Dongeng Urashima Taro, Norito dan Senmyoo PDF

Summary

This document is a student paper discussing Norito and Senmyoo, two forms of traditional Japanese literature. It explores their historical and cultural significance, touching on their role in Japanese rituals and spiritual beliefs. It also examines the impact of these texts on later Japanese literature and their place in modern cultural contexts.

Full Transcript

Dongeng Urashima Taro, Norito dan Senmyoo Sebagai bagian dari tugas perkuliahan Nihon Bungaku Nyuumon Dosen Pengampu: 1. Dr. Rima Devi, S.S., M.Si. 2. Rachmidian Rahayu, M.Hum 3. Aulia Rah...

Dongeng Urashima Taro, Norito dan Senmyoo Sebagai bagian dari tugas perkuliahan Nihon Bungaku Nyuumon Dosen Pengampu: 1. Dr. Rima Devi, S.S., M.Si. 2. Rachmidian Rahayu, M.Hum 3. Aulia Rahman, S.S., M.A. 4. Fakhria Nesa, M. Hum. Disusun oleh: 1. Geovano Julio Gerrard 2410751024 2. Salman Alparisi 2410752004 3. Leica Zahra Asanda 2410752014 4. Zaky Putra Pratama 2410752034 5. Jennyfer Okamara Rizman D 2410753012 Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas 2024 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Makalah tentang "Norito" dan "Senmyoo" dalam konteks "Nihon Bungaku" ( 文学, sastra Jepang) akan membahas dua bentuk sastra tradisional Jepang yang memiliki signifikansi historis dan kultural yang mendalam. Dalam kajian makalah ini kami akan membahas Noritoo dan Senmyoo sebagai bentuk sastra ritual yang tidak hanya memiliki nilai linguistik dan artistik, tetapi juga peran penting dalam membentuk identitas budaya dan spiritual Jepang. Dengan mengeksplorasi struktur, tema, dan fungsi sosial dari kedua teks ini, makalah ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman kita tentang peran sastra dalam ritual keagamaan serta kontribusinya terhadap perkembangan Nihong Bungaku. Penelitian ini juga akan mengkaji bagaimana teks-teks ini mempengaruhi sastra Jepang selanjutnya dan bagaimana mereka dipelajari dan dihormati dalam konteks modern. 2. Rumusan Masalah Untuk memahami masalah tentang “Norito” dan “Senmyoo”, terlebih dahulu kita perlu paham apa arti kedua istilah tersebut dan dalam konteks apa mereka digunakan. Seperti apa perbedaan antara Norito dan Senmyō dalam hal fungsi dan penggunaan dalam konteks upacara keagamaan Shinto, dan bagaimana Noritoo dan senmyoo dalam sastra jepang mencerminkan nilai-nilai religious Masyarakat jepang kuno. 3. Tujuan Penulisan Kajian makalah ini bertujuan untuk mencari tahu lebih dalam tentang Norito dan Senmyoo dalam konteks kesusastraan jepang, Serta menganalisis pengaruhnya di masa Jepang modern. 4. Manfaat Makalah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pembaca baik itu inspirasi atau pemahaman budaya tentang Norito dan Senmyoo dan juga memberikan wawasan tentang nilai-nilai dan kepercayaan Masyarakat Jepang, membantu para pembaca memahami konteks sosial mereka. 5. Sumber Penulisan Sumber penulisan yang kami dapat mengambil beberapa sumber yang masih relevan seperti “The Role of Norito in Shinto Rituals” dalam Japanese Journal of Religius, “Shinto The Kami Way” oleh Sokyo Ono, Stanford Encyclopedia of Philosophy- Japanese Philosophy, Buku Sejarah Kesusastraan Jepang (Nihon Bungakushi) oleh Isoji Asoo dkk, dan Makalah Nihon Bungaku Norito dan Semyoo oleh Muhammad Akbar. BAB II Norito dan Senmyoo Zaman Joodai atau Joodai bungaku adalah zaman kesusastraan di Jepang yang juga dikenal sebagai zaman Yamato. Kesusastraan zaman Joodai merupakan bagian dari kesusastraan zaman Nara-Heian. Joodai bungaku disebut juga sebagai