Cerpen Matinya Orang-Orang Culas.pdf
Document Details
Uploaded by ImmenseWilliamsite1569
Tags
Full Transcript
MATINYA ORANG-ORANG CULAS CERITA PENDEK KARYA HARIWI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 1 Hal Cipta adalah Hak Ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwijudkan dalam bentuk nya...
MATINYA ORANG-ORANG CULAS CERITA PENDEK KARYA HARIWI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 1 Hal Cipta adalah Hak Ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwijudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraaturan perundang-undangan. Ketentuan Pidana Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000 (empat miliar rupiah). Yudis berjalan kaki tanpa arah, tanpa tujuan pasti. Ia berada di tanah lapang yang begitu gersang dengan cuaca terik yang menyengat sekujur kulitnya, membuat keringatnya bercucuran di seluruh badan, bibirnya kering retak-retak seperti gurun tandus, kedua bola matanya merah terkena terpaan pasir. Ini pasti mimpi, pikirnya. Yudis sekarang lari ke sana. Kemudian Yudis lari ke sini. Kemana pun sama saja. Yudis begitu lelah, napasnya terengah-engah. “Tolong…” Yudis kaget hingga tersungkur di tanah. Jelas tadi ada suara yang hinggap persis di telinganya. Yudis bangkit berdiri lagi. Matanya menyusuri ke segala arah: dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri, tidak ada satu orang pun di sepanjang matanya memandang, hanya hamparan tanah kosong, hanya debu-debu yang menemaninya. Bangun! Bangun! Bangun! Pipi kanan dan pipi kiri jadi sasaran tangannya sendiri yang kasar. Sekarang wajahnya memar. “Tolong…” Yudis hempaskan tangannya ke arah suara itu datang. Lagi-lagi tidak ada seorang pun di sana. Ia bisa 1 mendengar dengan jelas suara degup jantungnya yang memburu, berontak seperti ingin melompat. “Siapa?” tanya Yudis. Tidak ada jawaban. Tapi sesaat kemudian… “Tolong…” Suara itu hinggap lagi. “Jawab!” perintah Yudis. Cuaca terik—panas menyengat—tiba-tiba saja sekarang berubah gelap. Debu-debu beterbangan, angin menerjang, gemuruh di langit menggelegar, awan gelap kini saling berkumpul menggulung-gulung. Yudis berpikir: apa ini akhirat? Yudis tidak sanggup lagi untuk berpikir hal yang tidak-tidak. Otak kecil yang ada di dalam tempurung kepala besarnya memerintahkan kakinya yang panjang untuk segera berlari. Lari saja. Ke mana pun. Pokoknya lari saja. Pasti ada jalan keluar, pikirnya. Bruk! Yudis lagi-lagi jatuh. Yudis berteriak sejadi-jadinya. Pakaiannya yang semula berubah jadi kain kafan. Kaki dan tangannya terikat kuat. Yudis kehilangan kemerdekaannya. Yudis berontak—menggeliat seperti ulat. 2 “Tolooooooooong!” teriak Yudis seperti melolong. Langit pun kini berbaik hati merespons: gemuruh bersahut-sahutan—membuat Yudis kian ketakutan. Tanah yang menopang tubuhnya amblas. Liang kubur tersaji untuknya. “Tolooooooong!!!” “Tolooooooong!!!” “Tolooooooong!!!” Tidak ada jawaban. Sekali lagi ia coba: “Tol…” tiba-tiba ia tercekat. Pita suaranya terkunci. Habis sudah, pikirnya. Yudis sekarang hanya bisa menggeliat. Semakin ia menggeliat, semakin sempit liang kuburnya. Yudis sadar itu. Ia kini pasrah—mencoba diam tapi tubuhnya tetap saja gemetar. Isi kepalanya sisa ratapan. Sekujur pipinya banjir air mata penyesalan. Yudis tahu ada di ambang kematian. Pikirannya melayang ke suatu malam yang kelam. Malam saat pemuda bernama Firman mati mengenaskan. “Tolong…” Kali ini suara itu tidak lagi samar. Suara itu—suara Firman. Suara yang sama persis seperti sesaat sebelum 3 pemuda itu meninggal dunia—saat Firman dengan lirih meminta tolong—minta untuk diampuni. Sekarang ini, Firman berdiri di hadapan Yudis, siap memberi pembalasan. Persisnya tepat di atas liang kubur dengan rupa yang mengerikan. Tubuh yang dibalut kain kafan putih itu penuh luka bakar dan hitam legam. “Firman ampuni saya!” kata Yudis, memohon. Firman tidak menanggapi Yudis. Pemuda malang itu hanya menatap mata Yudis hingga pandangannya saling berbenturan. Yudis sekarang melotot—membuat satu bola matanya copot. “Maaf. Maaf. Maaf,” kata Yudis meronta-ronta. Firman menarik napas yang begitu panjang—lalu ia semburkan napas api dari mulutnya ke lubang di tempat Yudis berada. Yudis habis terbakar api yang membara. Api yang menyala-nyala. Api yang membakar habis dosa. Yudis berteriak keras—sejadi-jadinya. Teriakannya melengking sampai menembus langit—mungkin sampai sidratul muntaha. Tidak ada yang menolongnya. Tidak ada yang peduli dengannya. Itulah imaji ngeri dalam mimpi yang berulang kali menghinggapi Yudis dalam beberapa minggu terakhir. 4 Mengingatnya saja sudah membuat bulu kuduk Yudis menegang. Selama ini hanya Yudis simpan sendiri. Tapi, kali Yudis harus ceritakan kepada dua teman karibnya, Nike dan Andaru. Andaru menyelipkan sebatang rokok di antara kedua bibirnya yang tampak hitam, lalu ia bakar lintingan tembakau itu dengan api kecil. “Ngeri,” kata Andaru, “menurut gue, lo buat utas aja di X, pasti ada produser film yang minat.” kemudian Andaru hembuskan kepulan asap putih ke udara. “Eh, gue serius ya!” Yudis menggebrak meja. “Kita udah bikin kesalahan fatal, kalian bisa mikir gak sih?” Andaru menunjuk hidung Yudis yang kembang kempis, lalu berkata: “Lah kok kita? Lo kan yang kebelet viral.” Nike yang sedari tadi hanya berdiri di dekat pintu berjalan mendekati Yudis. Ia pegang punggung Yudis yang tegang bukan kepalang. Nike pun berkata: “Udah, lo tenang dulu.” Yudis segera menyingkirkan tangan Nike yang ada di punggungnya. “Sekarang udah hari ke berapa?” tanya Andaru. “Yang jelas sudah lebih dari sebulan,” jawab Nike. 5 Yudis mengatur napas, “Kalian dengar rumor di kampung ini kan? Tentang Firman yang gentayangan.” Yudis mencoba menahan kepalan tangan kirinya yang gemetar. “Dis… Yudis…. nggak ada orang mati terus jadi setan. Kaya orang nggak beragama aja lo.” “Lo juga nggak usah mancing-mancing keributan ya!” sentak Nike. “Gue kasih tahu, Lo cuma ketakutan, mimpi-mimpi lo itu cuma refleksi dari isi kepala lo. Lo cuma halusinasi.” kata Andaru. “Tapi kalau ternyata benar gimana? Kalau Firman ternyata mau balas dendam sama kita gimana? Kalau…” kata Yudis dengan suara yang meninggi, lalu dihentikan oleh Nike. Nike segara membekap mulut Yudis, “Pelan-pelan! Lo mau ada tetangga yang tahu?” Andaru yang sejak tadi duduk berhadapan dengan Yudis condongkan tubuhnya, lalu berkata pelan: “Nggak ada barang bukti apa pun di TKP. Nggak ada saksi. Lo tahu keluarganya Firman nolak buat mayat anaknya yang mati gak berbentuk itu buat diotopsi.” 