Undang-Undang Narkotika di Indonesia

Undang-Undang Narkotika bertujuan untuk menjamin ketersediaan Narkotika untuk pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan, memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dan mengatur rehabilitasi bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika.

Undang-Undang Narkotika berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengaturan Undang-Undang Narkotika didasarkan pada asas keadilan, pengayoman, kemanusiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan, nilai-nilai ilmiah, dan kepastian hukum.

Narkotika digolongkan menjadi tiga jenis: Golongan I, Golongan II, dan Golongan III.

Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, kecuali dalam jumlah terbatas untuk pengembangan ilmu pengetahuan, reagensia diagnostik, dan laboratorium setelah mendapat izin Menteri atas rekomendasi BPOM.

Undang-Undang ini mengatur semua kegiatan dan perbuatan terkait Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Narkotika hanya boleh digunakan untuk pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kegiatan ilmiah yang diizinkan menggunakan narkotika golongan I dalam jumlah terbatas, seperti penelitian medis atau pengembangan obat baru.

Lembaga pemerintah yang mengawasi ketat produksi narkotika golongan I untuk penelitian ilmiah dan teknologi

Organisasi yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan, seperti universitas, lembaga penelitian, dan pusat pelatihan.

Persetujuan yang diberikan oleh Menteri untuk penggunaan narkotika golongan I dalam lembaga ilmu pengetahuan.

Simpanan khusus untuk narkotika yang dikelola oleh berbagai entitas, seperti apotik, rumah sakit, dan lembaga ilmu pengetahuan.

Data yang harus dilaporkan secara rutin oleh berbagai entitas tentang penggunaan dan pergerakan narkotika.

Aturan resmi yang mengatur tentang penggunaan dan penyimpanan narkotika dalam penelitian ilmiah dan teknologi.

Perusahaan yang memproduksi obat-obatan, termasuk narkotika untuk tujuan medis.

Prekursor Narkotika hanya boleh digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien untuk pengobatan, berdasarkan indikasi medis, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasien yang mendapatkan Narkotika dari dokter untuk pengobatan dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri, tetapi mereka harus memiliki bukti bahwa Narkotika tersebut diperoleh secara sah.

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.

Orang tua atau wali dari anak yang kecanduan Narkotika harus mencari bantuan dari pusat kesehatan, rumah sakit, atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah.

Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor untuk pecandu Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penyidik Kepolisian dan BNN wajib memusnahkan tanaman Narkotika yang ditemukan dalam waktu paling lama 2x24 jam setelah disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, sidang pengadilan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pendidikan dan pelatihan.

Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak dimusnahkan disimpan untuk kepentingan penyidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pendidikan dan pelatihan.

Penyidik PNS dalam investigasi penyalahgunaan Narkotika harus berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

Penyidik dapat menggunakan alat bukti tambahan selain yang tertera di dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.

Penyidik menyimpan sebagian kecil tanaman Narkotika untuk kepentingan penyidikan, Menteri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan menyimpan sebagian kecil tanaman Narkotika untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan BNN menyimpan sebagian kecil tanaman Narkotika untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan.

Sebagian kecil Narkotika atau tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke negara lain yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan peredarannya.

Informasi yang dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik dapat dijadikan bukti.

Pengiriman Narkotika atau tanaman Narkotika ke negara lain dilakukan berdasarkan perjanjian antarnegara atau berdasarkan asas timbal balik.

Data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana dapat menjadi bukti.

Penyidik Kepolisian atau BNN wajib menyegel dan membuat berita acara penyitaan Narkotika.

Berita acara penyitaan harus memuat nama, jenis, sifat, jumlah, tempat, waktu, dan pemilik atau yang menguasai Narkotika.

Penyidik wajib memberitahukan penyitaan ke kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu maksimal 3 x 24 jam.

Tembusan berita acara penyitaan harus disampaikan ke ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.