Proses & Teknik Penyusunan Undang-Undang PDF
Document Details
Uploaded by CrispSard7855
2021
Dr. H. M. Azis Syamsuddin
Tags
Related
- SDSN 2023 Undang-Undang Perpajakan Indonesia PDF
- Tugas Presentasi: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 PDF
- Penjelasan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU RI No. 12 Tahun 2011)
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika PDF
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah PDF
- SDSN Undang-Undang Perpajakan 2023 PDF
Summary
Buku ini membahas proses dan teknik penyusunan undang-undang di Indonesia. Penulis menjelaskan sistem hukum nasional, teori perundang-undangan, dan tahapan penyusunan undang-undang. Buku ini juga membahas peran pemerintah, DPR, dan DPRD dalam proses tersebut.
Full Transcript
SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL DR. H. M. AZIS SYAMSUDDIN, S.E., S.H., M.A.F., M.H. PROSES & TEKNIK PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG Edisi Ke-3...
SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL DR. H. M. AZIS SYAMSUDDIN, S.E., S.H., M.A.F., M.H. PROSES & TEKNIK PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG Edisi Ke-3 SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2021 d p r. g o. i d i PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG DR. H. M. AZIS SYAMSUDDIN, S.E., S.H., M.A.F., M.H. PROSES & TEKNIK PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG EDISI KE-3 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang All rights reserved Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) xx + 360 hlm,; 16 x 24 cm ISBN : 978-62394259-7-5 Cetakan Pertama, Edisi ketiga, April 2021 Penulis: Dr. H. M. Azis Syamsuddin, S.E., S.H., M.A.F., M.H. Penyunting: Soewisnu S.H., M.Kn. Rancang Sampul: Dito Sugito Tata Letak: Dito Sugito Friederick Munchen Diterbitkan oleh: SEKRETARIAT JENDERAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jl. Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270 Tlp. 021—571 5697 Faks. 021—571 5421 Surel: [email protected] ii d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN DAFTAR ISI PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL DAFTAR SINGKATAN ix DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xiii KATA PENGANTAR xv PENDAHULUAN xvii BAB I SISTEM HUKUM DAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL xx A. SISTEM HUKUM NASIONAL 1 1. Sistem 1 2. Sistem Hukum 2 3. Sistem Hukum Nasional 5 B. PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL 8 1. Pembangunan Hukum Berlandaskan Pada Negara 14 Kesatuan Republik Indonesia 2. Pembangunan Hukum Berlandaskan Pada Welfare 17 State 3. Pembangunan Hukum Berlandaskan Pada Asas 18 Kemanusiaan 4. Pembangunan Hukum Bertitik Tolak Pada Affirmative 21 Action (Tindakan Afirmatif) 5. Pembangunan Hukum Mencerminkan Checks And 24 Balances C. POLITIK PERUNDANG-UNDANGAN 25 1. Ruang Lingkup Politik Hukum 27 2. Hukum Sebagai Produk Politik 28 3. Politik Hukum Nasional 31 4. Membentuk Peraturan Perundang-Undangan yang 32 Responsif, Partisipatif, dan Populis BAB II ILMU PERUNDANG-UNDANGAN, TEORI, HIERARKI, DAN 38 MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. PENGERTIAN 49 B. FUNGSI PERUNDANG-UNDANGAN 42 C. S E J A R A H I L M U P E R U N DA N G - U N DA N G A N DA N 43 PENGATURAN PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Sejarah Ilmu Perundang-Undangan 43 2. Sejarah Pengaturan Pembentukan Perundang- 43 Undangan D. ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 45 E. KONSEPSI LEGAL DRAFTING DAN LEGISLATIVE DRAFTING 53 F. UNDANG-UNDANG DAN RANCANGAN UNDANG- 55 UNDANG d p r. g o. i d iii PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG G. TEORI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 59 1. Norma Hukum Umum 59 2. Teori Negara Hukum 60 3. Teori Pemisahan Kekuasaan 62 4. Teori Kewenangan 63 5. Teori Perundang-Undangan dengan Kenyataan (Jhon 65 Michael Otto) 6. Teori Morality of Law (Lon E. Fuller) 66 7. Teori Tatanan Peraturan Perundang-Undangan (Philippe 68 Nonet dan Philip Selznick) H. NORMA DAN TEORI HIERARKI 70 I. PERATURAN PELAKSANA DAN PERATURAN OTONOM 81 J. MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 82 1. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Sebelum 82 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 2. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan Sesudah 83 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 K. PENYUSUNAN MATERI UNDANG-UNDANG 89 1. Prinsip Umum 89 2. Pembagian Materi (Division) 90 L. KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG 93 1. Keberlakuan Filosofis 94 2. Keberlakuan Yuridis 94 3. Keberlakuan Politis 95 4. Keberlakuan Sosiologis 95 BAB III TAHAPAN PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG 98 A. PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 99 1. Perencanaan Rancangan Undang-Undang Melalui Program 101 Legislasi Nasional 2. Proses Penyusunan Undang-Undang 132 3. Pembahasan Rancangan Undang-Undang 138 4. Pengesahan Rancangan Undang-Undang 156 5. Pengundangan Rancangan Undang-Undang 157 6. Pengundangan Undang-Undang 158 B. PENYEBARLUASAN UNDANG-UNDANG 159 C. POST LEGISLATIVE 160 iv d pr. g o. i d SISTEM HUDAFTAR KU M DAN ISI PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL BAB IV PROSES PERSIAPAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG 166 DARI PEMERINTAH, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH, SERTA PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DAN PERMASALAHANNYA A. KEWENANGAN PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- 167 UNDANGAN 1. Kewenangan Pembentukan Undang-Undang Dasar 167 Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Kewenangan Pembentukan Undang-Undang 169 B. PROSES PERSIAPAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG 171 DARI PEMERINTAH 1. Penyusunan Rancangan Undang-Undang 172 2. Pembahasan Rancangan Undang-Undang 179 C. PROSES PERSIAPAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG 180 DARI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 1. Persiapan dan Penyusunan Rancangan Undang- 181 Undang 2. Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang- 184 Undang D. PROSES PERSIAPAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG 195 DARI DEWAN PERWAKILAN DAERAH 1. Persiapan dan Penyusunan Rancangan Undang- 195 Undang 2. Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang- 198 Undang E. PROSES PENYEMPURNAAN RANCANGAN UNDANG- 207 UNDANG F. PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI 211 UNDANG-UNDANG DAN PERMASALAHANNYA 1. Hukum Tata Negara Darurat 211 2. Dasar, Kedudukan, dan Ruang Lingkup Peraturan 212 Pemerintah Pengganti Undang-Undang 3. K r i te r i a Ke g e n t i n g a n Ya n g M e m a k s a d a l a m 214 Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang G. PRAKTIK PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH 217 PENGGANTI UNDANG-UNDANG DI INDONESIA 1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 217 pada Masa Pemerintahan Presiden Soekarno 2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 218 pada Masa Pemerintahan Presiden Soeharto d p r. g o. i d v PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG 3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 218 pada Masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 219 pada Masa Pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid 5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 219 pada Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri 6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 220 pada Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 220 pada Masa Pemerintahan Presiden Presiden Joko Widodo BAB V TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK 224 A. FUNGSI NASKAH AKADEMIK DITINJAU DARI ASPEK 225 HUKUM B. URGENSI NASKAH AKADEMIK 226 C. SEJARAH PENGATURAN NASKAH AKADEMIK 228 D. TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK 232 BAB VI TEKNIK PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG 240 I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 242 A. JUDUL 242 B. PEMBUKAAN 245 C. BATANG TUBUH 252 D. PENUTUP 266 E. PENJELASAN 268 F. LAMPIRAN 271 II HAL-HAL KHUSUS 272 A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN 272 B. PENYIDIKAN 274 C. PENCABUTAN 275 D. PERUBAHAN UNDANG-UNDANG 276 E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI 280 UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 281 III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 283 A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 283 B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH 286 C. TEKNIK PENGACUAN 293 vi d pr. g o. i d SISTEM HUDAFTAR KU M DAN ISI PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL IV BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG 296 A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA 296 UMUMNYA B. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG 298 PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG C. B E N T U K R A N C A N G A N U N DA N G - U N DA N G 300 PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI D. B E N T U K R A N C A N G A N U N DA N G - U N DA N G 302 PERUBAHAN UNDANG-UNDANG E. B E N T U K R A N C A N G A N U N DA N G - U N DA N G 304 PENCABUTAN UNDANG–UNDANG F. B E N T U K R A N C A N G A N U N DA N G - U N DA N G 306 P E N C A B U TA N P E R AT U R A N P E M E R I N TA H P E N G G A N T I U N DA N G - U N DA N G M E N J A D I UNDANG–UNDANG BAB VII PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN 308 PERUNDANG-UNDANGAN A. MAKNA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN 310 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN B. FUNGSI PARTISIPASI MASYARAKAT 314 C. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM DEMOKRASI 316 D. PARTISIPASI MASYARAKAT MERUPAKAN BAGIAN DARI 319 DUE PROCESS OF LAW E. PARTISIPASI POLITIK 321 F. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM HUKUM POSITIF 325 DI INDONESIA G. B E N T U K PA R T I S I PA S I M A S YA R A K AT D A L A M 329 PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN H. PENGELOLAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM 336 PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG DI BADAN KEAHLIAN DPR RI I. PARTISIPASI MASYARAKAT SECARA ONLINE DALAM 338 PERANCANGAN UNDANG-UNDANG (SIMAS PUU DPR RI) PENUTUP 345 DAFTAR PUSTAKA d p r. g o. i d vii PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG viii d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL DAFTAR SINGKATAN AKD ALAT KELENGKAPAN DEWAN APBN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA APEC ASIAN PACIFIC ECONOMIC COOPERATION BALEG BADAN LEGISLASI BAMUS BADAN MUSYAWARAH BANGGAR BADAN ANGGARAN BI BANK INDONESIA BKD BADAN KEAHLIAN DEWAN BPK BADAN PENGAWAS KEUANGAN COVID-19 CORONA VIRUS DISEASE 19 DIM DAFTAR INVENTARISASI MASALAH DPD DEWAN PERWAKILAN DAERAH DPR DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DPRD DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DPRGR DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG ROYONG GAM GERAKAN ACEH MERDEKA GBHN GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA HAM HAK ASASI MANUSIA jo. JUNCTO KEPPRES KEPUTUSAN PRESIDEN KPK KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI KUHAP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA KUHAPER KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PERDATA KUHD KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG KUHP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA KUHPER KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA KY KOMISI YUDISIAL MA MAHKAMAH AGUNG d p r. g o. i d ix PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG MK MAHKAMAH KONSTITUSI MoU MEMORANDUM OF UNDERSTANDING MPR MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NKRI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA No. NOMOR OECD ORGANISATION FOR ECONOMIC CO-OPERATION AND DEVELOPMENT PANSUS PANITIA KHUSUS PEMILU PEMILIHAN UMUM PERDA PERATURAN DAERAH PERPRES PERATURAN PRESIDEN PERPPU PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG PILKADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH PP PERATURAN PEMERINTAH PPUU PANITIA PERANCANGAN UNDANG-UNDANG PROGLEDA PROGRAM LEGISLASI DAERAH PROGLENAS PROGRAM LEGISLASI NASIONAL RAPERDA RANCANGAN PERATURAN DAERAH RDP RAPAT DENGAR PENDAPAT RDPU RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM RI REPUBLIK INDONESIA RIS REPUBLIK INDONESIA SERIKAT RPJMN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL RPJPN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL RPTN RENCANA PEMBANGUNAN TAHUNAN NASIONAL RUU RANCANGAN UNDANG-UNDANG x d pr. g o. i d SISTEM DAFTARHUSINGKATAN KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL SIMAS PUU SISTEM PARTISIPASI MASYARAKAT PERANCANGAN UNDANG-UNDANG TAP MPR KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT TAP MPRS KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA TATIB DPR TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT UU UNDANG-UNDANG UUD UNDANG-UNDANG DASAR UUD NRI TAHUN 1945 UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 (Setelah Amandemen) UUD TAHUN 1945 UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 (Sebelum Amandemen) UUDS UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA d p r. g o. i d xi PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG DAFTAR TABEL Tabel II: 1 Evolusi Hierarki Peraturan Perundang-undangan 83 Tabel VII: 1 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam 348 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan xii d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL DAFTAR GAMBAR Gambar II: 1 Syarat Agar Tidak Gagal Menurut Lon. E. Fuller 70 Gambar III: 1 Penyusunan Proglenas 115 Gambar III: 2 Penyusunan Proglenas di Lingkungan DPR 127 Gambar III: 3 Proses Pembahasan Prolegnas 127 Gambar III: 4 Proses Evaluasi dan Perubahan Prolegnas 132 Gambar III: 5 Penyusunan NA dan RUU yang Berasal dari 142 Anggota DPR Gambar III: 6 Pengajuan RUU yang Berasal dari DPR 142 Gambar III: 7 Pembahasan RUU 161 Gambar III: 8 Pembicaraan Tingkat I (Komisi, Gabungan 161 Komisi, Baleg, Banggar, Pansus Bersama Pemerintah) Gambar III: 9 Pembicaraan Tingkat II (Rapat Paripurna) 162 Gambar IV: 1 Skema Penyusunan RUU yang Berasal dari 202 Anggota DPR Gambar IV: 2 Skema Penyusunan RUU yang Berasal dari 202 Komisi, Gabungan Komisi, atau Baleg Gambar IV: 3 Skema Pengajuan RUU yang Berasal dari DPR 203 Gambar VII: 1–10 Panduan Penggunaan Aplikasi SIMAS PUU 351 d p r. g o. i d xiii PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG xiv d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL KATA PENGANTAR I ndonesia merupakan negara hukum. Hukum merupakan tatanan fundamental yang menjadikan masyarakat teratur dalam melakukan aktivitasnya, lebih harmonis, dan lebih berkeadilan. Tujuan dari hukum memberikan kepastian karena hukum itu mengikat dan menciptakan ketertiban dan kesejahteraan bersama. Untuk mewujudkan kepastian hukum maka diperlukan hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan yang secara filosofis, sosiologis, yuridis, dan teknis mengatur secara langsung maupun tidak langsung terhadap aktivitas yang ada dalam masyarakat. Peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya undang-undang dibentuk oleh lembaga yang berwenang, yaitu DPR dan Pemerintah (Presiden). DPR dan Pemerintah (Presiden) membentuk undang-undang untuk menjadi pedoman, memberikan kepastian hukum dan ketertiban serta mensejahterakan seluruh bangsa Indonesia secara adil dan berdaulat, sesuai dengan tujuan bernegara yang ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada prosesnya, pembentukan undang-undang harus memenuhi kaidah tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Dalam penyusunan undang-undang, DPR dan Pemerintah (Presiden) mengedepankan asas good governance dengan melibatkan partisipasi masyarakat dengan harapan undang-undang yang dibentuk memenuhi tujuan pembentukan undang-undang yang memberikan kepastian dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dalam segala bidang. Semoga buku ini dapat menjadi pegangan dan pencerahan bagi segenap masyarakat Indonesia untuk memahami proses penyusunan undang-undang. d p r. g o. i d xv PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG xvi d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL PENDAHULUAN K esejahteraan masyarakat dan keadilan yang beradab merupakan tujuan dari berbagai peradaban manusia. Tujuan mulia tersebut semakin kuat untuk dipenuhi atas dasar perasaan senasib dan sepenanggungan, kesamaan ras dan etnis, budaya, dan aspirasi. Berbagai faktor kondisi yang demikian telah mendorong timbulnya perasaan berbangsa dan keinginan kuat untuk mewujudkan negara berdaulat sebagai sarana untuk mencapai masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat terdiri atas masyarakat yang majemuk dari berbagai macam adat istiadat dan suku bangsa. Kemajemukan tersebut menimbulkan budaya dan tradisi yang beragam. Oleh karena itu, untuk mempersatukan berbagai keberagaman tersebut diperlukan suatu instrumen yang dapat mewadahi perbedaan kepentingan yang terjadi di Indonesia. Salah satu instrumen yang digunakan untuk mewadahi kemajemukan tersebut yaitu dengan pembentukan hukum yang berlandaskan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Namun pada praktiknya terdapat norma hukum, adat, dan budaya yang hidup di dalam masyarakat yang telah hadir secara turun temurun, diakui, dan dijalankan. Negara perlu mengatur berbagai kegiatan yang ada di tengah masyarakat melalui hukum secara tertulis untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara berdasarkan asas equality before the law. Dalam pelaksanaannya, pembentukan hukum sampai saat ini acap kali terjadi benturan kepentingan hingga kegiatan yang tidak sinergis, bahkan bertentangan. Dalam hal ini, peran negara melakukan pembentukan undang-undang yang pada hakekatnya