6 Nike menyahut, “Sebagian publik sekarang jadi punya asumsi buruk sama keluarganya.” “Gue ingetin ya, satu-satunya bukti itu ada sama lo.” Andaru menunjuk batang hidung Yudis. “Sekarang mana buktinya?” tanya Andaru. Yudis tidak segera menjawab temannya itu. Ia singkirkan tangan Andaru yang ada di depan wajahnya, lalu ia tenggak dan habiskan bir dingin di botol beling. Kemudian Yudis merapikan dompet dan ponselnya ke dalam tas selempang miliknya. “Mana?” tanya Andaru lagi. “Jangan aneh-aneh ya lo!” “Gue udah bilang berkali-kali, nggak ada! Udah gue beresin jauh-jauh hari!” kata Yudis tegas. “Bagus! Kalau begitu kita aman,” kata Andaru. “Lo berdua tenang aja, gue polisi, gue tahu banget ini kasus yang susah banget diselesaikan—lo berdua cuma cukup diam, terutama lo, Nike!” “Eh, maksud lo apa nih?” bentak Nike. “Ya lo juga stop dong teriak-teriak di jalan sama temen-temen aktivis lo itu!” “Lah, gimana? Gue orang NGO yang fokus di isu kemanusiaan, goblok! Ya pastilah gue bakal aksi di jalan! 7 Lo tahu ini jadi perhatian banget! Ya bakal ada terus aksi tuntutan di jalan!” kata Nike meradang. “Sampai kapan? Lo mau ini jalan terus?” tanya Andaru. “Gak malu lo?” Nike seketika terdiam. Matanya jatuh pada bir di dalam gelas kaca dan tenggelam dalam dilema. “Aktivis tai kucing!” maki Andaru. “Emangnya lo ngurus kasus ini?” tanya Yudis. “Ya enggak lah. Gue kan di reserse narkoba, tapi gue pasti bakal tahu duluan daripada orang lain gimana perkembangan kasusnya,” jelas Andaru. “Apa jaminannya kita aman?” tanya Yudis. “Lo goblok apa gimana sih? Udah gue bilang, nggak ada satu bukti di TKP, nggak ada rekaman CCTV, nggak ada saksi, mayatnya Firman hangus, keluarganya gak mau Firman diotopsi, kecuali…” “Apa?” tanya Yudis. “Kecuali salah satu dari kalian ada yang ngaku,” kata Andaru selagi matanya menyisir bolak-balik Nike dan Yudis. Nike memegangi kepalanya yang terasa panas dan berdenyut-denyut, semakin lama rasanya menjadi sakit bukan main, seperti dipukuli. 8 “Harusnya malam itu gue gak mabok.” kata Nike. “Dan lo juga nggak aneh-aneh!” bentak Andaru pada Yudis. “Lo biang masalahnya!” “Asu!” Yudis berdiri lalu pergi meninggalkan Andaru dan Nike dengan otot-otot wajah kencang seperti jangkar. Ia pergi mengucap salam, tanpa izin, tanpa pamit. “Mau ke mana lo?” tanya Andaru. Yudis tidak mau menjawab pertanyaan temannya walau hanya satu patah kata. Ia pergi tergesa. Asu! Asu! Asu! Tidak ada henti-hentinya Yudis memaki sepanjang perjalanan pulang tapi Yudis tiba-tiba saja menghentikan motornya di persimpangan jalan di dekat masjid. Kenapa gue malah lewat sini? pikir Yudis. Brak! Seorang anak laki-laki yang mengendarai sepeda roda dua menabrak motor Yudis sampai-sampai mereka jatuh saking kerasnya kecelakaan itu. “Bang, maaf ya bang,” kata si anak laki-laki. “Hati-hati dong, dek.” “Maaf ya bang.” kata si anak laki-laki ketakutan. 9 Melihat ada temannya yang mengalami insiden tabrakan, seorang anak laki-laki lain dan seorang anak perempuan datang membantu si anak laki-laki yang tadi menabrak Yudis. Mereka meminta maaf dengan raut wajah takut. Yudis tidak mau ambil pusing dengan bocah yang tidak sengaja menabraknya. Masalah sepele, pikirnya. Tiga anak kecil itu segera pergi, tepat ketika adzan maghrib berkumandang. Begitu juga dengan Yudis, ia melanjutkan perjalanan pulang. Persis muadzin selesai mengumandangkan adzan maghrib, Yudis sampai di depan rumahnya. Ia memarkir motor di teras luar, lalu segera masuk ke dalam rumah. Segera saja Yudis menjatuhkan diri ke sofa yang ada di ruang tamu. Ia lepaskan tas selempang miliknya. Bangsat! Ternyata resleting tas selempang miliknya terbuka: dompet dan ponsel Yudis hilang! Bangsat! Bangsat! Bangsat! Pasti jatuh pas ditabrak anak kecil tadi, pikir Yudis. Yudis segera berdiri hendak pergi, tapi langkah kakinya tiba-tiba terhenti. Televisi yang ada di ruang tamu menyala sendiri. Pandangannya tertuju ke layar televisi 10 yang menampilkan siaran berita di segmen wawancara bersama Pak Heru, laki-laki paruh baya yang bekerja sebagai marbot masjid di dekat rumahnya. “Pemirsa, kembali lagi bersama kami di program Berita Petang. Sebelum memulai kembali tayangan ini, saya dan segenap kru yang bertugas mengucapkan selamat menjalankan ibadah salat maghrib bagi Anda yang menjalankan. Untuk pemirsa yang baru sempat bergabung bersama kami, saat ini telah hadir di studio, Bapak Heru, beliau ini adalah marbot masjid, orang yang terakhir kali bertemu dengan almarhum Firman di malam kejadian.” Laki-laki pembawa berita menatap Pak Heru. Kamera fokus kepada laki-laki paruh baya yang tampak merengkuh—gelisah. “Setelah sekian lama, Pak Heru akhirnya bersedia tampil untuk bercerita kepada kita semua. Mungkin Pak Heru bisa lanjutkan lagi ceritanya, Pak.” Pak Heru diam seribu bahasa. Matanya berlarian antara kamera dan si laki-laki pembawa berita.” “Mungkin kita mulai dengan pertanyaan ‘seperti apa sosok almarhum Firman di mata Pak Heru?’” tanya si laki-laki pembawa berita. 