kesusastraan zaman Yamato, karena kegiatan politik serta kebudayaan pada zaman tersebut berpusat di Yamato. Joodai bungaku ini dapat dipastikan berakhir ketika ibukota pemerintahannya pindah ke Heian pada tahun 794, tetapi permulaannya tidak dapat diketahui secara pasti. Usaha penyatuan negara Jepang mengalami kemajuan sekitar abad IV sampai abad V dan di bawah dinasti yamato ini didirikan menjadi sebuah negara kesatuan. Nihong Bungaku (日本文学) Nihong Bungaku atau Sastra Jepang, mengacu pada keseluruhan tradisi sastra Jepang yang meliputi berbagai bentuk dan genre dari periode kuno hingga modern. Sastra Jepang sangat dipengaruhi oleh agama, budaya, dan sistem sosial yang berkembang di Jepang sepanjang sejarah. Noritoo dan Semyoo, sebagai bagian dari sastra klasik, menawarkan wawasan mendalam tentang pemikiran, nilai-nilai, dan keyakinan masyarakat Jepang kuno. Analisis terhadap kedua bentuk sastra ini sering kali melibatkan studi tentang bahasa klasik Jepang, konteks sejarah, serta interpretasi teologis dan filosofis. Norito dan Senmyoo ini sesudah zaman Nara masih juga terus diciptakan, tetapi yang mengandung arti kesusastraan hanyalah bentuk Norito dan Senmyoo yang telah ada sebelum Zaman Nara. Norito ini, yaitu Norito yang dianggap sebagai kesusastraan Joodai Bungaku adalah 27 pasal yang tertera dalam Engishiki jilid 8 dan Nakatomi no Yogoto yang merupakan bagian dari Taiki catatan khusus. Sedangkan Senmyoo adalah 62 perintah Tennoo yang tertera dalam Shoku Nihongi dan data lain yang terdiri dari 3 pasal. Baik Engishiki maupun Taiki ini terbentuk sejak zaman Heian, tetapi asal Norito itu sendiri telah ada jauh sebelumnya. Senmyoo mulai diciptakan sesudah Monmu Tennoo sampai dengan awal Kanmu Tennoo. NORITO Norito adalah teks liturgi atau mantera ritual dalam Shinto yang biasanya ditujukan kepada sesosok kami (dewa). Norito diucapkan dengan bahasa penuh rasa, berbeda dari bahasa sehari-hari. Dalam kesusastraan zaman Joodai Norito terdiri dari 27 artikel yang tercantum dalam Engishiki Volume 8 dan Nakatomi no Yogoto, Part of Magic (Catatan khusus pada saat itu). Sesuai dengan sifatnya, yaitu Norito dipergunakan untuk berhubungan dengan dewa- dewa dan Senmyoo dipakai untuk menyampaikan perintah dan dekrit Tennoo kepada masyarakat, agar tidak ada kesalahan membacanya, dibuatlah semacam catatan pada tulisan- tulisan tersebut. Karena itu kita dapat mengetahui bahasa lisan kuno berdasarkan catatan tersebut, dan di samping itu dijelaskan juga dengan baik tentang kepercayaan dan cara berpikir manusia yang hidup pada zaman tersebut. Norito adalah doa ritual Shinto yang ditujukan langsung kepada kami selama upacara formal. Mereka dibacakan oleh seorang pendeta atas nama jamaah. Norito diucapkan dalam frasa formal Jepang yang sangat indah. Shinto percaya bahwa kata-kata tertentu memiliki kekuatan spiritual jika diucapkan dengan benar, dan gaya bahasa ini digunakan karena keyakinan bahwa menggunakan kata- kata 'indah', 'benar' ini akan menghasilkan kebaikan. Selama periode, doa formal ditetapkan oleh pemerintah, namun para pendeta kini dapat menggunakan doa apa pun yang sesuai - atau dapat menyusun doa mereka sendiri. Norito termasuk yogoto, yang merupakan berkat khusus untuk pelestarian pemerintahan kekaisaran. The Nakatomi no yogoto diucapkan pada hari naik takhta kaisar. Norito ini berasal dari mantera-mantera yang sederhana. Akan tetapi kemudian berkembang menjadi suatu cara untuk menyembah dan meminta kepada dewa-dewa, menerangkan tentang asal usul terjadinya suatu festival, untuk menjelaskan keturunan