pulau Sumatera sendiri memiliki banyak bahasa daerah yang digunakan oleh setiap daerah. Beberapa contoh bahasa daerah di Sumatera Utara yang Anda sebutkan, seperti Bahasa Melayu, Bahasa Mandailing/Angkola, Bahasa Batak Toba, Bahasa Simalungun, Bahasa Karo, mencerminkan keberagaman linguistik yang ada di wilayah tersebut. Dialek-dialek dalam Bahasa Batak, seperti dialek Toba, Mandailing, Simalungun, Pakpak (Dairi), dan Karo, menunjukkan variasi linguistik yang tercermin dari perbedaan geografis dan kultural antar- suku di wilayah Sumatera Utara. Dialek-dialek ini sering digunakan secara turun temurun dan menjadi bagian integral dari identitas suku- suku tersebut. ~ 30 ~ "Sai Bumi Ruwa Jurai" menjadi semboyan Provinsi Lampung di Pulau Sumatera. Semboyan ini mencerminkan keberagaman dan identitas kultural masyarakat Lampung. Pemahaman semboyan ini dapat diartikan sebagai "Satu Bumi Dua Jiwa," yang menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Lampung memiliki kesamaan sebagai penduduk satu daerah, namun terdapat perbedaan dalam identitas suku, bahasa, dan budaya. Perbedaan utama yang signifikan, yaitu Suku Lampung Pesisir dan Suku Lampung Pepadun, mencerminkan variasi budaya di provinsi Lampung. Perbedaan tersebut tercermin dalam bahasa, adat istiadat serta aspek- aspek lain dari kehidupan sehari-hari. Bahasa daerah yang digunakan oleh kedua suku ini merupakan salah satu contoh perbedaan yang mencolok. Masyarakat Suku Lampung Pesisir tinggal di sepanjang pesisir Lampung. Bahasa daerah dari suku Pesisir adalah bahasa Lampung dengan dialek “A”. Pelafalan dialek A oleh masyarakat pesisir memiliki ciri dialek dengan akhiran “A” pada sebagian besar tutur kata dalam kehidupan sehari-hari. Suku Lampung Pepadun, tinggal di daerah tengah atau daratan Lampung hingga kepegunungan, membentuk kelompok masyarakat dengan karakteristik unik dengan sistem kekerabatan patrilineal melalui garis keturunan Ayah, yang sering kali dapat memengaruhi struktur sosial dan warisan di masyarakat. Bahasa Lampung dengan dialek "O" yang digunakan oleh masyarakat suku Pepadun menunjukkan keragaman linguistik di dalam kelompok etnis ini yang dipengaruhi oleh kondisi alam dan geografis disekitar lingkungan masyarakat Pepadun. Bentang budaya Pulau Sumatera sangatlah kaya, sebagian secara sederhana telah dijabarkan secara singkat dalam subbat ini, namun mempelajari dan melestarikan budaya daerah merupakan salah satu sumbangsih penting bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk terus menjaga warisan budaya Bangsa. Mengeksplorasi lebih lanjut terkait budaya tidak hanya di Pulau Sumatera adalah salah satu kontibusi kita bersama sebagai bagian Bela Negara melalui pendidikan budaya. ~ 31 ~ D. Ekoregion Pulau Sumatera Ekoregion, atau ekosistem regional, merujuk pada wilayah geografis yang memiliki kesamaan dalam ciri-ciri iklim, tanah, air, flora, fauna asli, dan pola interaksi manusia dengan alam. Konsep ini membantu mengidentifikasi dan memahami kesamaan dalam sistem alam dan lingkungan hidup di suatu wilayah. Ekoregion menjadi unit spasial dalam inventarisasi dan analisis lingkungan hidup, memungkinkan peneliti dan ahli lingkungan untuk fokus pada karakteristik khas dari suatu wilayah tertentu. Ekoregion memainkan peran penting dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam serta landasan dalam pengembangan sumber daya manusia pada wilayah Sumatera. Identifikasi ekoregion membantu dalam analisis dan pengembangan yang tepat dan efektif, karena dapat menyesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan yang unik di setiap wilayah. Gambar 13. Peta Ekoregion Sumatera. https://html.scribdassets.com/5t2yxd46o0a6t6qg/images/4-ec17f599c2.jpg Ekoregion Sumatera memperlihatkan keunikan yang mencakup aspek abiotik (faktor non-hidup), biotik (faktor hidup), serta kultural. Pegunungan yang membentang dari barat hingga timur Sumatera memberikan ciri khas abiotik pada ekoregion ini. Proses geologis yang ~ 32 ~ terkait dengan pembentukan pegunungan juga menghasilkan kekayaan sumber daya mineral. Sumatera menjadi tempat yang kaya akan berbagai jenis mineral, yang menjadi potensi ekonomi dan sumber daya yang penting. Ekoregion Sumatera memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan spesies-spesies tumbuhan dan hewan yang unik. Hutan hujan tropis Sumatera menjadi rumah bagi banyak flora dan fauna langka, termasuk beberapa spesies endemik yang hanya ditemukan di pulau Sumatera. Hutan hujan tropis di ekoregion ini adalah salah satu yang paling beragam di dunia, mencakup flora dan fauna yang melibatkan tingkat endemisme yang tinggi. Pengaruh siklus monsun di ekoregion ini juga dapat mencerminkan dalam budaya masyarakat setempat, termasuk dalam pola pertanian dan kehidupan sehari-hari yang terkait dengan musim kemarau dan musim hujan. Kondisi tanah yang beragam di Sumatera memainkan peran penting dalam menentukan potensi pertanian dan penggunaan lahan. Tanah Aluvial Hidromorfik terdapat di daerah pantai sebelah timur Sumatera dan daerah hilir sungai-sungai besar. Tanah ini cenderung memiliki kandungan air yang tinggi dan sangat cocok untuk pertanian. Tanah Aluvial dan Hidromorfik Kelabu ditemui di daerah seperti hulu, tenggara, selatan Sumatera Utara, Aceh Barat, barat laut, dan selatan Sumatera Barat. Kondisi ini membuat daerah hulu menjadi strategis untuk perkebunan. Daerah hulu, khususnya yang memiliki tanah aluvial dan hidromorfik, dianggap strategis untuk perkebunan karena kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman. Potensi ini mungkin dimanfaatkan untuk pengembangan sektor pertanian dan perkebunan di wilayah tersebut. Pulau Sumatera memiliki banyak danau dan sungai besar yang sebagian besar bermuara ke Samudera Hindia. Sumberdaya air permukaan yang besar ini mendukung keberlanjutan pertanian, kehidupan hewan liar, dan kebutuhan masyarakat. Sumatera memiliki potensi sumberdaya air bawah tanah yang sangat