11 “Firman itu anaknya baik banget, Mas,” cerita Pak Heru kepada laki-laki pembawa berita. “Jadi Pak Heru dekat dengan Firman?” tanya lagi laki-laki pembawa berita. Yudis mengambil remot televisi yang ada di meja. Ia pencet berkali-kali tombol off, tapi televisi tetap saja tidak mau mati. Yudis kembali merasakan adanya sensasi yang begitu familiar. Sebuah perasaan takut yang luar biasa. Perasaan ini membuat keringatnya mulai bercucuran. Menetes deras seperti genting bocor. Bangsat! Kenapa gak mau mati? tanya Yudis dalam benaknya. Pak Heru di layar televisi melanjutkan ceritanya: “Ya cukup dekat, Mas. Firman itu sering ke masjid. Kalau subuh, maghrib, isya tuh selalu ke masjid anaknya.” “Firman ini masih sekolah kelas 3 SMK dan cukup alim berarti ya, Pak?” “Iya, SMK elektro dia, Mas.” kata Pak Heru. Pak Heru sejenak terdiam, ia mengambil napas pendek, lalu melanjutkan ceritanya: “Firman itu anaknya sering ke masjid, Mas, ngaji.” “Jadi malam itu Firman pulang dari masjid sehabis mengaji?” 12 “Malam itu Firman coba bantu saya memperbaiki sound system masjid yang rusak, Mas. Suaranya nggak ada. Nah, menurut Firman amplinya rusak.” “Jadi Firman dikira maling ampli masjid?” tanya si laki-laki pembawa berita. “Kemungkinan begitu, Mas,” kata Pak Heru yang sejurus kemudian menarik napas panjang, “karena saya nggak punya alat-alat buat benerinnya, Firman izin bawa pulang supaya dia bisa coba benerin di rumahnya.” “Berarti Pak Heru tahu dong kejadiannya?” “Enggak, Mas, waktu itu saya mules banget jadi langsung saya tinggal ke toilet sebelum Firman pulang.” “Dan saat Firman pulang….” “Jujur, Mas, saya nggak denger apapun waktu di toilet, soalnya saya buang air besar sambil nonton debat capres. Waktu keluar toilet, saya baru ngeh ada yang gak beres, ternyata itu Firman dibakar orang.” “Bapak sempat lihat pelakunya?” “Nggak, Mas. Pelakunya sudah kabur.” “Sebentar, sebenarnya…. ada yang mengganggu pikiran saya, Pak. Memangnya tidak ada CCTV di sekitar masjid?” “Nggak ada, Mas.” 13 Laki-laki pembawa berita menarik napas panjang, menahan kesal, lalu ia melanjutkan pertanyaan: “Menurut catatan saya, kejadian saat itu sekitar…. jam setengah sebelas malam, belum terlalu larut lah. Apa nggak ada tetangga yang ngeh ada keributan?” Pak Heru hanya menggelengkan kepala. Pak Heru mendadak tertunduk lemas, kemudian ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang lebar, membuat lengannya yang kekar tampil di dalam layar. Ia mulai terisak. Tangisannya tidak lagi bisa dibendung. Sambil menangis, Pak Heru mencoba melanjutkan ceritanya: “Waktu saya keluar, Firman udah nggak gerak, Mas. Badannya masih kebakar. Saya panik, saya lari cari pertolongan. Harusnya saya tolong Firman dulu. Saya nyesel banget, Mas.” kata Pak Heru dengan tubuhnya yang gemetar. Di layar televisi, sorot kamera yang menampilkan close-up isak tangis Pak Heru berubah menampilkan kolase foto Firman sejak ia kecil hingga remaja. Foto terakhir yang ada dalam kolase itu menampilkan foto Firman dengan kedua orang tuanya. 14 Yudis memandang lekat-lekat foto Firman di layar televisi. Tubuhnya seketika kaku—seolah membatu. Foto terakhir Firman di layar kaca televisi—dalam pandangan Yudis berubah menjadi imaji Firman dengan penampilan mengerikan, imaji yang tidak asing dalam ingatannya, wujud penuh luka bakar dan… hitam. Potret Firman di televisi yang menyeramkan itu menggerakkan tangannya, menunjuk langsung ke Yudis di luar layar, lalu berkata: “Tolong!” Napas Yudis memburu. Ia memaksa tubuhnya bergerak tapi selalu gagal. Ada yang nahan! Penuh rasa was-was Yudis memberanikan diri untuk menundukkan kepalanya—melihat ke arah bawah. Di sana ada sepasang tangan hitam penuh dengan luka bakar sedang mencengkeram kakinya. Napas Yudis semakin memburu. Sekuat tenaga ia mencoba untuk melompat dari sofa tempat ia duduk. Ia mencoba berteriak dengan keras—sekeras-kerasnya tapi tidak ada daya—percuma, mulutnya terkunci. Yudis terus mencoba. Lagi. Lagi. Dan lagi, ia mencoba—meronta. 15 Tangan yang tadi mencengkram kuat kaki Yudis menghilang. Sekarang Yudis mampu melepaskan diri. Yudis segara melompat dan berlari ke kamarnya. DAG! Yudis tutup pintu kamarnya kuat-kuat, membuat pigura foto keluarga yang ada di dinding rumah jatuh ke lantai. … … … … … … … … … … Brak! Ada suara kayu jatuh dari dalam kamar Yudis. Lalu kembali hening. Tik, tok. Tik, tok. Tik, tok. 16 Hanya suara jam dinding yang mengisi kesunyian. Beberapa saat berlalu. Ada seseorang yang datang membuka pintu pagar di depan: Ibu Sasmita—orang tua Yudis tiba sepulangnya dari salat maghrib di masjid. “Yudis, kamu gak maghriban ke masjid?” tanya Ibu Sasmita yang tanpa sengaja menginjak bingkai foto keluarga di depan pintu kamar anak semata wayangnya. Ibu Sasmita membuka pintu kamar Yudis. Bagai disambar petir, kakinya seketika lunglai. Ia jatuh ke lantai; ia menjerit sejadi-jadinya, sekuat-kuatnya. Betapa terkejutnya perempuan paruh baya ini, betapa paniknya, betapa hilang akalnya seorang ibu melihat anak yang paling ia cintai menghabisi nyawanya sendiri. *** Mendadak para tetangga, baik orang tua juga anak-anak muda bergotong royong mendirikan tenda di depan rumah Yudis. Yudis sekarang seperti Firman yang ia takutkan. Ia baru saja selesai dimandikan lalu dikafani, jenazahnya 17 dibaringkan di ruang tamu, diiringi bacaan Yasin oleh sebagian tetangga dan orang tuanya. Andaru dan Nike juga ada di sana tapi tidak ikut membaca Yasin. Mulut mereka komat kamit, sementara mata mereka berdua memandangi tubuh temannya yang terbujur kaku. Nike berpikir: kenapa lo harus sampai bunuh diri? Apa yang sebenarnya terjadi? Andaru mengedarkan pandangan yang sayu ke arah kamar Yudis yang tidak terkunci. Di dalam kamar yang gelap itu, tiba-tiba saja ring light yang ada di tepi kasur memendarkan cahayanya, menyorot sesuatu yang tampak tembus pandang. Andaru perhatikan dengan seksama, semakin lama wujud itu semakin nyata. Itu… bukan. Bukan itu tapi mereka. Mereka yang sedang duduk di tepi kasur adalah Yudis dengan leher patah dan Firman yang sekujur tubuhnya hangus—penuh luka bakar. Mereka berdua sedang memandangi Andaru dan Nike. Tanpa pikir panjang Andaru segera saja bangkit berdiri, ia pergi meninggalkan orang-orang yang sedang mengaji tanpa permisi. Andaru melangkahkan kaki cepat-cepat menyusuri jalan kampung yang sepi. 18 Waktu selepas adzan Isya seperti ini biasanya di setiap sudut-sudut jalan pasti masih ramai orang-orang berkumpul—bercengkrama, apalagi hari malam minggu seperti ini. Sejak kejadian malam di mana Firman meninggal dunia karena dianiaya orang—dan dibakar hidup-hidup, suasana kampung berubah jadi sunyi setiap selepas waktu maghrib. Sebagian besar orang di kampung ini percaya kalau arwah seseorang yang baru saja meninggal masih ada di sekitar tempat tinggalnya dan akan terus begitu hingga hari ke empat puluhnya. Belum genap empat puluh hari dari meninggalnya pemuda bernama Firman yang tewas dibunuh orang, sekarang Yudis memilih meninggal bunuh diri. Alasan yang cukup kuat untuk membuat orang-orang semakin enggan keluar malam hari. Nike dengan langkah-langkah lebarnya bergegas menyusul Andaru. “Lo mau ke mana?” tanya Nike sambil menarik tangan Andaru. 