dewa yang difestivalkan beserta amal yang dilakukannya, tentang menyusun barang sajian dan lain-lain. Kemudian Norito ini menjadi bertambah panjang karena terbentuknya doa-doa pendahuluan dan penutup, ditambah dengan ciri khas cara memperindah gaya bahasanya. Baik mantera maupun Norito mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memanggil dewa-dewa dengan kekuatan doa-doa itu sendiri. Pekerjaan Dewa tempat orang mengajukan permohonan dalam Norito antara lain adalah membuat banyaknya hasil panen, membuat masyarakat penuh dengan kedamaian, kemakmuran keraton, mencegah bahaya dan mencegah roh jahat, menghapuskan dosa dan ketidaksucian. Selain itu dapat juga dilihat adanya permintaan agar Kaisar maupun negara yang diperintahnya mengalami kemakmuran, kestabilan masyarakat dan kehendak akan kemurnian jiwa, badaniah dan rohaniah. Norito juga digunakan untuk memuja dewa-dewa yang dipuja oleh Keluarga Tennoo dan yang berasal dari arwah nenek moyang keluarga Tennoo. Selain itu digunakan juga untuk memuja dewa lain, sehingga membuktikan bahwa obyek permohonan tidak hanya ditujukan pada satu dewa saja. Banyak juga Norito yang berisi ucapan-ucapan syukur karena permohonannya dipenuhi, ada juga yang hanya berisi hal-hal yang berhubungan dengan pemberian barang sajian. Selain itu ada juga yang berisi sumpah untuk berbakti kepada Tennoo di samping memuji dan mengharapkan kemakmurannya. Norito juga digunakan untuk memuja dewa-dewa yang dipuja oleh Keluarga Tennoo dan yang berasal dari arwah nenek moyang keluarga Tennoo. Selain itu digunakan juga untuk memuja dewa lain, sehingga membuktikan bahwa obyek permohonan tidak hanya ditujukan pada satu dewa saja. Banyak juga Norito yang berisi ucapan-ucapan syukur karena permohonannya dipenuhi, ada juga yang hanya berisi hal-hal yang berhubungan dengan pemberian barang sajian. Selain itu ada juga yang berisi sumpah untuk berbakti kepada Tennoo di samping memuji dan mengharapkan kemakmurannya. Gambar 1. Kegiatan Penyembahan (Norito) SENMYOO Senmyo (Dekrit Kekaisaran) (宣命) Senmyo adalah dokumen tertulis yang berisi perintah kaisar yang ditulis dalam ortografi Jepang hanya dengan aksara Cina, berbeda dengan Shochoku (dekrit kekaisaran) yang ditulis dalam bahasa Cina klasik. Gaya sastra ini disebut Senmyotai (gaya agung yang ditulis dengan gaya dekrit kekaisaran), notasinya Senmyogaki, seorang utusan yang membaca Senmyo Senmyoshi (宣命使), dan kertas yang digunakan untuk menggambar Senmyo adalah Senmyo-shi (宣命紙). Senmyotai adalah gaya sastra yang menjadi asal mula komposisi yang ditulis dalam kanji dan kana (suku kata Jepang), sehingga merupakan dokumen yang sangat penting bagi sejarah perkembangan kana. Senmyoo adalah salah satu bentuk sastra kuno Jepang yang berfungsi sebagai alat komunikasi antara rakyat dan kaisar. Senmyoo juga merupakan 62 perintah Tenno yang tercantum dalam buku Shoku Nihongi. Senmyoo Ditulis dengan Kokubuntai, Senmyoo berevolusi dengan peristiwa nasional penting seperti penobatan dan penggantian Tenno, pemilihan permaisuri, pengukuhan nama era, penetapan atau pencopotan pangeran sebagai pewaris takhta kerajaan, cara memuji mereka yang bekerja. upaya keras dan dilakukan, cara untuk mendapatkan rasa hormat, memberi nilai, bagaimana menghukum dan membebaskan orang berdosa dan memberikan petunjuk tentang arti dosa dan banyak lagi. Senmyoo digunakan sebagai media antara kaisar dan rakyat. Isinya disusun secara khusus, kalimat-kalimat yang terkandung di dalamnya dan tujuannya diungkapkan dengan jelas. Senmyoo ini telah ada sejak dahulu kala, tetapi