besar, bahkan dianggap sebagai yang terbesar di Indonesia. Ketersediaan air bawah tanah ini menjadi kunci untuk memenuhi kebutuhan air dalam pertanian, industri, dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan pemahaman yang baik terhadap kondisi tanah ~ 33 ~ dan air di Sumatera sangat penting untuk merencanakan pengembangan wilayah, pertanian yang berkelanjutan, dan konservasi lingkungan. Pembagian zona flora dan fauna di ekoregion Sumatera yang termasuk dalam tipe Asiatis menunjukkan adanya kesamaan dengan spesies-spesies yang umumnya ditemui di sekitar negara-negara Asia. Meskipun demikian, keberadaan flora dan fauna endemik menunjukkan keunikan dan kekhasan ekoregion Sumatera. Beberapa flora endemik yang terdapat pada ekoregion Sumatera contohnya Bunga Cempaka dan Bunga Rafflesia. Sedangkan beberapa fauna endemik antara lain Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, dan Beruang Madu. Gambar 14. Bunga Rafflesia endemik Sumatera. https://asset.kompas.com/crops/7sKHKIunhIy1ypFsTnbGMx1DWe8=/3x0:996x662/1200x800/data/photo/2022/01/25/61ef9ca74ad26.jpg E. Hasil Bumi Pulau Sumatera Pulau Sumatera merupakan pulau terbesar keenam di dunia, dengan kondisi alam dan kekayaan hasil bumi yang melimpah, Sumatera dikenal sebagai salah satu pusat produksi hasil bumi penting di Indonesia. Potensi perkebunan di Pulau Sumatera didominasi komoditas seperti kelapa sawit, karet, kelapa, dan kopi. Sumatera dikenal sebagai adalah salah satu produsen utama kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit digunakan ~ 34 ~ untuk memproduksi minyak kelapa sawit, yang banyak digunakan dalam industri makanan, kosmetik, dan bioenergi. Sekitar 53% produksi kelapa sawit nasional diproduksi di Pulau Sumatera, sebesar 24,4 juta ton pada tahun 2021. Produksi karet di Pulau Sumatera mencapai 2,2 juta ton atau 70% dalam skala nasional, produksi kelapa mencapai 722 ribu ton atau 25% pada skala nasional, dan produksi kopi sebesar 374 ribu ton atau 48% pada skala nasional. Sumatera adalah salah satu kepulauan utama di Indonesia yang berkontribusi signifikan terhadap produksi minyak. Minyak dan gas bumi memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, dan Sumatera menjadi salah satu pusat kegiatan ekstraksi minyak nasional sejak zaman kolonial Belanda. Beberapa provinsi di Sumatera seperti Riau, Sumatera Barat, Sumatera Tengah, Aceh (yang mencakup Sumatera Utara), dan Sumatera Selatan memiliki cadangan minyak yang cukup besar. Salah satu daerah administratif seperti Kepulauan Natuna berkontribusi terhadap produksi minyak nasional. Kabupaten Natuna dikenal memiliki cadangan minyak bumi dan gas bumi yang melimpah. Cadangan minyak sebesar 298,81 juta barel dan cadangan gas bumi sebesar 55,3 triliun kaki kubik adalah jumlah cadangan minyak dan gas tertinggi di Asia Tenggara. Cadangan sumber daya alam ini membuat Kabupaten Natuna menjadi salah satu daerah yang strategis dalam kontribusinya terhadap produksi minyak dan gas bumi di Indonesia. Gambar 15. Produksi Hasil Perkebunan utama Sumatera tahun 2021. ~ 35 ~ Pulau Sumatera memiliki cadangan batubara yang tinggi. Batubara adalah salah satu sumber daya energi Indonesia dan banyak diekspor ke berbagai negara. salah satu daerah penghasil batubara di Sumatera adalah Tanjung Enim. Tanjung Enim merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Tanjung Enim memproduksi batubara sejak zaman kolonial Belanda. Batubara tetap menjadi komoditas utama yang dihasilkan pertambangan Tanjung Enim hingga saat ini. Formasi geologi di daerah Tanjung Enim adalah salah satu formasi pembawa batubara yang berasal dari Cekungan Sumatera Selatan yang diendapkan di lingkungan fluvial pada Miosen Akhir– Pliosen Awal yang terbentuk di sepanjang sistem sungai. Batubara Formasi Tanjung enim umumnya merupakan batubara berperingkat rendah (lignit–sub-bituminus), kecuali pada beberapa wilayah menuju hulu muara yang terpengaruhi intrusi batuan beku yang menghasilkan batubara jenis antrasit. Pengelolaan sumber daya alam di Sumatera melibatkan berbagai aspek, termasuk eksplorasi, eksploitasi, dan manajemen yang berkelanjutan. ~ 36 ~ BAB 3 LINGKUNGAN PESISIR DAN LAUT SUMATERA A. Pendahuluan Lingkungan pesisir merupakan wilayah peralihan (interface) antara darat dan laut yang dimana bagian lautnya masih dipengaruhi oleh proses alamiah didaratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai. Bagian darat masih dipengaruhi oleh dinamika oseanografi seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air laut. Undang Undang No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendefenisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut dengan batas ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil menurut batas yurisdiksi suatu negara. Menurut transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir menciptakan bentuk ekosistem yang beragam (diverse) dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang sangat besar terhadap manusia. Beragamnya bentuk pemanfaatan yang timbul dalam ruang pesisir menjadikan kawasan tersebut menjadi sangat rentan mengalami kerusakan. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan perhatian dan kepedulian terhadap wilayah ini khususnya dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sejarah mencatat bahwa banyak kota-kota penting di dunia bertempat tidak jauh dari laut. Alasannya adalah di kawasan ini memungkinkan untuk terjadinya kegiatan perdagangan secara lokal, nasional hingga internasional. Selain itu, karena wilayah pesisir menyimpan sumberdaya kelautan dan perikanan yang potensial untuk menunjang pembangunan ekonomi suatu negara. B. Karakteristik Wilayah Pesisir Karakteristik wilayah pesisir memiliki perbedaan dengan ekosistem yang terdapat di daratan. Karakteristik ekosistem utama penyusun wilayah pesisir menurut adalah: ~ 37 ~ 1. Terdapat habitat dan ekosistem seperti estuaria, mangrove, lamun dan terumbu karang yang dapat menyediakan produk perikanan, mineral dan minyak bumi. Penyedia jasa seperti pelindung alami dari badai dan gelombang pasang dan sarana rekreasi. 