19 Andaru hempaskan tangan Nike yang menarik pergelangan tangannya lalu berkata: “Pulang lah! Emang mau ngapain?” Pandangan mata mereka berdua saling beradu, sejenak mereka saling diam hanya saling pandang. “Lo sama sekali nggak kepikiran kalau mungkin Yudis benar?” kata Nike. “Benar apa? Benar kalau Yudis—temen lo itu mati karena stres diteror sama Firman yang jadi setan?” kata Andaru dengan nada meninggi. “Jangan keras-keras goblok!” “Lo yang goblok! Tolol!” bentak Andaru lagi. “Gak ada orang mati jadi setan!” “Terus kenapa Yudis sampai bunuh diri?” “Ya lo tanya aja sama dia!” “Tapi lo lihat sendiri kan ketakutannya dia tadi sore waktu cerita sama kita,” “Nike, lo ingat-ingat lagi ya…” Andaru pegang erat kedua pundak Nike, “...Yudis jadi aneh itu bukan sejak Firman mati, tapi sejak dia dirundung orang-orang di internet, gara-gara dia bikin konten sosial eksperimen yang goblok banget, followers sosial medianya langsung anjlok, terus dia diputus kontrak banyak brand.” 20 “Tapi….” “Tapi apa?” bentak lagi Andaru. Dicengkeramnya pundak Nike jauh lebih keras, lebih kuat sampai Nike tampak kesakitan. “Percaya sama gue! Kita. Aman.” Andaru melepaskan tangannya dari pundak Nike. Lalu ia pergi meninggalkan Nike sendiri. Nike termenung, tidak bicara apa pun. *** Sebuah mobil keluaran terbaru bertipe sedan melintas pelan. Mobil itu kemudian berhenti, diparkir di depan warung makan yang sepi. Dari dalam mobil itu Nike turun hanya membawa dompetnya. Ia kemudian masuk bertemu sang pemilik, Ibu Fatima—orang tua Firman. “Mbak Nike, duduk mbak.” kata Ibu Fatima ramah. Nike tidak lantas segera duduk. Ia berdiri di depan etalase kaca, memperhatikan ikan bawal bakar. “Mbak, siang ini ada aksi lagi ya? Maaf saya gak bisa ikut, Mbak.” Nike tersenyum kecil, lalu ia berkata: “Iya, saya sama teman-teman ngerti kok.” 21 “Maaf ya Mbak Nike, bukan saya gak mau hargain teman-teman Mbak Nike, tapi saya harus….,” Ibu Fatima tidak lanjutkan, hanya pandangannya matanya yang penuh kerut menyisir ke makanan yang ada dalam etalase kaca. “Mbak Nike, mau pesan apa?” “Dibungkus aja ya Bu, nasi, sayur capcay sama lauknya….” Nike menunjuk ikan bawal bakar. Saat Ibu Fatima ingin mengambil ikan bawal bakar tiba-tiba Nike berubah pikiran. Nike berkata: “Bu, gak jadi deh telor balado aja.” Ibu Fatima kemudian ambil telor balado bulat yang diminta Nike. Setelah dibungkus, makanan itu diserahkan kepada Nike menukarnya dengan selembar uang lima puluh ribu rupiah yang diberikan Nike. “Mbak Nike nggak ada yang kecil aja uangnya?” “Berapa bu?” “Tiga belas ribu,” jawab Bu Fatima, “belum ada kembaliannya ini saya.” “Yaudah bu, disimpen aja dulu kembaliannya ya, besok-besok juga saya ke sini lagi.” “Iya boleh, gitu aja ya Mbak.” 22 Nike yang dari tadi berdiri di depan etalase kaca makanan menarik kursi kayu panjang dan duduk. Ia berubah pikiran untuk makan di tempat saja. “Bu, minta piring ya. Saya makan di sini aja deh.” kata Nike. Ibu Fatima ambilkan piring dan segelas air putih, kemudian Ibu Fatima duduk di sebelah Nike. Nike segera membuka bungkus makanannya—melahap perlahan. “Belakangan ini warung saya sepi banget mbak,” cerita Ibu Fatima. “Kenapa bu?” “Memang, Mbak Nike nggak tahu?” tanya balik Ibu Fatima. Nike menghentikan makannya, menggeser posisi duduknya dan segara merangkul Ibu Fatima—mengusap pundaknya pelan. “Kan, ada orang yang nebar rumor, Mbak” cerita Ibu Fatima dengan suara pelan, “Nggak tahu siapa yang mulai tapi ada yang bilang pernah lihat pocong berdiri di atas makam anak saya.” Nike berhenti mengusap punggung Ibu Fatima, sementara air mata mulai membasahi keriput di pipi Ibu Fatima. 23 “Kata orang, Firman gentayangan.” “Bu, itu kan cuma rumor, cuma berita miring aja, Bu, jangan diambil hati ya. Ngga ada orang meninggal terus gentayangan.” “Iya, Mbak, saya ngerti… tapi kan saya tetap ibu ya, Mbak…” Ibu Fatima terisak, “...kok ada orang jahat banget, emang salah anak saya apa?” Nike peluk erat Ibu Fatima. “Bu…” Nike hendak bicara—berbisik. Ayo Nike sekarang minta maaf! katanya dalam hati. “Mbak, saya… sama Bapaknya Firman berterima kasih banget, Mbak Nike sama teman-teman aktivis udah mengawal kasusnya anak saya.” Bu Fatima seka air matanya, “Saya sama Bapaknya Firman udah ikhlas.” Nike urungkan niatnya. “Mungkin ini memang sudah takdirnya,” kata Ibu Fatima, “kami harus ikhlas.” Nike lepaskan tangannya dari pundak Ibu Fatima. Tubuhnya sekarang terasa ringan. Ya, ikhlaskan saja bu, pikirnya. “Mbak, malam ini hari keempat puluhnya Firman, nanti kalau mbak Nike sempat datang ya ke pengajian.” kata Bu Fatima. 