adalah proses legislasi untuk mewadahi dan mendukung upaya dan usaha masyarakat dalam melakukan kegiatannya sehingga memberikan nilai tambah terhadap kesejahteraan rakyat. Setiap pembentukan undang-undang harus mampu memberikan manfaat, menciptakan keadilan, dan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan. Pada sisi lain, undang-undang juga harus d p r. g o. i d xvii PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG mampu memberikan kekuatan kepada negara dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menjaga ketertiban, sehingga memperkuat bangsa dalam memberikan kesejahteraan yang adil dan makmur bagi seluruh lapisan masyarakat. Selanjutnya dalam pembentukan undang-undang harus mampu memberikan kedaulatan bagi bangsa dan negara, sehingga dapat berperan aktif dalam membangun kesejahteraan dan perdamaian dunia. Peraturan perundang-undangan merupakan pedoman bagi semua pemangku kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat dan memberikan semangat untuk turut berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Undang-undang yang dibentuk oleh DPR dan Pemerintah (Presiden) mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam pencapaian masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan cita-cita rakyat Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pancasila sebagai falsafah negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus menjadi pedoman dan sumber hukum dalam pembentukan undang-undang. Dalam pembentukan undang-undang sebagai hukum tertulis, berbagai upaya dilakukan oleh DPR dan Pemerintah (Presiden) guna terciptanya hukum yang benar secara kaidah. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan DPR telah memberikan arahan yang jelas tentang tata cara pembentukan undang-undang di tingkat nasional. Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ditetapkan mengenai hierarki atau kedudukan dari berbagai peraturan yang ada, mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, sampai dengan Peraturan Daerah. Dengan ditetapkan hierarki tersebut, maka suatu produk perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Jika terdapat pertentangan undang-undang dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat diuji materiil oleh Mahkamah Konstitusi, xviii d pr. g o. i d SISTEM PENDAHU HU KU MLUAN DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL atau oleh Mahkamah Agung jika terdapat produk peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang diduga bertentangan dengan undang-undang. Dalam pembentukan undang-undang yang diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan harus memenuhi asas-asas, yaitu memiliki kejelasan tujuan, kesesuaian hierarki, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan hingga keterbukaan. Dengan asas- asas tersebut, peraturan perundangan-undangan yang dibuat akan memiliki tujuan, proses, hasil, dan dampak yang jelas bagi kemaslahatan bangsa dan negara. Dalam pemenuhan asas keterbukaan, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam penyusunan undang-undang, mengingat masyarakat adalah pemeran aktif dan menjadi objek dari peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan dilakukan asas tersebut maka diharapkan undang-undang dapat diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat secara baik. Dalam perencanaan penyusunan undang-undang, DPR dan Pemerintah (Presiden) menyusun Program Legislasi Nasional, sebagai skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Program Legislasi Nasional, yang berdurasi jangka menengah maupun tahunan, menjadi pedoman bagi lembaga berwenang dalam menyusun undang-undang secara legal. Dengan Program Legislasi Nasional maka penyusunan undang-undang dapat lebih terarah dan sinergi dengan arah pembangunan nasional dan aspirasi kebutuhan hukum masyarakat. d p r. g o. i d xix PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG BAB I SISTEM HUKUM DAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL xx d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL A. SISTEM HUKUM NASIONAL 1. Sistem Sistem diadaptasi dari bahasa Yunani ‘systema’ yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compounded of several parts), atau hubungan yang berlangsung di antara satuan atau komponen secara teratur (an organized, functioning relationship among units or components). Dalam bahasa Inggris ‘system’ mengandung arti susunan atau jaringan. Jadi, dengan kata lain istilah sistem mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu kesatuan utuh. Menurut Sri Soemantri, sistem mempunyai arti sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud: misalnya sistem pemerintahan.1 Kemudian Rusadi Kantaprawira, mengartikan sistem sebagai suatu kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur (elemen). Unsur, komponen, atau bagian yang banyak ini satu sama lain berada dalam keterikatan yang kait mengkait dan fungsional. Masing-masing kohesif satu sama lain, sehingga ketotalitasan unit terjaga utuh eksistensinya.2 1 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 32. 2 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, (Bandung: Sinar Baru, 1988), hlm. 3. d p r. g o. i d 1 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG Van de Poel dalam Winardi, mengartikan sistem sebagai:3 “Sekumpulan elemen di antara mana terdapat adanya hubungan- hubungan. Kerapkali dalam literatur dapat diketemukan kata-kata tambahan...Elemen-elemen mana ditujukan kearah pencapaian sasaran-sasaran umum tertentu.” “Een verzameling van elementen waartussen relaties bestaan. Vaak treft men bovendien in de literatuur nog de volgende toevoeging …elementen gericht op de verwezenlijking van bepaalde gemeenschappelijke doeleiden.” Sedangkan definisi sistem menurut yang juga dicitasi oleh Bachsan Mustafa, adalah seperangkat komponen yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan umum (system are made up of sets of components that work together for the overal objective of the whole).4 Dengan demikian sistem adalah seperangkat komponen atau unsur yang menyusun sesuatu sehingga menjadi berfungsi atau tercapai tujuan dari sesuatu tersebut. Bilamana sesuatu itu adalah hukum, maka sistem disini meliputi seperangkat komponen atau unsur yang meliputi hukum tersebut. Lawrence M. Friedman misalnya menyebut unsur- unsur yang melingkupi hukum itu ada 3 (tiga) yaitu, substansi, struktur, dan budaya dari hukum tersebut. 2. Sistem Hukum Sistem hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang merupakan satu kesatuan yang teratur, dan terdiri dari sejumlah sub sistem (misalnya sub sistem Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, dan Hukum Ekonomi), yang saling berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi.5 Beranjak dari rumusan tersebut, maka sistem hukum nasional itu selalu harus dikaitkan pula landasan grundnorm yaitu Pancasila, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 3 Winardi, Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisa Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 2. 4 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia (Bandung: Remadja Karya, 1984), hlm. 41. 5 Sunaryati Hartono & Albert Wijaya, Ekonomi Pancasila, Sistem Ekonomi Indonesia dan Hukum Ekonomi Pembangunan, Prisma No.1 Januari 1981, hlm. 7. 2 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL 1945), dan Asas-asas Hukum Umum,6 yang merupakan penjabaran dari pada grundnorm tersebut. Untuk dapat merekam kerangka ideal sistem hukum nasional yang mencerminkan pola rechtsidee hukum Indonesia, kiranya perlu dijadikan bahan pemikiran hasil-hasil Seminar Hukum Nasional ke-IV tanggal 30 Maret 1979, yaitu “pencerminan nilai-nilai Pancasila dalam perundang- undangan dan sistem Hukum Nasional itu sendiri”. Mengenai sistem hukum nasional yang berhubungan dengan perundang-undangan adalah merupakan penjelasan kembali bahwa perundang-undangan menduduki posisi sentral, utama, dalam pembangunan hukum nasional, yang akan dilengkapi oleh hukum tidak tertulis (hukum adat). Disamping itu dikemukakan pula perIunya unifikasi dengan tidak meninggalkan kebhinekaan, terutama dalam bidang-bidang kehidupan spritual. Berikutnya hal yang menyangkut persoalan nilai-nilai Pancasila, pada pokoknya seminar ini menetapkan bahwa pembentuk undang- undang (UU) yaitu Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Penyusunan UU perlu dengan tepat menunjukkan nilai-nilai Pancasila yang mendasari UU itu. Sehubungan dengan hasil seminar tersebut di atas, terdapat empat prinsip yang perIu diperhatikan dalam pembentukan UU, yaitu: a. Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan senyatanya; b. Mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat; c. Mengetahui benar-benar hubungan kausal antara sarana yang digunakan oleh UU seperti sanksi; baik sanksi negatif (punishment), maupun sanksi positif (reward), dan tujuan yang hendak dicapai; dan d. Melakukan penelitian terhadap efek dari UU itu, termasuk efek sampingan yang tidak diharapkan. Hukum ditinjau dari segi kerangka pembangunan, menunjukkan suatu sikap bahwa hukum bukan hanya objek tetapi juga subjek dalam pembangunan. Sedangkan dari segi fungsi hukum, merujuk pada fungsi hukum nasional kita terutama bukan hanya sebagai problem solver, atau 6 Menurut Karl Larenz, Asas-Asas Hukum Umum ialah ukuran-ukuran hukumiah-ethis yang memberikan arah kepada pembentukan hukum, (O. Notohamidjojo, demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hlm. 49). d p r. g o. i d 3 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG social control, akan tetapi berfungsi as a tool of social engineering, secara operasional dapat digambarkan, dimana hukum nasional fungsinya tidak hanya menyelesaikan masalah-masalah hukum yang sudah timbul, namun justru merupakan kaidah-kaidah hukum yang mampu mencegah berbagai masalah, inflict hukum, kebenturan sosial (social conflict), serta menjadi sarana pembangunan.7 Selanjutnya karakteristik hukum ditinjau dari ciri hukum modern dapat diformulasikan sebagai berikut: Pertama, perundang-undangan bersifat transaksional di mana hak dan kewajiban di dalam UU tidak ditentukan berdasarkan status, akan tetapi berdasarkan kontrak. Ini berarti UU di dalam penegakannya tidak mengenal perbedaan agama, ras, suku, kasta.8 Kedua, perundang-undangan merupakan instrumen kebijaksanaan publik (instrument of public policy). Di sini hukum mempunyai sifat instrumental digunakan secara sadar dalam pembangunan. Seperti diputuskan oleh seminar Hukum Nasional III (1974), di mana UU merupakan sarana untuk merealisir kebijaksanaan di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan sesuai dengan skala prioritas Pembangunan Nasional.9 Ketiga, perundang-undangan dalam hubungannya dengan politik melahirkan tipe hukum responsif. Dalam hal ini berarti, hukum dapat menunjang tertib politik, kekuasaan politik (power politic) yang akan memperkuat penegakan hukum dan karenanya dapat menunjang wibawa hukum.10 Keempat, perundang-undangan harus dapat memperluas sasaran keadilan sosial. Secara normatif ini dapat diartikan sebagai usaha mengeksplisitkan jiwa keadilan sosial ke dalam perumusan UU. 7 Daniel Lev, mengemukakan Social Engineering mempunyai dua arti, yaitu secara formal sebagai suatu prosedur untuk merubah masyarakat, dan secara materiil menentukan masyarakat macam apa yang dikehendaki. Selanjutnya beliau memperingatkan Social engineering itu ada bahaya, yaitu ia memberikan kekuasaan yang penuh kepada pemerintah. Erman Rajagukguk, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Bina Aksara), hlm. 73. 8 Robert B. Siedman, Law and Development; A General Model, Disarikan oleh Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Pusat Studi Hukum dan Pembangunan, FH Unair, 1976, hlm. 85. Lihat juga Marc Galanter, “Modernisasi Dinamika Pertumbuhan”, Gajah Mada University Press, 1980, hlm. 102. 9 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 162. 10 Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society Transition Toward Responsive Law, (New York: Hauper & Row, publisher, 1978) hlm. 33, 54, 74. la mengemukakan ada tiga tipe hukum, yaitu (1) Repressive Law, displays Characteristic, Legal institution are directly accessible to political power......, (2) Autonomous Law, law is separated from politics, the system proclaims the independence of the indiciary and draws up a sharp line between legislative and judicial functions, (3) Responsive Law, as Jereme Frank noted a key purpose of legal realist was to make law more responsive to social needs. 4 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL Sedangkan operasionalnya adalah mengakhiri kepincangan domestik yang muncul dalam sosok kemiskinan struktural; baik kepincangan ekonomi, politik, budaya, dan hukum. Kelima, adanya mekanisme kontrol terhadap konstitusionalitas UU. Hal ini menyangkut apakah diperlukan perluasan wewenang badan atau lembaga negara yang sudah ada atau pembentukan badan baru sebagai alternatif dalam mekanisme kontrol tersebut. 3. Sistem Hukum Nasional Sistem hukum nasional merupakan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 15 Tahun 2019). Dalam sistem hukum nasional banyak keterkaitannya dengan hukum yang berlaku, tidak hanya hukum tertulis tetapi juga hukum tidak tertulis.11 Sistem hukum nasional merupakan sistem bidang hukum yang digunakan saat ini. Kerangka sistem hukum nasional dibentuk dari kegiatan-kegiatan pembangunan hukum yang mendukung dan menghasilkan berbagai unsur dari sistem hukum nasional. Kegiatan- kegiatan pembangunan tersebut, terdiri atas materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum, dan pendidikan hukum. Sistem hukum nasional secara umum memiliki tiga pokok unsur, meliputi: a. Materi Hukum Materi hukum dalam sistem hukum nasional yaitu kaidah- kaidah yang ada di peraturan perundang-undangan, baik tertulis atau tidak tertulis yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang 11 Enny Nurbaningsih: Hukum Merupakan Produk Politik...mkri.id ›... diakses pada tanggal 8 Januari 2020. d p r. g o. i d 5 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG berbangsa dan bernegara. Hukum bersifat mengikat masyarakat di dalamnya. Untuk memahami materi hukum di dalam sistem hukum nasional terdapat tiga faktor yang berkaitan, yaitu: 1) Penggolongan Hukum Indonesia Penggolongan Hukum Indonesia memiliki jenis hukum yang cukup beragam, dimana setiap jenisnya memiliki substansi materi yang berbeda-beda. Penggolongan hukum tersebut adalah: a) Hukum berdasarkan bentuknya yaitu hukum tertulis, hukum tidak tertulis, dan hukum peradilan; b) Hukum berdasarkan isi atau kepentingan yang diaturnya; seperti hukum publik dan hukum privat; c) Hukum berdasarkan kekuatan berlaku atau sifatnya; d) Hukum berdasarkan tugas dan fungsinya; seperti hukum materiil dan hukum formil; e) Hukum berdasarkan tempat atau ruang lingkup berlakunya; f) Hukum berdasarkan waktu dan luas berlakunya, yaitu hukum umum dan hukum khusus; g) Hukum berdasarkan subjek yang diaturnya; seperti hukum satu golongan, hukum semua golongan; h) Hukum antargolongan; Hukum berdasarkan hubungan yang diaturnya, yaitu hukum objektif dan hukum subjektif; dan i) Hukum berdasarkan sumbernya. 2) Sumber Hukum Menurut Darji Darmodiharjo,12 pengertian sumber hukum akan berbeda-beda bagi beberapa ahli. Di mata ahli sejarah, sumber hukum adalah UU atau dokumen lain yang bernilai UU. Bagi ahli sosiologi dan antropologi, sumber hukum adalah masyarakat seluruhnya. Sedangkan menurut ahli ekonomi, sumber hukum terdapat pada apa yang tampak di lapangan penghidupan ekonomi. Pengertian tersebut juga berbeda bagi ahli agama, di mana sumber hukum muncul dari kitab-kitab suci. 12 Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet, VI, Mei 2006). 6 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sumber hukum adalah segala sesuatu berupa tulisan, dokumen, naskah, dan sebagainya yang digunakan suatu bangsa sebagai pedoman hidupnya pada masa tertentu. Sumber hukum merupakan segala hal yang menimbulkan aturan-aturan yang memiliki kekuatan memaksa. Sumber hukum kemudian terbagi menjadi dua, yaitu: a) Sumber Hukum Materiil; sumber atau tempat dari mana materi hukum diambil; dan b) Sumber Hukum Formil; sumber atau tempat asal suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. 3) Tata Hukum Indonesia Tata hukum ini bertujuan mempertahankan, memelihara, dan melaksanakan tertib hukum bagi masyarakat suatu negara sehingga dapat dicapai ketertiban di negara tersebut. Tata hukum Indonesia berpedoman pada UUD NRI Tahun 1945, sehingga semua peraturan hukum dibuat oleh negara dan berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia. Berikut susunan tata hukum Indonesia berdasarkan hierarkinya: a) UUD NRI Tahun 1945; b) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu); c) Peraturan Pemerintah (PP); d) Peraturan Presiden (Perpres); dan e) Peraturan Daerah (Perda); di dalamnya Perda Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Desa. b. Struktur Kelembagaan Hukum Sistem atau mekanisme kelembagaan yang menopang pembentukan dan penyelenggaraan hukum di Indonesia disebut sistem kelembagaan hukum. Berikut strukturnya: 1) Lembaga peradilan terdiri atas: Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY); d p r. g o. i d 7 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG 2) Aparatur penyelenggara hukum terdiri atas: kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman; 3) Mekanisme penyelenggaraan hukum; dan 4) Sistem pengawasan pelaksanaan hukum. c. Budaya Hukum Budaya hukum ini menunjuk kesadaran hukum di tengah masyarakat. Bagaimana konsep hukum yang dipikirkan masyarakat, namun juga dilakukan oleh masyarakat terkait keberadaan hukum. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, maka semakin tinggi dukungan terciptanya sistem hukum nasional yang baik. Tingkat kesadaran masyarakat dapat dilihat dari tindakan masyarakat. Bagaimana kepatuhan, tunduk, dan ketaatan pada hukum itu sendiri. Selain itu juga dapat dilihat dari seberapa besar keterlibatan masyarakat terhadap pembuatan kebijakan hukum. B. PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL Di era reformasi, pasca perubahan atas UUD NRI Tahun 1945, strategi pembangunan hukum nasional berpedoman pada apa yang dikenal sebagai Visi dan Misi Pembangunan Hukum Nasional.13 Visi Pembangunan Hukum Nasional adalah “Terwujudnya negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945”. ‘Visi’ tersebut kemudian diimplementasikan dalam Misi Pembangunan Hukum Nasional dengan:14 1. Mewujudkan materi hukum di segala bidang dalam rangka penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan 13 Aziz Syamsuddin, Proses Teknik Penyusinan Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Ke-2, 2013), hlm. 1. 14 Ibid. 8 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan, dan kebenaran, dengan memerhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat; 2. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum; 3. Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, profesional, bermoral, dan berintegritas tinggi; dan 4. Mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi, dan berwibawa. Kebijakan pembentukan UU atau legislasi merupakan subsistem dan bagian dari strategi pembangunan hukum nasional, khususnya dalam konteks pembangunan materi hukum, yang bertujuan mencapai kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa Indonesia di tengah arus besar globalisasi. Visi dan Misi Pembangunan Hukum Nasional menjiwai materi hukum atau UU yang akan dibentuk. Kebijakan legislasi diarahkan pada terbentuknya UU di berbagai bidang kehidupan seperti hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam, lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Pembentukan UU tersebut merupakan pengaturan lebih lanjut dari UUD NRI Tahun 1945 yang materinya mencakup aspek: 1. Hak Asasi Manusia (HAM); 2. Hak dan kewajiban warga negara; 3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara; 4. Wilayah negara dan pembagian daerah; 5. Kewarganegaraan dan kependudukan; dan 6. Keuangan negara. Kebijakan pembentukan UU dilandasi oleh tujuan yang jelas sebagai berikut: 1. Mendukung upaya ke arah mewujudkan supremasi hukum, yang lebih demokratis dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat; 2. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama ini, namun tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat; dan d p r. g o. i d 9 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG 3. Membentuk peraturan perundang-undangan baru yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sementara itu, sasaran dari UU yang akan dibentuk disesuaikan dengan arah dan kebijakan program pembentukan UU di berbagai bidang yang meliputi, antara lain:15 1. RUU yang merupakan perintah dari UUD NRI Tahun 1945; 2. RUU yang merupakan perintah dari Ketetapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); 3. RUU yang terkait dengan pelaksanaan UU lain; 4. RUU yang merupakan ratifikasi terhadap perjanjian internasional; dan 5. RUU yang mendorong percepatan reformasi. Jimly Asshiddiqie dalam seminar hukum, mengatakan bahwa sistem hukum yang komprehensif harus terdiri atas tiga elemen hukum, yaitu kelembagaan (institusional), kaidah aturan (instrumental), dan perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma dan aturan hukum. Salah satu kegiatan dari ketiga elemen hukum tersebut adalah kegiatan pembuatan hukum (law making).16 Kekuasaan pembuatan atau pembentukan hukum selain dari pemerintah (Pasal 5 UUD NRI Tahun 1945) dipegang oleh DPR dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (Perubahan I) menegaskan, DPR memegang kekuasaan membentuk UU.17 DPR berkewajiban melaksanakan fungsi legislasi yang diamanatkan oleh Konstitusi tersebut. Pelaksanaan fungsi legislasi DPR adalah implementasi dari konsep negara hukum, yaitu konsep negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Menjunjung supremasi hukum mensyaratkan pengakuan dari segenap lapisan masyarakat terhadap hukum atau produk legislasi, sebagai pedoman berperilaku dalam segala aspek kehidupan. Jadi, supremasi hukum menegaskan bahwa produk hukum yang dihasilkan, UU misalnya, bukan hanya memiliki 15 Ibid., hlm. 3. 16 Ibid. 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 10 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL legitimasi formal (formal legitimacy) tetapi secara substansial juga mengikat masyarakat untuk tunduk dan taat pada aturan-aturan di dalam UU tersebut (substantive legitimacy). Fungsi legislasi DPR, selain implementasi konsep negara hukum, merupakan pelaksanaan dari konsep negara kesejahteraan, yaitu konsep negara yang mengakomodasi adanya intervensi (tanggung jawab) negara atau pemerintah dalam ranah kehidupan (sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan budaya) masyarakat, yaitu dalam rangka untuk mensejahterakan rakyat. Campur tangan negara atau pemerintah tersebut melalui pembentukan instrumen hukum atau produk UU.18 Kebijakan legislasi merupakan proses perumusan kebijakan publik, sehingga UU yang dihasilkan bisa disebut sebagai bentuk formal dari kebijakan publik. Sebagai suatu kebijakan publik, substansi UU memuat ketentuan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang terkait dengan materi yang diatur. Dengan demikian, wewenang legislasi yang dimiliki DPR dan Anggota DPR adalah merumuskan kebijakan publik. Melalui wewenang legislasi, DPR dan Anggota DPR melakukan salah satu fungsi negara, yakni mewujudkan keadilan distributif (distributive justice). Melalui wewenang legislasi tersebut, DPR dan Anggota DPR mengartikulasikan dan merumuskan berbagai kepentingan kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dari UU yang dibuat.19 Kendati demikian, menurut pendapat Romli Atmasasmita dalam salah satu artikelnya berjudul Reorientasi Politik Perundang-undangan RI menyatakan bahwa, semangat Perubahan UUD NRI Tahun 1945 dalam pembentukan UU yang meletakkan tugas dan tanggung jawab penuh kepada DPR dalam membentuk UU yang dapat disebut perubahan politik perundang-undangan (legislation policy) memerlukan keterampilan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU), ketajaman pengamatan, dan ketelitian dalam mempertimbangkan faktor kultur, geografi, etnis, dan agama masyarakat Indonesia, serta kultur politik masa transisi. Tujuannya diharapkan UU yang akan 18 Politik Hukum Negara Kesejahteraan Indonesia Pasca...layanan.hukum.uns.ac.id › data › Politik Hukum Negar..., diakses pada tanggal 8 Februari 2021. 19 Agung Laksono, Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia pasaca Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dalam Jurnal Majelis, Vol.1, No. 1, Jakarta: Setjen MPR RI, Agustus, 2009. d p r. g o. i d 11 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG dihasilkan dalam jangka panjang tidak menimbulkan masalah baru atau bahkan tidak dapat diterapkan dengan efektif. Masalah etika dan moral pembangunan hukum di Indonesia harus mulai dipertimbangkan sejak penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sampai dengan implementasi UU dan pemberlakuannya di tengah masyarakat. Faktor etika dan moral yang melandasi kedua tahapan tersebut sangat penting dan strategis dalam rangka pembangunan bangsa dan negara yang sesuai dengan konsep negara hukum yang demokratis. Selanjutnya, Lawrence M. Friedman mengemukakan adanya 3 (tiga) pilar penting dalam pembangunan hukum, yakni substansi (substance), struktur (structure), dan budaya/kultur (culture). Secara ideal, ketiga pilar pembangunan hukum nasional itu harus berjalan serasi, selaras, dan seimbang karena ketiga hal tersebut sangat berkaitan erat satu sama lain.20 Di samping itu, dari sisi tujuan hukum, Gustav Radbruch menyatakan bahwa tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain.21 Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktik yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktik kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas tujuan hukum yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa didalam kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.22 20 Arah Pembangunan Hukum Nasional Menurut... Fh.Umj.ac.id › Arah-Pembangunan-Hukum-Nasional- Me... diakses pada tanggal 8 Februari 2021. 21 Memahami Teori Tiga Nilai Hukum Gustav Radbruch, www.pojokwacana.com › Kajian Politik, diakses pada tanggal 8 Februari 2021. 22 B. Arief Sidharta, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm. 20-21. 