2. Terdapat persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya dan ruang oleh berbagai stakeholder, yang dapat menimbulkan konflik dan kerusakan terhadap sumberdaya 3. Merupakan sumber pendapatan bagi negara pesisir yang bergantung pada aktifitas seperti perkapalan, wisata pantai, penambangan minyak dan gas. 4. Memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan merupakan tujuan utama untuk urbanisasi. Potensi wilayah pesisir untuk dapat dijadikan sebagai penopang ekonomi Indonesia sangatlah besar. Potensi lainnya yang dimiliki oleh wilayah pesisir adalah sebagai berikut: 1. Secara sosial, daerah pesisir merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang, dengan melihat fakta bahwa wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 132 juta jiwa atau sekitar 60% dari penduduk Indonesia yang tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. 2. Sekitar 300 kabupaten/kota berada di wilayah pesisir, namun kewenangan tetap ada diprovinsi. Kabupaten/kota tersebut merupakan garda terdepan indikator keberhasilan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. 3. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 30%. Wilayah pesisir juga dapat dijadikan sebagai sumberdaya masa depan (future resources) dengan mengembangkan secara optimal potensi berupa sumber energi dan farmasi. 4. Wilayah pesisir di Indonesia sebagai kawasan lalu lintas kapal untuk kepentingan perdagangan (ekspor) di wilayah Asia Pasifik. 5. Sumberdaya pesisir kaya akan potensi pertambangan yang diketahui sekitar 60% cekungan minyak. Perikanan dengan potensi 9,3 juta ton/tahun yang tersebar pada 11 Wilayah ~ 38 ~ Pengelolaan Perikanan (WPP). Pariwisata bahari yang sangat dikenal duni dengan mengandalkan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sebagai daya tarik ekowisata. Pusat biodiversity dunia karena sekitar 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia. Pulau Sumatera merupakan pulau terbesar ketiga di Indonesia dengan luas wilayah sebesar 473.481 Km dengan jumlah provinsi 2 terbanyak yaitu 10 provinsi yang seluruhnya memiliki kawasan pesisir dan laut. Kawasan pesisir dan laut Pulau Sumatera menyimpan berbagai sumberdaya alam yang terbaharui hingga sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Terdapat empat jenis ekosistem pesisir yang dapat dijumpai di Pulau Sumatera yaitu: (1) Ekosistem Estuaria (2) Ekosistem Mangrove (3) Ekosistem Lamun dan (4) Ekosistem Terumbu Karang. Pada sub bab berikutnya akan dijelaskan terkait ke empat jenis ekosistem tersebut. C. Estuaria Definisi dan Karakteristik Fisika Estuaria merupakan lingkungan yang unik, berbagi karakteristik dengan lautan, danau dan sungai, namun estuari sangat berbeda dengan ketiga komponen ini. Estuari berasal dari bahasa latin “aestuarium” yang secara harfiah berarti tempat pasang surut. Estuari adalah badan air pantai semi-tertutup yang memiliki hubungan bebas dengan laut terbuka dan didalamnya air laut diencerkan dengan air tawar yang berasal dari daratan. Terbentuknya estuari terdiri dari empat proses geologis yang berbeda yaitu (1) tenggelamnya muara sungai akibat kenaikan permukaan laut dan subsiden tanah (2) pembentukan lereng pantai seperti patahan oleh gaya tektonik (3) pembentukan bar atau pulau penghalang oleh endapan sedimen di sepanjang pantai (4) pengukiran (carving) lembah pesisir oleh gletser dan membentuk fjord. Rentang pasang surut yang terjadi pada estuari berkisar dari mikropasang surut (cm) hingga makropasang surut (hingga 10 m atau lebih, bahkan untuk kondisi ekstrim bisa mencapai >20 m). ~ 39 ~ Tipe estuari berdasarkan profil hidrologisnya dibagi menjadi tiga 1. Profil hidrografis berlapis (highly stratified), yaitu profil yang dicirikan terdapatnya dominasi aliran sungai dibandingkan dengan pasang-surut, sebagaimana yang biasa terjadi di muara sungai besar. Masa air tawar yang besar cenderung terapung di atas air laut yang memiliki berat jenis yang lebih tinggi, sehingga terbentuk bidang pemisah di antar kedua lapisan tersebut (wedge) yang melintang di sepanjang dasar perairan. Tipe pelapisan hidrografis ini akan memperlihatkan sifat holoklin (holocline) pada salinitasnya, yaitu terdapatnya zona perubahan yang tajam pada salinitas air permukaan dan air dasar di perairan estuari tersebut. 2. Profil hidrografis teraduk sebagian (partially mixed), yaitu profil yang terbentuk dimana input air tawar dan pasang-surut lebih seimbang pengaruhnya. Media pengadukkan yang bekerja secara dominan pada tipe perairan ini adalah efek pasang-surut yang berlangsung secara periodik. Profil salinitas secara vertikal lebih tergradasi karena terdapatnya pengadukan secara vertikal yang kemudian membentuk pola pelapisan yang kompleks pada masa air. 3. Profil hidrografis tercampur sempurna (vertically homogenous), merupakan tipe estuari yang didominasi oleh efek pasang-surut yang kuat. Air cenderung teraduk dengan sangat baik mulai dan permukaan hingga dasar perairan. Kandungan salinitas relatif tinggi, hampir mendekati salinitas air laut. Variasi utama yang terjadi pada tipe estuari ini lebih banyak terdapat secara horizontal dan pada secara vertikal. Estuari yang memiliki pasir penghalang (bar-built estuary) atau estuari yang tidak memiliki sungai besar merupakan contoh dan tipe perairan ini. Karakteristik Kimia Estuaria Salinitas atau kadar garam merupakan faktor yang paling dinamis pada sebagian besar estuari, berkisar 0 ppt hingga >35 ppt. Dinamisnya kondisi salinitas tersebut tidak terlepas dari adanya sistem sungai atau ~ 40 ~ aliran air tawar yang masuk dikawasan estuari, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Gradien salinitas mempengaruhi konsentrasi dan perilaku zat kimia lainnya secara langsung dan tidak langsung. Logam terlarut, kontaminan