Hubungan Indeks Trigliserid-Glukosa (TyG) dan Ferritin PDF

Summary

Penelitian ini berfokus pada hubungan antara indeks Trigliserid-Glukosa (TyG) dan ferritin dengan kejadian diabetes melitus (DM) di Kalimantan Selatan. Studi ini mengkaji faktor risiko, termasuk kadar gula darah dan zat besi, serta dampaknya terhadap resistensi insulin dan potensi risiko terkait penyakit.

Full Transcript

Hubungan Indeks Trigliserid-Glukosa (Triglyceride-Glucose Index/Indeks TyG) dan Ferritin dengan Kejadian Diabetes BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai d...

Hubungan Indeks Trigliserid-Glukosa (Triglyceride-Glucose Index/Indeks TyG) dan Ferritin dengan Kejadian Diabetes BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah. Kondisi ini disebabkan oleh insulin yang tidak berfungsi dengan baik, jumlah insulin menurun, atau kombinasi keduanya. DM merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalensi yang semakin meningkat, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi DM pada penduduk usia 20-79 tahun di tahun 2019 secara global mencapai 8,3%. Indonesia berada di peringkat ketujuh di antara 10 negara dengan jumlah penderita DM 1–3 tertinggi, yaitu 10,7 juta jiwa. Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis DM yang paling umum 4 dijumpai, yaitu mencapai 85-90% dari seluruh kasus DM. Di Provinsi Kalimantan Selatan, sesuai dengan laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi DM berkisar 1,3% dari sekitar 3 juta 5 penduduk. Sementara itu, di dalam penelitian cross sectional di Kalimantan Selatan yang dilakukan menggunakan data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan untuk surveilans kesehatan dari tahun 2018 6 hingga 2019 ditemukan prevalensi DM adalah 6.5% dari 4612 subjek. Kalimantan Selatan memiliki keunikan karena sebagian besar 7 wilayahnya merupakan daerah lahan basah. Daerah lahan basah menurut 39 6 Konvensi Ramsar adalah sungai, danau, persawahan, dan daerah pesisir. Kondisi lingkungan lahan basah sebagai suatu ekosistem yang spesifik dapat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Sebagai contoh, air di lahan gambut memiliki kandungan 8,9 besi yang tinggi. Asupan zat besi yang terkandung dalam makanan 10 secara berlebihan dikaitkan dengan peningkatan risiko DM tipe 2. Selain faktor kandungan mineral dalam lingkungan lahan basah, perubahan pola hidup masyarakat juga dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya DM tipe 2. Laporan penelitian di tahun 2024 di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa konsumsi gula berlebih yang terkait dengan latar belakang sosial budaya Kalimantan Selatan, hiperkolesterolemia, dislipidemia, indeks masa tubuh berlebih, kurang aktivitas fisik, asupan lemak berlebih, serta kurang makan buah dan sayur, berkorelasi secara 6,11 signifikan dengan prevalensi DM di Kalimantan Selatan. Faktor-faktor yang terlibat di atas memengaruhi DM melalui jalur resistensi insulin. Resistensi insulin sendiri saat ini masih menjadi 12 penyebab utama terjadinya DM tipe 2. Selain itu, beberapa faktor risiko baru seperti inflamasi kronis, ketidakseimbangan mikrobiota usus, dan peningkatan ferritin juga mulai dikaitkan dengan perkembangan terjadinya 13,14 penyakit ini. Inflamasi dipandang sebagai faktor penting dalam disregulasi 15 metabolik. Bukti-bukti klinis terbaru menunjukkan bahwa disfungsi imun 16 dan inflamasi metabolik kronis berperan dalam patofisiologi DM tipe 2. Hal ini disebakan karena adanya mekanisme kerja insulin yang terganggu 40 akibat fosforilasi serin/treonin, yang dipicu oleh sitokin pro-inflamasi 14,15 seperti TNFα, IL-1β, dan IL-6. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa proses inflamasi dipengaruhi oleh peningkatan kadar zat besi dalam tubuh. Zat besi bertindak sebagai prooksidan kuat yang meningkatkan stres oksidatif seluler. Dalam konteksnya terhadap DM tipe 2, zat besi menghambat internalisasi dan 17,18 aksi insulin, sehingga menyebabkan resistensi insulin. Studi lain menunjukkan bahwa kadar ferritin serum, suatu penanda cadangan besi tubuh, berkorelasi dengan peningkatan prevalensi DM tipe 2. Sebuah studi yang dilakukan oleh Udin et al. di Hyderabad menemukan hubungan signifikan antara kadar ferritin yang tinggi dan DM, dengan rasio 19 odds sebesar 1,838. Contoh lain, studi Bayih et al. (2024) meneliti tentang hubungan kadar serum ferritin dengan DM tipe 2 yang tidak terkontrol. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar feritin serum rata-rata secara signifikan lebih tinggi pada pasien DM tipe 2 yang tidak terkontrol dibandingkan dengan kelompok DM tipe 2 terkontrol dan kelompok 20 kontrol. Pada DM, sekresi ferritin dirangsang oleh kehadiran sitokin IL-1β, 21,22 TNF-α, IL-1α dan IL-6. Diduga ferritin berperan dalam peningkatan mobilisasi asam lemak dan aktivasi lipolitik, yang menunjukkan bahwa peningkatan simpanan zat besi dapat berkontribusi terhadap resistensi 23 insulin dengan meningkatkan ketersediaan asam lemak sistemik. Faktor risiko tradisional lain yang masih berperan dalam resistensi insulin adalah dislipidemia. Dari penelitian yang dilakukan di Kalimantan Selatan yang melibatkan 301 subjek DM, 97 di antaranya memiliki kadar 41 kolesterol yang tinggi. Hubungan antara kadar kolesterol total yang tinggi 6 dengan prevalensi DM menunjukkan nilai OR 1,38 dalam penelitian ini. Beberapa studi menunjukan bahwa selain kadar kolesterol total, kadar trigliserida yang tinggi juga berperan dalam menimbulkan DM dengan 24,25 mempengaruhi resistensi insulin. Sebuah penelitian berbasis populasi besar di Korea menemukan bahwa individu dengan kadar trigliserida yang tinggi secara konsisten memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk 24 mengalami DM dalam waktu empat tahun. Penelitian lain yang melibatkan 1,5 juta orang menunjukkan bahwa kadar trigliserida di atas 1,7 mmol/l secara signifikan meningkatkan risiko DM onset baru, dengan 25 OR 5,28 untuk mereka yang mengalami hipertrigliseridemia berat. Peran trigliserida dalam mekanisme resistensi insulin saat ini digambarkan melalui rasio trigliserida dan gula darah puasa, yang dikenal 26 sebagai Indeks Trigliserida-Glukosa (TyG). Indeks TyG memiliki kelebihan dibanding marker resistensi insulin lain karena sederhana, mudah dilakukan, hemat biaya, memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, serta merupakan indikator yang lebih efektif untuk mendeteksi DM di 27–29 masa mendatang. Indeks TyG juga berkorelasi dengan tingkat kontrol gula darah. Maithili et al. (2021) meneliti tentang hubungan indeks TyG dengan HbA1c dan menunjukkan adanya peningkatan indeks TyG pada 30 pasien yang memiliki HbA1c yang lebih tinggi. Dari latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana ferritin dan indeks TyG berperan terhadap angka kejadian diabetes di lahan basah, karena keduanya terkait dengan resistensi insulin dan 42 metabolisme glukosa. Terlebih lagi, belum banyak penelitian yang menggabungkan dua variabel tersebut terhadap kejadian diabetes di lahan basah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian ini, yaitu apakah terdapat hubungan indeks TyG dan ferritin dengan kejadian DM di lahan basah? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan indeks TyG dan ferritin dengan kejadian DM di lahan basah 1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui indeks TyG pada penderita DM di lahan basah. b. Untuk mengetahui hubungan indeks TyG dengan kejadian DM di lahan basah. c. Untuk mengetahui kadar ferritin pada penderita DM di lahan basah. d. Untuk mengetahui hubungan ferritin dengan kejadian DM di lahan basah. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis 43 Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan tentang hubungan indeks TyG dan ferritin dengan kejadian DM di lahan basah. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan penggunaan indeks TyG dan ferritin untuk penapisan awal terjadinya DM di lahan basah. 1.5 Keaslian Penelitian Sebagai upaya menghindari terjadinya duplikasi penelitian maka dilakukan kajian terhadap penelitian sebelumnya. Sepanjang penelusuran penulis belum ada penelitian yang secara khusus meneliti tentang hubungan indeks TyG dan ferritin dengan kejadian DM di lahan basah. Namun ada beberapa hasil penelitian yang dapat ditelaah hasilnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1.1 Keaslian penelitian tentang hubungan indeks trigliserid-glukosa (triglyceride-glucose index/TyG Index) dan ferritin dengan kejadian diabetes melitus di lahan basah Nama/Judul Metode Perbedaan Hasil Penelitian Penelitian Chaundari et al. Cross- Lokasi Terdapat (2021) sectional penelitian bukan hubungan “Increased serum merupakan antara kadar ferritin levels in lahan basah. ferritin dengan type 2 diabetes Tidak meneliti DM tipe 2. mellitus patients” indeks TyG a hospital based terhadap cross-sectional kejadian DM. 31 study” Kuba et al. (2022) Cross- Lokasi Rata-rata kadar “Detection of iron sectional penelitian bukan feritin serum and ferritin in merupakan adalah 150,35 diabetes mellitus lahan basah. ng/ml pada 32 type 2 patients” Tidak meneliti kasus DM, 44 Nama/Judul Metode Perbedaan Hasil Penelitian Penelitian indeks TyG sedangkan pada terhadap kelompok kejadian DM. kontrol adalah 47,42 ng/ml. Koo et al. (2013) Cross- Lokasi Peningkatan “Serum ferritin sectional penelitian bukan feritin serum level is an merupakan merupakan independent lahan basah. faktor risiko DM predictor of Tidak meneliti dengan insulin resistance indeks TyG meningkatkan in non-diabetic terhadap resistensi men aged kejadian DM. insulin daripada between 30-69 memengaruhi years: Korean fungsi sel beta. National Health and Nutrition Examination Survey 2008- 33 2010” Hameed et al. Cross- Lokasi Terdapat (2018) sectional penelitian bukan hubungan “TyG index a merupakan antara indeks promising lahan basah. TyG dengan DM biomarker for Tidak meneliti (p < 0,001). glycemic control kadar ferritin in type 2 diabetes terhadap 26 melitus” kejadian DM. 45 BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. Diabetes Melitus Tipe 2 I.1 Definisi Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia. Pada DM tipe 2, terjadi resistensi insulin perifer dan penurunan produksi insulin yang disertai dengan inflamasi kronik pada jaringan perifer, seperti adiposa, hepar dan 34,35 otot. Kriteria diagnosis DM meliputi pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl, atau pemeriksaan glukosa plasma  200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram, atau pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik atau krisis hiperglikemik, atau pemeriksaan HbA1c 6,5%. 36 I.2 Faktor Risiko Faktor risiko terjadinya DM sebagai berikut: a) Usia Pada sebagian besar populasi, insiden DM tipe 2 rendah sebelum usia 30 tahun, tetapi meningkat seiring bertambahnya usia. Studi observasional prospektif secara umum melaporkan usia sebagai faktor risiko yang kuat, yang berhubungan dengan faktor risiko gaya hidup utama yang berkorelasi, termasuk obesitas. Selain itu, proses 46 menua yang terjadi pada usia ≥ 45 tahun menyebabkan penurunan anatomi, fisiologi, biokimia tubuh yang berdampak pada resistensi 37,38 insulin b) Jenis Kelamin Risiko DM tipe 2 lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, di Amerika Serikat. Berbeda dengan di Indonesia, jenis kelamin perempuan memiliki risiko lebih besar untuk DM tipe 2 37,38 dibandingkan laki-laki. c) Genetik Beberapa kasus diabetes disebabkan oleh reseptor jaringan tubuh yang tidak merespons insulin (bahkan ketika kadar insulin normal, yang membedakannya dari DM tipe 2); bentuk ini sangat jarang terjadi. Mutasi genetik (autosomal atau mitokondria) dapat menyebabkan cacat pada fungsi sel beta. Aksi insulin yang tidak normal mungkin juga telah ditentukan secara genetik dalam 