Simbol Adat dan Ragam Pakaian Adat Minangkabau PDF

Summary

This document explores the symbols and clothing within the Minangkabau adat traditions of West Sumatra, Indonesia. It details the significance of various symbols and how they represent different aspects of the culture. The document also covers the specific meanings behind various colors and motifs.

Full Transcript

BAB I SIMBOL ADAT DAN RAGAM PAKAIAN ADAT MINANGKABAU A. Simbol Adat Minangkabau Dalam semiotika atau ilmu yang mempelajari/menganalisis tentang tanda, simbol merupakan salah satu dari tiga jenis tanda. Ahli semiotika, Charles S Peirce dalam Indriani (2008), menguraikan tanda tiga jenis...

BAB I SIMBOL ADAT DAN RAGAM PAKAIAN ADAT MINANGKABAU A. Simbol Adat Minangkabau Dalam semiotika atau ilmu yang mempelajari/menganalisis tentang tanda, simbol merupakan salah satu dari tiga jenis tanda. Ahli semiotika, Charles S Peirce dalam Indriani (2008), menguraikan tanda tiga jenis, yaitu, ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah suatu gambaran dalam bentuk linguistik (bahasa), citra atau image (gambar). Misalnya, peta atau lukisan yang memiliki kemiripan dengan objeknya. Sedangkan, indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal antara representamen dengan objeknya. Sifat hubungan antara tanda dan objeknya itu merupakan suatu hubungan sebab-akibat. Misalnya jejak telapak kaki di atas permukaan tanah merupakan indeks dari seseorang yang telah lewat di sana. Ketukan pada pintu adalah indeks dari kehadiran seseorang. Sedangkan sebuah payung yang basah merupakan indeks dari adanya hujan dan asap yang mengepul adalah indeks adanya api. Sementara itu, simbol adalah sesuatu yang dapat menyimbolkan atau mewakili ide, pikiran, benda, namun acuan pada objeknya bukan karena kemiripan taupun hubungan sebab- akibat tapi merupakan kesepakatan sosial. Dengan demikian simbol dapat mewakili sesuatu baik secara batiniah (perasaan, pikiran atau ide), ataupun secara lahiriah (benda dan tindakan). Sebagai contoh, jika kita melihat ada bendera kuning atau putih dipasang di sudut jalan, kita mengerti bahwa ada orang yang meninggal. Simbol berasal dari bahasa Yunani, symballo, yang artinya melempar bersama- sama, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau gagasan objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol dapat mengantarkan seseorang ke dalam gagasan masa depan maupun masa lalu. Adat Minangkabau memiliki banyak simbol yang ditandai dengan berbagai bentuk tanda- tanda dan lambang-lambang tertentu. Tanda dan lambang memiliki bahasa tersendiri yang hanya dapat dipahami atau dimaknai oleh suatu masyarakat tertentu. Seperti halnya, tanda dan lambang dalam masyarakat Minangkabau belum tentu bisa dipahami masyarakat lainnya. Karena memiliki pakem sendiri, sesuai filosofi dan maknanya sebagai pesan dan pembelajaran. Sehingga, bila salah letak dan salah pasang akan menimbulkan kerancuan fungsi dan maknanya. Orang Minangkabau membuat tanda dan lambang pada umumnya berasal dari alam sebagai sumber belajar utama yang disebut dengan alam takambang jadi guru. Untuk itu, dalam melakukan modifikasi atau perubahan harus mengacu kepada dasarnya. Kalau tidak, akan memberi ruang bagi orang lain membelokkan prinsip, fungsi dan maknanya. Berbagai bentuk simbol adat Minangkabau, antara lain: 1. Marawa Marawa merupakan istilah untuk bendera, lambang, atau umbul-umbul kebesaran masyarakat Minangkabau yang mempresentasikan masyarakat, alam dan budayanya. Bendera tiga warna, hitam, kuning, dan merah, tersebut harus hadir dalam perhelatan orang Minangkabau. a. Pengertian/filososi dan urutan warna Marawa Terdapat perbedaan pendapat tentang makna dan urutan tiga warna marawa tersebut. Ada yang berpendapat, masing-masing warna marawa melambangkan tiga luhak di Minangkabau. Hitam melambangkan luhak Agam, kuning melambangkan luhak Tanah Datar dan Merah melambangkan luhak Limapuluh Koto. Urutan warnanya disesuaikan luhak