organik, nutrisi dan bahan kimia lainnya berinteraksi dengan salinitas melalui berbagai proses. Kekuatan ion air estuari terutama yang dipengaruhi oleh salinitas mempengaruhi aktifitas kimia, kelarutan dan bioavailability logam seperti Cd, Cr, Cu, Pb dan Zn. Selain salinitas, beberapa faktor lain yang mempengaruhi kimia perairan di estuari adalah pH, konsentrasi partikel tersuspensi dan materi organik. Nitrogen dan Fosfor merupakan unsur utama untuk fitoplankton, memainkan peranan besar dalam kimia dan ekologi estuari. Produktifitas primer diwilayah estuari dipengaruhi oleh adanya gradien dinamis dari air tawar hingga laut yang menyebabkan ketersediaan unsur P dan N. Kedua unsur tersebut diketahui menjadi faktor pembatas produktifitas primer. Sebagian besar estuari diperkaya oleh N dan P dari sumber antropogenik, dimana pupuk dan limbah manusia serta hewan dengan jumlah yang berlebih masuk ke estuari melalui sungai. Selain itu, pencemaran udara yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, dan hasil kegiatan industri juga bertanggung jawab terhadap beban N yang dilepaskan ke estuari. Jumlah N dan P yang berlebih di badan perairan dapat menyebabkan eutrofikasi, yaitu peningkatan pasokan bahan organik. Bahan organik ini akan terurai menjadi nutrien oleh bakteri yang dibutuhkan oleh fitoplankton sebagai sumber makanan. Hasil penguraian tersebut mengakibatkan pembusukan, dimana pada proses pembusukan menghabiskan oksigen terlarut pada badan air. Eutrofikasi berdampak pada habisnya jumlah oksigen terlarut (dissolve oxygen) sehingga dapat menyebabkan kematian pada biota diperairan. Dampak lain dari eutrofikasi adalah terjadinya ledakan populasi alga (blooming alga) sehingga terjadi air laut akan tercemar oleh fitoplankton. Perairan yang tercemar akan berwarna merah atau hijau dan dapat menghabiskan kadar oksigen didalam perairan. Jika yang terjadi adalah ledakan populasi alga beracun maka dampaknya lebih serius. Dapat mengakibatkan kematian massal ikan dan biota laut lainnya. Jika biota tersebut dimakan oleh manusia akan menyebabkan masalah kesehatan seperti diare. ~ 41 ~ Bioekologi Estuaria Tingginya keanekaragaman hayati di estuaria berasal dari keberadaan spesies yang berasal dari laut, sungai dan spesies yang secara khusus mendiami kawasan estuaria. Walaupun beragam jumlah spesiesnya namun spesies hewan yang secara spesifik tinggal dan menetap dikawasan estuaria jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan spesies yang hidup di laut atau sungai. Hal tersebut disebabkan oleh lingkungan estuari yang sangat dinamis, sehingga hanya beberapa jenis organisme saja yang dapat beradaptasi pada lingkungan tersebut. Lingkungan estuaria merupakan tempat hidup yang keras bagi biota akuatik, karena secara fisiologis biota tersebut harus beradaptasi dengan perubahan salinitas yang drastis dalam waktu yang singkat, suhu, cahaya, arus, kekeruhan serta sifat fisik dan kimia lainnya yang sangat bervariasi di lingkungan tersebut. Rantai makanan estuaria dapat melibatkan hingga delapan trofik yang dimulai dari produsen primer dan detritus hingga zooplankton, meroplankton, hewan bentik, ikan pemangsa dan predator puncak. Berikut disajikan pada Gambar 1 Jaring-jaring makanan pada kawasan estuaria. Gambar 16. Jaring-Jaring Makanan di Kawasan Estuaria (Sumber : Estuaries Classification, Ecology And Human Impacts) ~ 42 ~ Ekologi estuaria ditinjau dari perspektif komunitas organisme yang mendiami kawasan tersebut. Perspektif komunitas memberikan pandangan yang lebih luas tentang ekosistem dari pada hanya terfokus pada spesies tertentu. Sebagai contoh pada kawasan estuaria biasa dihuni oleh komunitas tumbuhan akuatik yang terendam (submersed aquatic vegetation) seperti lamun dan alga. Komunitas tumbuhan tersebut telah banyak diteliti dan dijaga kelestariannya karena merupakan habitat bagi sebagian besar biota laut. Selain itu, komunitas tumbuhan tersebut dapat menjadi indikator tingkat pencemaran perairan terutama terkait dengan eutrofikasi. Makrofauna bentik yang terdapat di estuaria terbagi atas organisme infauna seperti cacing, moluska, krustasea dan invertebrata lain yang hidup didalam sedimen memiliki manfaat secara ekologis yaitu dapat digunakan sebagai indikator polusi, hipoksia dan tekanan lingkungan lainnya. Komunitas ikan yang terdapat di estuaria kurang mendapat perhatian dibandingkan di danau dan sungai, namun tetap memiliki nilai sebagai indikator kondisi ekosistem, terutama pada skala spasial yang luas. Peranan Estuaria Secara ekologis fungsi ekosistem estuaria adalah sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut melalui sirkulasi pasang surut, sebagai tempat biota untuk mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat pengasuhan (nursery ground). Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat bermukim, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri. Potensi estuaria di Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat, berfungsi sebagai tempat hidup dari berbagai biota laut ekonomis penting seperti ikan kerapu, ikan belanak, ikan bandeng, udang, kerang-kerangan serta digunakan sebagai media transportasi dan objek wisata pesisir. Potensi sumberdaya ini bila dikembangkan secara terarah dan terpadu akan memberikan manfaat besar bagi daerah terutama dalam menunjang pendapatan asli daerah (PAD). ~ 43 ~ Hasil penelitian yang dilakukan oleh pada kawasan estuaria Pantai Timur Sumatera menunjukkan bahwa potensi ubur-ubur dikawasan tersebut cukup tinggi, namun belum termanfaatkan dengan baik. Ubur- ubur ditemukan sebagai bahan olahan makanan di negara China, Jepang dan Korea. Keanekaragaman hayati spesies ikan dikawasan Estuari Sungai Musi, Pesisir Kabupaten Banyuasin berdasarkan penelitian yang dilakukan ditemukan sebanyak 32 jenis ikan. Jumlah nutrien yang ditemukan pada perairan estuari termasuk dalam kategori sangat kaya dan merupakan unsur terpenting bagi pertumbuhan