39 beberapa kasus. Riwayat keluarga diabetes telah dikaitkan dengan peningkatan risiko DM tipe 2. Tingkat kesesuaian DM tipe 2 adalah sekitar 34%–58% pada kembar monozigot dan 12%–20% 37 pada kembar dizigot. d) Lifestyle Asupan makanan telah lama diduga sebagai faktor risiko gaya hidup utama untuk diabetes tipe 2. Adanya asupan berlebihan pada karbohidrat, glukosa, asam lemak dapat menyebabkan obesitas, 47 37 yang meningkatkan risiko terjadinya DM tipe 2. Kelebihan asupan tersebut dapat menyebabkan obesitas (indeks massa tubuh [IMT]≥30 kg/m2) yang dikaitkan dengan resistensi insulin. Mekanisme pasti yang menyebabkan obesitas memicu DM tipe 2 dan resistensi insulin masih belum dapat dijelaskan; namun, banyak faktor yang menunjukkan peran penting dalam perkembangan proses patologis ini, yang melibatkan mekanisme sel-otonom dan 40 komunikasi antar-organ. I.3 Patofisiologi Diabetes melitus tipe 2 ditandai oleh dua anomali utama yang 41 berhubungan dengan insulin: resistensi insulin dan disfungsi sel β. Pada konsentrasi fisiologis, glukosa merangsang sel β untuk mensintesis dan melepaskan insulin, sehingga meningkatkan penyerapan glukosa di otot, jaringan adiposa, hati, dan otak. Pada saat yang sama, insulin bertindak sebagai penghambat glukoneogenesis hati, serta merangsang glikogen, 42,43 sintesis protein, dan lipogenesis sambil menghambat lipolysis. Resistensi insulin terjadi akibat gangguan berbagai jalur seluler, yang menyebabkan penurunan respons atau sensitivitas sel-sel di jaringan 41,43 perifer, khususnya otot, hati, dan jaringan adiposa terhadap insulin. Pada tahap awal penyakit, sensitivitas insulin yang menurun memicu hiperfungsi sel β untuk mencapai peningkatan kompensasi sekresi insulin guna mempertahankan normoglikemia. Dengan demikian, kadar insulin yang lebih tinggi (hiperinsulinemia) mencegah hiperglikemia. Namun, secara bertahap, peningkatan sekresi insulin oleh sel-β tidak mampu 48 41,43 mengimbangi penurunan sensitivitas insulin secara memadai. Fungsi sel-β mulai menurun dan disfungsi sel-β akhirnya menyebabkan defisiensi insulin. Akibatnya, normoglikemia tidak dapat dipertahankan lagi dan 43 terjadi hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa inflamasi tingkat rendah (low grade inflammation) berkontribusi terhadap resistensi insulin dan terkait sindrom metabolik, hiperglikemia, dan DM tipe 2. Kondisi kronis ini melibatkan peran seluler dan molekuler yang sama dalam respons peradangan dan telah diduga sebagai penyebab yang mendasari 44,45 perkembangan aterosklerosis pada DM tipe 2. Inflamasi merupakan respons fisiologis penting tubuh terhadap berbagai proses patologis seperti invasi patogen, cedera jaringan, dan iritan. Respons ini melibatkan produksi mediator inflamasi seperti sitokin. Peradangan kronis dan stres oksidatif telah terlibat dalam patofisiologi DM. Dipercayai bahwa pelepasan mediator inflamasi dipicu oleh konsentrasi glukosa yang tinggi dan dimediasi oleh stres oksidatif. Interaksi kompleks antara jalur stres oksidatif dan inflamasi melibatkan mekanisme untuk amplifikasi timbal balik (atau "lingkaran setan"). Pasien dengan DM tipe 2 memiliki kadar IL-1b, IL-6, IL-8, MCP-1, dan sitokin utama lainnya yang lebih tinggi pada monosit dan makrofag pasien. Mekanisme yang mendasari yang terlibat dalam proses ini adalah aktivasi p38 dan kinase proinflamasi lainnya yang dimediasi ROS, peningkatan regulasi 44,45 induksi NF-kB, stres oksidatif, dan aktivasi jalur AGE-RAGE. Seiring berkembangnya pengetahuan, semakin diakui bahwa zat besi 49 mempengaruhi metabolisme glukosa, bahkan tanpa adanya kelebihan zat besi yang signifikan. Hubungan antara metabolisme zat besi dan DM tipe 2 bersifat dua arah. Zat besi menyebabkan penghambatan internalisasi dan aksi insulin, yang mengakibatkan hiperinsulinemia dan resistensi insulin. Sebaliknya hiperglikemia pada diabetes dapat mengganggu homeostasis zat besi lebih lanjut, memperburuk