masing-masing. Jika dipasang di luhak Agam, maka warna hitam di luar. Begitu pula di luhak Tanah Datar dan Limapuluh Koto, sesuai warna masing-masing di luar. Pendapat ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan daerah pasisia dan rantau? Kenapa sangat jarang ditemui di daerah Limapuluh Koto memakai warna hitam sebelah keluar? Warna apakah yang diikatkan di tiang atau tonggak? Merujuk Daulat Yang Dipertuan Gadih Pagarayuang (pewaris Rajo Alam Minangkabau/Kesultanan Minangkabau Darul Qarar) Prof. DR. Ir. Hj. Puti Reno Raudhatul Jannah, M.P. dalam channel youtube: Mulok Keminangkabauan, menyebutkan, marawa adalah bendera Minangkabau. Warna hitam bermakna kearifan dan kepemimpinan serta tahan tapo atau tahan sasah (tahan terpa), merupakan pakaian penghulu di Minangkabau. Penghulu itu pimpinan kaum yang ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah, maka warna hitam itu diikatkan di tonggak. Warna kuning berarti lambang kebesaran raja, kehormatan dan keagungan. Sedangkan warna sirah (merah) adalah lambang keberanian dan tahan uji. Warna sirah ini pakaian dubalang, yang berfungsi sebagai pemagar kampung, tagaknyo di lua (berdirinya di luar). Maka warna kuning diletakkan di tengah-tengah, karena dikawal oleh penghulu (warna hitam) dan dubalang. (warna merah). b. Pemakaian Marawa 1. Dipakai atau dipasang ketika acara nasional dan daerah serta acara keagamaan, seperti; Peringatan 17 Agustus dan hari nasional lainnya, peringatan hari besar Islam (Idul fitri, Idul Adha, Isra' Mi'raj, Maulid nabi, 1 Muharram, dan lain sebagainya). 2. Dipakai atau dipasang ketika pelantikan/pengambilan sumpah pejabat nasional dan daerah atau menyambut kunjungan para pejabat internasional, nasional dan daerah sewaktu berada di Sumatera Barat atau ranah minang. 3. Marawa dipasang kiri-kanan gerbang tempat upacara pelantikan pejabat di tempat acara tersebut sedangkan marawa yang mendampinginya adalah berukuran lebih kecil dari ukuran marawa utama. 2. Pelaminan Pelaminan merupakan simbol atau lambang yang sangat penting dalam adat Minangkabau yang bermakna mempererat silaturrahim antar individu dan antar kaum, serta masyarakat. Pembuatan dan pemasangan pelaminan memiliki aturan serta pola tertentu yang harus diikuti oleh setiap orang Minangkabau. a. Pengertian pelaminan adalah tempat duduk pengantin yang dihiasi, sebagai simbol sahnya hubungan antara laki-laki dengan perempuan dalam ikatan suami-istri (keluarga), karena sudah menikah sesuai syariat Islam. Pelaminan menurut akar katanya adalah lamin, yang dalam bahasa Melayu berarti hiasan. Di samping itu, pelaminan berasal dari akar kata kelamin, maksudnya tempat atau peraduan bagi sepasang suami-istri. b. Prinsip pelaminan Minangkabau sangat luas, yang terdiri dari daerah darek dan daerah rantau. Pelaminan untuk daerah ini dibedakan bentuknya: 1. Pelaminan darek berbahan dasar kain dengan warna dasar didominasi oleh warna gelap seperti sirah kasumbo, ijau kumbang jati, kuniang gadiang, kuniang ameh, manggih masak dan hitam. Warna kain jalinnya terdiri dari merah, kuning dan hitam. 2. Pelaminan rantau mendominasi warna cerah seperti ijau lauik, ijau daun, ijau langik, sirah lado, kuniang kunik, kuniang ameh dan warna perak. Daerah pasisia menyukai warna merah dan hijau. c. Asal usul sejarah pelaminan diceritakan dalam kaba Cindua Mato. Bundo Kanduang seorang raja perempuan yang agung, bijaksana dan berani, dari kerajaan Pagaruyuang, dipinang oleh tujuh orang raja ternama dari manca Negara. Setiap raja itu menghadiahi berbagai barang-barang indah dan mahal sebagai tanda ikatan. Namun, setiap raja yang meminang itu meninggal menejelang dilaksanakan pernikahan. Raja terakhir yang meminang, berasal dari negeri Cina, memberi hadiah seperangkat pelaminan sebagai bentuk sebuah ikatan, tetapi raja ini juga meninggal sebelum akad nikah. Maka untuk mengenang kebaikan raja dari Cina ini, setiap helat perkawinan di Minangkabau membuat pelaminan. d. Tempat pelaminan