24 Nike tidak segera menjawab karena masih hanyut dalam keheningan. Bu Fatima menepuk pelan pundak Nike, membuat Nike kembali pada kenyataan. Nike menjawab: “Iya bu, nanti saya pasti datang.” *** “Teman-teman sekalian, lagi-lagi kita diperlihatkan mandulnya Kepolisian.” kata Nike dalam orasinya yang penuh semangat. “Apa orang-orang di dalam sana sibuk banget ya? Padahal kalau urusan yang sebenarnya privat saja geraknya cepat banget!” Nike berdiri di atas mobil komando dengan gagah memimpin orasi. Megaphone ia genggam erat, suaranya membakar massa. Belasan orang berdiri mengelilingi mobil komando. Mereka menjaganya dari tindakan yang mungkin saja bisa terjadi, seperti bentrok dengan Polisi berseragam yang membentuk formasi pagar manusia dan menjaga kerumunan yang sedang berdemonstrasi di depan kantor Kepolisian Daerah. Sementara ratusan demonstran aksi lainnya berkumpul dalam satu koloni. Di antara mereka 25 ada juga yang membawa banner dan poster bertuliskan: “JUSTICE FOR FIRMAN.” “Teman-teman, hari ini adalah hari keempat puluh sejak meninggalnya sahabat kita, adik kita, saudara kita Firman, tapi bahkan sampai detik ini Polisi masih belum bisa… BELUM BISA mengungkap siapa pelaku. Apakah gagah mereka yang berseragam ini?” Para dknemonstran serentak menjawab: “Tidak!” “Firman, adalah tetangga saya. Saya kenal dia! Dia anak yang baik! Anak tunggal yang sehari-harinya selain belajar turut membantu orang tuanya berdagang. Sekarang orang tuanya masih bersedih. Apakah kita juga tega membiarkan kesedihan yang terus berlarut-larut?” Para demonstran serentak menjawab: “Tidak!” “Jika mereka bilang ‘ikhlaskan saja,’ jelas sebagai manusia pada akhirnya kita harus ikhlas, tapi apakah kita harus abai pada keadilan?” Para demonstran serentak menjawab lebih keras lagi: “TIDAK!” Datang seorang seniman pantomime yang sekujur tubuhnya dicat hitam melakukan aksi teatrikal. Dengan gerakan yang amat lambat, ia menerobos kerumunan demonstran. 26 Aksi yang dibawakannya semakin panas—seolah ia sungguh terbakar. Terbakar amarah. Di depan para Polisi, ia jatuhkan diri—pura-pura mati. Lalu, para demonstran lain datang menghampiri, menaburkan bunga di atas tubuhnya yang hitam legam. “Teman-teman…” “Tolong!” kata si seniman pantomime berbadan gosong, memotong suara di mobil komando. Nike melihat ke arah si seniman pantomime yang berada di dekat mobil komando—di antara kerumunan demonstran. Seniman pantomime itu bangkit berdiri menatap tajam kepada Nike, membuat Nike mendadak diserang rasa takut tidak terkira. Jelas dalam pandangan Nike, yang berdiri di depan matanya bukanlah si seniman pantomime yang sedang melakukan aksi teatrikal. Yang berdiri menatapnya, Firman. Terik matahari yang begitu menyengat tiba-tiba menjadi berkali-kali lipat sampai panasnya membakar sekujur kulit. Rasa sakit, perih, dan panas tidak terkira rasanya sungguh menjangkiti Nike. Kaki Nike tidak lagi tertahankan, gemetar tanpa kendali. Wajahnya pucat pasi. Lalu, sekonyong-konyong, tanpa perintah dan tanpa aba-aba, kakinya langsung lari. 27 Nike terjatuh dari atas mobil komando. Tubuhnya menimpa para demonstran yang ada di bawahnya. Teman-teman aktivis yang berada di dekat mobil komando segera mengevakuasi Nike dari kerumunan demonstran. Dua aktivis—teman Nike di organisasi NGO membawanya menuju warung minuman yang berada di seberang jalan. Salah seorang aktivis kembali ke barisan massa, hanya laki-laki bernama Faris yang menemani Nike. “Minum dulu.” kata Faris. Ia memberikan sebotol air mineral. “Makasih, Ris.” kata Nike. Sementara Nike menenggak air minumnya, Faris merogoh kantong celananya mengambil ponsel. “Anjrit!” kata Faris penuh kaget. “Ada apa?” tanya Nike. Faris menyerahkan ponselnya ke Nike, “Lo lihat sendiri deh.” Dari layar ponsel Faris yang kecil, ia melihat tagar ‘#justiceforfirman’ trending topic di sosial media X. Nike klik tagar itu, lalu muncul unggahan video dari akun anonim yang jumlah penontonnya sudah mencapai ratusan ribu dalam waktu satu jam sejak diunggah. Video 28 itu juga sudah diunggah ulang oleh banyak akun lain. Nike terperangah melihat video yang sedang viral itu. Dalam video pendek itu, tampak Firman tengah dipukuli tiga orang: dua laki-laki dan satu perempuan yang tidak begitu jelas perawakannya. Video itu diambil dari kejauhan menggunakan zoom kamera, membuatnya tampak buram. Dalam video itu tampak si perempuan menyiram Firman yang terkapar di tanah dengan bensin, sementara seorang teman laki-lakinya, menyulut api. Seketika saja Firman berguling-guling di tanah mencoba padamkan api yang melahap sekujur tubuhnya. Video berdurasi 30 detik tanpa suara itu membuat Nike terpaku. Faris mengambil ponselnya dari tangan Nike, “Lo istirahat aja di sini, biar urusan aksi gue yang urus.” Nike tidak segera menanggapi Faris. Nike masih termenung. Faris kemudian pergi meninggalkan Nike sendiri dan pergi kembali ke barisan aksi massa yang semakin memanas. Nike beralih melihat barisan massa yang sedang bentrok dengan Polisi. 29 Nike mengambil ponsel dari saku celananya. Ia baru sadar kalau Andaru menelepon dirinya berkali-kali sejak satu jam yang lalu. Nike tidak langsung menelepon balik Andaru. Nike fokus pada pesan dari aplikasi Telegram yang 30 menit lalu masuk ke ponselnya. Nike membuka pesan anonim dari pengirim yang membuatnya seperti tersambar petir: “Video yang sekarang tersebar di internet hanya saya unggah 30 detik. Jika kamu tidak mau versi lengkapnya tersebar sediakan uang cash 100 juta. Malam ini kamu taruh uangnya di tempat sampah di dekat pintu masuk timur taman pendidikan. Jangan berbuat macam-macam!” Tangan Nike lemas, tidak sanggup menggenggam ponselnya—membuat ponselnya miliknya jatuh ke tanah. Nike menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Nike tidak kuasa untuk menahan air matanya. Gue harus apa? pikir Nike. Andaru kembali menelepon, kali ini segera saja Nike mengangkat teleponnya. 