siklus kelebihan zat besi 46–49 dan disfungsi metabolik Hiperkligemia pada DM juga menyebabkan glikasi transferin, sehingga kemampuan transferin untuk mengikat besi menurun, dan akibatnya meningkatkan kumpulan besi bebas dan 49 meningkatkan stres oksidatif. Zat besi dapat merusak jaringan karena zat besi merupakan pro- 47 oksidan yang kuat. Zat besi yang berlebihan mampu menyerang lipid 46–48 membran sel, protein, dan asam nukleat. Akhirnya, terjadi gangguan metabolisme lipid, yang menyebabkan adanya asam lemak bebas berlebihan. Asam lemak bebas ini membentuk produk akhir glikasi lanjut 50,51 yang menghasilkan ROS. ROS mengganggu sinyalisasi insulin pada berbagai tingkatan, mengganggu penyerapan insulin melalui efek langsung atau fungsi reseptor insulin dan menghambat translokasi oleh 51 GLUT4 dalam membran plasma. Kelebihan zat besi di hati merusak sensitivitas insulin dalam hepatosit. Kelebihan zat besi mendorong pembentukan spesies oksigen 52 reaktif dan merusak fungsi reseptor insulin dan translokasi GLUT4. Persinyalan insulin dan translokasi GLUT4 ini diperankan oleh Protein Kinase C (PKC), terutama isoform PKC-λ. Di mana penghambatan PKC-λ 50 yang dapat mengganggu translokasi GLUT4, menyoroti pentingnya peran 53 PKC-λ dalam mempertahankan homeostasis glukosa. Selain itu, akumulasi zat besi memengaruhi sintesis dan sekresi 52 insulin di pankreas, serta menurunkan penyerapan glukosa di otot. Stres oksidatif, yang dapat disebabkan oleh kelebihan zat besi, dapat mengganggu sinyal insulin dengan memengaruhi fosforilasi substrat reseptor insulin dan Akt, yang menyebabkan resistensi insulin pada 54 jaringan otot. Sebaliknya pengurangan zat besi telah terbukti meningkatkan sensitivitas insulin dengan meningkatkan ekspresi dan pengikatan 52,55 reseptor ekspresi insulin/ Insulin receptor expression (InsR) II. Peran Ferritin pada Kejadian Diabetes Melitus II.1 Ferritin Sebagai Biomarker Inflamasi Feritin merupakan protein sitosolik yang terdiri dari polipeptida 56 dengan 24 subunit protein yang menyusun cangkang apoferritin. Ferritin merupakan protein penting yang mengandung zat besi dalam tubuh, yang memainkan peran penting dalam homeostasis zat besi seluler dan 57 sistemik. World Health Organization (WHO) merekomendasikan ferritin digunakan sebagai ukuran utama defisiensi zat besi pada tingkat populasi karena hal ini mencerminkan simpanan zat besi dalam tubuh, lebih mudah diukur daripada metode yang lebih invasif (misalnya, zat besi sumsum 58 tulang), dan responsif terhadap intervensi. Feritin tidak hanya mencerminkan zat besi tubuh saja, namun juga 51 dipengaruhi oleh respons fase akut. Respons fase akut adalah proses imunologis yang menyebabkan protein fase akut tertentu dalam tubuh naik atau turun sebagai respons terhadap invasi mikroba, cedera jaringan, 58 reaksi imunologis, dan proses inflamasi. Pada inflamasi, sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNFα merangsang sintesis feritin untuk menyerap zat besi dan mengurangi ketersediaannya bagi patogen, sehingga membatasi kerusakan oksidatif. Peningkatan sintesis feritin ini disebabkan oleh respons inflamasi yang dipicu oleh stres oksidatif dan terjadi terutama di hati dan sel-sel sistem fagosit 59 mononuklear. Inflamasi meningkatkan feritin secara independen dari 60 status zat besi. Proses ini sering disertai dengan peningkatan aktivitas hepcidin. Peningkatan feritin tersebut dapat menyebabkan “defisiensi besi fungsional,” di mana mobilitas besi terhambat, yang berkontribusi pada anemia refrakter pada kondisi kronis seperti penyakit ginjal kronis, dan 61 bukan mengindikasikan adanya simpanan besi yang berlebih. II.2 Hubungan Feritin dengan Resistensi Insulin Hiperferritinemia dapat menyebabkan resistensi insulin melalui beberapa mekanisme, utamanya melalui stres oksidatif dengan mengkatalisis pembentukan radikal bebas hidroksil, yang mengganggu 62,63 sekresi, persinyalan, dan kerja