yang disebutkan Senmyoo biasanya adalah yang tertulis dalam Shoku Nihongi seperti tertera di atas. Senmyoo yang ditulis dengan Kokubuntai ini berkembang dengan timbulnya peristiwa besar nasional, seperti penobatan dan penggantian Tennoo, cara pemilihan permaisuri, menetapkan nama zaman, cara menetapkan atau menghapuskan pangeran ahli waris tahta kerajaan, cara memuliakan orang yang bekerja keras dan orang yang berusaha, cara penerimaan upeti, pemberian pangkat, cara menghukum dan membebaskan orang-orang yang berdosa, serta memberikan petunjuk-petunjuk tentang apa yang dimaksudkan dengan dosa, dan lain-lain. Gambar 2. Peninggalan Tulisan Kekaisaran SENMYOTAI DAN SENMYOGAKI Gaya sastra seperti Senmyo dan Norito ( doa Shinto ) disebut sebagai Senmyotai, dan ortografinya, Senmyogaki, adalah cara penulisan di mana bagian-bagian pidato dan akar kata ditulis dalam karakter besar, dan partikel postposisional, kata kerja bantu (tata bahasa Jepang), akhir kata-kata yang dapat dideklinasi, dan sebagainya, dalam karakter yang lebih kecil dari kata-dan-bunyi Manyogana (bentuk suku kata yang digunakan dalam Manyoshu [ Koleksi Sepuluh Ribu Daun]). 乎' biasanya digunakan untuk 'wo' (を), '乃' untuk 'no' (の ), '波' untuk 'ha' (は), dan seterusnya. Namun, ada dua jenis Senmyotai. Senmyo Daishotai di mana semua kata termasuk partikel postposisional, dan seterusnya, ditulis dalam karakter besar, dan Senmyo Shoshotai di mana partikel postposisional, dan seterusnya, ditulis secara berbeda dalam karakter yang lebih kecil seperti yang dijelaskan di atas. Senmyogaki dapat disebut sebagai 'sebuah komposisi yang ditulis dalam kanji dan manyogana', namun jika manyogana tersebut diubah ke hiragana, maka ia menjadi hampir sama dengan 'sebuah komposisi yang ditulis dalam kanji dan kana', yang merupakan suatu hal yang luar biasa dalam sejarah perkembangan ortografi Jepang. Kertas Senmyoshi (kertas untuk Senmyo) Kertas untuk menggambarkan Senmyo, yang biasanya menggunakan omashi (kertas kekuningan yang terbuat dari rami), dan kertas berwarna hanadairo (biru muda) untuk Kuil Ise-jingu, dan kertas merah tua untuk Kuil Kamo-jinja. Omashi merujuk pada kertas yang sebagian besar terbuat dari rami dan diwarnai dengan kihada (gabus Amur) untuk mencegah hama serangga, yang menjadi asal nama kertas tersebut. Karena rami telah dipercaya sebagai bahan yang bersih sejak zaman dahulu, rami sering digunakan untuk menyalin sutra pada periode Nara. Senmyo milik Permaisuri Koken Salinan Senmyo milik Permaisuri Koken tertanggal 22 April 757 disertakan dalam Shoso-min Monjo (dokumen Gudang Harta Karun Shoso-in) Shoshu volume 44. 天皇 我 大命 良末等 宣 布 大命 乎 (Sumera ga Omikotoramato Noritamau Omikoto wo) 衆聞食 倍止 宣。(Moromoro Kikoshimesaeto Noru.) 此 乃 天平勝宝九歳三月廿日 (Kono Tenpyo Shoho Kyusai Sangatsu Hatsuka) 天 乃 賜 倍留 大 奈留 (Ame no Tamaeru Oinaru) 瑞 乎 頂 尓 受賜 波理 (Shirushi wo Itadaki ni Uketamawari) Saya akan pergi nyatakan perintah kekaisaranku sebagai permaisurimu. Semuanya, dengarkan aku baik-baik. Hari ini tanggal 23 Agustus 749. Surga memberiku pertanda keberuntungan yang luar biasa. Aku senang memilikinya di kepalaku. Cara penulisan Norito sama dengan cara penulisan Senmyoo yang dinamakan Senmyoogaki. Mengapa hal ini sama karena cara ini adalah cara yang praktis untuk mencegah agar jangan sampai terjadi salah baca. Cara penulisan dengan menggabungkan atau mencampurkan tulisan Kana dan Kanji yang terjadi pada zaman sesudahnya berasal dari metode tersebut. ENGISHIKI Kembali kepada pembahasan Engishiki (延喜式, "Prosedur Era Engi") adalah buku Jepang tentang hukum dan adat istiadat. Sebagian besar tulisannya selesai pada tahun 927. Sejarah Engishiki bermula Pada paruh kedua abad ke-7, Jepang memperkenalkan sistem hukum yang berdasarkan hukum Tiongkok. Sistem ini dikenal sebagai ritsuryo. 