12 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal ini berimplikasi bahwa segala aspek penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat) dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan. Untuk mewujudkan konsep negara hukum (rechtsstaat/the rule of law), diperlukan adanya pemahaman hukum sebagai satu kesatuan sistem. Setiap sistem umumnya terdiri dari elemen pendukung. Dengan mengacu pada teori Lawrence M. Friedman maka substansi (substance), struktur (structure), dan budaya/kultur (culture) merupakan 3 (tiga) elemen pendukung yang sangat penting sebagai penyangga (pilar) dari sistem hukum.23 Sistem hukum memerlukan perencanaan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang perlu dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945. Hal ini menjadi penting karena perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional. Pada masa reformasi, khususnya dalam periode pemerintahan 2009-2014, strategi pembangunan hukum nasional secara yuridis mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007). Dalam BAB II huruf g Lampiran UU No. 17 Tahun 2007 dijabarkan bahwa, upaya perwujudan sistem hukum nasional dalam era reformasi terus dilanjutkan dengan meliputi pembangunan substansi hukum, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif, dan peningkatan keterlibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembangunan sistem hukum nasional yang dicita-citakan. Pembangunan substansi hukum, khususnya hukum tertulis, dilakukan melalui mekanisme pembentukan hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, 23 Op. cit., Arah-Pembangunan-Hukum-Nasional. d p r. g o. i d 13 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG yaitu berdasarkan UU No.12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019. Dengan ditetapkannya UU tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan. Secara struktural, amandemen UUD NRI Tahun 1945 juga telah membawa perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, misalnya di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya MK yang mempunyai hak menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan KY yang berwenang melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Saat ini Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003) telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (UU No. 7 Tahun 2020) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU No. 22 Tahun 2004) juga diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 (UU No. 18 Tahun 2011). Perubahan kedua UU tersebut dilakukan dengan pertimbangan antara lain untuk mengimbangi cepatnya dinamika kehidupan ketatanegaraan sehingga menyebabkan sebagian substansi dari kedua UU tersebut perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan. Hal ini dilakukan untuk lebih menjamin penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Arah pembangunan hukum masa depan harus mencakup lima aspek, sebagai berikut:24 1. Pembangunan Hukum Berlandaskan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia Dalam hal pembangunan hukum di segala sektor senantiasa harus melandaskan diri pada semangat tekad jiwa nasionalisme para founding fathers bangsa yang lebih mengedepankan kesatuan dan persatuan 24 Ibid. 14 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL bangsa yang terbingkai dalam NKRI. Seluruh aspek sistem ketatanegaraan harus tetap dalam bingkai NKRI sehinga dapat memproteksi adanya disintegrasi dan separatisme yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa. Apabila dikaji secara lebih mendalam, pembangunan hukum tidak dapat dilepaskan dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang telah menjadi modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa yang majemuk. Ia juga dapat disebut sebagai tanda kelahiran (certificate of birth) yang di dalamnya memuat pernyataan kemerdekaan (proklamasi) serta identitas diri dan pijakan melangkah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan nasional. Dari sudut hukum, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat Pancasila itu menjadi dasar falsafah negara yang melahirkan cita hukum (rechtsidee) dan dasar sistem hukum tersendiri sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai dasar negara menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi semua peraturan perundang-undangan. Dalam kedudukannya yang demikian, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan Pancasila yang dikandungnya menjadi staatsfundamentalnorms atau pokok kaidah negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum, kecuali dilakukan perubahan terhadap identitas Indonesia yang dilahirkan pada tahun 1945. Dalam melakukan perumusan konsep penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan konsep negara hukum, sebelumnya perlu diketahui apakah tujuan penyelenggaraan negara Indonesia, atau apakah tujuan negara Indonesia. Hal ini penting karena konsep penyelenggaraan negara hukum harus selalu tertuju pada terwujudnya tujuan negara Indonesia. Tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu: a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. Memajukan kesejahteraan umum; c. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan d. Ikut melaksanakan perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. d p r. g o. i d 15 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG Terwujudnya tujuan negara ini menjadi kewajiban negara Indonesia sebagai organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya harus didasarkan pada lima dasar negara (Pancasila). Dari sini dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan pedoman utama kegiatan penyelenggaraan negara yang didasarkan atas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka terwujudnya tujuan negara Indonesia tersebut maka dalam setiap kebijakan negara yang diambil oleh para penyelenggara negara (termasuk di dalamnya upaya melakukan pembangunan sistem hukum nasional) dalam upaya penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus sesuai dengan empat prinsip cita hukum (rechtsidee) Indonesia (Pancasila), yakni: a. Menjaga integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial; b. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum sekaligus, sebagai satu kesatuan tidak terpisahkan; c. Mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; d. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama. Oleh karenanya dalam penyelenggaraan negara hukum, harus dibangun suatu sistem hukum nasional yang:25 a. Bertujuan untuk menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial; b Berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui musyawarah mufakat maupun pemungutan suara, dan hasilnya dapat diuji konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee; c. Bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial; 25 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), hlm. 19. 16 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL d. Bertujuan untuk mewujudkan toleransi beragama yang berkeadaban, dalam arti tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan kelompok atau golongan tertentu. Pembangunan hukum nasional tersebut, bersumber pada dua sumber hukum materiil, yakni sumber hukum materiil pra kemerdekaan dan sumber hukum materiil pasca kemerdekaan. Adapun yang termasuk sumber hukum materiil pra kemerdekaan terdiri dari: a. Hukum adat asli, sebagai suatu living law yang telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia; b. Hukum agama, baik hukum Islam maupun hukum agama lainnya; c. Hukum Belanda; dan d. Hukum Jepang. Sedangkan sumber hukum materiil pasca kemerdekaan terdiri dari: a. Instrumen hukum internasional; b. Perkembangan hukum dalam civil law system; dan c. Perkembangan hukum dalam common law system. 2. Pembangunan Hukum Berlandaskan pada Welfare State Sebagaimana telah diamanatkan oleh founding fathers NKRI yang tertuang dalam dasar konstitusi UUD NRI Tahun 1945. Indonesia adalah negara kesejahteraan (Welfare State). Rumusan konsep Welfare State tersebut termaktub dalam alinea keempat Pembukaan (Preambule) UUD NRI Tahun 1945. Proses pembangunan yang hanya memberikan kesempatan bagi sebagian kecil kelompok masyarakat untuk menikmati hasil pembangunan dan meminggirkan kelompok masyarakat lainnya adalah pengingkaran terhadap cita-cita tersebut. Menurut Amartya Sen menyatakan bahwa konsep pembangunan tidak hanya menekankan pada akumulasi kekayaan tapi juga pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk dan variabel lain yang terkait dengan pendapatan. Amartya Sen berpendapat bahwa proses pembangunan adalah semua usaha untuk menghilangkan ‘ketidakbebasan’ yang menimbulkan penderitaan bagi semua elemen d p r. g o. i d 17 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG masyarakat. Pembangunan seharusnya diukur dengan seberapa banyak kebebasan yang dimiliki karena tanpa kebebasan orang tidak bisa membuat pilihan yang memungkinkan mereka untuk membantu diri sendiri dan orang lain. Amartya Sen mendefinisikan kebebasan sebagai sesuatu yang terkait dan saling melengkapi antara:26 a. Kebebasan politik dan hak sipil; b. Kebebasan ekonomi, termasuk didalamnya kesempatan untuk mendapatkan kredit; c. Kesempatan sosial, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial lainnya; d. Jaminan keterbukaan (transparency), yaitu interaksi antara satu orang dengan yang lain, termasuk dengan pemerintah, yang ditandai dengan saling pengertian tentang apa yang ditawarkan dan apa yang diharapkan; dan e. Perlindungan keamanan (security), seperti bantuan pada kondisi darurat dan jejaring pengaman lainnya. 