insulin.. Rangsangan lipolisis oleh zat besi dan peningkatan sinyal spesies oksigen reaktif (ROS) mengaktifkan enzim lipase meningkatkan mobilisasi asam lemak (FA) dan berkontribusi terhadap IR pada obesitas. Di mana sebelumnya telah diketahui bahwa tingkat pelepasan asam lemak yang lebih besar dari jaringan adiposa 52 23,64 dapat mengganggu sensitivitas insulin. Efek katalitik feritin juga dapat menyebabkan peroksidasi lipid yang lebih jauh juga menambah 65–67 perkembangan resistensi insulin. Selain itu, hiperferritinemia juga mengganggu diferensiasi adiposit dan menurunkan kapasitas adipogenik, yang menyebabkan perubahan pelepasan adipokin, yang selanjutnya 68 memengaruhi kerja insulin. Studi lain juga menunjukkan hiperferritinemia mampu menghambat osteocalcin dan adiponektin, yang keduanya berperan dalam metabolisme glukosa. Peningkatan kadar feritin serum berkorelasi positif dengan kadar glukosa dan insulin, sementara berhubungan terbalik dengan osteocalcin dan adiponektin total dan tidak terkarboksilasi. Osteocalcin telah dikaitkan dengan penurunan konsentrasi glukosa puasa dan peningkatan proliferasi sel beta pankreas, serta sekresi dan sensitivitas insulin. Pengurangan osteocalcin yang diinduksi zat besi bisa menunjukkan bahwa metabolisme zat besi, yang ditunjukkan oleh kadar feritin, dapat berkontribusi pada resistensi insulin dan perkembangan DM tipe 2, terlepas dari jalur stres 69,70 oksidatif. II.3 Implikasi Klinis Peningkatan kadar ferritin serum telah dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan DM tipe 2. Individu dengan DM tipe 2 memiliki kadar feritin serum rata-rata yang jauh lebih besar daripada kelompok kontrol. Selain itu, pasien dengan DM tipe 2 yang tidak 71 terkontrol menunjukkan hiperferritinemia. Sejalan dengan hal terssebut, 53 penelitian kundu, et al. (2013) menunjukkan bahwa kadar ferritin ditemukan lebih tinggi pada pasien DM tipe 2 dibandingkan dengan 51 individu sehat. Penelitian lain, yaitu penelitian Liu, et al. (2015) meneliti tentang hubungan serum ferritin dengan resisten insulin pada metabolisme glukosa pasien non obesitas. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar serum feritin meningkat secara signifikan pada orang dewasa non obesitas ketika gangguan metabolisme glukosa 67 memburuk. III. Indeks Triglyceride-glucose (TyG) pada Diabetes Mellitus III.1. Definisi Indeks TyG Indeks TyG adalah indeks yang menggabungkan trigliserida dan glukosa darah puasa. Indeks ini telah diidentifikasi sebagai biomarker resistensi insulin yang andal, dengan sensitivitas yang lebih baik daripada penilaian model homeostasis. Indeks TyG mudah digunakan, ekonomis, dan andal, serta berfungsi sebagai indikator alternatif resistensi insulin. Selain itu, indeks ini telah digunakan untuk mempelajari sindrom metabolik, penyakit hati berlemak nonalkohol, aterosklerosis, dan DM tipe 2, dengan temuan yang mengonfirmasi bahwa indeks TyG yang tinggi dapat dikaitkan secara independen dengan kejadian penyakit kardiovaskular aterosklerotik, gagal jantung, stroke, dan penyakit vaskular utama 72,73 74 lainnya. Indeks TyG diukur menggunakan rumus: Indeks TyG = In (trigliserida puasa [mg/dL] x glukosa puasa [mg/dL])/2 54 atau Indeks TyG = In (trigliserida puasa [mmol/L] x 88,57 x glukosa puasa [mmol/L] x 18)/2 III.2 Indeks TyG dalam Prediksi DM Tipe 2 Meskipun Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dianggap sebagai standar emas untuk mendiagnosis diabetes, penerapannya dibatasi oleh kebutuhan untuk pengambilan darah berulang kali, yang mengakibatkan kepatuhan pasien yang buruk. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk mengidentifikasi penanda diagnostik alternatif, sederhana, dan 75,76 akurat. Sebuah penelitian di Jerman yang mengevaluasi kinerja indeks TyG dalam mengidentifikasi pradiabetes atau diabetes menunjukkan hasil indeks TyG memiliki akurasi tinggi dan ambang batasnya relatif stabil dan 75,76 tidak berubah seiring bertambahnya usia. Zou, et al. (2021) yang meneliti hubungan antara indeks TyG dan insiden diabetes juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara indeks TyG dengan 77 insiden DM tipe 2. Di Asia, indeks TyG telah terbukti secara independen berkorelasi dengan peningkatan risiko kejadian diabetes pada pria Tiongkok lanjut usia, dengan rasio bahaya (HR) 1,525, yang menunjukkan 78 nilai prediktif yang signifikan. Dalam sebuah penelitian lain di Jepang yang melibatkan 15.464 orang, indeks TyG ditemukan berhubungan positif 79 dengan risiko diabetes. Hubungan TyG dengan risiko diabetes digambarkan bersifat non linier, yang menunjukkan sensitivitasnya 55 80 meningkat dengan nilai TyG yang lebih tinggi. Indeks TyG signifikan dalam memprediksi risiko DM tipe 2 karena berfungsi sebagai penanda yang dapat diandalkan untuk resistensi insulin (IR). Kadar TyG yang meningkat berkorelasi kuat dengan HOMA-IR, yang mengindikasikan keefektifannya dalam mengidentifikasi individu yang 81 berisiko mengalami gangguan metabolik, termasuk diabetes. Indeks TyG berkorelasi negatif dengan fungsi sel β pankreas. Nilai indeks TyG yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan risiko disfungsi sel β dan seiring dengan meningkatnya indeks TyG, risiko pradiabetes dan diabetes 82 meningkat secara signifikan. Indeks TyG juga mampu menilai gangguan metabolisme glukosa. Sebuah studi menemukan bahwa nilai indeks TyG yang lebih tinggi secara independen terkait dengan kejadian peningkatan kadar glukosa 1 jam 83 selama OGTT, mengungguli glukosa plasma puasa (FPG) dan HOMA-IR Indeks TyG telah dibandingkan dengan penanda resistensi insulin lainnya, seperti hiperinsulinemik-euglikemik penjepit (HIEC) dan HOMA-IR, yang menunjukkan sensitivitas tinggi (hingga 96%) dan spesifisitas (hingga 99%) pada beberapa penelitian, meskipun variabilitas dalam nilai 84 batas membatasi komparabilitasnya. Indeks TyG juga telah menunjukkan kemampuan prediktif yang lebih unggul untuk prediabetes dibandingkan dengan indeks berbasis non-insulin lainnya, terutama pada 85 wanita dan subjek obesitas. Namun penelitian lain mampu meyakinkan bahwa indeks TyG dapat mengidentifikasi resiko terkena diabetes bahkan 86 pada populasi non obesitas. Lebih jauh, sebuah studi menunjukkan 56 bahwa indeks TyG dapat digunakan secara independen dari kadar glukosa 81 plasma puasa. IV. Interaksi antara Ferritin dan Indeks TyG IV.1 Peran Gabungan Antara Indeks TyG dan Ferritin Terhadap Resistensi Insulin dan Diabetes Melitus Tipe 2 Hubungan antara feritin, indeks trigliserida-glukosa (TyG), dan diabetes merupakan interaksi kompleks yang melibatkan jalur metabolisme dan inflamasi. Feritin, penanda penyimpanan zat besi, dan indeks TyG, indikator resistensi insulin, keduanya terlibat dalam patofisiologi DM tipe 2. Selain itu indeks TyG dan kadar feritin serum yang tinggi dikaitkan dengan kontrol glikemik yang buruk pada pasien 78,87,88 diabetes. Indeks TyG berkorelasi positif dengan kadar feritin serum pada pasien DM tipe 2. Korelasi ini sangat kuat pada pasien pria, di mana nilai indeks TyG yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan kadar feritin serum dan prevalensi hiperferritinemia. Penelitian ini melibatkan 881 pasien DM tipe 2 dan menunjukkan terdapat hubungan antara resistensi 89 insulin dan metabolisme zat besi pada diabetes. Penelitian lain di Korea juga menunjukkan bahwa individu dengan kadar feritin yang tinggi juga menunjukkan resistensi insulin yang lebih tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh indeks TyG. Selain itu, feritin sebagai reaktan fase akut juga dapat meningkat sebagai respons terhadap peradangan, yang merupakan ciri 90 umum pada sindrom metabolik. Peran feritin sebagai protein fase akut 57 dalam menanggapi peradangan dan potensi dampaknya pada metabolisme glukosa lebih lanjut mendukung keterlibatannya dalam 89,91 resistensi insulin dan