'Ritsu' mengacu pada hukum pidana sementara 'ryo' mengacu pada hukum non-pidana lainnya. Akan tetapi, banyak aspek dari sistem tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan masyarakat Jepang, sehingga hukum tambahan yang dikenal sebagai kyaku juga dibuat. Aturan dan regulasi terperinci yang diperlukan untuk menerapkan semua hukum ini disebut shiki. Regulasi ini direvisi dan dilengkapi untuk memenuhi perubahan masyarakat beberapa kali selama periode Heian, yang berlangsung dari tahun 794 hingga 1192. Salah satu produk dari proses ini adalah Engishiki. Seperangkat aturan dan regulasi mengenai upacara dan acara lainnya ini mulai disusun atas perintah Kaisar Daigo pada tahun 905, atau Engi 5. Hanya sebagian kecil dari regulasi shiki dari masa sebelum ini yang masih ada, tetapi Engishiki pada dasarnya masih utuh, menjadikannya dokumen sejarah yang tak ternilai. Sehingga Engishiki penting bagi studi sejarah dan agama Jepang awal. Isi teks Engishiki Terdiri dari 50 Volume dan disusun berdasarkan beberapa departemen. - volume 1–10 : Departemen Ibadah : Selain mengatur upacara termasuk Daijyō-sai ( Niiname-sai pertama setelah naik takhta kaisar baru) dan ibadah di Kuil Besar Ise dan Saikū , bagian Engishiki ini mencatat teks-teks liturgi, mencantumkan semua 2.861 kuil Shinto yang ada pada saat itu. - volume 11–40: Departemen Luar Negeri dan Delapan Kementerian. - volume 41–49: Departemen lain. - volume 50 : Hukum-hukum lain. DONGENG URA NO SHIMAKO URASHIMA TARO Urashima Tarō (浦島 太郎) adalah tokoh utama dalam sebuah dongeng Jepang (otogi banashi), yang Bernama Urashimako atau Ura no shimako. Dahulu kala, hiduplah seorang pria Bernama Urashima Taro yang berprofesi sebagai seorang nelayan, dia menemukan seekor kura-kura di pantai pada saat dia sedang berjalan menuju pantai, seekor kura kura itu sedang dipermainkan oleh sekelompok anak-anak. Urashima merasa iba Ia lalu membeli kura-kura itu dari sekelompok anak kecil itu dan melepaskannya ke laut. Dua atau tiga hari kemudian, ketika ia sedang memancing di atas perahu seperti biasa, kura-kura yang diselamatkan oleh taroo datang dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan menggendongnya di punggungnya ke Istana naga di bawah air (Ry𝑢̅g𝑢̅). Di istana, sang putri (Otohime), mengucapkan terima kasih kepadanya karena telah menyelamatkan kura- kura itu dan diberikan hadiah oleh sang putri berupa tinggal di istana selama 3 tahun, Urashima merasa sangat senang berada di Kerajaan Ryugu dan akhirnya memilih untuk tinggal disana. Sampai 3 tahun kemudian Urashima ingin Kembali pulang. Ia mengungkapkan keinginan tersebut kepada sang tuan putri. Sang putri lalu mengizinkan Urashima pulang dan memberinya hadiah berupa kotak berisi hadiah atau Tamatebako. Tamatebako ini adalah kotak berisi waktu yang telah dihabiskan Urashima selama di ryugu. Sang putri berpesan kepada Taroo bahwa kotak tersebut akan membuat Tar𝑜̅ tak menua dan kembali ke daratan sebagaimana ia meninggalkan daratan 3 tahun lalu. Hanya saja kotak tersebut tak boleh dibuka karena jika dibuka maka waktu tersebut akan kembali lagi. Taroo pun setuju dan kembali lagi ke daratan. Sesampainya di sana Taroo bingung karena semua sudah berubah dan rumahnya sudah hilang. Ternyata, Urashima Kembali lagi ke dalam daratan 700 tahun kemudian. Artinya, 3 tahun di Ryugu sama