30 “Lo tahu apa soal video ini?” tanya Andaru dengan nada panik. Nike tidak menjawab. Nike masih terisak. “Di mana lo?” bentak Andaru. “Polda.” “Goblok! Gak tahu malu lo!” bentak Andaru. “Bangsat lo!” Nike membentak balik. Bug! Terdengar sesuatu—seperti kayu di tinju Andaru. Nike sesenggukan, “Bangsat! Habis kita…. habis!” “Lo, denger ya! Gue nggak mau denger lo nambah masalah lagi. Sekarang biar gue yang urus semuanya,” kali ini Andaru lebih tenang, “gue punya punya kenalan di divisi siber.” “Mau ngapain lo?” bentak Nike. “Udah gila ya lo?” “Gue bilang, biar gue yang urus, lo diem!” bentak Andaru. “Gimana gue bisa diem? Lo pikir gue bisa tenang sementara ada orang ngancem gue.” “Ngancem? Ngancem apa? Siapa?” Andaru kini jadi panik lagi. 31 “Ada yang ngirim pesan lewat Telegram, dia bilang bakal nyebarin versi utuh videonya kalau gue nggak bisa kasih dia 100 juta cash malam ini.” “Bangsat!” “Gue harus gimana?” “Screenshot, terus lo kirim ke gue sekarang juga,” kata Andaru, “terus lo sekarang pulang, kunci rumah, gak usah kemana-mana. Jangan kabur!” “Gue takut…” kata Nike lirih. “Lo denger gue? Jangan kabur!” perintah Andaru tegas. “Gak usah nangis! Lo turutin perintah gue!” Nike menutup teleponnya. Ia seka air mata yang membasahi kedua pipinya. Sekarang wajah Nike merah padam—terbakar luar dalam. *** Andaru berdiri di dalam lift, memandangi angka petunjuk lantai di bagian atas lift. Sebelah kakinya tidak bisa berhenti menghentak-hentak lantai. Pintu lift terbuka. Andaru segera keluar. Di ujung koridor lantai ini adalah ruangan divisi khusus Kepolisian CCIC atau ‘cyber crime investigation center.’ 32 Dari lobi ruangan itu, keluar seorang laki-laki tinggi tegap mengenakan seragam formal warna putih. Laki-laki itu bernama Tirta, seorang teman yang bertugas di divisi CCIC. “Ada apa sih?” tanya Tirta. Andaru tidak segera menjawab. Ia berbalik badan dan memberi kode dengan tangannya supaya Tirta ikut pergi dengannya. Mereka berdua menuju akses tangga darurat. Di area ruang tangga darurat, Andaru perhatikan sekitar: nggak ada CCTV. “Tir, gue butuh bantuan, gue ingin minta tolong sama lo, sebagai teman.” kata Andaru. “Lo mau apa?” tanya Tirta heran. “Video yang sekarang viral…” “Kasus Firman?” Andaru mengangguk kecil. Satu kakinya tidak berhenti menghentak lantai. “Lo yang nanganin video ini?” Tirta menaikkan satu alisnya. Matanya perhatikan gerak-gerik Andaru, lalu berkata: “Sebentar, setahu gue lo ini lagi tugas di reserse narkoba, iya kan?” 33 “Tir…” Andaru cengkeram erat satu pundak Tirta, “...ini personal.” Tirta melepaskan tangan Andaru, “Maksud lo apa nih?” “Anak yang namanya Firman itu, dia tetangga gue. Gue sama dia tinggal di satu lingkungan. Gue udah kenal anak itu dari dia bayi. Dia udah kaya adik gue sendiri.” kata Andaru dengan nada tertahan. Tirta perhatikan keringat yang bercucuran di dahi Andaru, lalu tangannya yang mengepal kuat. “Tir, lo ingat dulu lo pernah cerita sama gue, waktu adik lo dipukulin sama teman sekolahnya. Apa yang lo lakuin?” Tirta seketika terdiam—menundukkan kepalanya, lalu menarik napas dalam-dalam. “Gue ngerti perasaan lo, tapi kita bukan anak kecil lagi. Kita polisi.” “Please, tolong gue.” “Seandainya lo dapet petunjuk tentang orang yang nyebarin video ini—orang itu juga bukan pelakunya,” “Tapi gue bisa dapet petunjuk siapa pelakunya.” 34 “Kalau itu alasannya, lo tunggu aja, kita lagi coba untuk upscale kualitas videonya. Sebentar lagi pasti bisa kita lacak pelakunya.” Lagi-lagi Andaru pegang erat pundak Tirta—kali ini keduanya. “Tir, gue udah bilang ini personal, gue harus dapet mereka lebih dulu sebelum mereka ditangkap…” kata Andaru, “...gue janji, gue nggak akan ngelakuin hal-hal konyol yang akan nyeret lo, gue janji.” Tirta melepaskan kedua tangan Andaru yang ada di pundaknya. “Yang gue kerjain sekarang melacak IP dan lokasi penyebar videonya.” “Lo udah dapet?” tanya Andaru antusias. “Videonya diunggah di beberapa titik lokasi yang berjauhan, semuanya pakai akun anonim—sekarang gue ngantongin empat lokasi.” “Udah lo kirim datanya ke Ditreskrimum?” Tirta menggeleng, “Belum, keakuratannya masih butuh gue selidiki lagi karena pelaku yang nyebarin video ini jelas bukan amatir.” “Terus lo masih butuh waktu berapa lama?” Andaru naikkan pundaknya. 35 “Bangsat!” Sejenak Andaru dan Tirta saling diam. Kemudian Tirta sedikit membuka pintu darurat, memastikan tidak ada orang lain di dekat mereka. Tirta mendekatkan mulutnya ke sebelah telinga Andaru, ia berbisik: “Gue bakal kirim data yang sekarang gue punya ke lo tapi secara anonim. Lo yang selidiki sendiri, kalau menurut lo ini memang penting.” Kali ini Andaru memekarkan senyumnya. “Tapi gue tetap saranin buat bersabar sampai kita dapat identitas pelakunya,” Tirta kemudian menarik tuas pintu, “terakhir, jangan pernah sekali pun lo sebut-sebut nama gue!” Tirta pun meninggalkan Andaru sendiri di ruang tangga darurat. *** Andaru memacu motor secepat mungkin. Sudah empat lokasi berbeda dari koordinat yang dikirim Tirta kepadanya tapi hasilnya nihil. Dua puluh menit yang lalu, Tirta mengirimkan satu koordinat lain yang Andaru yakini sebagai lokasi asli. Titik koordinat ini mengarahkan pada lokasi yang tidak begitu 36 jauh dari taman pendidikan—lokasi di mana orang yang mengancam Nike meminta uang tebusan. Apa ini tipuan? Tapi… sudahlah, persetan… lebih baik gue tunggu terus gue sergap kalau betul dia datang, pikir Andaru. Sial, Andaru justru dihadang kemacetan panjang. Jam pulang kerja selepas maghrib seperti ini memang waktu yang paling krusial di jalan seluruh kota. Andaru bergegas menyalip mobil dan kendaraan besar, “Babi!” maki seseorang di dalam mobil karena tidak sengaja Andaru menabrak kaca spionnya hingga patah. Tapi Andaru tidak peduli, ia memotong kemacetan lewat trotoar jalan. Andaru bersiasat, ia berbelok ke dalam gang yang terkenal rawan kejahatan, Andaru berpikir: sialan, gak ada pilihan lain, cuma ini jalan pintasnya. Jalan yang dilintasinya kali ini sangat sepi. Jalan kampung yang sangat minim penerangan. Karena saking gelapnya Andaru membuka kaca helmnya yang gelap. Bahkan di jam petang, sangat jarang kendaraan yang melintasi jalan ini. Wajar saja sebenarnya; jalan ini terkenal banyak begal. Pikiran Andaru sekarang melayang-layang. Ada hal-hal yang begitu mengganggu: bagaimana mungkin 37 orang ini bisa punya video penganiayaan Firman? Dari mana dia dapat videonya? Siapa orang ini? Lamunannya seketika buyar karena tiba-tiba saja gerimis datang dan membasahi sekujur badannya juga wajahnya. Suhu dingin menyerang. Andaru menurunkan kecepatan. Ada yang aneh dengan hujan ini. Ada bau tidak sedap yang tiba-tiba menerjang persis di ujung hidungnya. Andaru perhatikan tetesan gerimis yang jatuh di tangannya. Jelas ini pasti bukan air hujan. Gerimis ini bertekstur kental, lengket, dan sepertinya kehijauan, ini nanah? Di balik helm full face yang dikenakannya, Andaru memuntahkan bekas makanan dari dalam perutnya. Andaru kehilangan fokus, lalu tergelincir kemudian jatuh dari motornya. Andaru segera bangkit berdiri. Ia melepaskan helmnya. Belum puas, lagi-lagi ia keluarkan semua muntahannya. Andaru lepaskan jaketnya yang penuh nanah dan muntah. Seketika tubuhnya lemas. Pandangannya kabur. Andaru perhatikan jalanan yang benar-benar sepi, tapi lagi-lagi ada hal aneh di depan matanya. 