menurut Puti Reno Raudha Thaib dalam bukunya Pelaminan Minangkabau menyebutkan, pelaminan adalah seperangkat (satu unit kesatuan) hiasan dalam (interior) sebuah rumah gadang milik suatu kaum dalam serangkaian upacara perkawinan, diletakkan pada bagian tertentu di dalam rumah atau rumah gadang, biasanya diletakkan di depan kamar arah ke tengah menghadap ke pintu masuk. Bila memahami makna dan filosofi pelaminan, maka tidak pantas pelaminan diletakkan di luar rumah atau tepi jalan. e. Perangkat Pelaminan 1. Tirai Kolom, hiasan yang terdapat pada langit langit rumah yaitu kain berhias ditaburi manik-manik dan kaca, penutup loteng. 2. Tabie/kain tabie, kain penutup dinding, 3. Tikar atau permadani, penutup lantai yang digunakan untuk tempat duduk. 3. Rumah Gadang Rumah gadang merupakan rumah adat tradisional Minangkabau sebagai tempat tinggal keluarga mandeh soko (ibu) atau keluarga kaum menurut garis ibu. Disebut juga rumah bagonjong atau rumah baanjuang yang menjadi pusako tinggi bagi kaum pemiliknya. a. Bentuk atap Bentuk atapnya runcing yang disebut atap gonjong, sekaligus ciri khas Minangkabau. Di Sumatera Barat, bentuk atap gonjong ini tidak hanya pada rumah gadang, tetapi juga pada perkantoran dan rumah modern. Dahulu atap rumah gadang dari ijuk yang tahan hingga puluhan tahun. Namun belakangan atap rumah gadang berganti seng. Bentuk atap bergonjong ini merupakan simbol kapal bercadik yang mengingatkan orang Minangkabau pada kedatangan nenek moyangnya, keturunan kaum Hud, tahun 6000 SM. Kapal bercadik mirip tanduk kerbau bersandar di Pulau Paraco atau Pulau Andalas (nama pulau Sumatra) sangat serasi disandingkan dengan Bukit Barisan. Dari sini ide membuat rumah bagonjong ini muncul. b. Sandi Tonggak atau tiang rumah gadang dialas dengan batu pipih dan datar yang disebut sandi. Selain menjaga agar tonggak tidak mudah lapuk kalau langsung tertancap ke tanah, sandi juga menjadi peredam getaran saat terjadi gempa bumi, sehingga rumah gadang menjadi bangunan aman gempa. Karena bila terjadi gempa maka rumah gadang menyesuaikan dengan arah getaran dan pergeseran sandi tersebut. Sandi ini juga menjadi simbol dan filosofi adat Minangkabau, yaitu, adat basandi syara', syara' basandi kitabullah. Dimana, sandi adat Minangkabau itu agama Islam, sehingga nilai-nilai adat minangkabau menyesuaikan atau mengacu kepada ajaran agama Islam. Bila ada yang bertentangan, maka yang menyesuaikan itu adalah ajaran adat kepada ajaran agama Islam. c. Konstruksi rumah gadang Konstruksi rumah gadang merupakan bentuk perwujudan filosofi alam takambang jadi guru yang diterapkan nenek moyang orang Minangkabau. Menyadari kekuatan alam itu tidak bisa dilawan, maka yang dilakukan Sebagaimana halnya, wilayah Minangkabau yang rawan gempa maka konstruksi rumah yang dibangun harus aman dan tidak mudah runtuh. Belajar dari alam tersebut, muncul konstruksi rumah gadang yang aman gempa dengan metode batu sandi dan pasak. Batu sandi menjadi pelepas getaran dari tanah ke tiang rumah, sehingga kekuatan getarannya berkurang pada bangunan di atasnya. Getaran yang datang dari tanah terhadap bangunan terdistribusi ke semua bangunan. Begitu juga dengan pasak, yang membuat rumah gadang menjadi lentur dan bisa mengikuti arah getaran. Teknik konstruksi nenek moyang orang Minangkabau ini telah melampaui zamannya dan terpakai hingga sekarang. Bahkan, menjadi objek penelitian para ahli konstruksi dan gempa seluruh dunia. d. Ukiran rumah gadang Sebagai perwujudan alam takambang jadi guru, ragam hias rumah gadang menghadirkan bentuk keindahan alam dan filosofinya melalui ukiran di dinding. Ukiran tersebut berpola garis melingkar dan persegi, biasanya bermotif tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga, berbuah, dan seterusnya. Motif rumah gadang memiliki filosofi yang mengandung pewarisan nilai-nilai akhlakul karimah sebagai pedoman bagi orang Minangkabau, seperti: 1. Motif Bada Mudiak Filosofi bada mudiak melambangkan kerukunan