3. Pembangunan Hukum Berlandaskan pada Asas Kemanusiaan Kita mendapati kenyataan bahwa, pendekatan dalam penegakan hukum hanya berlandaskan pada legal-formalistik, hanya mengacu pada teks UU. Sebagian penegak hukum merasa telah cukup apabila telah menegakkan hukum dengan cara melaksanakan teks UU. Aparat penegak hukum menerapkan hukum berdasarkan aturan formal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tanpa memperhatikan aspek sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Untuk menanggulangi hal tersebut, terdapat alternatif penegakan hukum yang dapat diimplementasikan, yaitu Restorative Justice System, dimana pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio- kultural dan bukan pendekatan normatif. Restorative justice (keadilan restoratif) atau dikenal dengan istilah “reparative justice” adalah suatu 26 Amartya Sen, Development as Freedom, (New York: Anchor Books, 2000), hlm. 14 - 17, 38 - 41. 18 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan dari pada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya. Restorative justice merupakan pendekatan untuk memecahkan masalah, dalam berbagai bentuknya, melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial mereka, badan peradilan, dan masyarakat. Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa perilaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai korban dan masyarakat. Setiap upaya untuk mengatasi konsekuensi dari perilaku kriminal dapat memungkinkan, melibatkan pelaku serta pihak-pihak korban, selain menyediakan kebutuhan bagi korban dan pelaku berupa bantuan dan dukungan.27 Konsep restorative justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis, atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Dalam konteks Indonesia, restorative justice berarti penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.28 Untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku, ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak secara progresif dengan tidak menerapkan peraturan secara tekstual tetapi perlu menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat. 27 UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series, (Vienna: UN New York, 2006), hlm. 6. 28 Kejaksaan Agung Akan Revisi Juknis Penuntutan Anak, Sumber: http://www.tribunnews.com/2012/01/20/ kejaksaan-agung-akan-revisi-juknis-penuntutan-anak, diakses pada tanggal 6 Februari 2021. d p r. g o. i d 19 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG Dalam UUD NRI Tahun 1945 terdapat 4 (empat) prinsip yang menjadi landasan penyelenggaraan bantuan hukum, yaitu: 1. Indonesia adalah negara hukum, Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945; 2. Setiap orang berhak memperoleh peradilan yang fair dan impartial; 3. Keadilan harus dapat diakses semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all); dan 4. Perwujudan dari negara demokratis. Konstitusi menjamin hak setiap warga negara mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, permasalahan dasar yang muncul adalah tidak adanya perluasaan akses yang sama bagi setiap warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama dimuka hukum, meskipun doktrinnya keadilan harus dapat diakses oleh semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all). Keadilan tidak cukup menjadi penjaga moral masyarakat, keadilan tidak sekadar panji-panji politis, keadilan tidak cukup sekadar “rasa keadilan masyarakat”, tetapi keadilan harus menjadi moral kehidupan yang melembaga dalam hukum. Hukum sendiri harus tegas mengatur bahwa kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat dikawal oleh UU, dan diatur dalam ketentuan-ketentuan rinci dengan sanksi-sanksi. Tidak boleh ada (lagi) perbedaan perlakuan atas dasar golongan, kedudukan politis, agama, etnis, warna kulit, atau strata masyarakat. Semua orang sama di depan hukum. Penegakan HAM dan supremasi hukum merupakan satu cara dimana keadilan dapat lebih terjamin. Keadilan tidak saja menyangkut kesetaraan didepan hukum, tetapi juga keadilan untuk memperoleh kesempatan pendidikan, pekerjaan, dan informasi. Dalam arah pembangunan hukum nasional yang berlandaskan konstitusi dan kemanusiaan, keadilan harus dapat diakses semua kalangan masyarakat termasuk juga kepastian dalam mendapatkan keadilan. Lamanya proses hukum di pengadilan terkadang membuat masyarakat semakin sulit meraih keadilan hakiki. Oleh karena itu perlu terobosan hukum agar peradilan tetap konsisten menerapkan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Dengan cara demikian 20 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL akan terhindarkan pula adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak “justice delayed justice denied”.29 Dengan kata lain, rasa keadilan yang ditunda adalah sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan. Model keadilan semacam ini telah dicoba dipraktikkan dalam perkara pidana yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Sebagai salah satu pelaksanaan paham keadilan restoratif tersebut adalah saat ini pemerintah sudah membentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 12 Tahun 2012). UU tersebut merupakan bagian integral dari perbaikan sistem hukum nasional yang telah dilakukan. Sebagaimana perspektif hukum progresif yang menempatkan hukum untuk manusia dimana pengangan, optik, atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan tersebut, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema yang telah dibuat oleh hukum.30 4. Pembangunan Hukum Bertitik Tolak pada Affirmative Action (Tindakan Afirmatif) Dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, dinyatakan secara eksplisit bahwa salah satu dasar terbentuknya NKRI adalah untuk mencapai keadilan sosial (social justice) bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh konsep akses terhadap keadilan yaitu mencapai suatu keadilan sosial. Perlunya affirmative action dalam masyarakat yang penuh dengan ketidaksamaan dalam banyak aspek kehidupan, menyatakan secara formal (oleh hukum) tentang keharusan adanya kesamaan 29 Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitiusi Nomor 49/PUU-X/2012 Perihal Pengujian Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, hlm. 47. 30 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 61. d p r. g o. i d 21 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG hukum di antara para anggota masyarakat, adalah sama saja dengan mempertahankan atau mengabadikan ketidaksamaan yang nyata dalam masyarakat. Tindakan afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktik konvensional dan menegaskan satu cara yang lain (melakukan terobosan).31 Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, maka kesinambungan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang berasaskan kekeluargaan harus senantiasa dipelihara dengan baik melalui sistem dan pranata hukum yang modern, tetapi tetap berakar pada nilai-nilai wawasan kebangsaan dan kepentingan nasional. Oleh karena itu, pentingnya hukum untuk dibangun agar hukum dapat benar-benar menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat yang kita harapkan. Hukum dapat berperan sebagai objek pembangunan dalam rangka mewujudkan hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Tetapi juga hukum dapat menjadi subjek pembangunan manakala hukum itu telah berfungsi di masyarakat sebagai penggerak dan pengaman pembangunan dan hasil-hasilnya. Ada tiga dimensi yang dapat dijadikan sebagai alasan pentingnya pembangunan hukum nasional, yaitu 1) dimensi konstitusional, 2) dimensi yuridis sosiologis, dan 3) dimensi perspektif. Dimensi konstitusional bermakna pembangunan hukum nasional merupakan upaya untuk mewujudkan konsepsi negara hukum dalam tata kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, sekaligus mewujudkan amanat Konstitusional Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum serta pemerintahan dengan tidak ada kecuali. Dimensi yuridis sosiologis bermakna membangun hukum merupakan upaya untuk mewujudkan konsepsi hukum yang sesuai dengan ide Kerangka Teori. Dimensi persepektif bermakna 31 Ibid., hlm. 141-142. 