38 Andaru coba fokuskan pandangannya ke sebuah pohon. Ada sesuatu di balik pohon itu, sesuatu berwarna putih, tinggi, sedang mengintip. Napas Andaru tiba-tiba memburu. Spontan saja, ia balikkan badan ingin menuju motornya yang tergeletak di jalan. Betapa terkejutnya Andaru, melihat sosok yang dilihatnya tadi sedang mengintip di balik pohon tiba-tiba sekarang berdiri di hadapannya. Andaru jatuh terjengkang, ia bisa pastikan kalau matanya sekarang tidak salah melihat. Sosok yang ada di depannya: pocong Firman. Sosok Firman ini sangat mirip dengan seperti apa yang pernah diceritakan Yudis: sosok menyeramkan mengenakan kain kafan yang putih bersih, tubuhnya hangus, kulitnya mengelupas menunjukkan luka bakar yang hebat. Tanpa pikir panjang, Andaru langsung saja lari tunggang langgang. Bruk! Andaru tidak melihat ada pembatas jalan. Ia jatuh ke dalam lubang galian—membuat sekujur tubuhnya basah dan bau air comberan. Pocong Firman mendekati Andaru, melayang. 39 Andaru mencoba naik ke luar dari lubang galian tapi selalu gagal. “Tolong…” kata Firman. “Firman, ampun…” Andaru berlutut memohon. Tubuh Andaru gemetar hebat. Matanya memerah banjir air mata bercampur kotoran. “Ampuni saya Firman, ampun…” Firman menarik napas panjang, lalu dari mulutnya ia semburkan napas api kepada Andaru. Andaru tidak kuasa menahan sakit yang tiada kira. Ia habis dilahap kobaran api yang menyala-nyala. Apa daya, semua usahanya tidak ada lagi artinya—tidak ada yang menolongnya. Andaru di sini sendirian. Tidak ada yang menolongnya. *** Nike berdiam diri di sofa, di ruang tamu rumahnya. Terdengar olehnya dari kejauhan suara speaker masjid. Sang imam tengah melafalkan ayat Al-Quran dalam ritual salat Isya: 40 “Yâ ayyuhalladzîna âmanû lâ tuḫillû sya‘â'irallâhi wa lasy-syahral-ḫarâma wa lal-hadya wa lal-qalâ'ida wa lâ âmmînal-baital-ḫarâma yabtaghûna fadllam mir rabbihim wa ridlwânâ, wa idzâ ḫalaltum fashthâdû, wa lâ yajrimannakum syana'ânu qaumin an shaddûkum ‘anil-masjidil-ḫarâmi an ta‘tadû, wa ta‘âwanû ‘alal-birri wat-taqwâ wa lâ ta‘âwanû ‘alal-itsmi wal-‘udwâni wattaqullâh, innallâha syadîdul-‘iqâb” Di tangannya, Nike memegang ponsel miliknya. Ia sedang menonton siaran langsung konferensi pers dari Kepolisian perkembangan terbaru dari kasus Firman. Wanita muda berusia sekitar dua puluhan dengan berbaju tahanan menundukkan kepalanya dengan lesu, tidak sanggup menahan malu. Wanita ini digiring masuk ke ruangan konferensi pers dengan penuh pengawalan. Puluhan sorot kamera langsung saja menghujamnya tanpa kenal ampun. Seorang Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah yang berpangkat Kombes menyampaikan siarannya: “Atas nama Kepolisian, kami berterima kasih yang sebesar-besarnya atas atensi besar masyarakat, yang telah mengawal kasus ini. Pada konferensi pers malam 41 ini, kami menyampaikan, bahwa Kepolisian telah berhasil menangkap salah seorang tersangka berinisial AN yang merupakan salah satu dari tiga tersangka penganiayaan terhadap korban F yang berujung penghilangan nyawa.” Puluhan flash kamera menghantam tersangka AN tanpa ampun. “Saat ini, kami dari tim Kepolisian masih memburu dua orang tersangka lainnya yang berinisial DM dan YK, yang diduga telah melarikan diri ke luar kota. Tapi kami pastikan kalau para tersangka lain akan segera berhasil kami ringkus. Kami akan segera merilis profil detail dari para DPO.” Seorang wartawan memotong dan menodongkan pertanyaan: “Apa motif tersangka?” “Sejauh proses yang saat ini masih berjalan, saya sampaikan tidak ada unsur perencanaan. Tapi, kasus ini masih terus dikembangkan dan didalami lebih lanjut.” Tidak puas dengan jawaban apa yang dilontarkan, belasan wartawan menghujam pertanyaan yang sama: “Jika bukan kasus berencana, lalu apa motifnya?” “Kesalahpahaman. Pada malam kejadian terduga F mendapatkan penganiayaan yang berujung kematian, tersangka AN bersama pacarnya, DM, baru saja pulang 42 membeli bensin eceran ditemani teman laki-laki mereka yang, YK. Kebetulan motor DM mogok kehabisan bensin di rumah tersangka YK dan dalam perjalanan pulang ini mereka berpapasan dengan korban F yang baru keluar dari dalam masjid membawa amplifier. Mereka bertiga mengira korban mencuri aset masjid dan terjadi aksi penganiayaan berujung penghilangan nyawa.” “Bagaimana dengan video penganiayaan Firman yang saat ini sedang beredar viral di internet?” susul pertanyaan lainnya dari seorang wartawan. “Mengenai video yang beredar, kami menghimbau kepada semua masyarakat untuk tidak menyebarkan atau memproduksi ulang video yang tengah viral, untuk konten dan lain sebagainya. Untuk saat ini Kepolisian juga sedang mendalami penyebaran video—baik pelaku perekaman dan yang mengunggah juga dalam proses penyelidikan. Sekali lagi, tolong hormati korban.” Tidak lagi sanggup mendengar lebih lanjut, Nike mematikan ponselnya. Ia tenggelam dalam ingatan. Malam itu mobil sedan miliknya melaju pelan. Nike duduk di kursi belakang setengah sadar. “Baru juga jam segini lo udah tipsy, Nike…. Nike… masih sore ini woy,” kata Andaru yang sedang menyetir 43 mobil. “Klub baru buka, kita malah cabut. Malu kali sama ayam.” “Mana lo katanya mau traktir gue, malah gue yang keluar uang.” kata Yudis. “Udah gue bilang gue gak mabok!” “Liat tuh muka lo. Teler gitu, kalau aja nggak ada kita repot lo pulang.” timpal Yudis. Tiba-tiba Andaru hentikan mobil di ujung pertigaan jalan tidak begitu jauh dari masjid. “Anjrit, siapa tuh dikeroyok?” tanya Yudis. Andaru membuka kaca jendelanya, “Itu si Firman bukan sih?” “Iya tuh si Firman.” timpal Yudis. Nike juga membuka jendela belakang mobil, lalu berkata, “Eh, lo berdua tolongin tuh!” perintah Nike. “Ah, ogah! Urusan orang, ngapain ngikut-ngikut,” kata Andaru. Yudis segera mengambil ponselnya, lalu berkata: “Gue ada ide bagus.” Yudis membuka aplikasi kamera dan menyerahkan ponselnya kepada Nike. “Ngapain?” tanya Nike. “Bantuin gue ngerekam—viral nih!” kata Yudis. 