yang ditauladani oleh masyarakat Minangkabau, kehidupan yang s seiya sekata, serta satu arah dan tujuan. Kehidupan yang bertolak belakang dan berlainan arah dengan filosofi bada mudiak tidak akan mendatangkan ketentraman atau cilako basilang. Gambar 1 Aneka Desain Motif Bada Mudiak 2. Motif Itiak Pulang Patang Sebagai hewan ternak, itik cukup dekat dengan orang Minangkabau. Kedekatan ini memungkinkan orang Minangkabau belajar dari hidup itik dan menjadikannya sebagai pola ragam hias dengan filosofi hidup bersama dan keteraturan. Bila diperhatikan, itik selalu bersama-sama dalam kumpulannya, sehilir semudik, baik dalam mencari makan maupun dalam berenang atau bermain. Apabila berjalan bersama di pematang sawah itik akan berjalan tertib dan tidak saling dahulu-mendahului. Tetapi, apabila ada seekor itik terjatuh dari pematang sawah, maka itik-itik yang lain pun akan turun bersama-sama menjemput temannya yang terjatuh dan secara bersama pula mereka naik kembali ke pematang. Bak itiak jatuah ka tabiang (bagaikan itik jatuh ke tebing), begitu kata orang Minang. Demikian juga bila seekor itik sudah naik ke pematang sawah atau ke tempat yang lebih tinggi, itik-itik yang lain akan mengikutinya dari belakang secara tertib. Selain itu, itik juga terkenal sangat gigih dalam mencari rezeki mulai pagi sampai petang. Apabila telah dilepas dari kandang itik akan berlarian menuju kolam atau rawa tempat mengais rezeki. Sebaliknya pada sore hari ketika itik sudah kenyang, mereka akan berjalan santai dan tertib di pematang sambil menikmati matahari terbenam kembali pulang ke kandang. Dari kehidupan itik ini dapat diambil pelajaran, segala sesuatu keputusan yang menyangkut kehidupan orang banyak sangat difikirkan, termasuk kesejahteraan masyarakatnya. Dalam mencari nafkah, sesama saudara atau kawan tidak perlu saling sikut-sikutan dan tidak perlu saling singkir- menyingkirkan. Kedamaian hidup bersama dan keteraturan ini menjadi filosofi yang diaplikasikan dalam desain motif itik pulang patang. Gambar 2 Desain dan Bentuk Motif Itiak Pulang Patang 3. dan sebagainya e. Rangkiang rumah gadang Rumah Gadang juga memiliki beberapa rangkiang atau lumbung padi di halamannya. Rangkiang berupa bangunan kecil beratap gonjong seperti rumah gadang berfungsi untuk menyimpan padi milik kaum. Tinggi rangkiang sama dengan rumah gadang, pintunya kecil terdapat pada bagian atas salah satu dinding singkok (singkap), yaitu bagian segi tiga lotengnya. Untuk memasukkan padi ke dalam rangkiang digunakan tangga bambu yang bisa dipindah- pindahkan. Di samping menambah keindahan dan semaraknya rumah gadang, rangkian juga simbol kehidupan kaum. Bahkan, jauh sebelum orang berpikir tentang ketahanan pangan, orang Minangkabau telah mengaplikasikannya dengan keberadaan rangkiang. Bisa disebut, rangkiang juga simbol ketahanan pangan. Selain itu rangkiang mempunyai arti yang lebih dalam bila dikaitkan dengan ajaran falsafah hidup masyarakat Minangkabau. Masing- masing rangkiang memiliki nama dan fungsi yang berbeda. 1. Rangkiang Sitinjau Lauik Rangkiang Sitinjau Lauik berfungsi sebagai tempat menyimpan persiapan pangan bagi nagari. Saat paceklik datang, rangkiang ini menjadi panenggang korong dalam kampuang. Artinya, tempat orang sekitar meminjam padi untuk kelangsungan hidup saat panen gagal. Rangkiang ini sekaligus mengajarkan orang Minang untuk menabung. Katiko ada jan dimakan, katiko tak ado baru makan, begitu pesan orang tua-tua dulu. Selain itu, Navis (1984) mengatakan rangkiang sitinjau lauik berfungsi sebagai tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk membeli barang atau keperluan rumah tangga yang tidak dapat dibikin sendiri. Tipenya langsing dari yang lain, berdiri di atas empat tiang, dan letaknya di tengah antara rangkiang yang lain. 2. Rangkiang Sibayau-bayau Berfungsi sebagai tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk makan sehari- hari. Tipenya gemuk dan berdiri di atas enam tiang, terletak di sebelah kanan. Selain itu, rangkiang si bayau-bayau juga berfungsi untuk persiapan ekonomi masyarakat nagari sebagai penanti anak dagang (tamu atau orang yang susah di perjalanan), yang datang diduga atau tidak diduga. Berarti pula orang Minangkabau memperhatikan orang yang terlantar dan memuliakan tamu. 3. Rangkiang Sitangguang Lapa Memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan padi cadangan yang akan digunakan pada musim paceklik. Tipenya bersegi dan berdiri di atas empat tiangnya. 