22 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL pembangunan hukum nasional merupakan upaya untuk menjadikan hukum sebagai sarana pembangunan dalam arti mengatur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan. Indonesia adalah negara yang menganut paham negara hukum modern yang religius (religious welfare state). Oleh karenanya pemerintah mempunyai tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada penyelenggara negara dalam menjalankannya. Dalam rangka bestuurzorg, penyelenggara negara diberikan kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri untuk turut serta dalam mengatur kehidupan sosial rakyatnya.32 Dalam perkembangannya, peranan negara pada abad ini berbeda dengan peranan negara pada abad sebelumnya dimana negara hanya berperan sebagai negara penjaga malam (nachwachsterstaat).33 Tanggung jawab negara dalam menyelenggarakan pelayanan publik termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa, tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain dalam pembukaan, tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik juga diatur dalam batang tubuh, yakni dalam Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Amanat kedua ketentuan tersebut yang dimuat dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land) mengandung makna bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, 32 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusidi Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 29. 33 Pemerintah sebagai nachwachsterstaat sangat sempit ruang geraknya bukan saja dalam lapangan politik tetapi juga dalam lapangan ekonomi yang dikuasai oleh dalil laisser faire, laisser aller (keadaan ekonomi negara akan sehat jika setiap manusia dibiarkan mengurus kepentingan ekonominya masing-masing). Ditinjau dari segi politik, pada pokoknya tugas suatu nachwachsterstaat adalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi dari mereka yang menguasai alat-alat pemerintah, yakni ruling class yang merupakan golongan eksklusif, sedangkan nasib mereka yang bukan ruling class tidak dihiraukan oleh nachwachterstaat…. Lihat dalam buku E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung: FH PM UNPAD, 1960), hlm. 21. d p r. g o. i d 23 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG jasa publik, pelayanan administratif, dan pelayanan kesehatan yang baik sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam Pasal 34 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan pula, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”. Oleh karenanya, konkretisasi ketentuan Pasal 34 ayat (3) dan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah adanya UU di bidang kesehatan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan warga masyarakat akan jaminan pelayanan kesehatan dan pelayanan publik yang baik. Namun proses konkretisasi ketentuan kedua Pasal ini perlu memperhatikan Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) agar UU yang dibuat memiliki keselarasan, kesesuaian, keserasian, koherensi, dan korespondensi dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai kaidah penuntun pembentukan hukum nasional. 5. Pembangunan Hukum Mencerminkan Checks and Balances Sistem Presidensial yang dianut politik Indonesia telah membentuk sebuah konfigurasi lembaga negara yang saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain. Pelaksanaan checks and balances tersebut tidak hanya terjadi antara lembaga eksekutif dan legislatif saja tapi juga merata kepada lembaga negara lain seperti yudikatif dan auditatif sebagaimana diatur dalam konstitusi.34 Konsep checks and balances memungkinkan suatu cabang kekuasaan negara tertentu untuk menjalankan fungsi dan cabang kekuasaan negara lainnya. Di Indonesia, konsepsi dan implementasi checks and balances diatur pada UUD NRI Tahun 1945. Secara definitif, UUD NRI Tahun 1945 menata siklus checks and balances antar lembaga negara agar bisa saling mengawasi secara efektif. Pemahaman sistem checks and balances dalam konteks ini antara lain adalah bahwa antara lembaga negara harus saling kontrol dan saling mengimbangi. Dalam penyelenggaraan negara tidak lagi ada 34 Patrialis Akbar, Hubungan Lembaga Kepresidenan dan Dewan Perwakilan Rakyat dan Veto Presiden, (Jakarta: Total Media & P3IH FH UMJ, 2010), hlm. 97. 24 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL lembaga yang tertinggi dari lembaga negara yang lain. Semua lembaga negara mempunyai kedudukan yang sejajar. Semua lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang ditentukan secara proporsional oleh UUD NRI Tahun 1945 yang dielaborasi lebih lanjut ke dalam berbagai macam UU. MK merupakan bagian kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan dan menjaga konstitusi sesuai tugas dan kewenangannya sebagaimana yang ditentukan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 jo. UU No. 7 Tahun 2020. Pembentukan MK adalah sejalan dengan dianutnya paham konstitusional, prinsip negara hukum, dan sistem checks and balances. Dari kelima aspek tersebut, maka diharapkan dapat terwujud asas pembangunan hukum nasional. Selain itu, sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019, pembentukan hukum nasional perlu dilandasi asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan ini merupakan derivasi dari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee). Dengan demikian, Pancasila menjadi roh dan spirit yang menjiwai pembangunan hukum nasional. C. POLITIK PERUNDANG-UNDANGAN Salah satu prinsip yang harus ada dalam suatu negara hukum adalah prinsip pemerintahan negara berdasar atas hukum. Hal ini sesuai dengan kesepakatan International Commission of Jurist yang menyebutkan, prinsip utama dalam negara hukum ialah: 35 1. Negara harus tunduk kepada hukum; 2. Pemerintah harus menghormati hak-hak individu di bawah rule of the law; dan 35 Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Bayu Media, 2004), hlm. 41. d p r. g o. i d 25 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG 3. Hakim harus dibimbing oleh rule of the law, melindungi dan menjalankan tanpa takut, tanpa memihak, dan menentang setiap campur tangan Pemerintah atau partai-partai terhadap kebebasannya sebagai hakim. Mengenai prinsip negara harus tunduk kepada hukum, dalam arti sempit juga bisa diartikan, negara atau pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam mengelola kekuasaannya. Sebagaimana disampaikan oleh Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’, mencakup empat elemen penting, yaitu:36 1. Perlindungan HAM; 2. Pembagian kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan UU; dan 4. Peradilan tata usaha negara. Dalam sejarahnya, salah satu prinsip negara hukum, yaitu pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, apabila tidak ada kontrol justru membahayakan kebebasan warga negara. Hal ini terjadi mengingat produk hukum (peraturan perundang-undangan) sangat dipengaruhi oleh politik terutama pada saat pembuatannya. Menurut Mahfud MD, baik kegiatan legislatif (pembuatan UU) maupun eksekutif (peraturan di bawah UU), dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya,37 karena karakter produk hukum yang ditampilkan cenderung responsif/populistik.38 Namun, hal ini akan membawa permasalahan ketika konfigurasi politik yang ada adalah otoriter, karena produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ ortodoks/elitis.39 Pengaruh politik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ini tidak akan membawa permasalahan ketika konfigurasi politik yang ada adalah demokratis. 36 Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Orasi llmiah pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004, dimuat dalam Jumal Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004, hlm. 3. 37 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 8. 38 Ibid., hlm. 376. 39 Ibid. 26 d pr. g o. i d SISTEM HU KU M DAN PEM BANGU NAN HU KU M NASIONAL 1. Ruang Lingkup Politik Hukum Dapat dikatakan ruang lingkup politik hukum meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum, dan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pembentukan peraturan perundangan suatu negara. Politik hukum dalam konteks peraturan perundangan-undangan tidak hanya berada pada tataran proses dari hukum yang akan dan sedang diberlakukan, tetapi mencakup pula hukum yang telah berlaku. Dengan kata lain, politik hukum adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat UU, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan UU dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Politik hukum dalam perspektif akademis tidak hanya berbicara sebatas pengertian di atas an sich tetapi mengkritisi juga produk hukum yang telah dibentuk. Dengan demikian, politik hukum menganut prinsip double movement, yang selain sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh lembaga negara yang berwenang, digunakan juga untuk mengkritisi produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy diatas. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat ditetapkan bahwa ruang lingkup atau wilayah kajian politik hukum sebagai berikut:40 a. Proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum atau kebutuhan hukum; b. Proses perdebatan dan perumusan nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang- undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum; c. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik hukum; 40 Jamaludin Karim, Politik Hukum legalistik (Yogyakarta: Imperium, 2013). d p r. g o. i d 27 PROSES & TE KNIK PE NYU SU NAN UNDANG -UNDANG d. Peraturan perundang-undangan yang juga memuat politik hukum; e. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum, baik yang akan, sedang, dan telah di