44 “Goblok! Lo tuh ya, mau tambah masalah?” protes Andaru. “Nggak, tenang aja.” Nike kembalikan ponsel di tangannya ke Yudis, “Ogah! Gila lo!” “Ke, please, buruan deh, gue janji sebentar doang, habis ini kita tolongin tuh Firman.” Yudis serahkan lagi ponselnya ke Nike. “Tolongin lah, ini bisa naikin engagement akun gue lagi. Bakal viral banget ini!” Nike menyorot kamera ponsel Yudis, “Buruan!” “Cari perkara aja lo!” gerutu Andaru. Yudis menyalakan lampu bagian dalam mobil. “Gaes, ini sekarang di deket rumah gue ada orang lagi digebukin, sebenernya gue gak tahu sih masalahnya apa dan sebenernya gue pengen nolongin, tapi nanti malah gue lagi yang dilaporin. Jadi gue pantau dulu deh.” Karena teler berat, Nike tidak bisa menggenggam ponsel Yudis dengan benar dan akhirnya tidak sengaja menjatuhkan ponsel Yudis. “Yaelah, susah dah sama orang mabok.” Yudis mengambil ponselnya yang jatuh di bawah kaki Nike dan menyerahkan ponselnya ke Andaru. 45 “Nggak, gue gak mau ikut-ikut.” kata Andaru. “Ayolah, buruan keburu mati tuh anak. Sekali ini aja sih bantuin gue.” kata Yudis. Yudis terus saja memaksa Andaru dengan gigih untuk bantu memegang ponselnya, lalu lanjut berkata: “Lo rekam aja, gak usah ngomong apa-apa.” Andaru terpaksa menuruti Yudis. Ia sorot kamera ke wajah Yudis. “Ini brutal banget sih gaes, tiga lawan satu anjir.” kata Yudis. Andaru kemudian berpindah mengarahkan sorot ke luar jendela, ke Firman yang sedang dianiaya dengan brutal. Andaru men-zoom kamera lebih dekat, membuat kualitas rekamannya pecah. Bak, buk. Bak, buk. Firman ditendangi tanpa ampun—perutnya diinjak lalu wajahnya disepak dua pelaku laki-laki, sementara pelaku perempuan menyiram Firman dengan bensin. “Tolong….,” kata Firman lirih ke Andaru, Yudis dan Nike berada. Wuuusssh…. Sekejap mata, api melahap tubuh Firman. 46 “Anjrit, dibakar,” kata Nike. Firman berteriak sejadi-jadinya. Yudis mengambil ponselnya dari tangan Andaru, lalu berkata dengan tergesa: “Cabut! Cabut!” Andaru segera menginjak gas mobil. Mereka pergi meninggalkan Firman yang sedang berguling-guling di tanah, berjuang coba padamkan api yang melahap tubuhnya. Kejadian itu sudah empat puluh hari berlalu, tapi bagi Nike rasanya baru saja terjadi kemarin malam. Tik, tok. Tik, tok. Tik, tok. Detak jam dinding mencoba peringatkan Nike untuk kembali pada kenyataan. Nike masih tenggelam dalam lamunan. “TOLONG!” Nike kaget sampai terjengkang dan jatuh ke lantai. Di sofa, di sebelah tempatnya semula duduk, Nike melihat sosok yang tidak asing. Pemuda dengan tubuh hitam legam dengan bau daging menyengat yang tidak biasa. Firman? “Tolong….,” kata Firman. 47 Nike terpojok di dinding. Tubuhnya gemetar hebat. “Firman, aku minta maaf.” kata Nike yang mulai menangis penuh rasa takut. Firman berdiri, lalu melangkah mendekati Nike. Selangkah, dua langkah. Firman ambruk. Sebelah kakinya remuk jadi debu. Kesempatan ini Nike gunakan untuk kabur menuju dapur. Nike mengambil sebilah pisau, menggenggamnya erat sambil tangannya gemetar hebat. Nike tidak bisa menahan air matanya yang bercucuran deras. “Firmaaaan… maaf. Firman, aku ngaku salah. Aku harusnya tolong kamu.” kata Nike. Dak! Dak! Dak! Nike bersimpuh, lalu bersujud, “Ampun Firman, aku janji, aku bakal nyerahin diri.” Dak! Dak! Dak! “Nike… lo di dalam?” Dak! Dak! Dak! Pintu depan rumah digedor. Nike bangkit berdiri, lalu jalan…. pelan, jalan pelan mengendap ke arah ruang tamu. Andaru? itu suara Andaru, pikir Nike. Penuh hati-hatNike mengintip ke arah ruang tamu: tidak ada siapa-siapa di sana. 48 Tanpa aba-aba Nike berlari secepat mungkin dan membuka kunci pintu luar. Tapi… matanya membelalak, yang di depannya… yang dilihatnya bukan sosok yang ia kira. Itu… Firman. Firman menerjang Nike. Nike spontan tusuk perut Firman dengan pisau di tangannya. Tusuk. Tusuk. Tusuk. Nike memejamkan matanya, tangannya tidak ingin berhenti menusuk tubuh laki-laki yang kini terkapar di lantai. Napas Nike memburu. Darah muncrat ke segala penjuru. Tangan sampai wajahnya bersimbah darah. Setelah tangannya lelah, Nike membuka matanya. Ia terbelalak melihat siapa yang ada di depannya. Kali ini mulut hanya menganga lebar. Nike tidak lagi sanggup untuk berucap sepatah kata pun, bahkan mengeluarkan suara kecil pun ia tidak bisa. Nike membuang pisau di tangannya ke lantai yang dingin. Tubuhnya pun dingin—lemas. Nike kemudian melangkahkan kaki pergi ke luar, menutup pintu rumahnya perlahan-lahan—meninggalkan 49 Andaru yang bersimbah darah bercampur air comberan, sendiri, untuk mati. *** Nike menyusuri jalan kampung yang sepi. Sayup-sayup terdengar suara mengaji. “Yaa-Siiin. Wal-Qur-aanil-Hakiim. Innaka laminal mursaliin. 'Alaa Siraatim Mustaqiim. Tanziilal 'Aziizir Rahiim. Litunzira qawmam maaa unzira aabaaa'uhum fahum ghaafiluun. Laqad haqqal qawlu 'alaaa aksarihim fahum laa yu'minuun. Innaa ja'alnaa fiii a'naaqihim aghlaalan fahiya ilal azqooni fahum muqmahuun. Wa ja'alnaa mim baini aydiihim saddanw-wa min khalfihim saddan fa aghshai naahum fahum laa yubsiruun….” Di depan rumah Firman, Nike berdiri. Kali ini ia tepati janji. Ikuti kata hati. -TAMAT- 50 Terima kasih sudah membaca cerita pendek MATINYA ORANG-ORANG CULAS Tinggalkan komentar kamu melalui tautan di bawah ini dan raih kesempatan mendapat hadiah spesial: https://forms.gle/6jtE6CJfWS6Bi9NB9 @hariwi.docx @hariwi.docx @hariwi