diabetes. Peningkatan kadar feritin serum berkaitan dengan peningkatan kadar gula darah puasa dan trigliserida, sebagai komponen dari indeks TyG. Kadar serum ferritin berhubungan terbalik dengan osteocalcin di dalam sebuah studi. Osteocalcin telah dikaitkan dengan penurunan konsentrasi glukosa puasa dan peningkatan proliferasi sel beta pankreas, serta sekresi dan sensitivitas insulin. Dengan demikian secara tidak langsung 69,70 peningkatan kadar feritin akan meningkatkan kadar gula darah puasa. Selain itu, pada pankreas, stres oksidatif kronis dapat menyebabkan pengaktifan jalur stres retikulum endoplasma (ER stress) yang dibuktikan dengan aktivasi penanda stres ER seperti CHOP dan P58IPK. Hal ini kemudian akan menyebabkan disfungsi sel β pankreas dan apoptosis sel islet pankreas, yang menyebabkan produksi insulin tidak mencukupi, 92–94 sehingga kadar glukosa darah meningkat. Dalam hubungannya dengan kadar trigliserida, sebuah studi pada pasien talasemia mayor ditemukan bahwa peningkatan kadar feritin serum menyebabkan peningkatan kadar trigliserida melalui kelebihan zat besi dan peningkatan produksi radikal bebas sebagai hasil dari reaksi Fenton, yang mengganggu metabolisme lipid. Radikal bebas ini dapat 95 mengubah profil lipid dan juga menyebabkan kerusakan hepar. Studi lain menemukan bahwa stres oksidatif sebagai akibat peningkatan feritin mengganggu oksidasi β mitokondria terhadap asam lemak rantai panjang 58 92 dan mengakibatkan hipertrigliseridemia. Hal ini melibatkan aktivasi NF- κB oleh spesies oksigen reaktif (ROS), yang merupakan produk sampingan 96 dari oksidasi fosforilatif mitokondria. Gangguan pada mitokondria kemudian menyebabkan produksi energi terganggu dan peningkatan konversi piruvat menjadi asetat, yang berkontribusi terhadap akumulasi asam lemak rantai menengah dan panjang, yang dapat menyebabkan 97,98 lipotoksisitas dan hipertrigliseridemia. Pemberian zat besi pada tikus percobaan meningkatkan ekspresi hepatik lipoprotein ApoAIV dan ApoCIII. Peningkatan hati ApoAIV meningkatkan ekspor trigliserida dengan mempromosikan perakitan lipoprotein ApoB100, dan peningkatan sekresi VLDL, hasilnya menghasilkan peningkatan konsentrasi trigliserida plasma. Demikian pula, ApoCIII terbukti meningkatkan produksi VLDL, yang pada akhirnya 99 berkontribusi terhadap hal yang sama. Adanya penelitian-penelitian tersebut, kombinasi antara ferritin dan indeks TyG tampaknya berperan besar dalam DM tipe 2, meskipun belum ada penelitian yang menilai hubungan kombinasi tersebut terhadap DM tipe 2. IV.2 Skrining dan Diagnosis Belum ada nilai referensi yang tercatat untuk skrining DM menggunakan kadar ferritin. Nilai referensi normal untuk kadar ferritin bervariasi, tergantung usia. Berikut ini adalah nilai cut-off yang digunakan untuk menentukan defisiensi zat besi dan juga risiko berlebihan zat besi: 59 Gambar 1 Nilai Referensi Ferritin100 Pada penelitian Bansal, et al. (2011) menunjukkan bahwa rerata kadar ferritin pada kelompok sehat adalah 113 ± 4,6 ng/ml dan pada 17 kelompok DM tipe 2 adalah 185 ± 3,5 ng/ml. Penelitian Michael, et al. (2021) menunjukkan rerata kadar ferritin pada kelompok sehat adalah 101 62,27 ng/ml dan pada kelompok DM tipe 2 adalah 120.44 ng/ml. Penelitian Bayih, et al. (2024) menunjukkan rerata kadar ferritin pada kelompok sehat adalah 109,60±29,33 ng/ml dan pada kelompok DM tipe 2 102 adalah 169,30±89,98 ng/ml. Nilai referensi untuk skrining dan diagnosis DM tipe 2 menggunakan indeks TyG juga belum ada. Penelitian Yoon, et al. (2022) meneliti indeks 60 TyG sebagai biomarker untuk memprediksi DM tipe 2. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol, rerata indeks TyG adalah 8,56±0,55 dan pada kelompok DM tipe 2, rerata indeks TyG adalah 103 9,36±0,64. Sedangkan jika dihitung manual berdasarkan nilai referensi normal masing-masing dengan menggunakan nilai referensi normal trigliserida yaitu

Use Quizgecko on...
Browser
Browser