dengan 700 tahun di dunia.Urashima pun kemudian membuka tamatebako dan berharap waktu yang telah berlalu bisa kembali lagi. Namun Urashima malah mendapatkan hadiah yang tak terduga. Begitu kotak dibuka, Urashima berubah menjadi kakek tua dan meninngal. Ternyata Kotak itu berisi usianya yang sebenarnya, yang tersimpan selama dia berada di istana bawah laut. VERSI DONGENG URASHIMA TARO Ada beberapa versi cerita Urashima Taro, di antaranya: Versi Otogizōshi, Versi turunan dari Otogizōshi, Versi Man'yōshū. - Versi Man’yoshu Pada versi ini, diceritakan bahwa Urashima bertemu dengan seorang putri kura- kura. Putri tersebut sangat cantik dan mengajak Urashima untuk menikah. Keduanya kemudian menikah dan memutuskan untuk tinggal di istana bawah laut selama 3 tahun. Selanjutnya kisah Urashima sama seperti versi-versi sebelumnya. Saat kembali ke daratan, Urashima membuka kotak tamatebako dan akhirnya berubah menjadi laki- laki tua yang sangat lemah. Ia kemudian dikisahkan meninggal dunia setelah membuka kotak tersebut karena memang usianya sudah sangat tua. - Versi Otogizoshi Pada versi Otogizoshi ini, Urashima tidak berubah menjadi kakek tua setelah membuka tamatebako. Ia justru berubah menjadi seekor burung jenjang lalu pergi terbang menghilang dan tak diceritakan lagi nasibnya. Selain itu pada versi ini juga diceritakan bahwa istana Ryugu tidak berada di dasar laut tetapi di pulau atau daratan yang lain. - Versi Turunan dari Otogizoshi Pada versi ini Urashima pergi ke istana bawah laut dan bertemu dengan seorang putri cantik Bernama putri oto. Putri inilah yang membuat Urashima ingin sekali tinggal Bersama di dasar laut. Putri Oto pula yang memberikan kotak tamatebako kepada Urashima. Menurut versi ini, Urashima dikisahkan hanya tinggal beberapa hari saja di kerajaan bawah laut. Hanya saja saat kembali ke daratan ternyata waktu yang dihabiskan sudah 700 tahun. BAB III KESIMPULAN Norito dan Senmyoo adalah contoh penting dari ekspresi religius dan budaya dalam kesusastraan Jepang. Norito, mantra atau doa dalam Shinto, sering digunakan dalam ritual agama untuk meminta berkah dan perlindungan. Dalam konteks Shinto, bentuknya yang formal dan terorganisir menunjukkan hubungan erat antara dunia material dan dunia spiritual. Sebaliknya, Senmyoo, atau sering disebut sebagai "kenning" dalam bahasa Jepang, adalah puisi atau ungkapan yang mengandung makna mendalam dan simbolis. Mereka menyampaikan pesan yang sering kali abstrak dan metaforis dengan menggabungkan filosofi dan estetika bahasa untuk mengungkapkan perasaan dan pandangan hidup orang Jepang. Secara keseluruhan, Norito dan Senmyoo menunjukkan kekayaan tradisi religius dan artistik Jepang dengan menghubungkan praktik keagamaan dengan ekspresi sastra. Keduanya berfungsi sebagai jembatan antara dimensi spiritual dan estetika, menegaskan kekayaan dan kebudayaan Jepang Kesimpulan dari dongeng Urashima Taro adalah bahwa waktu adalah sesuatu yang berharga dan tidak dapat dikembalikan. Meskipun pengalaman yang indah bisa membuat kita terbuai, kita harus selalu ingat akan realitas dan tanggung jawab yang ada di dunia nyata. DAFTAR RUJUKAN Akbar, M. 2020. Nihon Bungaku Norito dan Senmyoo. Surabaya : Universitas 17 Agustus 1945. Asoo,I.,dkk. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang (Nihon Bungakushi). UI Press: Universitas Indonesia. Hirata, S. 1994. Urashima Taro. Jakarta: Elex Media. Philippi, D. 1990. Norito: A Translation of the Ancient Japanese Ritual Prayers. Princeton University Press: Princeton University.

Use Quizgecko on...
Browser
Browser