4. Rangkiang Kaciak Rangkiang yang digunakan menyimpan padi abuan untuk benih dan biaya turun ke sawah pada musim berikutnya. Atapnya tidak bergonjong bangunannya lebih kecil dan rendah. Ada juga bentuknya yang bundar. 5. Pakaian Adat Minangkabau Pakaian bagian yang tak terpisahkan dari adat Minangkabau. Tidak hanya sekadar menutup aurat sebagaimana diperintahkan agama Islam, tetapi juga menjadi penanda status sosial dan golongan dalam masyarakat, terutama saat upacara adat. Malu atau berpantang bagi orang Minangkabau berpakaian buruk dan tidak pada tempatnya. Secara umum, menurut adat Minang pakaian berfungsi sebagai palampok tubuah, palinduang tubuah, panutuik tubuah, palampok malu, pandindiang malu. Pakaian juga mempengaruhi tampilan seseorang serta mempunyai nilai spiri- tual, emosional, dan intelektual. Nilai spiritual dan nilai emosional menjadi basis untuk merancang pakaian, terutama untuk perempuan. Di mana rancangan pakaian yang merefleksikan nilai estetika ke dalamnya masuk kategori nilai intelektual. Pakaian adat Minangkabau merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang sangat berharga. Secara umum, pakaian adat tradisional Minangkabau ini memiliki kesamaan antara daerah darek dan daerah rantau, hanya variasi-variasi yang membedakan. a. Pakaian Penghulu Sebagai pemimpin kaum, penghulu atau datuak memiliki pakaian kebesaran sebagai pakaian adat Minangkabau. Pakaian penghulu itu berbeda tiap nagari atau daerah di Minangkabau. Terdiri dari destar, baju hitam longgar, celana hitam lebar, sesamping, kain sandang, keris, dan tongkat. Setiap bagian dari pakaian adat tersebut memiliki makna simbolis masing-masing. 1. Destar (deta) Destar merupakan penutup kepala yang biasa disebut juga dengan saluak batimba (seluk bertimba) yang terbuat dari kain batik. Bagian depan destar dibentuk berkerut dengan bagian atas datar. Kerutan tersebut melambangkan aturan hidup dari masyarakat Minangkabau. Jumlah kerutan itu 7 (tujuh) bertingkat berarti menjaga 7 anggota lahir dan 7 anggota bathin. 2. Baju hitam longgar Baju hitam longgar ini memiliki lengan yang lebar dan longgar. Pada bagian leher tidak berkatuk dan tidak berkancing sampai dada. Hal ini melambangkan keterbukaan dan kelapangan seorang pemimpin. 3. Celana hitam lebar Celana hitam lebar atau lapang ini dibatasi oleh ukuran dan jangka yaitu minsai (benang emas). Celana ini melambangkan kesiagaan seorang pemimpin di Minangkabau. 4. Sesamping Sesamping dililitkan di pinggang dengan sudut seperti niru tergantung. Sudut ini melambangkan kehati-hatian pemakai akan perbuatannya di dalam masyarakat. Warna sesamping yang dipakai penghulu biasanya merah karena melambangkan keberanian serta tanggung jawab. Ada ragi benang emas yang menghiasinya, melambangkan pengetahuan yang cukup dimiliki oleh si pemakai Selain sesamping juga digunakan ikat pinggang dari sutra yang berjumbai agar kuat dan kokoh luar dan dalam. 5. Kain Sandang Pada bahu Penghulu akan diselendangkan kain sandang yang melambangkan kebesaran seorang Penghulu. 6. Keris Pakaian adat penghulu juga dilengkapi dengan sebuah keris. Posisi keris diselipkan di perut sebelah kiri dengan posisi kepala keris miring ke kiri Hal ini menyiratkan, keberanian tetapi tidak bermaksud melawan musuli melainkan menjadi hakim bagi kaum dan masyarakatnya. Penghulu akan berpikir panjang untuk memutar keris ke kanan dan mencabutnya. Karena setiap penghulu dituntut untuk menyelesaikan persoalan secara bijaksana tanpa emosi dan melukai. 