fitoplankton. Sehingga kawasan estuari menjadi tempat bagi ratusan jenis ikan ekonomis penting seperti siganus, baronang, sunu dan udang niaga yang memijah di laut lepas membesarkan larvanya di ekosistem ini dengan memanfaatkan sebagai sumber makanan. D. Ekosistem Mangrove Definisi Istilah mangrove memiliki banyak definisi dari berbagai sudut pandang para peneliti yang berkecimpung dibidang ini. Istilah mangrove merujuk pada tumbuhan yang hidup pada hutan pasang surut yang membentuk sebuah komunitas. Umumnya mangrove dapat didefinisikan sebagai jenis vegetasi berkayu yang terdapat di lingkungan laut dan payau, dimana zona pasang surut memainkan peranan penting dalam pola distribusi mangrove yang dimulai dari muka air rendah terendah (LLWL) hingga muka air tertinggi (HHWL). Namun, mangrove hanya dapat ditemui pada daerah tropis dan subtropis karena suhu merupakan faktor pembatas hidup mangrove yang berkisar tidak kurang dari 23˚ C. Kata ‘mangrove’ merupakan tumbuhan dan komunitas, serta untuk menggambarkan komponen tumbuhan penyusun komunitas hutan rapat didaerah intertidal perairan pantai tropis (tropical intertidal closed-forest community). Sedangkan menurut istilah mangrove secara umum digunakan mengacu pada habitat, namun beberapa hal istilah mangrove digunakan untuk jenis tumbuhannya termasuk tumbuhan yang terdapat di pinggiran mangrove seperti formasi Barringtonia dan formasi Pes- Caprae (mangrove ikutan). ~ 44 ~ Terdapat kekeliruan penggunaan istilah ‘bakau’ dimasyarakat, dimana bakau digunakan untuk menggambarkan mangrove sebagai tumbuhan, komunitas dan ekosistem. Sebenarnya bakau merupakan salah satu spesies mangrove dari marga Rhizophora. Saat ini kata mangrove digunakan untuk menjelaskan sebuah kelompok kecil jenis tumbuhan tingkat tinggi, atau keseluruhan komunitas tumbuhan, yang secara istimewa berhasil mengkolonisasi habitat intertidal yang terletak antara daratan dan lautan. Kondisi Mangrove di Indonesia Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas mangrove tertinggi di kawasan Indo-Australia. Dari 50 jenis spesies mangrove sejati yang ada, 40 jenis diantaranya berada di Indonesia. Terdapat perbedaan dalam hal keragaman jenis tiap pulau yang ada di Indonesia. Pulau Jawa sebanyak 166 jenis, Pulau Sumatera sebanyak 157 jenis, Kalimantan sebanyak 150 jenis, Papua sebanyak 142 jenis, Pulau Sulawesi sebanyak 135 jenis, Maluku 133 jenis dan Kepulauan Sunda Kecil sebanyak 120 jenis. Pulau Jawa meskipun memiliki keragaman jenis paling tinggi, namun sebagian besar jenis-jenis ini tercatat berupa jenis gulma seperti Chenopodiaceae, Cyperaceae, Poaceae. Luas kawasan mangrove di Indonesia mencakup sekitar 60% atau sekitar 3,06 juta ha dari total luasan 5,1 juta ha di wilayah Asia Tenggara. Data ini selaras dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Pusat Survey Sumberdaya Alam Laut (PSSDAL) Bakosurtanal sebesar 3,24 juta berdasarkan penafsiran citra satelit tahun 2006-2009. Berikut disajikan pada Tabel 1 Luas mangrove berdasarkan provinsi di Indonesia Tabel 1. Luas mangrove di Indonesia (Bakosurtanal, 2009 dalam Hartini 2010) No Provinsi Luas Mangrove (ha) 1 Nanggroe Aceh Darussalam 22.950,32 2 Sumatera Utara 50.369,79 3 Bengkulu 2.321,87 4 Jambi 12.528,32 5 Riau 206.292,64 ~ 45 ~ 6 Kepulauan Riau 54.681,92 7 Sumatera Barat 3.002,69 8 Bangka Belitung 64.567,40 9 Sumatera Selatan 149.707,43 10 Lampung 10.533,68 11 DKI Jakarta 500,675 12 Banten 2.936,19 13 Jawa Barat 7.932,95 14 Jawa Tengah 4.857,94 15 Jawa Tumur 18.253,87 16 DI Yogyakarta 18.253,87 17 Bali 0,00 18 Nusa Tenggara Barat 11.921,18 19 Nusa Tenggara Timur 20.678,45 20 Kalimantan Barat 149.344,19 21 Kalimantan Tengah 68.132,45 22 Kalimantan Selatan 56.552,06 23 Kalimantan Timur 364.254,99 24 Sulawesi Utara 7.348,68 25 Gorontalo 12.315,47 26 Sulawesi Tengah 67.320,13 27 Sulawesi Selatan 12.821.497 28 Sulawesi Tenggara 44.030,34 29 Sulawesi Barat 3.182,20 30 Maluku Utara 39.659,73 31 Maluku 139.090,92 32 Papua dan Papua Barat 1.634.003,45 Total 3.244.018,46 Pada tabel diatas memperlihatkan bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat menempati urutan pertama provinsi dengan kawasan mangrove terluas di Indonesia sebesar 1.634.003,45 ha atau sekitar 50,4% dari total luasan mangrove di Indonesia. Kemudian diikuti oleh Kalimantan sebesar 638.283,69 ha sekitar 19,7%. Pulau Sumatera menempati posisi ketiga dengan luas 576.956,06 ha sekitar 17,8%. Mangrove di Indonesia saat ini menghadapi berbagai macam ancaman yang sifatnya merusak, terutama konversi lahan mangrove untuk berbagai peruntukan misalnya tambak. Selain itu, mangrove banyak disebabkan oleh pembukaan lahan ~ 46 ~ mangrove untuk pemukiman, perkebunan, pertanian, eksploitasi kayu untuk skala industri hingga digunakan oleh masyarakat lokal untuk kayu bakar. Berikut disajikan pada Gambar 3.2 Peta sebaran mangrove di Indonesia. Gambar 17. Peta Sebaran Mangrove di Indonesia (Sumber: Noor dkk, 2006) Peranan Mangrove a. Secara Fisik Kawasan mangrove memiliki peranan penting dalam menjaga kestabilan garis pantai dari pengaruh abrasi yang sifatnya sangat merusak. Formasi mangrove yang berada didaerah pesisir dapat melindungi pemukiman, tambak, lahan pertanian yang berada dibelakangnya dari gempuran energi gelombang laut dan angin kencang. Mangrove mampu mengurangi kerusakan parah akibat bencana tsunami di Flores di akhir tahun 1993 yang ditunjukkan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Dusun Tongke-Tongke dan Pangasa yang memiliki barisan mangrove yang tebal lebih terlindungi jika dibandingkan dengan dusun lain yang tidak memiliki mangrove menyebabkan kerusakan yang parah. Secara alamiah, mangrove merupakan perangkap sedimen (sediment trap) yang sangat baik di kawasan pesisir. Bentuk perakaran mangrove dengan berbagai bentuk sangat memungkinkan untuk dapat menjebak ~ 47 ~ sedimen yang berasal dari daratan melalui sungai dan sedimen yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Konsekuensinya adalah dapat menciptakan daratan baru kearah laut. Berdasarkan hal tersebut mangrove banyak dipilih sebagai sabuk hijau green belt untuk menjaga garis pantai dan kegiatan-kegiatan rehabilitasi di daerah pesisir. b. Secara Ekologis Fungsi mangrove secara ekologis ditunjukkan oleh tersedianya detritus yang berasal dari daun dan dahan mangrove yang rontok. Organisme yang hidup berasosiasi di ekosistem mangrove ada yang memanfaatkan secara langsung detritus ini sebagai sumber makanan dan sebagian lagi diuraikan oleh bakteri yang hasilnya akan menjadi mineral dan unsur hara yang sangat baik untuk kesuburan perairan. Selain sebagai tempat biota laut untuk mencari makanan, ekosistem mangrove juga dimanfaatkan oleh organisme seperti ikan untuk daerah pembesaran juvenil/anakan ikan. Juvenil ikan cenderung lebih aman dan terlindungi dari predator, arus dan gelombang yang kuat ketika berada di akar-akar mangrove, terutama pada jenis mangrove Rhizhophora sp. Mangrove dalam menunjang perikanan pantai terdiri dari dua kelompok yaitu, (1) Biota laut ekonomis seperti ikan, udang dan molluska memperoleh perlindungan dan makanan berupa bahan organik dalam siklus rantai makanan. (2) Mangrove sebagai ekosistem dengan tingkat produktifitas tinggi yang berperan penting dalam penyediaan bahan organik untuk sumber makanan biota yang hidup didalamnya. c. Secara Ekonomis Produk dari mangrove banyak berasal dari kayu yang dimanfaatkan secara langsung sebagai kayu bakar, bahan bangunan, perikanan, sedangkan produk turunannya berupa kertas, kulit dan obat-obatan. Desa pesisir sangat menggantungkan perekonomiannya pada mangrove yang ada disekitarnya. Sebagai contoh, kegiatan perikanan pantai yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove. Berikut disajikan pada table 2 Beberapa produk yang dihasilkan oleh mangrove ~ 48 ~ Tabel 2. Produk yang dihasilkan mangrove (Sumber : Noor dkk, 2006) A. Produk Vegetasi Kategori Tipe Pemanfaatan Kayu bakar Bahan bakar Arang kayu Alkohol Kayu Konstruksi berat (jembatan) Bantalan rel kereta api Pertambangan Alas dok Tiang bangunan Bahan bangunan Lantai Atap Alas lantai Pagar Pipa Papan Lem Tiang pancing Pelampung Racun ikan Perikanan Perekat jala Tali Jangkar Penahan perahu Fiber sintesis Pewarna kain Tekstil, kulit Pengawetan kulit Pembuatan kain Pertanian Pupuk Produk kertas Berbagai jenis kertas Keperluan rumah tangga Mebel Hiasan Lem Minyak rambut Parfum Isi bantal Keranjang Mainan Racun Tanaman hias ~ 49 ~ Lilin Obat-obatan Anti nyamuk kancing Gula Alkohol Minyak goreng Minuman fermentasi Makanan, minuman dan obat Daging manis (dari propagule) Sayuran (dari propagule, buah atau daun) Kertas rokok Pengganti tembakau B. Produk Hewani Kategori Tipe Pemanfaatan Ikan (Lates calcarifer, Chanos chanos) Krustasea (Penaeus spp., Scylla serrata) Kerang Lain-lain Madu dan lilin (Apis dorsata) Burung Mamalia Reptilia E. Ekosistem Lamun Bioekologi Lamun Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh pada lingkungan yang sepenuhnya terendam oleh air laut. Kemampuan lamun untuk tetap stabil berada dibawah air karena tumbuhan ini telah mengembangkan sistem perakaran yang saling silang dan rhizoma yang tumbuh secara horizontal mengkolonisasi substrat yang ada di pesisir. Lamun dikategorikan sebagai tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rimpang (rhizoma) daun, bunga dan buah sama seperti tumbuhan berpembuluh yang hidup didarat. Kemampuan untuk mengkolonisasi substrat di kawasan pesisir pada zona pasang surut (intertidal) dan subtidal menyebabkan lamun dapat membentuk hamparan luas yang biasa disebut dengan padang lamun. Lamun dapat tumbuh secara optimal pada kawasan pesisir seperti estuari, didepan formasi hutan mangrove, dan dapat juga ditemui pada habitat terumbu karang. Umumnya lamun menyukai substrat berpasir, pasir berlumpur, lumpur hingga substrat berkarang. ~ 50 ~ Distribusi lamun tersebar mulai dari perairan Selandia Baru hingga ke Afrika. Saat ini ditemukan sebanyak 12 genera diseluruh dunia dan 7 genera diantara tersebar di wilayah tropis. Terdapat 58 jenis lamun diseluruh dunia dengan 12 jenis ditemukan di Indonesia yang termasuk kedalam 7 marga dan 2 suku Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae. Distribusi lamun di Indonesia tersebar secara menyeluruh pada perairan dangkal. Lamun dapat tumbuh hingga kedalaman >50 m atau bergantung pada penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Tinggi rendahnya penetrasi cahaya matahari bergantung pada kecerahan suatu perairan, sehingga menjadi salah satu faktor pembatas distribusi lamun. Zonasi tumbuh lamun terdiri 3 kelompok berdasarkan kedalamannya yaitu : (1) zona dangkal yang selalu terbuka saat air surut (0-1 m) ; (2) Zona pasang surut namun tetap terendam saat air surut (1- 5 m) ; (3) zona berupa daerah yang selalu terendam air dan tidak terpengaruh oleh pasang surut (5-35 m). Peranan Lamun Ekosistem lamun memiliki banyak manfaat, baik itu secara langsung dan tidak langsung. Manfaat secara langsung yang diperoleh oleh organisme yang menghuni kawasan ini adalah sebagai tempat penyedia makanan, tempat berlindung, dan tempat pemijahan. Manfaat tidak langsung berupa penyerap karbon (carbon sink) yang sangat baik. Saat ini digunakan istilah Blue Carbon Sink yang merujuk kepada ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Diketahui bahwa Blue Carbon Sink tersebut memiliki efektifitas yang lebih tinggi menyerap karbon mencapai 50% dan mampu menyimpan karbon dalam jutaan tahun melebihi hutan tropis. Fungsi padang lamun terdiri dari (1) sebagai stabilisator perairan karena sistem perakarannya memungkinkan sebagai perangkap dan penstabil sedimen dasar sehingga meningkatkan visibiltas perairan (2) lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut seperti ikan dan non ikan (3) sebagai produsen primer (4) komunitas lamun menyediakan habitat dan sebagai lokasi perlindungan sejumlah spesies ~ 51 ~ biota (5) lamun berfungsi sebagai pendaur zat hara serta elemen-elemen penting di lingkungan laut. Manfaat ekosistem lamun terhadap perikanan, diketahui terdapat 360 jenis ikan, 117 jenis makro alga, 70 jenis krustasea, 24 jenis moluska dan 45 jenis ekinodermata. Keseluruhan biota tersebut saling membentuk interaksi yang selanjutnya membentuk rantai makanan yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu rantai makanan merumput dan rantai makanan detritus. Rantai makanan merumput dihuni oleh dugong, penyu, ikan herbivora dan invertebrata herbivora yang memakan langsung daun lamun. Rantai makanan detritus yang merupakan guguran daun dari lamun sebagai sumber nutrient yang diurai oleh bakteri. Nutrien tersebut dimanfaatkan oleh fitoplankton, kemudian fitoplankton dimakan oleh ikan herbivor, lalu ikan herbivor dimakan oleh ikan karnivor yang pada akhirnya membentuk suatu rantai makanan. F. Ekosistem Terumbu Karang Definisi Terumbu Karang Terumbu karang secara istilah dapat dibagi menjadi dua kata yang berbeda, yaitu terumbu (reef) dan karang (coral). Pengertian terumbu, karang dan terumbu karang ketiganya memiliki makna yang berbeda. Terumbu didefinisikan sebagai tumpukan karbonat yang berasal dari berbagai macam jenis mahluk hidup (bioherm) dan strukturnya dapat tumbuh menuju permukaan perairan serta mampu menahan tekanan yang diakibatkan oleh pengaruh oseanografi. Karang merupakan hewan dari filum cnidaria dan coelenterata yang terbagi menjadi tiga grup yaitu: hydroid, jellyfish dan anthozoa yang terdiri dari karang lunak, gorgonian, anemon, sea pen, black coral dan karang batu. Namun sebagian besar karang yang membentuk terumbu berasal dari ordo Scleractinia (karang batu). Sedangkan terumbu karang dapat diartikan sebagai struktur karbonat yang terbentuk dari kelompok hewan karang dan tumbuhan dari kelompok calcareous, contohnya coraline alga. Bentuk terumbu karang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : (1) Terumbu Karang Tepi (Fringing Reef) merupakan tipe terumbu karang yang tumbuh di tepi pulau atau pantai dan langsung berhadapan ke laut ~ 52 ~ (2) Terumbu Karang Penghalang (Barrier Reef) merupakan terumbu karang yang berkembang jauh dari pantai, sebagai contoh yang paling dikenal adalah Great Barrier Reef yang ada di Australia (3) Terumbu Karang Cincin (Atoll) merupakan terumbu karang yang berbentuk melingkar, sebagai contoh atoll yang ada di Takabonerate Sulawesi Selatan, merupakan atoll terbesar ketiga di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshal dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Bioekologi Terumbu Karang Hewan karang dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan cara hidupnya yaitu berkoloni dan tunggal (soliter). Polip merupakan istilah untuk menyebut satu individu karang. Jika menggunakan istilah soliter berarti karang tersebut berpolip tunggal, begitu pun sebaliknya jika karang tersebut berkoloni berarti ada lebih dari satu polip yang hidup secara berkelompok. Ukuran polip karang berbeda untuk setiap jenisnya, sebagai contoh karang dengan tipe koloni memiliki ukuran diameter polip yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan karang dengan tipe soliter. Umumnya polip karang berukuran 1-3 cm, sedangkan yang berukuran paling besar berukuran 25 cm dijumpai pada jenis Fungia (Karang Jamur) dengan tipe soliter atau berpolip tunggal. Hewan karang bersimbiosis dengan kelompok mikro-alga dinoflagellata yaitu zooxanthella. Peranan zooxanthella ini sangat krusial bagi kelangsungan hidup hewan karang karena sebagai penentu terkait pola pertumbuhan karang dan berperan dalam proses pembentukan terumbu. Selain bersimbiosis dengan karang, zooxanthella juga bersimbiosis dengan beberapa jenis hewan lainnya seperti kima, anemon, spons dan beberapa jenis ubur-ubur. Pertumbuhan karang sangat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia perairan, antara lain intensitas cahaya matahari, salinitas, suhu, pH dan sedimen. Selain faktor tersebut, terdapat faktor biologis yang mempengaruhi pertumbuhan karang yaitu predator seperti jenis bintang laut mahkota duri Achantaster planci. Jenis bintang laut ini dapat memangsa polip karang dalam jumlah yang masif. Cahaya matahari berperan dalam pertumbuhan karang, namun berkorelasi terhadap kecerahan perairan. Semakin cerah suatu perairan maka penetrasi cahaya matahari akan semakin tinggi. Kondisi tersebut berdampak ~ 53 ~ pada kemampuan alga simbion zooxanthella untuk dapat berfotosintesis dengan optimal. Hasil fotosintesis tersebut digunakan sebagai salah satu sumber makanan karang. Salinitas yang ideal untuk pertumbuhan karang berkisar 30-33 ‰ (per mil). Perubahan salinitas perairan dapat berubah karena pengaruh dari alam berupa hujan, run off dari daratan dengan media sungai. Hewan karang memiliki toleransi salinitas minimum diangka 17,5 ‰ dan maksimum hingga 52,5 ‰. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan karang berkisar 23-25°C dengan suhu maksimal yang mampu ditolerir berkisar 30-40°C. Perubahan suhu sekitar 4-6°C secara mendadak dapat mengakibatkan kematian pada hewan karang. Peranan Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang memiliki peranan yang penting bagi manusia dan biota laut yang menghuni kawasan tersebut. Biota laut banyak memanfaatkan ekosistem terumbu karang sebagai tempat untuk mencari makan, pemijahan, pengasuhan dan perlindungan. Manusia memanfaatkan sebagai lokasi penangkapan ikan, jasa lingkungan berupa objek wisata dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan perikanan tangkap. Tingkat produktifitas primer terumbu karang menempati urutan ketiga setelah ekosistem mangrove dan ekosistem lamun dengan nilai produktifitas berkisar 1800-4200 gC/m /tahun. Terumbu karang di 2 Indonesia dengan luas 75.000 km atau sebesar 14% dari total luas 2 terumbu karang dunia. Terumbu karang berdasarkan manfaatnya dibagi menjadi 3 kategori: 1. Terumbu karang dalam aspek ekologi Manfaatnya berupa hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya berupa : (a) merupakan sebuah habitat dan menjadi sumber makanan beragam biota laut, selain itu sebagai lokasi untuk tempat tinggal, berlindung dan berkembang biak (b) sebagai sumber keanekaragam hayati yang tinggi (c) berfungsi sebagai pelindung ekosistem yang ada disekitarnya seperti ekosistem lamun dan mangrove dengan memperkecil energi gelombang yang menuju daratan (d) mengurangi pemanasan global, dengan adanya zooxanthella mampu ~ 54 ~ mengubah CO2 menjadi zat kapur yang merupakan bahan pembentuk terumbu. 