7. Tongkat Tongkat menjadi penanda untuk anggota di kaumnya bahwa penghulu memiliki tongkat atau panungkek untuk menjalankan tugasnya. Tongkat juga melambangkan bahwa setiap keputusan harus ditegakkan dengan penuh wibawa. b. Pakaian Harian Laki-Laki Minangkabau Ada ungkapan mengatakan condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak. Encyclopedie Voor Nederlands Oost Indie yang diterjemahkan Nilakusama dan terbitkan Museum Negeri Adhityawarman (1982), menyebutkan, pakaian harian laki- laki di Minangkabau terdiri dari tutup kepala atau kopiah, kemeja putih, saruang bugih, cawek/ikat penggang, celana dan sehelai sapu tangan. Dalam perkembangannya pakaian laki-laki Minangkabau terkenal dengan pola kopiah medan, baju guntiang cino, sarawa jao, saruang bugih, dan tarompa sapik. Pola pakaian laki-laki ini memberikan nilai atau makna sesuai sumber referensinya seperti kopiah yang berasal dari Medan, baju taluak balango yang disebut dengan baju guntiang Cino, tidak memiliki krah dan tidak memiliki saku. berukuran cenderung lebar dan lapang. Maknanya tahan sogok dan berhati lapang. Begitu juga celana batik jao (jawa) yang memiliki pisak corak siba dan belah segi empat ketupat diselangkanganya, serta berukuran agak longar dan dalam. Hal ini menandakan laki-laki Minangkabau itu tau di nan ampek yang mejadi acuan dalam kehiduapan sehari-hari, berhati lapang dan memiliki pemahaman yang dalam. Sementara saruang bugih yang berasal dari Bugis apabila dilipat dan diselempangkan selalu memperlihatkan ujung lipatan sarung sebelah keluar. Maknanya, semacam peringatan, jan mangguntiang dalam lipatan, jan manuhuak kawan sairiang. c. Pakaian perempuan Di Minangkabau, pakaian perempuan sangat diperhatikan sekali. Karena perempuan, sosok atau individu yang menampilkan kualitas diri atau marwah yang bernilai sebagai pemimpin yang disegani dan berwibawa. Perempuan identik dengan keagungan dan kemuliaan, keindahan, dan kelembutan, oleh sebab itu dia perlu dimuliakan, dipelihara, dirawat, dan dilindungi. Syara' memberikan panduan agar perempuan sebagai individu dapat terpelihara dan terlindungi, sehingga kualitas akhlak, etika serta moralnya tidak cacat atau rusak. Ajaran islam yang berlandaskan al-Quran dan Hadits memberikan panduan dalam berpakaian sebagaimana terdapat dalam surat an- Nur, 24:31 dan al-Ahzab, 33:59 sebagai berikut: Katakanlah kepada perempuan yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada: Suami mereka, atau ayah suami mereka, atau Putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau Putera-putera saudara mereka, atau Putera- putera saudara perempuan mereka, Perempuan-perempuan islam, atau Budak-budak yang mereka miliki, atau Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." Ayat di atas memberikan panduan kepada perempuan dalam berpakaian dan perhiasan. Berdasarkan ayat tersebut, para ulama berpendapat bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Anjuran syara' agar perempuan menutup aurat bertujuan untuk memuliakan dan menghormati perempuan dengan maksud supaya mereka mudah dikenal, tidak dilecehkan dan tidak diganggu. Mengenai model dan warna pakaian tidak diatur dalam syara', karena masing- masing etnis/suku bangsa memiliki ciri dan identitas sendiri-sendiri. Di samping itu, berpakaian tidak termasuk ke dalam ibadah mahdhah sebagaimana shalat, puasa, zakat, dan haji yang diatur syara' secara terperinci. Namun ada panduan syara' mengenai kriteria baku yang harus dipenuhi dalam berpakaian, merancang dan membuat pakaian yaitu: 1. Menutup seluruh tubuh, kecuali wajah, tangan, dan kaki. 2. Tidak memperlihatkan bentuk tubuh dan tidak terbuat dari bahan yang tipis. 3. Sederhana dalam menghiasi pakaian atau mempergunakan hiasan. 4. Tidak menyerupai pakaian laki-laki. 5. Berbeda dengan pakaian perempuan yang tidak beragama Islam. 6. Sesuai panduan adat terhadap pakaian perempuan Pakaian perempuan dari waktu ke waktu, selalu menyempurnakan dirinya Artinya, pakaian tersebut selalu diperbarui jenis bahan yang dipakai, motif ornamen/sulaman dan warna. Pakaian yang dipakai oleh perempuan Minangkabau sangat bervariasi. Beberapa faktor yang sangat menentukan dalam pakaian perempuan Minangkabau: 1. Faktor geografis (pegunungan, pantai), 2. Faktor keadaan tempat tinggal (bentuk rumah panggung, rendah) 3. Faktor pekerjaan (ke sawah ke ladang, ke laut, berburu, penenun, guru, dan lain- lain), serta 4. Faktor umur yaitu pakaian anak, remaja, dewasa, dan orang tua 5. Fungsi dalam adat (tua, gadis, anak-anak, tokoh adat, penganten, upacara yang diikuti). Pakaian perempuan Minangkabau, baik pakaian adat, pakaian penganten maupun pakaian sehari-hari mempunyai ciri pokok berdasarkan acuan adat dan agama Islam. Mereka wajib menjaga kekhasannya sebagai bagian dari identitas budaya Minangkabau. Perbedaan antara pakaian sehari-hari perempuan Minangkabau dengan pakaian adat terletak pada fungsi dan kegunaan. Pakaian adat secara khusus berfungsi untuk menentukan asal usul nagari, perkauman, dan fungsi sosial dalam masyarakat adat, serta jenis upacara yang diikuti. 1. Pola umum pakaian adat perempuan dibedakan berdasarkan rumah gadang, kaum, atau nagari dari mana perempuan itu berasal. Oleh karena itu pakaian adat perempuan sangat bervariasi. Begitu pula dalam penyebutannya. Pakaian adat perempuan yang berasal dari Padang Magek disebut pakaian adat Padang Magek, pakaian adat Payakumbuh disebut pakaian adat Payokumbuah dan begitu juga untuk daerah-daerah lainnya. 2. Prinsip dasar pakaian adat perempuan Minangkabau: a. Harus menutup aurat sesuai yang ditentukan dalam ajaran agama Islam. b. Tidak menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu yang dapat menimbulkan rangsangan bagi laki-laki. c. Mencirikan asal usul, status dan nagari dari mana si pemakai berasal. d. Tidak terlalu memberatkan atau menyusahkan si pemakai dalam berjalan atau beraktifitas. e. Sesuai dengan acara-acara yang diadakan. f. Mementingkan aspek kemegahan dan keindahan. 3. Jenis Pakaian Perempuan terdiri dari: a. Baju kurung basiba Baju kurung basiba adalah komponen utama dari pakaian adat, pakaian pengantin maupun pakaian sehari-hari. Baju kurung basiba ini longgar karena ada tambahan siba pada bagian sisi kiri dan sisi kanan, sehingga tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Kikiek (segi empat kecil) sambungan lengan dan siba di ketiak kanan dan kiri. Di samping itu pada ujung tangan ada yang disebut tapak itik yang menutup punggung tangan. Siba mempunyai makna garis vertikal dari atas ke bawah yang berarti mempertahankan sambungan tali rahim kaum dan suku/kekerabatan Matrilineal atau garis keturunan Ibu. Kikiek yang mempertemukan kedua ujung siba, mempunyai makna adat nan ampek, ABS-SBK, dikapik siang malam atau dibawa dalam setiap aktifitas kehidupan. Baju kurung basiba dapat dipakai oleh semua umur, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai orang tua. b. Tikuluak Penutup kepala atau tikuluak masing-masing nagari berbagai bentuknya dan berbeda-beda pula, baik dari segi bahan, bentuk dan waktu pemakaiannya. Beberapa daerah dilengkapi dengan perhiasan lain seperti sungkuik mato atau lenggek, yang diletakkan di atas tikuluak tersebut. c. Perhiasan Terdiri dari perhiasan kepala, dipakai di depan atau dibelakang rambut berupa suntiang, tusuk sanggul atau laca. Kemudian, perhiasan untuk leher (dukuah), tangan dan jari. Pada kelingking kiri diberi hiasan berupa kuku ameh atau kuku canggai yang dibuat dari emas. d. Riasan wajah Riasan wajah disesuaikan dengan kesempatan pemakainya. Kesederhanaan adalah pilihan yang terbaik e. Kain sandang Kain yang disandang di atas bahu atau diselempangkan di dada. Pemakaian kain sandang juga bervariasi untuk setiap nagari, termasuk juga bahan, warna dan motif sulamannya. Jenisnya tergantung kepada upacara, fungsi dan umur pemakai serta tujuan pemakaiannya untuk jenis upacara yang akan diikuti. d. Pakaian Bundo Kanduang Pakaian adat Bundo Kanduang terdiri dari tengkuluk, baju kurung basiba, kain selempang, kain sarung, serta hiasan seperti anting-anting, gelang dan kalung. 