2. Terumbu karang dalam aspek sosial Terumbu karang dapat dimanfaatkan sebagai sarana penunjang kegiatan pendidikan dan penelitian. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai sarana rekreasi atau sebagai objek wisata yang dapat menjadi mata pencaharian masyarakat sekitar. 3. Terumbu karang secara ekonomi Sebagai sumber penghasil berbagai jenis komoditas perikanan yang bernilai ekonomi tinggi dan sumber obat-obatan. Masyarakat yang hidup disekitar kawasan ekosistem terumbu karang dapat memanfaatkan biota seperti ikan, udang dan produk non perikanan lainnya untuk dijual. Ikan hias yang berasal dari terumbu karang umumnya lebih menarik sehingga memiliki nilai dan permintaan yang cukup tinggi untuk pasar ekspor ikan hias. ~ 55 ~ BAB 4 TANTANGAN DAN BENCANA SUMATERA F. Banjir dan Longsor Wilayah Indonesia terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, menghasilkan kondisi tanah yang subur. Sebaliknya, kondisi itu dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Seiring dengan berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia. Pulau Sumatera, sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, rentan terhadap bencana banjir dan longsor. Bencana ini sering kali disebabkan oleh faktor geografis dan cuaca ekstrem yang sering melanda wilayah ini. Inilah yang mempengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah tersebut. Banjir adalah kondisi ketika air meluap dari sungai atau saluran air lainnya, dan membanjiri daerah sekitarnya. Banjir di Pulau Sumatera dapat disebabkan oleh hujan lebat, tingginya debit sungai, atau kombinasi keduanya. Faktor lain yang berkontribusi adalah deforestasi atau penebangan hutan yang berlebihan, sehingga mengurangi daya serap tanah untuk menyerap air hujan. Banjir dapat memiliki dampak negatif yang signifikan pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Masyarakat dapat kehilangan tempat tinggal mereka, infrastruktur rusak seperti jembatan dan jalan raya menjadi tidak bisa dilalui akibat banjir. Selain banjir, Pulau Sumatera juga sering mengalami longsor atau tanah runtuh. Ini terjadi ketika lapisan tanah longgar menjadi tidak stabil akibat curahan hujan deras dalam waktu singkat atau pergerakan tanah secara ~ 56 ~ alami akibat erosi atau gempa bumi. Longsor bisa sangat merusak lingkungan dan membahayakan jiwa manusia. Rumah-rumah dapat tertimbun oleh material longsoran serta jalan-jalan menjadi tidak bisa dilalui. Longsor juga dapat mengganggu pasokan air bersih dan listrik, serta merusak lahan pertanian. Untuk mengatasi banjir dan longsor di Pulau Sumatera, perlu dilakukan upaya pencegahan dan mitigasi bencana yang efektif. Langkah-langkah ini meliputi pengelolaan sungai yang baik, pemulihan hutan yang terdegradasi, pembangunan infrastruktur tahan bencana seperti tanggul atau saluran drainase yang memadai, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya banjir dan longsor. Pemerintah juga berperan penting dalam memberikan bantuan darurat kepada korban bencana serta melakukan relokasi jika diperlukan. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait lainnya merupakan kunci dalam menghadapi tantangan banjir dan longsor di Pulau Sumatera guna meminimalkan dampak negatifnya bagi penduduk setempat. Secara geografis Sabuk Vulkanik (Volcanic Arc) memanjang dari Pulau Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara-Sulawesi yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat. Gambar 18. Sebaran Sabuk Vulkanik (Volcanic Arc) di Indonesia ~ 57 ~ G. Krisis Air dan Karhutla Krisis air dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) adalah dua masalah lingkungan yang seringkali terkait dan dapat memberikan dampak serius terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi. Mari kita bahas keduanya secara terpisah: 1. Krisis Air: Beberapa penyebab terjadinya krisis air sebagai berikut: Perubahan Iklim: Pola curah hujan yang tidak teratur dan perubahan iklim dapat mempengaruhi siklus air, menyebabkan kekeringan atau banjir yang ekstrem. Deforestasi: Penggundulan hutan dapat merusak ekosistem air, mengurangi kapasitas penyerapan air tanah, dan mengubah pola aliran sungai. Pengelolaan Sumber Daya Air yang Buruk: Penggunaan yang tidak berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya air yang buruk dapat memperburuk krisis air. Serta dampak dari Krisis air antara lain: Kekeringan: Menyebabkan kekurangan air untuk irigasi, konsumsi manusia, dan kebutuhan industri. Bencana Banjir: Peningkatan risiko banjir akibat hujan lebat dan perubahan pola aliran sungai. 2. Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan): Beberapa penyebab kebakaran hutan dan lahan sebagai berikut: Pembukaan Lahan Pertanian: Pembukaan lahan dengan membakar hutan dan lahan untuk pertanian atau perkebunan. Praktek Pembakaran Tidak Terkendali: Pembakaran sampah atau hutan yang tidak terkendali, seringkali terjadi selama musim kemarau. Pengelolaan Lahan yang Buruk: Praktek-praktek pertanian yang tidak berkelanjutan dan kurangnya pengelolaan lahan yang baik. ~ 58 ~ Serta dampak dari kebakaran hutan dan lahan antara lain: Pencemaran Udara: Asap dan partikel dari kebakaran dapat menyebabkan pencemaran udara yang merugikan kesehatan manusia. Hilangnya Habitat: Kebakaran dapat merusak ekosistem, menghi