1. Tangkuluak Bundo Kanduang biasanya memakai penutup kepala yang dinamakan tangkuluak tanduak atau tangkuluak ikek. Bentuk penutup kepala ini seperti tanduk, kedua ujungnya runcing dengan rumbaian emas. Makna simbolis dari tengkuluk ini menandakan do kandung sebagai pemilik bundo rumah gadang. Bentuk, corak, model, dan cara pemakaian tangkuluak berbeda antar satu nagari dengan nagari lainnya. Masing-masing nagari punya pakem tersendiri. 2. Baju Kuruang Basiba Baju kuruang basiba bundo kanduang biasanya berwarna hitam, merah, biru atau lembayung dengan taburan benang-benang emas. Taburan benang emas ini melambangkan kekayaan alam bumi Minangkabau. Baju kuruang basiba bundo kanduang juga dihiasi dengan minsai, yaitu pinggiran baju kurung yang diberi benang emas. Minsai memiliki makna demokrasi yang luas di tanah Minangkabau tetapi masih dalam batas-batas yang patut. 3. Kain Salempang Kain selempang dipakai di bahu kanan yang menyilang ke rusuk kiri. Ini bermakna tanggung jawab bundo kanduang yang harus melanjutkan keturunan. 4. Kain Sarung Kain sarung (kodek) balapak dengan sulaman emas. Pemakaian sarung ini bermakna bahwa menempatkan segala sesuatunya haruslah pada tempatnya. Kain sarung adat Minangkabau ini banyak ragamnya, diantaranya, ada yang lajur, bersongket, dan berikat. 5. Perhiasan Perhiasan yang dipakai bundo kanduang ada anting-anting, gelang dan kalung (dukuah). Jenis kalung yang biasa digunakan ada beberapa macam, ada kalung perada, deraham, cekik leher, kaban, manik pualam, dan dukuah panyaram. Kalung melambangkan bundo kanduang selalu berada dalam kebenaran, seperti halnya kalung yang melingkar di leher. Makna lainnya, teguh pendirian dalam kebenaran. Gelang yang biasanya dipakai ada beberapa jenis, yaitu gelang bapahek, gelang ula, kunci maiek, gelang rago rago, dan gelang basa. Makna dari gelang adalah segala sesuatu ada batasnya, artinya tidak boleh menginginkan sesuatu secara berlebihan. Gelang itu melingkari tangan, dimana tangan merupakan bagian tubuh yang bisa meraih sesuatu. Jadi, segala sesuatu yang ingin diraih itu ada batas dan aturan yang melingkarinya. e. Pakaian Harian Perempuan Minangkabau Baju kuruang basiba juga menjadi pakaian harian perempuan Minangkabau. Baju kuruang basiba itu dalam sampai lutut bagi puti bungsu atau anak gadis dan di bawah lutut bagi bundo kanduang (perempuan minang yang sudah berkeluarga). Ini memiliki makna, perempuan Minangkabau itu harus memiliki pemikiran dan pemahaman yang mendalam terhadap sesuatu, sebagaimana memahami maliek di nan ampek. Yaitu nan tasurek, nan tasirek, nan taserak, nan tasuruak. Kriteria lapang atau longgar itu mengisyaratkan kelapangan hati dan kebesaran jiwa seseorang perempuan di Minangkabau Kikiek atau segi empat belah ketupat pada bagian ketiak baju kuruang basiba melambangkan tau di nan ampek itu harus dikapik kama pai dalam kehidupan sehari-hari Sedangkan siba pola sambungan tiga jahitan lurus secara vertikal mulai dari bawah ketiak sampai ujung baju dibuat tanpa bis, melambangkan keseimbangan dalam kehidupan. Baju kuruang basiba memiliki ciri dan pakem tersendiri, antara lain; a. Tidak ada jahitan pada bagian bahu b. Leher bulat tidak terbuka, mempunyai sedikit belahan pada bagian tengah muka. c. Badannya longgar dengan memakai siba d. Ketiaknya longgar dengan memakai kikiek e. Lengannya longgar dengan bentuk pipa (lurus) f. Tidak pakai kubnat di belakang maupun di depan g. Tidak ada belahan di sisi atau di belakang. h. Panjang baju sedikit di atas lutut untuk gadis-gadis dan anak-anak, serta di bawah lutut untuk orang dewasa i. Lambak/kodek/sarung yaitu kain yang disarungkan sampai ke mata kaki. j. Mempunyai berbagai corak, motif, bahannya serta ornamennya, seperti songket, batik dan kain bugis.

Use Quizgecko on...
Browser
Browser